Barongan, sebagai salah satu artefak kesenian tradisional Nusantara, khususnya Jawa, menyimpan segudang makna filosofis yang kompleks. Namun, di antara berbagai jenis Barongan yang dikenal, terdapat sebuah entitas yang secara spesifik memancing kontemplasi mendalam: Barongan Devil Putihan. Istilah ini sendiri mengandung dikotomi yang mencolok—Devil
(Setan atau entitas kegelapan) yang disandingkan dengan Putihan
(Putih, suci, atau spiritualitas yang murni). Penelusuran terhadap Barongan jenis ini memerlukan pandangan yang tidak hanya estetis, tetapi juga spiritual, menggali bagaimana masyarakat tradisional menginterpretasikan dan mendamaikan oposisi absolut ini dalam bingkai budaya.
Kehadiran Barongan Devil Putihan bukanlah sekadar kebetulan visual. Ia adalah representasi nyata dari filsafat Jawa kuno tentang keseimbangan kosmis, di mana kejahatan (Rwa Bhineda) tidak pernah dapat dipisahkan secara total dari kebaikan. Ia adalah cerminan bahwa kekuatan yang paling destruktif pun harus mengenakan mantel kesucian untuk dapat berinteraksi dan dihormati dalam ruang ritual. Analisis terhadap ukiran, pemilihan warna, material, dan terutama, ritual yang menyertainya, mengungkapkan sebuah lapisan naratif yang jauh lebih gelap dan lebih rumit daripada pertunjukan kesenian biasa.
Representasi Barongan Devil Putihan: Kontras antara warna dominan putih (kesucian) dan fitur agresif (devil).
Untuk memahami esensi Barongan Devil Putihan, kita harus membedah dua elemen yang kontradiktif dalam namanya. Secara harfiah, Devil
mengacu pada kekuatan jahat atau setan. Dalam konteks kebudayaan Jawa, ini sering dikaitkan dengan energi negatif, roh liar (memedi), atau bahkan manifestasi dari Buto (raksasa) yang tidak terkendali. Kekuatan ini adalah kekuatan yang destruktif, yang memerlukan kontrol spiritual yang ketat agar tidak menimbulkan malapetaka bagi komunitas.
Sementara itu, Putihan
merujuk pada warna putih, yang universalitasnya melambangkan kesucian, kemurnian, awal mula, dan spiritualitas yang tercerahkan. Dalam tradisi Jawa-Islam, putih seringkali identik dengan praktik spiritual yang lurus (laku tirakat) atau identitas santri. Dalam konteks mistis, warna putih juga bisa melambangkan dimensi astral yang tidak kasat mata, di mana roh-roh pelindung (danyang) berada.
Mengapa kekuatan iblis diselimuti oleh warna kesucian? Ini bukan sebuah ironi, melainkan sebuah pernyataan filosofis tentang cara kerja energi spiritual. Barongan Devil Putihan menyiratkan bahwa kekuatan kegelapan tersebut telah 'dijinakkan' atau 'disucikan' melalui ritual yang sangat intens. Masker putih bertindak sebagai filter atau wadah suci yang memaksa energi devil
untuk beroperasi di bawah mandat kebaikan komunal (perlindungan desa, menolak bala). Dengan kata lain, energi setan tidak dihilangkan, melainkan diarahkan. Masker ini menjadi simbol dari dualitas yang terikat: bahwa bahkan entitas terburuk pun memiliki potensi untuk melayani tujuan yang lebih tinggi, asalkan dikendalikan oleh spiritualis atau dalang yang memiliki laku (tingkat spiritual) yang memadai.
Barongan jenis ini sering diyakini memiliki kekuatan penghancur sekaligus pembersih
. Kehadirannya diyakini dapat menghancurkan kekuatan jahat lain yang berasal dari luar komunitas, namun proses penghancuran tersebut harus dilakukan dengan cara yang 'bersih'—tanpa meninggalkan residu spiritual negatif. Inilah yang membedakannya dari Barongan berwarna merah atau hitam pekat yang sering kali lebih mudah diasosiasikan dengan amarah atau hawa nafsu murni tanpa adanya lapisan penyucian.
Barongan Devil Putihan tidak dapat dipisahkan dari tradisi sinkretisme spiritual di Jawa. Sebelum pertunjukan, Barongan ini melalui serangkaian ritual yang jauh lebih ketat dibandingkan Barongan biasa. Proses ritual ini dirancang untuk mengisi
(ngisi) artefak dengan kekuatan yang seimbang, memastikan bahwa roh yang merasuk adalah roh yang bersih
meskipun kekuatannya destruktif. Pemilihan kayu, umumnya dari pohon yang dianggap sakral seperti trembesi atau beringin yang mati secara alami, adalah langkah awal yang krusial.
Dalam banyak tradisi di daerah tertentu di Jawa Timur, Barongan Devil Putihan diyakini merupakan perwujudan dari Banaspati (roh api) atau Genderuwo yang telah diikat janjinya. Putihan
di sini merujuk pada proses di mana roh-roh tersebut, yang awalnya liar dan perusak, disumpah atau 'diputihkan' janjinya melalui mantra-mantra kuno. Ritual ini melibatkan puasa yang panjang, meditasi di tempat angker (punden), dan pembacaan doa dalam jumlah ganjil. Sang pembuat atau pemelihara Barongan harus mencapai keadaan spiritualitas yang sangat tinggi, memungkinkan mereka untuk menjadi jembatan antara dunia manusia dan dunia devil
yang telah disucikan tersebut.
Pemilihan warna putih tidak hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai penanda bahwa Barongan ini memiliki fungsi sakral yang lebih tinggi dibandingkan fungsi hiburan semata. Di beberapa desa, Barongan Putihan hanya boleh ditampilkan pada saat-saat kritis, seperti upacara bersih desa, menolak wabah penyakit (pageblug), atau saat panen raya sebagai wujud syukur dan perlindungan total. Energi yang dipancarkannya dianggap terlalu kuat untuk pertunjukan rutin.
Energi mistis yang terakumulasi dalam Barongan ini memerlukan upaya spiritual yang terus-menerus. Jika pemeliharaan ritual (jamasan) diabaikan, diyakini energi negatifnya akan kembali liar, menyebabkan musibah bagi pemilik atau desa yang menaunginya. Kehati-hatian dalam merawat Barongan Devil Putihan adalah refleksi dari penghormatan terhadap kekuatan alam semesta yang harus selalu dijaga keseimbangannya. Inilah inti dari devil
yang putihan
: sebuah ancaman yang dikontrol untuk menjadi pelindung.
Secara visual, Barongan Devil Putihan menyajikan kontras yang mencolok. Meskipun didominasi warna putih gading atau putih tulang (melambangkan spiritualitas dan kesakralan), fitur-fitur wajahnya justru diukir dengan detail yang sangat agresif dan menakutkan, sesuai dengan nama Devil
yang disandangnya.
Pada Barongan biasa, rambut atau mahkota seringkali terbuat dari ijuk atau bulu merak. Pada Devil Putihan, rambutnya mungkin tetap menggunakan ijuk hitam atau merah, tetapi terkadang dibuat dari material khusus seperti serat kayu tertentu yang diyakini memiliki daya magis, atau bahkan menggunakan rambut kuda yang diberi warna putih secara ritual. Kontras antara rambut yang gelap dan wajah yang putih bersih semakin mempertegas dualitas. Mahkota atau hiasan kepala seringkali minim ornamen emas (yang biasanya melambangkan kemewahan duniawi), digantikan oleh motif ukiran sederhana yang melambangkan kekuatan primordial.
Mata adalah titik fokus yang paling menonjol. Mata Barongan Devil Putihan hampir selalu diwarnai merah menyala atau kuning pekat, seolah-olah mata tersebut dipenuhi api. Pupilnya diukir tajam, menatap lurus ke depan dengan intensitas yang mengintimidasi. Taring yang mencuat keluar dari mulut adalah simbol jelas dari sifat devil
—kekuatan yang siap memangsa atau menghancurkan. Taring ini seringkali dibuat dari tanduk kerbau atau bahkan tulang yang telah melalui proses ritual khusus, bukan sekadar kayu yang dicat.
Warna putih yang digunakan bukanlah putih bersih yang memantul, melainkan putih kusam, putih gading, atau bahkan putih yang sedikit kebiruan. Warna ini menunjukkan usia dan proses spiritual. Putih gading melambangkan kesucian yang telah mengalami ujian waktu, atau energi spiritual yang sudah 'matang'. Pelukisan putih yang tidak sempurna ini menunjukkan bahwa kesucian tersebut diperoleh melalui penaklukan—penaklukan atas diri sendiri dan penaklukan atas roh-roh jahat.
Setiap goresan dan ukiran pada Barongan Devil Putihan adalah manifestasi dari mantra yang diucapkan saat pembuatannya. Para empu atau seniman yang mengukir Barongan ini harus berada dalam kondisi puasa dan kesendirian, memastikan bahwa setiap detail ukiran menyimpan energi dan niat spiritual. Ukiran ini bukan sekadar dekorasi, melainkan rumah
bagi entitas spiritual yang dipanggil.
Representasi gerakan ekstasis dan trance yang sering terjadi saat pementasan Barongan Devil Putihan.
Inti dari pertunjukan Barongan Devil Putihan bukanlah tarian yang koreografis, melainkan manifestasi spiritual yang diwujudkan melalui trance (kesurupan). Ketika Barongan ini diaktifkan, sang penari (pembarong) memasuki kondisi kesadaran yang diubah, di mana roh atau entitas yang mendiami Barongan mengambil alih kendali tubuhnya. Dalam konteks Devil Putihan, trance ini seringkali sangat ekstrem.
Gerakan dalam keadaan trance Barongan Putihan cenderung liar, cepat, dan kuat, mencerminkan sifat devil
yang agresif. Namun, gerakan liar ini diyakini bersih
atau terkontrol, dalam artian ia tidak menyakiti penonton atau komunitas, melainkan hanya berfokus pada manifestasi kekuatannya. Seringkali, penari menunjukkan kekebalan terhadap benda tajam atau kemampuan supranatural lainnya, yang merupakan bukti fisik dari kekuatan yang telah 'disucikan' tersebut.
Iringan musik (Gamelan) memainkan peran vital dalam memanggil dan menstabilkan roh. Ritme yang digunakan untuk Barongan Devil Putihan seringkali lebih repetitif, hipnotis, dan menggunakan instrumen yang memiliki nada rendah dan berat, seperti Gong dan Kendang yang ditabuh dengan cepat dan tanpa henti. Ritme ini bertindak sebagai jangkar, memastikan bahwa roh yang masuk tetap berada dalam batas-batas ritual yang ditetapkan oleh para tetua atau spiritualis yang memimpin upacara.
Fungsi utama dari kesurupan ini dalam Barongan Devil Putihan adalah pembersihan. Dipercaya bahwa melalui manifestasi energi spiritual yang ekstrem ini, segala bentuk aura negatif yang menaungi desa atau individu dapat diserap dan dinetralkan oleh kekuatan Barongan itu sendiri, yang bertindak sebagai penyaring kosmis. Ketika roh Barongan meninggalkan tubuh penari, komunitas diyakini telah mendapatkan pemurnian secara spiritual dan fisik, sebuah proses yang hanya bisa dilakukan oleh kekuatan yang kuat, bahkan jika ia berasal dari kategori devil
.
Barongan Devil Putihan menghadapi tantangan besar dalam era modern. Sifatnya yang sangat kental dengan ritual dan mistisisme seringkali sulit dipahami oleh generasi muda yang lebih terpapar pada budaya global. Konservasi Barongan ini tidak hanya berarti melestarikan artefaknya, tetapi juga melestarikan pengetahuan esoteris (rahasia spiritual) yang melekat pada pembuatannya, perawatannya, dan pementasannya.
Salah satu ancaman terbesar adalah de-ritualisasi
. Ketika Barongan Devil Putihan dibawa ke panggung komersial atau pariwisata, fokus pada ritual puasa, mantra, dan pemurnian seringkali dikurangi atau dihilangkan. Hal ini tidak hanya mengurangi keotentikannya, tetapi juga diyakini dapat melemahkan kekuatan spiritual Barongan tersebut, mengubahnya dari artefak suci menjadi sekadar properti pentas yang indah.
Para empu dan spiritualis yang masih memegang teguh tradisi Barongan Devil Putihan ini semakin berkurang jumlahnya. Pengetahuan tentang bagaimana cara mengikat
roh 'devil' agar menjadi 'putihan' adalah ilmu turun temurun yang sensitif dan tidak tertulis. Kehilangan satu spiritualis senior dapat berarti hilangnya seluruh rangkaian ritual yang memastikan Barongan ini berfungsi sebagai pelindung komunal yang sah.
Oleh karena itu, upaya konservasi harus melibatkan dokumentasi mendalam tidak hanya terhadap bentuk fisiknya, tetapi juga terhadap narasi ritualistik yang mengelilinginya. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa dikotomi Devil Putihan
tetap relevan, sebagai pengingat filosofis bahwa kekuatan tersembunyi yang paling ekstrem pun harus diarahkan menuju cahaya dan perlindungan.
***
Konsep ‘Putihan’ dalam Barongan ini tidak hanya merujuk pada warna fisik, tetapi juga pada lapisan spiritual yang mendalam, berakar kuat dalam ajaran kebatinan Jawa. Dalam tradisi Kejawen, putih seringkali dikaitkan dengan Sukma Sejati, jiwa murni yang belum terkontaminasi oleh nafsu duniawi. Ketika Barongan yang secara inheren mewakili kekuatan liar dan hawa nafsu (Devil) dipaksa untuk mengenakan warna Putihan, ini melambangkan proses transformasi internal yang sangat sulit dan rumit.
Barongan Devil Putihan adalah sebuah representasi visual dari usaha spiritual tertinggi: menaklukkan kegelapan terdalam di dalam diri dan memanfaatkannya untuk kebaikan. Ini adalah upaya untuk mencapai keselarasan, bukan penghapusan. Ia mengajarkan bahwa setan (dalam konteks psikologis: ego, amarah, keserakahan) harus diakui keberadaannya, dikuasai, dan kemudian ditransmutasikan menjadi energi pelindung. Jika ego ini dihancurkan total, maka kekuatan yang dihasilkan tidak akan memiliki daya dorong. Jika ego ini dilepaskan tanpa kontrol, ia akan merusak. Putihan adalah mekanisme kontrol supranatural.
Para spiritualis yang terlibat dalam penciptaan atau pengisian Barongan ini sering kali berpuasa putih, yaitu hanya makan nasi putih dan air, selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Laku ini secara langsung mencerminkan warna dan nama artefak yang mereka ciptakan. Mereka memproyeksikan kemurnian dan ketahanan spiritual mereka ke dalam kayu Barongan, sehingga kekuatan devil
yang masuk terpaksa tunduk pada kemurnian energi spiritual si empu. Masker itu sendiri menjadi jimat raksasa yang menampung roh yang terikat janji suci.
Dalam konteks desa, Barongan Devil Putihan seringkali dikaitkan erat dengan Danyang—roh penjaga leluhur yang melindungi wilayah tersebut. Danyang sendiri sering digambarkan sebagai entitas yang sangat kuat, kadang-kadang menakutkan, tetapi bertujuan baik. Barongan Putihan menjadi kendaraan sementara bagi Danyang untuk bermanifestasi dan membersihkan desa dari kekuatan asing atau penyakit. Danyang, meskipun memiliki kekuatan layaknya 'devil' (kekuatan alam yang menakutkan), memiliki misi 'putihan' (melindungi keturunan). Jadi, Barongan ini menjembatani energi Danyang yang liar namun suci.
Setiap detail ukiran, termasuk kerutan di dahi Barongan, gigi-gigi yang tidak rata, dan posisi lidah yang terjulur, memiliki kode numerik dan simbolis yang hanya dipahami oleh para ahli waris tradisi tersebut. Kode ini berfungsi sebagai kunci spiritual untuk mengundang entitas yang tepat. Kesalahan sedikit saja dalam prosesi ritual atau ukiran dapat menyebabkan roh yang masuk adalah roh liar yang belum terikat, yang dampaknya bisa sangat berbahaya.
Perawatan Barongan Devil Putihan jauh melampaui sekadar membersihkan debu. Proses Jamasan (mandi pusaka) untuk Barongan ini dilakukan pada waktu-waktu khusus, umumnya pada bulan Suro (Muharram) atau hari-hari yang dianggap baik dalam kalender Jawa. Minyak Putihan
—minyak khusus yang diracik dari bunga-bunga tertentu dan telah diisi dengan mantra—digunakan untuk mengolesi seluruh permukaan Barongan, menjaga agar auranya tetap suci dan kuat.
Selama Jamasan, Barongan diperlakukan layaknya manusia yang hidup. Ia diselimuti kain kafan putih, menandakan statusnya yang telah disucikan dan dipisahkan dari alam duniawi biasa. Ritual ini memastikan bahwa kekuatan devil
dalam dirinya tetap berada dalam bingkai putihan
. Proses ini melibatkan sesajen yang kompleks, termasuk kembang tujuh rupa, kopi pahit, rokok tanpa filter, dan nasi tumpeng, yang semuanya berfungsi sebagai persembahan untuk memuaskan entitas yang menghuni Barongan.
Pengisian ulang kekuatan atau Ngisi adalah proses periodik di mana spiritualis memperbaharui ikatan antara roh Barongan dan topeng itu sendiri. Dalam ritual ini, terkadang digunakan media darah hewan kurban (meskipun tidak selalu), yang melambangkan kekuatan kehidupan yang diserahkan untuk memelihara kekuatan spiritual Barongan. Kontrasnya, ritual penutup selalu melibatkan pembacaan doa yang lembut dan tenang, menegaskan dominasi aspek putihan
pada akhir setiap siklus ritual.
Pemilik Barongan Devil Putihan sering melaporkan fenomena akustik di sekitar artefak. Barongan diyakini dapat mengeluarkan suara menggeram, tawa, atau bahkan derap langkah saat malam hari, terutama jika rohnya merasa terganggu atau jika ada bahaya mendekat ke komunitas. Bunyi-bunyi ini dipercaya sebagai manifestasi dari sifat devil
yang meskipun terikat oleh janji suci, tetap merupakan entitas yang hidup dan waspada, siap mempertahankan wilayah suci yang dilindungi oleh warna putihnya.
Kisah-kisah turun temurun juga menyebutkan bahwa penari yang mengenakan Barongan Devil Putihan harus memiliki garis keturunan spiritual tertentu, atau setidaknya telah menjalani laku berat. Jika penari tidak memiliki kemurnian spiritual yang cukup, energinya akan ditolak oleh Barongan, yang bisa berakibat pada kegagalan trance atau bahkan bencana fisik bagi penari itu sendiri. Barongan ini menuntut penghormatan absolut terhadap spiritualitas putihan
yang mengikatnya.
Penting untuk membedakan Barongan Devil Putihan dari varian Barongan lainnya, terutama yang dominan merah atau hitam. Barongan Merah (seperti Barongan Singo Barong pada umumnya) seringkali melambangkan keberanian, amarah, dan hawa nafsu yang terbuka (nafsu amarah). Barongan Hitam sering melambangkan kekuatan mistis yang murni dan primordial (nafsu luamah) tanpa penjinakan yang kentara.
Barongan Devil Putihan berdiri di tengah. Warna putihnya menempatkannya dalam kategori Singo Barong yang disucikan
. Meskipun kekuatannya sama besar atau bahkan lebih besar dari Barongan Merah dan Hitam (karena harus mengontrol dua ekstrem sekaligus), fungsinya jauh lebih terikat pada ritual perlindungan sakral dibandingkan pertunjukan yang bersifat hedonistik atau perayaan biasa. Barongan Putihan jarang menampakkan kegembiraan yang terbuka; ia lebih sering menampilkan keseriusan dan aura berat yang menekan.
Secara struktur, Barongan Putihan mungkin memiliki ukuran yang lebih besar dari rata-rata, seolah-olah ukuran fisiknya harus sebanding dengan besarnya kekuatan spiritual yang ditahannya. Penggunaan kain penutup (kelambu) pada bagian tubuh penari pun seringkali berwarna putih atau kuning gading, menjauhkan segala warna yang berpotensi memancing gairah atau nafsu duniawi, menegaskan tujuan spiritual murni dari pertunjukan.
Dalam pertarungan simbolis dalam sebuah pementasan, Barongan Putihan seringkali tampil sebagai penengah atau pemusnah akhir dari segala kekacauan, bukan sebagai pembuat kekacauan. Ia membersihkan panggung setelah pertarungan antara Bopo (karakter manusia) dan Barongan Merah/Hitam yang saling menyerang. Fungsi ini menegaskan kembali peran Barongan Devil Putihan sebagai kekuatan pemurnian tertinggi dalam hierarki pertunjukan.
Kehadiran Barongan Devil Putihan memiliki dampak psikologis yang mendalam bagi masyarakat desa. Ia berfungsi sebagai katarsis kolektif. Ketika Barongan ini diaktifkan, rasa takut terhadap roh jahat dan ketidakpastian hidup secara kolektif dihadapkan dan diatasi melalui manifestasi kekuatan yang terkontrol ini. Masyarakat merasa aman, karena mereka tahu bahwa kekuatan devil
di desa mereka telah dibungkus
oleh kesucian dan bekerja untuk mereka.
Secara sosiologis, pemeliharaan Barongan Devil Putihan seringkali menjadi tanggung jawab komunal. Organisasi yang mengurus Barongan ini biasanya diisi oleh individu yang paling dihormati dan memiliki kedudukan spiritual tinggi dalam masyarakat. Hal ini memperkuat struktur sosial desa dan memberikan rasa identitas kolektif yang unik, membedakan mereka dari desa lain yang mungkin hanya memiliki Barongan dengan fungsi hiburan semata.
Dalam diskusi sehari-hari, masyarakat seringkali menghindari penyebutan Barongan ini secara langsung dengan nama penuh. Mereka menggunakan istilah halus seperti Singo Putih
atau Mbah Barong
(Kakek Barong) untuk menunjukkan penghormatan dan menghindari provokasi terhadap roh yang menghuninya. Etika ini merupakan bagian integral dari tradisi putihan
—menjaga agar interaksi dengan entitas kuat ini selalu diliputi kesopanan dan kesadaran spiritual.
Gambaran batas spiritual: Kekuatan Devil (merah) yang dikelilingi dan dikontrol oleh Kesucian (putih/garis batas).
Di tengah arus globalisasi, representasi Barongan Devil Putihan menjadi semakin penting sebagai penanda identitas budaya yang resisten terhadap homogenisasi. Meskipun harus berjuang untuk mempertahankan ritual rahasianya, ada upaya untuk memperkenalkan filosofi Barongan ini ke dunia luar, namun dengan seleksi dan kontrol yang ketat oleh para pemangku adat.
Para seniman kontemporer mulai mengambil inspirasi dari dikotomi Barongan Devil Putihan dalam karya-karya modern mereka, menghadirkan kembali narasi tentang kekuatan gelap yang dikendalikan oleh moralitas yang tinggi. Ini adalah cara bagi tradisi untuk tetap hidup, meskipun bentuk ekspresinya mungkin telah bergeser dari ritual sakral menuju interpretasi seni.
Namun, tantangan terbesar tetaplah pendanaan dan pengakuan dari pemerintah daerah. Artefak yang diyakini memiliki nilai mistis seringkali luput dari program pelestarian yang berfokus pada kesenian murni. Barongan Devil Putihan membutuhkan status khusus; ia bukan hanya seni pertunjukan, melainkan juga warisan spiritual tak benda yang harus dilindungi secara holistik, mencakup mantra, ritual, dan laku spiritual di baliknya.
Pelestarian yang berhasil akan melibatkan pembentukan komunitas belajar yang tertutup (padepokan atau sanggar) di mana pengetahuan ngisi dan jamasan dapat diajarkan kepada penerus yang telah teruji kemurnian niat dan mentalitasnya. Jika tradisi putihan
ini hilang, maka yang tersisa hanyalah devil
yang tak terkendali—sebuah topeng kosong tanpa roh pelindung yang membuatnya suci dan bermanfaat bagi masyarakat.
Material yang membentuk Barongan Devil Putihan tidak dipilih secara acak. Pemilihan kayu dari pohon-pohon yang telah mencapai usia tua dan memiliki aura spiritual yang kuat adalah syarat mutlak. Misalnya, penggunaan kayu beringin yang dianggap sebagai pohon kehidupan
atau tempat bersemayamnya roh leluhur. Kayu ini harus diambil melalui ritual tertentu, meminta izin kepada penunggu pohon (Dhanyangan), dan seringkali hanya dipotong menggunakan perkakas tradisional.
Barongan yang paling sakral seringkali merupakan warisan berusia ratusan tahun. Umur yang panjang ini bukan hanya menambah nilai historis, tetapi juga nilai spiritual. Semakin tua Barongan, semakin banyak ritual dan energi yang telah diserapnya. Kayu tua ini menjadi keras, bukan karena proses pengeringan biasa, melainkan karena pengerasan spiritual
yang dihasilkan dari ratusan kali jamasan dan pengisian mantra. Warna putih gading yang muncul pada Barongan tua seringkali bukan sekadar cat, melainkan patina alami dari minyak dan zat persembahan yang telah meresap selama berabad-abad.
Proses pewarnaan putih juga tidak menggunakan cat modern. Secara tradisional, digunakan bubuk tulang halus, kapur khusus yang diambil dari goa sakral, atau campuran mineral putih lainnya. Campuran ini harus dicampur dengan air yang diambil dari tujuh sumber mata air suci atau air hujan yang dikumpulkan pada malam Suro. Ini memastikan bahwa warna putih yang melapisi Barongan benar-benar membawa sifat putihan
(kesucian) yang diinginkan.
Ukiran pada Barongan Putihan seringkali lebih mendalam dan ekspresif di sekitar area mata dan mulut, karena area-area inilah yang menjadi pintu masuk manifestasi roh. Pahatan dibuat dengan niat untuk menangkap ekspresi antara amarah yang menakutkan dan ketenangan yang terkontrol—sebuah ekspresi yang sulit dicapai tanpa melibatkan emosi spiritual si pengukir.
Dalam tradisi Jawa kuno, angka memiliki kekuatan mistis. Pembuatan Barongan Devil Putihan sangat terikat pada hitungan-hitungan tertentu. Misalnya, jumlah serat pada ijuk rambut mungkin harus ganjil (seperti 1, 3, 5, 7, atau 9) karena angka ganjil melambangkan kekuasaan yang tunggal dan tidak terbagi. Panjang tali kendali Barongan (jika ada) mungkin harus diukur dalam satuan yang sesuai dengan hitungan weton Jawa dari dalang atau pemiliknya.
Mantra (japa) yang digunakan untuk mengisi Barongan ini seringkali diulang dalam jumlah yang sangat spesifik, misalnya 41 kali, 99 kali, atau bahkan 1000 kali dalam semalam. Mantra-mantra ini merupakan kombinasi dari bahasa Sanskerta kuno, bahasa Jawa Kuno, dan terkadang serapan dari ayat-ayat suci yang telah disesuaikan dengan konteks spiritual lokal. Fungsi utama mantra-mantra ini adalah memagari
Barongan, memastikan bahwa roh devil
yang bersemayam tidak dapat melarikan diri atau membawa bencana di luar batas-batas ritual.
Aspek Putihan
juga tercermin dalam jenis mantra yang dipilih. Meskipun mantra-mantra tersebut kuat dan bersifat mengikat, mereka selalu diakhiri dengan permohonan agar kekuatan tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat (slametan). Ini adalah penegasan final dari niat suci yang menyelimuti kekuatan Barongan, menjadikannya pelindung yang ditakuti sekaligus dihormati.
Semua detail ini—dari pemilihan kayu yang sakral, pewarnaan yang ritualistik, hingga hitungan mantra yang presisi—menegaskan bahwa Barongan Devil Putihan adalah sebuah pusaka hidup yang memerlukan dedikasi total. Ia adalah warisan tentang bagaimana masyarakat Jawa kuno menghadapi dualitas kosmik: bukan dengan menolak kegelapan, tetapi dengan menundukkannya di bawah panji kesucian, menjadikannya penjaga yang abadi.
Kekuatan Barongan Putihan terletak pada janji suci yang mengikat rohnya. Jika janji itu terpenuhi, ia adalah pelindung tak terkalahkan. Jika janji itu dilanggar, ia menjadi ancaman paling besar. Inilah misteri abadi dari Devil yang telah menjadi Putihan.
Pembarong yang diizinkan untuk membawakan Barongan Devil Putihan harus menjalani proses seleksi yang ketat, tidak hanya berdasarkan kemampuan fisik mereka dalam menopang Barongan yang berat, tetapi juga pada kekuatan spiritual dan mental mereka. Seorang pembarong Barongan Putihan harus memiliki isi
(kekuatan batin) yang seimbang. Mereka harus mampu menahan gempuran energi devil
yang liar, sambil mempertahankan kendali spiritual putihan
.
Proses pemberkatan
atau inisiasi seorang pembarong seringkali melibatkan ritual yang keras, termasuk berendam di sungai atau air terjun pada tengah malam, berjalan di atas bara api, atau menjalani masa pengasingan (uzlah) di tempat sepi. Tujuan dari semua ini adalah untuk mengosongkan
diri dari ego duniawi, membuat tubuh mereka menjadi wadah yang netral dan bersih, siap untuk diisi oleh entitas Barongan yang sudah disucikan.
Risiko yang dihadapi pembarong Barongan Devil Putihan sangat tinggi. Jika kekuatan roh Barongan lebih besar daripada kekuatan spiritual pembarong, ia bisa mengalami kerusakan mental atau fisik permanen. Oleh karena itu, pembarong ini memegang kewajiban spiritual seumur hidup: menjaga pola hidup bersih, menjauhi larangan (pantangan) yang ditetapkan oleh leluhur Barongan, dan secara rutin melakukan meditasi untuk memperkuat benteng batin mereka.
Ketika trance terjadi, masyarakat sering melihat bahwa ekspresi pembarong berubah total. Dari wajah yang tenang dan ramah, menjadi ekspresi yang keras, mata melotot, dan suara yang menggeram. Perubahan ini menunjukkan transisi dari kesadaran manusia biasa ke manifestasi roh devil
yang disucikan. Namun, di tengah kegarangan itu, terdapat batasan yang tak terlihat. Batasan inilah yang memastikan bahwa Barongan Putihan tidak menyerang sembarang orang, melainkan hanya menargetkan energi negatif atau roh jahat yang mengganggu.
Pakaian yang dikenakan oleh para pengiring dan pembarong Barongan Devil Putihan juga memiliki simbolisme putihan
. Pakaian dominan seringkali berwarna putih, hitam, atau kuning gading. Warna hitam melambangkan kekuatan bumi dan netralitas, sedangkan putih melambangkan langit dan kesucian. Kombinasi ini menegaskan kembali peran Barongan sebagai penghubung antara dunia atas dan dunia bawah, dengan fokus pada pemurnian.
Tidak jarang Barongan Devil Putihan didampingi oleh pusaka lain, seperti keris atau tombak, yang juga dilapisi warna putih atau perak kusam. Pusaka ini berfungsi sebagai ekstensi dari kekuatan Barongan, membantu dalam ritual pengusiran roh. Keris yang mendampingi seringkali memiliki pamor yang diyakini menolak bala (seperti pamor wos wutah), menambah lapisan perlindungan spiritual pada seluruh ansambel pertunjukan.
Penggunaan selendang atau kain putih yang dililitkan di leher Barongan adalah tradisi umum. Selendang ini bukan sekadar hiasan, melainkan tali pengikat
yang secara ritual menahan energi Barongan agar tetap stabil. Setiap kali Barongan bergerak dengan liar, selendang ini secara simbolis mengingatkan roh di dalamnya tentang janji putihan
yang telah diucapkannya.
Konsep Barongan Devil Putihan tidak statis; ia memiliki variasi regional yang kaya, tergantung pada daerah spesifik di Jawa Timur dan Jawa Tengah tempat ia berasal. Meskipun inti filosofisnya tetap sama (keseimbangan antara kegelapan dan kesucian), manifestasi visual dan ritualnya dapat berbeda.
Di daerah pesisir, di mana pengaruh Islam lebih kuat, Barongan Devil Putihan mungkin menampilkan hiasan yang lebih sederhana, dan mantra yang digunakan mungkin lebih banyak mengandung unsur doa berbahasa Arab yang telah diintegrasikan (sinkretis) ke dalam tradisi lokal. Devil
di sini mungkin lebih merujuk pada jin kafir yang diislamkan, dan Putihan
adalah simbol dari proses spiritualisasi Islam.
Di wilayah pedalaman atau pegunungan, di mana tradisi Kejawen masih sangat kental, Barongan Putihan cenderung lebih liar dalam ukiran dan lebih berat dalam ritual sesajen. Devil
lebih erat kaitannya dengan roh-roh gunung atau penunggu hutan yang memiliki kekuasaan atas alam. Di sini, kekuatan putihan
adalah hasil dari penaklukan oleh dukun atau spiritualis terkuat di desa.
Masing-masing varian ini menegaskan fleksibilitas budaya Jawa dalam menginterpretasikan dikotomi kosmik. Barongan Devil Putihan adalah bukti nyata bahwa warisan budaya Nusantara adalah sebuah sistem kepercayaan yang kompleks, di mana dualitas tidak dilihat sebagai konflik yang harus diselesaikan, melainkan sebagai pasangan energi yang harus diharmonisasikan demi kesejahteraan komunitas.
Dalam setiap gerakan, setiap ukiran, dan setiap ritual yang mengiringi Barongan Devil Putihan, tersimpan pelajaran abadi: bahwa kekuatan terbesar bukanlah kekuatan yang menghancurkan, melainkan kekuatan yang mampu menahan dan mengarahkan sifat destruktifnya sendiri menuju tujuan yang lebih mulia dan suci.
Ia adalah manifestasi seni yang mengajarkan bahwa di balik topeng yang paling menakutkan, jika diritualkan dengan benar, terdapat janji perlindungan yang murni. Inilah esensi abadi dari Barongan Devil Putihan.
***
Warna putih yang menjadi ciri khas Barongan Devil Putihan bukanlah sekadar pigmen, tetapi sebuah lapisan metafisik. Dalam seni spiritual Jawa, warna putih memiliki resonansi yang berbeda dari warna lain. Putih sering kali dikaitkan dengan nur
(cahaya ilahi) atau energi yang belum terwujud. Ketika energi devil
(yang biasanya diidentikkan dengan warna panas seperti merah dan hitam, atau warna gelap seperti cokelat tua) diselimuti oleh putih, ini menciptakan ketegangan visual dan spiritual yang unik.
Dalam beberapa Barongan Devil Putihan yang sangat tua, warna putihnya bahkan terlihat transparan atau sedikit keperakan, memberikan kesan bahwa kekuatan di dalamnya hampir tidak berwujud atau berasal dari dimensi yang lebih tinggi. Efek visual ini memperkuat narasi bahwa roh yang bersemayam bukanlah sekadar roh liar di bumi, melainkan entitas yang telah melalui proses pemurnian kosmis, siap untuk bertindak sebagai mediator kekuatan supranatural.
Meskipun dominan putih, kontras yang digunakan pada mata, taring, dan lidah Barongan Putihan sangat penting. Warna merah yang menonjol pada mata (melambangkan amarah dan kekuatan) dan warna hitam pada garis-garis penegas ukiran (melambangkan kegelapan primordial) adalah pengingat visual bahwa sifat devil
masih ada, namun kini berada di bawah kendali ketat mantel putihan
. Kontras ini mencegah topeng terlihat suci sepenuhnya, menjaga aura menakutkan yang diperlukan untuk menolak bala.
Detail pada bagian gigi seringkali dilapisi dengan warna perak atau emas kusam, yang melambangkan kekayaan spiritual (bukan duniawi) yang diperoleh melalui penaklukan roh. Setiap titik warna di Barongan Devil Putihan adalah sebuah aksen yang menceritakan kisah pertarungan spiritual, di mana kesucian akhirnya berhasil mengendalikan potensi kehancuran. Keseluruhan visual Barongan ini adalah pelajaran etika dalam seni ukir.
Tarian yang dibawakan oleh Barongan Devil Putihan sangat berbeda dari tarian Reog Ponorogo biasa yang lebih menekankan pada kekuatan fisik dan keindahan gerak. Tarian Putihan lebih banyak mengandung elemen gerak transenden
. Gerakannya tidak selalu mengikuti irama gamelan secara linear, melainkan seringkali terputus-putus, cepat, dan tiba-tiba, meniru gerakan entitas non-manusia.
Saat Barongan Putihan bergerak, penekanan diletakkan pada kepala dan mata yang berputar cepat, menyapu pandangan ke segala arah. Ini melambangkan penyisiran
spiritual, di mana roh Barongan sedang mencari atau mengusir kekuatan jahat yang mungkin bersembunyi di sekitar lokasi pertunjukan. Gerakan kepala yang agresif ini adalah manifestasi dari sifat devil
yang sedang menjalankan tugas putihan
(pembersihan).
Interaksi Barongan Devil Putihan dengan penonton juga terbatas dan sangat hati-hati. Tidak seperti Barongan biasa yang mungkin berinteraksi secara jenaka atau mengintimidasi, Barongan Putihan cenderung menjaga jarak. Jika ia mendekat, itu biasanya untuk menyentuh
atau memberkati
individu tertentu yang diyakini membutuhkan pembersihan spiritual, atau untuk memberikan peringatan kepada seseorang yang dianggap membawa niat buruk. Sentuhan Barongan Putihan ini diyakini membawa energi penyembuhan yang kuat, hasil dari proses penyucian yang telah dilaluinya.
Pada puncak pertunjukan, Barongan Putihan seringkali melakukan gerakan diam yang panjang, berdiri tegak tanpa bergerak selama beberapa waktu. Momen keheningan ini adalah saat roh Barongan diyakini sedang mencapai puncak kekuatannya, menyerap semua energi negatif di area tersebut sebelum melepaskannya kembali sebagai aura perlindungan. Keheningan yang menakutkan ini adalah kesaksian paling jelas dari kekuatan putihan
yang tersembunyi di balik raut devil
.
Di pasar kolektor, Barongan Devil Putihan memiliki nilai yang sangat tinggi, namun nilainya ini tidak hanya diukur dari kelangkaan materialnya. Nilai utamanya terletak pada isi
atau energi spiritual yang dikandungnya, serta garis keturunan spiritual dari empu yang membuatnya. Barongan yang telah terbukti dapat melakukan fungsi spiritualnya (misalnya, melindungi desa dari wabah) dihargai sebagai pusaka tak ternilai, jauh melampaui nilai moneternya.
Banyak pemilik Barongan Putihan menolak untuk menjualnya, menganggapnya sebagai penjaga keluarga atau desa yang tidak dapat digantikan. Jika pun dijual, transaksinya seringkali melibatkan ritual serah terima yang rumit, memastikan bahwa roh Barongan setuju untuk pindah tangan. Transfer Barongan ini bukan hanya transfer kepemilikan, tetapi transfer tanggung jawab spiritual yang sangat berat.
Setiap Barongan Devil Putihan adalah sebuah kitab sejarah bergerak, merekam melalui ukiran dan energinya semua peristiwa yang pernah dilaluinya: krisis, perayaan, dan perubahan zaman. Melalui pemeliharaan yang cermat, warisan ini terus bercerita tentang dualitas yang tak terhindarkan dalam hidup, dan tentang upaya manusia untuk menyucikan yang liar, mengubah yang jahat menjadi pelindung.
Barongan Devil Putihan berdiri sebagai salah satu artefak budaya paling menarik di Nusantara. Ia memaksa kita untuk melihat melampaui definisi sederhana tentang baik dan jahat. Ia mengajarkan bahwa kekuatan terkuat untuk menolak bahaya mungkin harus datang dari sumber yang paling menakutkan, asalkan sumber tersebut telah ditundukkan oleh laku spiritual dan niat murni. Putihan bukanlah ketiadaan devil; ia adalah kemenangan atas devil, sebuah penjinakan yang diabadikan dalam kayu dan cat.
Eksistensi Barongan ini merupakan validasi terhadap filsafat keseimbangan kosmis Jawa, di mana kegelapan (devil) dan cahaya (putihan) harus ada untuk saling mendefinisikan dan saling menguatkan. Melalui tarian trance, ritual yang ketat, dan dedikasi spiritual para pemeliharanya, Barongan Devil Putihan terus berfungsi sebagai benteng spiritual, menjaga keseimbangan antara kekacauan dan keteraturan, antara ancaman dan perlindungan, sebuah cermin abadi dari jiwa budaya yang kompleks dan mendalam.
***
Filosofi di balik Barongan Devil Putihan mencakup pemahaman tentang regenerasi spiritual. Ketika sebuah Barongan Putihan menjadi terlalu tua atau rusak parah sehingga tidak mungkin diperbaiki, roh yang menghuninya diyakini harus ditransfer ke Barongan yang baru. Proses transfer ini, yang dikenal sebagai nyuwuk atau mindah isi, adalah ritual yang paling sakral dan paling berbahaya.
Barongan lama tidak dibuang; ia diperlakukan dengan hormat dan dikuburkan dalam ritual khusus, seringkali di bawah pohon beringin di lokasi yang dianggap keramat, seolah-olah mengembalikan roh ke pangkuan alam. Barongan baru, yang telah diukir dengan ketepatan ritualistik yang sama, kemudian menerima transfer kekuatan. Ini memastikan bahwa energi Devil Putihan
—kekuatan liar yang disucikan—tidak pernah hilang dari komunitas, melainkan diperbaharui dalam wadah yang baru. Proses regenerasi ini menegaskan bahwa yang diwariskan bukanlah kayu, melainkan kekuatan spiritual dan janji suci yang mengikatnya.
Keseluruhan siklus hidup Barongan Devil Putihan, dari pemilihan kayu, ritual pengukiran, pengisian roh, pementasan, hingga regenerasi, adalah sebuah narasi spiritual epik. Ia adalah penanda kebudayaan yang mengajar bahwa untuk mencapai kesucian dan perlindungan sejati, seseorang harus berani menghadapi dan menguasai devil
yang paling kuat—yaitu ego dan nafsu di dalam diri sendiri.
Keseimbangan antara aura menakutkan dan kesucian adalah rahasia abadi yang menjadikan Barongan Devil Putihan sebagai salah satu puncak pencapaian seni dan spiritualitas tradisional Nusantara. Kekuatan itu terus bergema, menuntut penghormatan, dan menjamin perlindungan bagi mereka yang menjaga janji putihan
.
***
Penelusuran ini menegaskan bahwa Barongan Devil Putihan bukan hanya ikon visual; ia adalah perpustakaan hidup dari pengetahuan mistis, estetika yang terkontrol, dan filsafat etika yang mendalam. Ia berdiri tegak sebagai simbol dari kekuatan yang harus dihormati, dikendalikan, dan disucikan, memastikan bahwa warisan penjaga spiritual ini terus mengawasi dan memberkati komunitasnya dari generasi ke generasi. Setiap detail kecil pada Barongan ini adalah manifestasi dari janji suci yang tak lekang oleh waktu, sebuah janji antara kegelapan dan cahaya, antara devil
dan putihan
.
Setiap guratan pada permukaan kayu Barongan Devil Putihan menceritakan kisah pertarungan batin antara kehendak manusia untuk mencapai kesucian dan godaan abadi dari kekuatan liar. Tekstur kasar dari ukiran wajahnya, yang terkadang sengaja dibuat tidak simetris, melambangkan perjuangan yang tidak pernah selesai dalam menaklukkan ego. Ketidaksempurnaan ini, paradoksnya, adalah yang membuat Barongan tersebut sempurna secara spiritual—karena ia merefleksikan kenyataan bahwa kesucian dicapai melalui proses yang sulit, bukan melalui kelahiran yang murni tanpa cela.
Kekuatan pengikat yang ada pada Barongan ini adalah hasil dari sinkretisme yang rumit, sebuah perpaduan unik antara animisme kuno, kepercayaan Hindu-Buddha, dan pengaruh spiritual Islam yang semuanya bertemu dalam satu titik fokus. Para pembuat Barongan ini seringkali dikenal sebagai sosok yang sangat tertutup, menjalani hidup dalam pengasingan spiritual yang ketat, memastikan bahwa tangan mereka yang mengukir adalah tangan yang bersih dari dosa dan niat buruk. Ini adalah jaminan kualitas spiritual yang dipegang teguh oleh komunitas pemelihara pusaka.
Ritual pembacaan mantra yang mengiringi setiap tahapan pembuatan Barongan Devil Putihan selalu dilakukan pada waktu-waktu yang dianggap keramat, seperti sepertiga malam terakhir, di bawah naungan bulan purnama atau pada malam Kliwon. Pemilihan waktu ini diyakini memaksimalkan penyerapan energi kosmis. Energi bulan, yang dikaitkan dengan kekuatan air dan ketenangan, digunakan untuk menyeimbangkan energi matahari yang dikaitkan dengan panas dan amarah. Keseimbangan ini adalah inti operasional dari Barongan Putihan, memastikan kekuatan devil
tidak terbakar habis oleh amarah tetapi dikontrol oleh ketenangan yang dingin.
Peran Barongan Devil Putihan dalam ekologi spiritual desa juga sangat spesifik. Ia bukan hanya pelindung melawan roh jahat dari luar, tetapi juga penjaga moralitas internal komunitas. Kehadirannya diyakini dapat mendeteksi kebohongan, ketidakjujuran, dan niat jahat di antara warga desa itu sendiri. Oleh karena itu, pementasannya terkadang berfungsi sebagai pengadilan
spiritual, di mana kebenaran terungkap melalui manifestasi trance yang tidak dapat dibohongi. Ini menunjukkan bahwa putihan
memiliki fungsi penegakan kebenaran yang kejam dan jujur.
Tradisi menempelkan perhiasan kecil—seperti koin kuno atau batu akik—pada bagian tersembunyi Barongan Devil Putihan juga umum dilakukan. Benda-benda ini berfungsi sebagai tambahan kekuatan
atau persembahan fisik yang terus-menerus kepada roh. Setiap perhiasan yang ditambahkan harus melalui ritual pemurnian, memastikan bahwa ia tidak membawa energi negatif yang dapat mengkontaminasi sifat putihan
dari Barongan tersebut. Detail-detail kecil ini adalah bagian dari protokol pemeliharaan yang kompleks.
Kesucian yang dilambangkan oleh warna putih juga meluas ke area yang digunakan untuk menyimpan Barongan ini. Ruangan penyimpanan harus bersih, sunyi, dan seringkali diberi sesajen harian. Ruangan itu disebut sebagai kamar agung
atau pasemuan
, sebuah tempat yang dihormati layaknya kuil kecil. Barongan ini tidak boleh diletakkan di lantai atau diperlihatkan tanpa seizin pemimpin spiritual, menekankan kembali statusnya sebagai pusaka hidup, bukan sekadar benda seni. Pelanggaran terhadap etika penyimpanan dapat menyebabkan Barongan marah
dan melepaskan energi liarnya, menjadi ancaman nyata bagi komunitas yang gagal menghormatinya.
Perbedaan antara Barongan Putihan dan topeng putih lainnya terletak pada intensitas spiritual yang dimasukkan. Meskipun ada topeng putih yang hanya digunakan untuk komedi atau tarian ringan, Barongan Devil Putihan selalu membawa beban sejarah, kekuatan, dan janji suci yang tidak ringan. Ia adalah topeng yang berat, baik secara fisik maupun metafisik, menuntut tingkat keseriusan dan ketaatan yang jarang ditemui pada artefak kesenian tradisional lainnya.
Pemahaman mengenai Barongan Devil Putihan mengajarkan kita tentang kerumitan spiritualitas Nusantara: bahwa kekuasaan sejati datang dari kemampuan untuk menyeimbangkan yang tak seimbang. Ia adalah penguasaan atas diri sendiri, penundukan kekuatan liar, dan transformasi kegelapan menjadi perisai cahaya. Ini adalah warisan yang harus dijaga tidak hanya karena keindahannya, tetapi karena kebijaksanaan kuno yang terkandung di setiap inci kayunya.
Filosofi Barongan Devil Putihan menjadi relevan di masa kini sebagai metafora untuk mengatasi konflik internal. Masyarakat yang menghormatinya diajarkan bahwa untuk mencapai kedamaian, mereka tidak perlu menghilangkan sisi gelap mereka, tetapi harus menguasainya dan menempatkannya di bawah panji kemurnian niat. Devil diikat oleh Putihan, dan di dalam ikatan itu terdapat kekuatan terbesar.
Sangatlah penting bagi generasi mendatang untuk tidak hanya mengagumi tampilan fisiknya, tetapi juga menyelami makna-makna tersirat dalam warna, gerakan, dan ritual yang menyertainya. Tanpa pemahaman mendalam ini, Barongan Devil Putihan berisiko kehilangan jiwanya, menjadi kulit tanpa isi. Pelestarian sejati Barongan ini adalah pelestarian cerita tentang janji suci, tentang roh liar yang dipaksa berlutut di hadapan kemurnian spiritual untuk selamanya melindungi rumah dan komunitasnya. Kehadirannya adalah sebuah pengingat abadi akan kekuatan transformatif dari niat yang suci.
Setiap Barongan Devil Putihan adalah sebuah karya yang tak pernah selesai; ia terus menyerap energi lingkungan, terus bertarung melawan kegelapan yang mendekat, dan terus menjalankan tugas suci yang diembannya melalui ritual putihan
yang tak terhitung jumlahnya. Inilah keajaiban dan misteri dari artefak yang menakutkan namun suci ini.
Kekuatan Barongan Putihan terletak pada janji suci yang mengikat rohnya. Jika janji itu terpenuhi, ia adalah pelindung tak terkalahkan. Jika janji itu dilanggar, ia menjadi ancaman paling besar. Inilah misteri abadi dari Devil yang telah menjadi Putihan, sebuah pusaka yang menyelimuti kekuatan destruktif dengan mantel kemurnian untuk tugas suci yang tak pernah berakhir.
***