Bantengan dan Barongan: Jejak Roh Leluhur dalam Kesenian Rakyat

Kepala Bantengan Simbol Kekuatan BANTENGAN

Bantengan dan Barongan adalah dua istilah yang sering digunakan secara bergantian, terutama di Jawa Timur, untuk menggambarkan sebuah ritual kesenian yang melibatkan topeng kepala besar, musik pengiring yang riuh, dan yang paling utama, kondisi *ndadi* atau kerasukan roh leluhur. Kesenian ini bukan sekadar tontonan, melainkan sebuah jembatan spiritual yang menghubungkan dunia nyata dengan dimensi gaib, menjadikannya salah satu warisan budaya paling kuat dan sakral yang masih lestari di tanah Jawa.

Sejarah Ritualistik dan Asal Usul Kesenian Bantengan

Kesenian Bantengan memiliki akar sejarah yang sangat dalam, seringkali dikaitkan dengan masa-masa kejayaan kerajaan di Jawa, khususnya era Singasari dan Majapahit. Kehadiran Banteng (Bos javanicus) dalam mitologi dan simbolisme Jawa melambangkan kekuatan, kegigihan, dan keberanian. Banteng dihormati sebagai hewan sakral, dan perwujudannya dalam seni tari dipercaya mampu memanggil energi perlindungan. Di berbagai daerah seperti Malang, Mojokerto, dan Pasuruan, Bantengan bukan hanya hiburan, tetapi merupakan ritual tolak bala atau ucapan syukur yang diwariskan turun-temurun melalui garis keturunan spiritual.

Dalam konteks sejarah lisan, Bantengan sering diyakini muncul dari tradisi *Jathilan* atau *Kuda Lumping* yang kemudian mengembangkan karakter utama berupa Banteng. Beberapa sumber menyatakan bahwa Bantengan mulai populer sebagai entitas kesenian tersendiri pada abad ke-19, seiring dengan meningkatnya rasa nasionalisme lokal melawan penjajahan. Simbol Banteng, dengan kepala yang menunduk siap menyeruduk, menjadi metafora perlawanan rakyat yang tak gentar menghadapi musuh. Evolusi ini memisahkan Bantengan dari kesenian topeng lainnya, memberikannya ciri khas yang lebih agresif, spiritual, dan berorientasi pada energi maskulin.

Perbedaan Terminologi: Bantengan vs. Barongan

Meskipun kedua istilah ini merujuk pada kesenian topeng yang menampilkan kerasukan, terdapat perbedaan tipis tergantung lokasi geografisnya. Di Jawa Timur (khususnya Malang dan Mojokerto), istilah *Bantengan* lebih dominan, merujuk pada topeng berkepala kerbau/banteng yang didominasi warna hitam atau merah. Fokus utama Bantengan adalah energi alam dan roh penjaga wilayah (*dhanyang*). Sementara itu, istilah *Barongan* seringkali lebih merujuk pada bentuk kepala Singa atau Harimau, mirip dengan Reog Ponorogo atau Barong Bali, atau kadang digunakan sebagai istilah umum untuk semua topeng besar yang menghasilkan trance.

Di beberapa wilayah perbatasan, *Barongan* dapat menjadi sebutan umum untuk kelompok kesenian yang menampilkan topeng besar, termasuk di dalamnya Bantengan. Namun, bagi para pelaku seni tradisi di Jawa Timur, identitas Banteng tetaplah unik. Bantengan selalu dibawakan oleh dua orang yang terbagi menjadi bagian kepala (pemegang kendali) dan bagian ekor/badan, meniru gerakan Banteng yang liar dan agresif, menjadikannya sebuah simbol kolektivitas yang padu.

Filosofi dan Simbolisme Kepala Banteng

Kepala Banteng (disebut juga *Kepala Gatot*) dalam kesenian ini sarat akan makna filosofis. Tanduknya melambangkan kekuatan spiritual dan perlindungan. Mata yang melotot sering diartikan sebagai penjaga yang selalu waspada. Banteng mewakili sifat Bima dalam pewayangan, sosok yang jujur, keras, namun memiliki hati yang tulus. Ketika roh Banteng merasuki pembarong, ia dipercaya membawa serta sifat-sifat luhur tersebut, meskipun manifestasinya terlihat buas dan tak terkendali. Ritual ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati harus diiringi dengan penghormatan terhadap alam dan leluhur.

Pewarnaan topeng juga memiliki makna mendalam. Warna merah sering digunakan untuk melambangkan keberanian dan darah kehidupan, sementara warna hitam melambangkan kekuatan mistis dan alam bawah sadar. Kombinasi dari warna-warna ini bukan sekadar estetika, melainkan kode visual yang memanggil energi tertentu dalam ritual. Pembuatan topeng pun harus melalui serangkaian ritual khusus, seperti puasa dan tirakat, agar topeng tersebut memiliki ‘isi’ atau energi spiritual yang kuat dan siap menjadi media transmisi roh.


Mekanisme Trance: Proses Ndadi dan Kerasukan Roh

Inti dari kesenian Bantengan dan Barongan adalah fenomena *ndadi* atau kerasukan. Ini adalah momen puncak yang ditunggu dan dihormati oleh penonton sekaligus menjadi inti ritual. *Ndadi* bukan sekadar akting; para pelaku meyakini bahwa roh leluhur, roh penjaga (dhanyang), atau bahkan roh hewan Banteng, benar-benar merasuki raga mereka. Kondisi trance ini adalah hasil dari sinkronisasi musik, gerakan repetitif, dan persiapan spiritual yang matang.

Persiapan Spiritual Pembarong

Seorang *pembarong* (pelaku Bantengan) atau *penggawak* harus menjalani proses persiapan yang ketat. Ini bisa meliputi puasa weton, mantra, dan ritual mandi kembang. Persiapan ini bertujuan untuk membersihkan diri dan membuka saluran spiritual agar roh yang masuk adalah roh yang baik dan kuat, bukan roh iseng atau merusak. Kesiapan mental dan keikhlasan pembarong sangat menentukan kualitas *ndadi*. Mereka harus rela menyerahkan kesadaran sementara kepada entitas lain.

Bahkan jauh sebelum pertunjukan dimulai, kepala Bantengan atau Barongan sudah disiapkan di tempat khusus, seringkali dihiasi sesajen lengkap: kopi pahit, kopi manis, rokok kretek, bunga tujuh rupa, dan dupa yang terus dibakar. Ritual pembukaan ini (disebut *wiwitan* atau *uborampe*) adalah komunikasi awal dengan roh yang diundang. Tanpa persiapan sesajen yang tepat, pertunjukan dianggap tidak akan berjalan lancar atau, yang lebih parah, dapat mengundang roh yang jahat.

Peran Musik dan Ritme Gamelan

Musik adalah katalisator utama yang memicu *ndadi*. Instrumen utama dalam Bantengan dan Barongan meliputi *jidor* (gendang besar), *kendang* (gendang kecil), *gong*, *kempul*, dan *terompet* atau *suling*. Ritme yang dimainkan sangat repetitif, keras, dan intens, seringkali mencapai tempo yang sangat cepat dan memekakkan telinga. Irama ini disebut *irama wirog*, dirancang khusus untuk membius pikiran sadar dan memudahkan roh untuk masuk.

Saat ritme mencapai puncaknya, pembarong akan mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan perilaku: mata kosong, gerakan yang tidak disengaja, hingga akhirnya masuk ke dalam kondisi kerasukan total. Ritme musik tidak berhenti setelah kerasukan terjadi; sebaliknya, para penabuh musik harus mengikuti dan merespons gerakan Banteng yang sedang *ndadi*. Jika Banteng bergerak liar, irama harus semakin keras; jika Banteng mulai tenang, irama melambat untuk mencoba menenangkan roh yang merasukinya. Sinkronisasi antara musik dan roh ini adalah keahlian yang sangat sulit dan membutuhkan pengalaman bertahun-tahun.

Interaksi dengan Pawang (Juru Sembuh)

Dalam setiap kelompok Bantengan, selalu ada seorang *Pawang* atau *Juru Sembuh* yang bertugas mengendalikan roh. Pawang adalah sosok yang memiliki kekuatan spiritual dan pemahaman mendalam tentang dunia gaib. Tugas Pawang adalah memastikan bahwa Banteng yang *ndadi* tidak melukai penonton atau dirinya sendiri, serta memastikan roh tersebut keluar dengan damai di akhir pertunjukan. Pawang menggunakan jampi-jampi (mantra), cambuk, atau benda-benda pusaka untuk berkomunikasi dengan roh yang merasuki.

Interaksi antara Banteng yang kerasukan dan Pawang seringkali menjadi bagian paling dramatis dari pertunjukan. Banteng akan menyerang Pawang, sementara Pawang harus menahan dan menenangkan. Ini adalah tarian kekuatan dan spiritualitas yang memperlihatkan hierarki di mana manusia yang terlatih spiritualnya mampu mengendalikan energi buas. Tanpa Pawang yang kompeten, pertunjukan Bantengan dianggap sangat berbahaya dan berpotensi merusak.


Anatomi Pertunjukan: Gerakan, Kostum, dan Pelaku Inti

Kostum dan Wujud Bantengan

Topeng Bantengan adalah fokus utama visual. Topeng ini umumnya dibuat dari kayu yang ringan namun kuat, dilapisi kulit sapi atau kerbau yang diukir dan dicat. Detail mata, tanduk, dan mulut haruslah ekspresif. Selain topeng kepala, pembarong juga mengenakan selimut besar (disebut *kemul* atau *jubah*) yang menutupi dua orang, memberikan ilusi tubuh Banteng yang utuh. Bagian belakang dihiasi ekor yang terbuat dari ijuk atau rambut.

Gerakan Bantengan sangat khas. Banteng akan berjalan merangkak, mengentakkan kaki, menyeruduk tanah, dan bahkan menggulirkan diri di tanah. Gerakan ini bukan koreografi biasa; ini adalah manifestasi dari roh Banteng yang merasa terancam, marah, atau mencoba membersihkan area pertunjukan dari energi negatif. Kekuatan fisik yang dibutuhkan sangat besar, terutama bagi orang yang berada di posisi kepala, yang harus menopang berat topeng sambil bergerak secara liar.

Selain Bantengan utama, pertunjukan seringkali melibatkan karakter pendukung lain yang juga bisa mengalami *ndadi*. Karakter-karakter ini meliputi:

  1. Jathil/Jaranan: Penari kuda lumping yang bergerak lincah dan seringkali menjadi sasaran 'serudukan' Banteng.
  2. Monyetan (Celeng Sregep): Tokoh monyet atau babi hutan yang jenaka namun juga bisa kerasukan, memberikan kontras komedi dengan kegarangan Banteng.
  3. Penggawak Barong: Dalam konteks Barongan, ini adalah tokoh utama berkepala Singa atau Barong Singo Ulung, yang memiliki gaya gerakan lebih megah dan sedikit berbeda dari Bantengan yang lebih fokus pada energi bumi.
Kehadiran karakter-karakter pendukung ini menciptakan dinamika pertunjukan yang kaya, di mana unsur sakral (Banteng) berinteraksi dengan unsur profan (Jathil dan Monyetan).

Rangkaian Ritual dan Tiga Fase Kerasukan

Pertunjukan Bantengan biasanya dibagi menjadi beberapa fase ritual yang jelas, semuanya bertujuan untuk mencapai dan mengendalikan kondisi *ndadi*:

  1. Pambuko (Pembukaan): Pawang melakukan doa dan membakar dupa. Musik Gamelan dimainkan dalam tempo lambat (Laras Slendro) untuk memanggil arwah.
  2. Iringan dan Pemanasan: Penari Jathilan dan Monyetan tampil untuk ‘memanaskan’ suasana dan menguji kekuatan spiritual Bantengan.
  3. Ndadi (Puncak Trance): Ritme musik dipercepat secara drastis. Bantengan utama dirasuki, bergerak liar dan menunjukkan kekuatannya. Pada fase ini, Banteng bisa memakan sesajen mentah, pecahan kaca, atau bahkan meminum air kembang.
  4. Penutup (Penyembuhan): Pawang turun tangan untuk mengeluarkan roh dari tubuh pembarong dengan mantra dan sentuhan. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar pembarong tidak mengalami trauma fisik atau mental. Pembarong yang sadar akan seringkali tidak mengingat apapun yang terjadi saat *ndadi*.
Setiap fase menunjukkan transisi spiritual dan emosional yang kompleks, menjadikan Bantengan sebuah pertunjukan yang menuntut konsentrasi spiritual yang tinggi dari seluruh anggota kelompok.


Jejak Konservasi: Bantengan di Malang, Mojokerto, dan Pasuruan

Bantengan adalah identitas tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa Timur. Walaupun kesenian ini tersebar, intensitas dan kekhasan Bantengan sangat terasa di tiga wilayah utama: Malang Raya, Mojokerto, dan Pasuruan. Masing-masing wilayah memiliki sedikit modifikasi dalam ritual dan gaya topengnya.

Bantengan Malang: Gaya Kerakyatan dan Agresif

Di Malang, Bantengan dikenal sangat agresif dan memiliki hubungan erat dengan ritus pertanian. Banyak kelompok Bantengan di Malang berasal dari daerah pegunungan yang masih memegang teguh tradisi penghormatan terhadap alam. Gaya topeng Malang cenderung lebih kasar dan besar, menonjolkan kekuatan fisik Banteng. Kelompok-kelompok di Malang seringkali mengadakan pertunjukan di area terbuka seperti sawah atau lapangan untuk merayakan panen atau membersihkan desa dari bencana. Kekuatan musik di Malang juga cenderung lebih dominan dan cepat, seolah-olah memaksa arwah untuk segera hadir. Bantengan Malang sering mengundang roh *Macan Putih* sebagai penyeimbang kekuatan Banteng.

Di Malang, terdapat banyak paguyuban Bantengan yang sangat terorganisir, dan mereka mengadakan festival rutin untuk mempertahankan kesenian ini. Mereka melihat Bantengan bukan hanya sebagai seni, melainkan sebagai olahraga spiritual, di mana kemampuan untuk mengendalikan roh jahat adalah tanda kekuatan sejati. Pengaruh topeng Barongan dari Jatim bagian utara (mirip Reog) mulai bercampur, menciptakan varian Bantengan yang lebih modern dalam aspek visual, namun esensi kerasukan tetap dipertahankan dengan ketat. Ritual *Mendem* (membuat kerasukan) di Malang terkenal paling brutal dan sulit dikendalikan.

Bantengan Mojokerto: Konservasi Filosofis dan Pakem

Mojokerto, yang merupakan pusat Kerajaan Majapahit, memiliki pendekatan yang lebih filosofis terhadap Bantengan. Di sini, kesenian ini sering dikaitkan langsung dengan kisah leluhur Majapahit. Topeng Bantengan Mojokerto cenderung lebih halus ukirannya dan memiliki pakem (aturan) yang lebih ketat mengenai jenis sesajen dan urutan tarian. Para Pawang di Mojokerto biasanya memiliki garis keturunan yang jelas dan memegang pusaka khusus untuk mengendalikan roh.

Di Mojokerto, fokus utama bukanlah kekerasan atau keagresifan, melainkan keharmonisan antara penari dan musik. Jika Banteng terlalu liar, itu dianggap sebagai kegagalan Pawang dalam mengkomunikasikan maksud ritual. Mereka meyakini bahwa roh Banteng adalah representasi dari Ruh Pangeran atau tokoh bangsawan yang menjaga wilayah, bukan sekadar roh hewan. Oleh karena itu, penghormatan dan tata krama dalam pertunjukan sangat dijaga.

Bantengan Pasuruan: Persilangan Kultural

Pasuruan terletak di persimpangan budaya Jawa Mataraman dan Pesisiran, menciptakan Bantengan yang unik. Bantengan Pasuruan seringkali menampilkan perpaduan antara gerak Jawa yang halus dan irama kendang yang dipengaruhi oleh musik pesisir (kendang kempul). Di wilayah ini, Bantengan berfungsi ganda: sebagai ritual dan sebagai hiburan rakyat. Tidak jarang Bantengan Pasuruan digabungkan dengan seni *Pencak Silat* tradisional, di mana pembarong menunjukkan keahlian bela diri saat berada dalam kondisi *ndadi*. Pengaruh Barongan Singo Ulung (dari wilayah utara) juga lebih terasa, menghasilkan topeng yang kadang-kadang merupakan hibrida antara Banteng dan Singa, melambangkan kekuatan ganda.


Tantangan Kontemporer dan Masa Depan Bantengan

Seperti kebanyakan seni tradisional yang sarat ritual, Bantengan dan Barongan menghadapi berbagai tantangan di era modern, mulai dari isu regenerasi hingga komersialisasi pertunjukan. Pelestarian kesenian ini membutuhkan upaya kolektif yang melibatkan pemerintah daerah, seniman, dan komunitas lokal.

Isu Regenerasi dan Pembaratan Budaya

Salah satu masalah terbesar adalah minimnya minat generasi muda untuk mempelajari dan menjalani laku spiritual yang diperlukan untuk menjadi pembarong atau pawang. Proses menjadi seorang pawang membutuhkan waktu bertahun-tahun, kesabaran, dan kepercayaan penuh pada tradisi leluhur, hal yang sering dianggap kuno oleh kaum muda yang terpapar budaya populer global. Banyak kelompok Bantengan kini kesulitan mencari penerus yang mampu memegang kepala Banteng atau yang memiliki kepekaan spiritual yang cukup untuk menjadi Pawang yang andal. Jika para Pawang tua ini wafat, rahasia dan mantra pengendalian roh dikhawatirkan akan hilang selamanya.

Selain itu, kondisi *ndadi* yang melibatkan kerasukan sering disalahpahami dalam konteks modern. Ada anggapan bahwa *ndadi* adalah praktik primitif atau bahkan mistis yang harus dihindari, padahal bagi komunitas, ini adalah bentuk komunikasi spiritual dan warisan yang bernilai tinggi. Upaya sosialisasi untuk menjelaskan nilai filosofis di balik kerasukan ini sangat diperlukan agar kesenian ini tidak dicap sebagai sekadar ‘atraksi klenik’.

Komersialisasi dan Degradasi Ritual

Ketika Bantengan diminta tampil dalam acara komersial (misalnya pernikahan, festival wisata, atau kampanye politik), seringkali unsur ritualistiknya harus dikurangi atau dihilangkan sama sekali demi efisiensi waktu dan hiburan. Sesajen disederhanakan, dan durasi *ndadi* dipersingkat. Degradasi ritual ini, meskipun membantu kesenian bertahan secara ekonomi, mengancam esensi spiritualnya. Para seniman tradisional harus berjuang menyeimbangkan tuntutan pasar dengan keharusan menjaga *pakem* (aturan baku) yang telah diwariskan.

Pemerintah daerah melalui dinas kebudayaan telah berupaya memasukkan Bantengan ke dalam kurikulum lokal dan mendukung festival-festival Bantengan. Tujuannya adalah untuk memberikan apresiasi resmi, mendokumentasikan pakem yang hampir punah, dan memastikan bahwa regenerasi tetap berjalan. Dukungan finansial untuk pembuatan topeng, kostum, dan pelatihan Pawang muda juga menjadi kunci keberlangsungan. Bantengan tidak hanya harus dilihat sebagai seni pertunjukan, tetapi juga sebagai cagar budaya spiritual yang harus dilindungi.

Kekuatan Kolektivitas dalam Pelestarian

Kelompok Bantengan dan Barongan selalu beroperasi sebagai komunitas, bukan individu. Kekuatan kolektivitas inilah yang menjadi benteng pelestarian. Paguyuban-paguyuban Bantengan di Jawa Timur sangat aktif dalam mengadakan pertemuan, latihan bersama, dan pertunjukan non-komersial yang bertujuan murni untuk menghormati leluhur. Mereka percaya bahwa selama musik Gamelan masih berdentum keras, selama masih ada tanah yang diinjak oleh Banteng yang *ndadi*, maka roh dan warisan leluhur akan tetap hidup dan melindungi komunitas. Kesenian ini adalah manifestasi nyata dari gotong royong spiritual dan fisik yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa.

Melalui dokumentasi yang cermat, pelatihan intensif bagi pewaris muda, dan penekanan kembali pada nilai-nilai filosofis dan spiritual yang mendasari setiap gerakan dan setiap tabuhan kendang, Bantengan dan Barongan akan terus menjadi kesenian rakyat yang perkasa dan tak lekang oleh waktu, menjadi pengingat abadi akan kekuatan alam dan roh yang menyertai perjalanan hidup masyarakat Jawa. Pertarungan antara pembarong, Pawang, dan roh yang merasuki adalah cerminan dari perjuangan hidup manusia sehari-hari untuk mencapai keseimbangan antara dunia materi dan dunia gaib.


Elaborasi Mendalam atas Unsur Mistis dan Ritual Pengendalian Diri

Tidak lengkap membahas Bantengan tanpa menggali lebih dalam aspek spiritualitasnya yang sangat kental. Praktik kerasukan, atau *ndadi*, dalam Bantengan adalah salah satu manifestasi paling ekstrem dari seni tradisi Jawa. Fenomena ini menarik perhatian tidak hanya karena visualnya yang dramatis, tetapi juga karena pertanyaan tentang bagaimana tubuh manusia bisa menahan kondisi fisik yang ekstrem—seperti memakan pecahan kaca atau menahan cambukan keras—tanpa melukai diri secara permanen.

Kunci dari ketahanan ini terletak pada keyakinan bahwa tubuh saat *ndadi* tidak lagi dikendalikan oleh kesadaran fisik, melainkan oleh entitas spiritual yang memiliki kekuatan proteksi luar biasa. Sebelum pertunjukan, Pawang seringkali akan 'mengisi' tubuh para pembarong dengan jimat atau doa-doa pelindung. Prosesi ini disebut *ngruwat* atau *sugesti*, yang secara tradisional diyakini dapat membuat kulit kebal terhadap benda tajam atau panas. Ketika roh Banteng masuk, ia membawa serta energinya yang buas sekaligus perlindungannya.

Namun, kondisi *ndadi* juga membawa risiko besar. Jika roh yang masuk adalah roh yang tidak dikenal atau jahat, pembarong bisa kehilangan kendali sepenuhnya. Inilah mengapa peran Pawang menjadi sangat vital. Pawang harus bisa membaca jenis roh yang merasuki melalui gerakan dan raungan Banteng. Jika roh terlalu liar, Pawang akan menggunakan air khusus, jimat, atau bahkan sentuhan fisik yang mengandung energi spiritual tinggi untuk 'mencabut' roh tersebut.

Salah satu tantangan paling berat bagi Pawang adalah saat roh Banteng enggan keluar. Momen ini bisa berlangsung hingga berjam-jam, di mana pembarong akan mengalami kelelahan ekstrem. Pawang harus bernegosiasi dengan roh, seringkali menjanjikan sesajen khusus atau memberikan penghormatan lebih lanjut. Keseluruhan proses ini menunjukkan bahwa Bantengan adalah sebuah dialog berkelanjutan antara manusia dan alam gaib, di mana roh dan tradisi saling menghormati dan berinteraksi dalam sebuah pertunjukan yang terstruktur rapi namun liar. Seni Bantengan adalah sekolah spiritual yang mengajarkan para pelakunya tentang batas kendali diri dan kekuatan alam semesta.

Ritual penutupan, saat roh dikeluarkan, disebut *panyudho* atau *mendem*. Pawang akan merapalkan doa penutup dan seringkali memberikan pijatan atau tepukan pada titik-titik vital di tubuh pembarong. Saat kesadaran kembali, pembarong seringkali merasa sangat haus dan lapar, sebuah efek samping dari energi fisik dan spiritual yang terkuras habis. Proses ini adalah pengingat bahwa meskipun ritual ini indah, ia menuntut pengorbanan yang tidak sedikit dari para pelakunya, menjadikannya sebuah tradisi yang penuh pengabdian dan rasa hormat yang mendalam. Keterlibatan emosional dan spiritual dari pembarong ini adalah salah satu alasan mengapa Bantengan tetap dianggap sakral dan autentik, jauh dari sekadar hiburan semata.

Dalam konteks yang lebih luas, Bantengan mewakili konsep Manunggaling Kawula Gusti, meskipun dalam interpretasi yang berbeda. Ini adalah upaya untuk menyatukan diri dengan energi leluhur atau alam liar, mencari kekuatan suci di dalam keganasan. Filosofi ini memberikan dimensi kekayaan yang tak terbatas bagi kesenian Bantengan, membedakannya dari tarian topeng lain yang mungkin hanya fokus pada narasi cerita atau estetika gerak. Setiap hembusan nafas Banteng yang sedang *ndadi* adalah doa, setiap hentakan kaki adalah janji kepada bumi.

Keseimbangan yang harus dijaga oleh setiap kelompok Bantengan adalah antara unsur *sakral* (suci) dan *profan* (duniawi). Musik yang dimainkan harus mampu membawa pembarong ke alam bawah sadar, tetapi juga harus menyenangkan penonton. Kekuatan spiritual harus nyata, tetapi tontonan harus menarik. Dinamika tarik ulur inilah yang membuat Bantengan terus relevan. Dalam setiap detail pertunjukan, mulai dari serat rambut pada topeng hingga debu yang diinjak saat *ndadi*, terdapat kisah panjang tentang spiritualitas Jawa yang tak pernah padam. Pembarong Bantengan adalah penjaga gerbang, yang memungkinkan roh leluhur sejenak mengunjungi dan memberkati dunia manusia. Mereka adalah mediator, pahlawan budaya yang menjalani laku spiritual yang berat demi kelestarian tradisi.

Kesenian Barongan, yang memiliki kesamaan dalam aspek kerasukan, seringkali mengambil wujud singa atau harimau, entitas yang memiliki status yang berbeda dalam hierarki spiritual Jawa. Jika Banteng lebih mewakili energi bumi, kerbau, dan kekuatan agraria, Barongan (Singa) sering dikaitkan dengan kekuatan kerajaan, kemewahan, dan taring. Namun, baik Bantengan maupun Barongan sama-sama menjunjung tinggi *etika* kerasukan, memastikan bahwa trance yang terjadi adalah murni dan tidak dibuat-buat. Keaslian *ndadi* adalah harga mati bagi kredibilitas kelompok seni ini di mata masyarakat pendukung tradisi.

Seiring berjalannya waktu, elemen-elemen baru mulai diserap ke dalam Bantengan. Misalnya, penggunaan properti modern atau bahkan penggabungan dengan genre musik kontemporer, namun para pelestari sejati selalu menekankan bahwa inti dari Bantengan—yaitu komunikasi dengan roh melalui irama yang membius dan gerakan yang buas—harus tetap murni. Hilangnya unsur *ndadi* akan mengubah Bantengan menjadi sekadar tarian topeng biasa, dan kehilangan semua kedalaman spiritualnya. Oleh karena itu, para seniman muda yang ingin melestarikan Bantengan dihadapkan pada tanggung jawab ganda: menjadi inovatif dalam penyajian, tetapi harus konservatif dalam ritual dan laku spiritual.

Diskusi tentang Bantengan tidak pernah lepas dari mitologi lokal. Di Malang, misalnya, ada cerita tentang Banteng yang dulunya adalah pengikut setia seorang tokoh sakti, dan ketika ia meninggal, ia berjanji akan terus menjaga desa melalui perwujudan seni Bantengan. Mitos-mitos lokal ini memperkuat ikatan emosional masyarakat terhadap pertunjukan. Ketika mereka melihat Banteng *ndadi*, mereka tidak hanya melihat penari, mereka melihat manifestasi dari janji leluhur yang sedang dipenuhi. Setiap suara *jidor* yang bertalu-talu adalah panggilan kepada memori kolektif akan sejarah dan spiritualitas tanah Jawa yang kaya.

Proses inisiasi menjadi pembarong kepala juga sangat formal. Calon pembarong harus mendapatkan restu dari Pawang atau guru spiritual. Mereka diajarkan tentang bagaimana cara 'meminta izin' kepada roh yang bersemayam di topeng sebelum memakainya, bagaimana mengendalikan rasa takut saat roh mulai masuk, dan bagaimana cara berkomunikasi dengan roh melalui gerakan tubuh. Ini adalah sekolah yang mengajarkan kesabaran, kerendahan hati, dan penguasaan diri yang ekstrem. Tanpa laku spiritual ini, topeng Bantengan dianggap 'kosong' dan tidak akan mampu memicu *ndadi* yang autentik.

Keunikan Bantengan juga terletak pada sifatnya yang egaliter. Berbeda dengan kesenian keraton yang terbatas pada lingkungan bangsawan, Bantengan adalah seni rakyat murni. Siapa pun, dari petani hingga pedagang, dapat menjadi pembarong asalkan ia memiliki kemauan dan menjalani laku spiritual yang benar. Kesenian ini menjadi ruang demokrasi spiritual, di mana kekuatan tidak ditentukan oleh harta atau gelar, melainkan oleh kemurnian niat dan kedekatan dengan alam gaib.

Oleh karena itu, ketika Bantengan dipentaskan, ia adalah sebuah peristiwa komunal. Seluruh desa berpartisipasi, baik sebagai penabuh musik, penyedia sesajen, atau penonton yang bersemangat. Ini memperkuat kohesi sosial dan spiritual. Kesenian ini mengajarkan bahwa kekuatan tradisi terletak pada partisipasi aktif masyarakat dalam melestarikan warisan yang diyakini membawa keberkahan dan perlindungan bagi seluruh wilayah. Bantengan, dengan segala keganasan dan spiritualitasnya, adalah denyut nadi budaya Jawa Timur yang tak tertandingi.

Tantangan di masa depan juga mencakup upaya digitalisasi dan dokumentasi. Kelompok-kelompok Bantengan mulai memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan pertunjukan mereka, tetapi mereka harus berhati-hati agar tidak salah menginterpretasikan aspek sakral kepada khalayak global yang mungkin tidak memahami konteks spiritualnya. Digitalisasi harus menjadi alat untuk edukasi, bukan sekadar komodifikasi. Mengabadikan mantra, notasi musik, dan tata cara ritual sebelum semuanya hilang adalah misi mendesak yang dihadapi oleh para budayawan di Jawa Timur saat ini. Dengan demikian, Bantengan akan terus melaju, membawa kekuatan roh leluhur ke masa depan.

Setiap Bantengan memiliki nama dan karakter khas yang diturunkan dari sesepuh. Nama-nama ini seringkali mencerminkan kekuatan alam seperti "Joko Segoro" (pemuda lautan) atau "Gajah Mada Sakti." Ini menunjukkan bahwa roh yang dipanggil memiliki identitas yang kuat dan unik. Ketika pembarong mengenakan topeng, ia tidak hanya menjadi 'Banteng' secara umum, tetapi menjadi entitas spesifik dengan sejarah dan kepribadiannya sendiri. Respek terhadap identitas roh ini adalah inti dari keberhasilan pertunjukan. Jika topeng diperlakukan sembarangan, diyakini roh akan marah dan menolak masuk, atau bahkan menyebabkan kecelakaan selama pertunjukan.

Kain penutup yang digunakan oleh dua orang pembarong, yang membentuk tubuh Banteng, juga memiliki makna simbolis. Kain ini seringkali berwarna hitam atau cokelat tua, melambangkan bumi dan kegelapan, tempat roh-roh berada. Gerakan menunduk dan menyeruduk melambangkan hubungan erat Banteng dengan tanah, mengais kekuatan dari bumi yang diinjak. Ini adalah pengingat bahwa kekuatan sejati berasal dari kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Pembarong harus merasakan koneksi fisik dengan tanah selama pertunjukan, seringkali mengubur kepala Banteng ke dalam lumpur atau pasir.

Kesakralan Barongan dan Bantengan juga terlihat dari perlakuan terhadap instrumen musik. Gamelan yang digunakan dalam pertunjukan ini, terutama *jidor* dan *terompet*, tidak diperbolehkan diletakkan sembarangan. Mereka diperlakukan sebagai benda pusaka, dimandikan pada waktu-waktu tertentu, dan diberi sesajen. Para penabuh musik (niyaga) juga harus menjalani laku puasa atau pantangan sebelum pertunjukan, karena mereka adalah bagian integral dari proses pemanggilan roh. Musik bukanlah sekadar iringan; ia adalah bahasa komunikasi dengan dimensi spiritual.

Melihat lebih jauh ke dalam Barongan (yang lebih dekat dengan Reog di beberapa daerah), penggunaan hiasan bulu merak atau rambut ekor kuda seringkali lebih menonjol. Barongan Singo Barong yang megah melambangkan kekuatan raja hutan, entitas yang lebih sulit didekati dan dihormati. Namun, baik Banteng maupun Barong, keduanya membawa pesan yang sama: penghormatan abadi kepada kekuatan yang lebih besar dari manusia, dan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata. Kesenian ini mengajarkan tentang dualisme: keras dan lembut, sadar dan tidak sadar, manusia dan hewan, semuanya menyatu dalam sebuah ritual tari yang intens.

Penting untuk dicatat bahwa Bantengan juga menjadi wadah ekspresi sosial. Dalam beberapa pertunjukan, terutama saat pementasan di desa, roh yang merasuki Banteng kadang-kadang menyampaikan 'pesan' atau 'nasihat' kepada warga desa melalui Pawang. Pesan ini bisa berupa peringatan tentang moralitas, ramalan tentang panen, atau kritik halus terhadap kondisi sosial. Hal ini menjadikan Bantengan sebagai fungsi sosial yang penting, bukan hanya sekadar seni, tetapi juga media komunikasi non-formal yang dihormati.

Dengan demikian, warisan Bantengan dan Barongan tidak hanya berharga karena keindahan artistiknya atau intensitas dramatisnya, tetapi karena ia adalah arsip hidup dari spiritualitas Jawa. Sebuah tradisi yang menantang batas-batas pemahaman rasional, menegaskan kembali bahwa bagi banyak orang di Jawa Timur, roh leluhur dan kekuatan alam adalah bagian yang sangat nyata dari kehidupan sehari-hari, dan kesenian inilah yang menjadi ritual penjaga keharmonisan tersebut.

Eksplorasi lebih lanjut menunjukkan bahwa varian Barongan di Jawa Tengah, khususnya Barongan Kudus dan Blora, memiliki gaya dan sejarah yang sedikit berbeda, lebih dipengaruhi oleh kisah penyebaran Islam dan konflik budaya. Meskipun ada perbedaan visual—di mana Barongan Jawa Tengah sering kali menampilkan sosok Barongan yang lebih menyerupai Singa Barong dengan taring panjang—esensi trance dan kehadiran Pawang tetap menjadi elemen sentral. Perbedaan regional ini memperkaya khazanah kesenian topeng Indonesia secara keseluruhan. Namun, di Jawa Timur, Bantengan (si kepala kerbau/banteng) tetap mendominasi, menahbiskan dirinya sebagai simbol khas kegagahan dan kebuasan yang bersumber dari energi agraria. Kekuatan yang liar dan tak terduga inilah yang terus memukau dan menghipnotis penonton.

Pada akhirnya, Bantengan adalah sebuah narasi tentang pengorbanan, keberanian, dan pengakuan. Pengakuan bahwa manusia adalah bagian kecil dari alam semesta yang luas dan penuh misteri. Pengorbanan pembarong yang menyerahkan kesadarannya, dan keberanian Pawang yang berdiri tegak menghadapi kekuatan yang tak terlihat. Semuanya terjalin dalam irama Gamelan yang sakral, menjaga api tradisi agar terus menyala di tengah gempuran modernisasi yang tak terhindarkan. Kesenian ini adalah janji abadi antara generasi sekarang dan roh leluhur yang menjaga tanah Jawa.

🏠 Homepage