Penelusuran Mistik dan Filosofi Seni Tradisional Jawa
Seni pertunjukan rakyat di Nusantara, khususnya di tanah Jawa, senantiasa menjadi wadah pertemuan antara sejarah, kepercayaan spiritual, dan ekspresi artistik. Di antara beragam jenis Barongan yang dikenal—seperti Barongan Blora, Barongan Kediri, atau pun Reog Ponorogo—muncul satu varian yang memiliki aura misterius dan filosofi mendalam yang khas: Barongan Devil Putih.
Istilah 'Devil Putih' (atau sering disebut 'Setan Putih' dalam konteks lokal) mungkin terdengar kontradiktif, mengingat Barongan umumnya diasosiasikan dengan representasi kekuatan liar, raksasa, atau buto (raksasa) yang agresif, yang secara tradisional dihiasi warna-warna mencolok seperti merah, hitam, dan emas. Namun, justru dalam kontradiksi inilah terletak kekuatan uniknya. Warna putih yang dominan bukanlah representasi kelemahan, melainkan simbolisasi kekuasaan spiritual yang paling murni, yang sering kali digunakan untuk ritual pembersihan atau penangkal bala.
Barongan Devil Putih tidak hanya sekadar topeng; ia adalah entitas ritual yang membawa narasi tentang keseimbangan kosmis, pertempuran internal antara kebaikan dan kekuatan, serta peran sang roh penjaga. Analisis terhadap varian ini memerlukan penyelaman jauh ke dalam akar animisme Jawa, yang bersanding harmonis dengan ajaran Hindu-Buddha yang pernah mendominasi wilayah tersebut.
Dalam seni rupa dan ritual Jawa, warna adalah bahasa. Merah melambangkan nafsu (amarah), hitam melambangkan kekuatan mistik yang tak terjangkau (kesaktian), sedangkan putih melambangkan kesucian, pembersihan, dan kematian yang kembali ke asal mula (sangkan paraning dumadi). Ketika entitas 'Devil' (yang menyiratkan sifat liar, tak terkendali, dan kuat) disandingkan dengan 'Putih', pesan yang disampaikan adalah:
Meskipun Barongan Devil Putih dapat ditemukan dalam berbagai rupa di Jawa Tengah hingga Jawa Timur, akarnya sering dikaitkan dengan tradisi yang sangat kuat di wilayah tapal kuda atau daerah-daerah yang memiliki sejarah konflik spiritual atau kultural yang intens. Dalam beberapa literatur lisan, varian ini sering muncul dalam konteks pertunjukan yang digelar untuk menanggulangi wabah, kekeringan, atau ketidakseimbangan alam yang parah. Ini membedakannya dari Barongan yang berfungsi murni sebagai hiburan atau iringan upacara pernikahan.
Wilayah yang paling sering dikaitkan dengan Devil Putih, meliputi:
Untuk memahami Barongan Devil Putih, kita harus kembali ke era pra-Islam di Jawa, di mana kepercayaan animisme terhadap roh penjaga alam (Danyang) dan konsep kekuatan spiritual yang mendiami benda-benda atau tempat keramat (Isi) sangat kuat. Barongan, sebagai topeng besar yang dapat dimasuki oleh roh, adalah manifestasi langsung dari upaya manusia berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan tersebut.
Secara umum, Barongan adalah perwujudan dari makhluk mitologis yang disebut Buto Kala, raksasa penguasa waktu dan malapetaka. Dalam tradisi Bali, konsep serupa dikenal sebagai Bhoma atau Barong. Namun, ketika Barongan tersebut diwarnai putih, ia menyiratkan bahwa Buto Kala itu telah melalui proses penyucian, atau mungkin ia adalah manifestasi dari dewa tertentu yang mengambil wujud menyeramkan untuk menjalankan tugas suci.
Dalam mitologi Hindu-Buddha, warna putih sering dikaitkan dengan Dewa Siwa (sebagai pelebur dan pemurni) atau Dewi Saraswati (sebagai kesucian ilmu). Apabila Barongan Putih dikaitkan dengan ritual purifikasi, ia mengambil peran sebagai kala yang membersihkan. Pemahaman ini menciptakan sinkretisme yang unik, di mana wujud yang secara fisik tampak seperti iblis atau raksasa buas, justru menjalankan fungsi spiritual yang sangat luhur dan dianggap suci oleh masyarakat.
Prinsip sinkretisme ini mengajarkan bahwa kekuatan terkuat bukanlah yang paling agresif, tetapi yang paling mampu menyerap dan membersihkan energi—fungsi yang diemban oleh 'roh putih' dalam Barongan Devil Putih.
Beberapa versi lisan menyebutkan bahwa Devil Putih adalah titisan atau keturunan dari seorang raja gaib atau danyang yang bersemayam di hutan keramat (alas londo/alas angker). Raja ini dikenal sebagai sosok yang sangat sakti, namun memilih untuk tidak menunjukkan kemarahannya melalui warna darah (merah) atau kegelapan (hitam), melainkan melalui aura putih yang mematikan dan menakutkan bagi roh jahat. Kekuatan ini disebut Pancaran Agung atau Nur Putih.
Barongan, termasuk Devil Putih, hampir selalu menjadi elemen sentral dalam pertunjukan Jaranan (Kuda Lumping) atau Jathilan. Peran Barongan Devil Putih di sini adalah sebagai pemegang kendali spiritual tertinggi. Sebelum ritual janturan (kesurupan) dimulai, Barongan Putih sering kali diarak terlebih dahulu untuk 'membuka' dimensi gaib dan memastikan bahwa roh yang masuk ke dalam penari Jaranan adalah roh yang diizinkan atau roh yang baik, serta memastikan keselamatan para penari.
Penciptaan topeng Barongan Devil Putih adalah proses yang panjang dan sarat ritual. Setiap elemen, dari bahan baku hingga cat yang digunakan, memiliki makna spiritual dan harus dilakukan dengan tata cara yang benar agar 'roh' atau 'isi' dapat bersemayam di dalamnya.
Inti dari topeng Barongan adalah kayu. Hampir seluruh Barongan tradisional, terutama yang memiliki nilai sakral tinggi, dibuat dari kayu Jati (Tectona grandis). Kayu Jati dipilih karena dikenal memiliki serat yang kuat dan daya tahan yang luar biasa, melambangkan keabadian dan ketahanan spiritual. Namun, untuk Barongan Putih, pemilihan kayunya seringkali lebih ketat:
Kayu yang dipilih harus diambil dari pohon Jati yang sudah tua dan sering disebut sebagai Jati Nggandul (kayu yang menggantung atau memiliki sejarah mistik). Sebelum pohon ditebang, ritual perizinan (mendekati danyang) harus dilakukan. Ini bertujuan untuk meminta izin kepada penunggu pohon dan memastikan bahwa energi spiritual pohon tersebut 'ikhlas' disalurkan ke dalam Barongan. Kegagalan dalam ritual ini diyakini dapat menyebabkan Barongan menjadi 'galak' atau bahkan melukai pawangnya.
Meskipun bentuk dasarnya mengikuti Barongan Buto Jawa pada umumnya (mata melotot, taring tajam), ada beberapa detail yang membedakan Devil Putih:
Setelah diukir dan dihaluskan, proses pengecatan Barongan Putih dilakukan dengan sangat hati-hati. Ini bukan sekadar melukis, melainkan proses 'penderasan' atau 'pengisian'. Beberapa seniman masih menggunakan cat alami yang dicampur dengan minyak wangi khusus (misalnya minyak Misik Putih) yang dipercaya dapat memanggil entitas gaib yang dituju. Selama proses ini, pembuat topeng harus berpuasa atau menjaga pantangan tertentu.
Barongan Devil Putih mencapai puncak kekuatannya saat pertunjukan, di mana batas antara seni, ritual, dan realitas spiritual menjadi kabur. Ini adalah momen *janturan* (trance) yang melibatkan interaksi langsung antara pawang, penari, dan roh yang diundang.
Setiap Barongan memiliki gending (musik gamelan) pengiringnya sendiri. Gending untuk Barongan Devil Putih cenderung lebih cepat dan lebih keras (galak) dibandingkan gending Barongan biasa. Instrumen utama yang mendominasi adalah Kendang (gendang besar), Kenong (gong kecil), dan Saron. Ritme yang cepat dan berulang berfungsi untuk membangun energi kolektif dan mempermudah penari mencapai kondisi trance.
Beberapa jenis gending khusus yang mengiringi Barongan Putih:
Janturan adalah inti dari pertunjukan Barongan yang bersifat ritual. Penari (pengisi) Barongan Devil Putih harus memiliki fisik yang kuat dan mental yang terlatih. Kesurupan ini bukan sekadar akting, tetapi pengalaman di mana roh Barongan (atau roh penjaga yang diundang) mengambil alih tubuh penari. Gerakan yang ditampilkan mencerminkan kekuatan non-manusia:
Karena asosiasinya dengan kesucian dan kekuatan pemurni, Barongan Devil Putih sering dipanggil bukan untuk hiburan, tetapi untuk kebutuhan spiritual masyarakat. Contohnya:
Pada saat desa dilanda wabah penyakit (pagebluk) atau ketidakberuntungan massal, Barongan Putih akan diarak mengelilingi desa. Ritual ini disebut Keliling Desa Ngruwat (ritual pembersihan keliling desa). Gerakan Barongan yang galak dipercaya mampu menyerap penyakit, mengusir roh pengganggu (dhanyang ala), dan mengembalikan keseimbangan energi positif.
Setiap gerakan Barongan yang kerasukan memiliki makna. Jika Barongan Putih mengais tanah, itu menandakan permintaan untuk ritual sedekah bumi. Jika ia menunjuk ke arah tertentu, itu dapat ditafsirkan sebagai lokasi sumber masalah atau lokasi yang membutuhkan pembersihan spiritual lebih lanjut. Pawang bertindak sebagai penerjemah bahasa gerakan ini.
Mengapa memilih warna putih untuk representasi 'Devil' atau kekuatan liar? Filosofi Jawa mengajarkan bahwa kekuatan sejati berada di luar kategori hitam dan putih moralitas manusia. Putih dalam konteks Devil Putih bukanlah kepolosan, melainkan ketiadaan noda, yang memiliki daya hancur yang lebih besar terhadap hal-hal kotor atau jahat.
Dalam ajaran kebatinan Jawa, mencapai tingkat spiritual tertinggi sering disimbolkan dengan kembali ke 'kosong' atau 'putih'. Ini adalah kondisi sebelum penciptaan, kondisi murni. Barongan Devil Putih mewakili entitas yang telah kembali ke kondisi murni ini, menjadikannya tak tersentuh oleh kejahatan biasa.
Konsep ini tercermin dalam:
Kontradiksi antara penampilan Barongan yang seram (devil/buto) dan fungsinya yang suci (putih/pemurni) adalah pelajaran moral yang penting:
Kebaikan sejati terkadang harus hadir dalam wujud yang menakutkan agar dapat diterima dan dihormati oleh kekuatan jahat yang brutal. Barongan Devil Putih mengajarkan bahwa spiritualitas membutuhkan kekerasan dan ketegasan untuk melindungi keharmonisan.
Wajahnya yang buto menjamin bahwa ia dihormati oleh roh jahat lainnya, sementara aura putihnya memastikan bahwa ia tidak pernah disalahgunakan untuk tujuan yang bersifat egois atau merusak.
Dalam sebuah pertunjukan Jaranan lengkap, Barongan Devil Putih biasanya tidak tampil sendirian. Ia sering ditemani oleh Barongan merah (amarah) dan Barongan hitam (kesaktian duniawi). Ketiganya membentuk representasi sempurna dari Tiga Serangkai Energi:
Devil Putih berfungsi sebagai penyeimbang, memastikan bahwa energi liar yang dilepaskan oleh Barongan merah dan hitam tetap dalam batasan ritual dan tidak merusak tatanan sosial atau spiritual.
Di era modern, di mana urbanisasi dan teknologi semakin menggerus tradisi lisan, bagaimana Barongan Devil Putih tetap bertahan? Perannya telah bergeser dari ritual murni menuju gabungan antara seni pertunjukan dan penanda identitas budaya lokal.
Di banyak desa, kepemilikan dan pemeliharaan Barongan Devil Putih adalah sumber kebanggaan komunal. Kelompok seni yang memilikinya sering dianggap memiliki tingkat kesaktian atau 'isi' (roh) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain. Keberadaan Barongan Putih sering dikaitkan dengan sejarah pendiri desa atau leluhur yang dihormati.
Pertunjukan Barongan Putih kini tidak hanya menarik perhatian penduduk lokal, tetapi juga wisatawan dan peneliti budaya. Ini menempatkan kelompok seni pada posisi ganda: sebagai penjaga tradisi dan sebagai duta budaya di panggung nasional maupun internasional.
Pelestarian Barongan Devil Putih menghadapi tantangan besar:
Ketika Barongan dijadikan komoditas pertunjukan, elemen ritualnya sering dikurangi atau dihilangkan sepenuhnya demi kecepatan dan daya tarik hiburan. Penari mungkin tidak lagi menjalani puasa yang ketat, atau proses janturan mungkin hanya disimulasikan. Ini berpotensi menghilangkan 'isi' atau esensi spiritual dari Barongan tersebut.
Ketersediaan kayu Jati tua yang sakral semakin berkurang. Seniman pengrajin kini sering menggunakan jenis kayu lain atau bahan sintetis. Meskipun ini praktis, para sesepuh percaya bahwa bahan modern tidak mampu menjadi 'rumah' yang baik bagi roh yang bersemayam, sehingga mengurangi kekuatan Barongan Putih.
Masa depan Barongan Devil Putih sangat bergantung pada regenerasi. Kelompok-kelompok seni mulai mengemas pertunjukan dengan narasi yang lebih mudah dicerna oleh generasi muda, tanpa menghilangkan inti ritualnya. Edukasi tentang makna filosofis warna putih dan pentingnya menjaga keaslian ritual menjadi kunci agar warisan ini tidak hanya menjadi pajangan museal, tetapi tetap hidup dan berenergi di tengah masyarakat.
Untuk benar-benar mengapresiasi keunikan Devil Putih, penting untuk membandingkannya dengan varian Barongan lain yang didominasi warna yang berbeda, terutama merah dan hitam, yang merupakan warna paling umum dalam tradisi Barongan Jawa.
Barongan yang didominasi warna merah melambangkan Amarah (nafsu, kemarahan, energi yang tak terkendali). Peran Barongan Merah seringkali adalah sebagai katalis kekacauan awal dalam pertunjukan, yang harus dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar.
Barongan hitam (seringkali dengan aksen emas) mewakili Kesaktian, kekuatan magis yang diperoleh melalui tirakat (pengorbanan) dan berhubungan erat dengan roh bumi atau kegelapan alam semesta. Ini adalah kekuatan yang bijaksana, tetapi sangat rahasia dan kadang menakutkan.
Barongan Devil Putih memegang peran tertinggi sebagai sintesis dan pembersih dari kedua energi tersebut. Ia adalah penyeimbang (Timbangan) dalam ekosistem spiritual Barongan.
Perbedaan utamanya terletak pada sifat esensial dari kesurupan yang terjadi:
| Aspek | Merah | Hitam | Putih (Devil Putih) |
|---|---|---|---|
| Simbol Utama | Nafsu, Energi Duniawi | Kesaktian, Kekuatan Gaib | Kesucian, Pemurnian |
| Fungsi Utama | Katalis Pertunjukan | Penjaga Rahasia | Penolak Bala, Pemimpin Roh |
| Gerakan Khas | Agresif, Melompat | Misterius, Lambat, Penuh Taktik | Galak namun Terkontrol, Ritualistik |
Kekuatan Barongan Devil Putih tidak pernah terlepas dari peran sentral Pawang (Dukun atau Sesepuh yang memimpin ritual). Pawang bukan sekadar koreografer, tetapi jembatan antara dunia manusia dan dunia roh yang menguasai topeng.
Pawang harus menguasai serangkaian aji (mantera) yang sangat spesifik untuk Barongan Devil Putih. Mantera ini diwariskan secara lisan dan tertutup, sering kali berbahasa Kawi kuno atau Jawa Mistik. Mantera ini berfungsi untuk:
Ritual pemanggilan selalu didahului dengan sesajen. Sesajen untuk Devil Putih biasanya mengandung elemen-elemen yang melambangkan kesucian dan pemurnian, seperti kembang tujuh rupa (dengan dominasi kembang melati putih), kopi pahit (kopi tanpa gula, melambangkan kemurnian), dan kemenyan putih khusus yang dibakar saat Barongan mulai bergerak.
Ketika Barongan Putih kerasukan, ia tidak berbicara. Komunikasi dilakukan melalui bahasa gerak tubuh yang hanya dipahami oleh Pawang. Misalnya:
Di luar fungsi ritual dan hiburan, Barongan Devil Putih dapat dilihat sebagai metafora visual bagi filosofi hidup Jawa, yang menekankan pada pengendalian diri di balik penampilan yang mengancam.
Penampilan Barongan Devil Putih yang galak namun dihiasi warna putih adalah pengingat bahwa kekuatan terbesar adalah kekuatan yang telah melalui proses penempaan dan pemurnian (Tapa Brata). Masyarakat tradisional diajarkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan spiritual, seseorang harus mampu mengendalikan 'Devil' atau nafsu liar dalam dirinya (representasi Buto), dan mengubahnya menjadi kekuatan suci (representasi Putih).
Konservasi Barongan Devil Putih memerlukan lebih dari sekadar pelestarian bentuk fisiknya. Hal yang lebih penting adalah dokumentasi dan pemeliharaan pengetahuan lisan (mantera, ritual, filosofi warna) yang kini hanya dipegang oleh generasi tua. Tanpa dokumentasi yang memadai, esensi spiritual dan perbedaan mendalam Barongan Putih dari varian lainnya akan hilang, hanya menyisakan kerangka artistik belaka.
Beberapa lembaga kebudayaan dan universitas di Jawa mulai memasukkan Barongan sebagai mata kuliah atau penelitian. Ini penting untuk memberikan legitimasi akademis pada seni rakyat ini, membantu memisahkan mitos yang merusak dari kebenaran filosofisnya.
Upaya pelestarian harus fokus pada tiga pilar:
Pada akhirnya, Barongan Devil Putih adalah simbol keuletan budaya Jawa—kemampuan untuk menyerap pengaruh, menghadapi dualitas, dan memurnikan kekuatan liar menjadi energi yang konstruktif bagi komunitas.
Barongan Devil Putih adalah salah satu manifestasi seni spiritual Jawa yang paling kaya dan paling kompleks. Ia bukan sekadar topeng putih yang menarik mata; ia adalah portal menuju pemahaman yang lebih dalam tentang alam semesta spiritual yang diyakini oleh masyarakatnya. Dalam topengnya yang seram dan surai putihnya yang melambai, tersemat ajaran kuno tentang bagaimana kekuatan terbesar berasal dari kesucian, dan bagaimana kekerasan (devil) dapat dimanfaatkan untuk tujuan pemurnian (putih).
Sebagai warisan budaya tak benda, Barongan Devil Putih memerlukan perlindungan dan apresiasi yang berkelanjutan. Ia adalah cermin dari jiwa Jawa yang sinkretis, yang selalu mencari harmoni di tengah kontradiksi, dan selalu mempercayai adanya roh penjaga yang siap turun tangan dalam wujud yang paling menakutkan, demi menjaga kedamaian manusia dan alam semesta.
Melalui setiap hentakan kaki saat janturan, setiap denting gamelan yang memanggil roh, dan setiap jalinan serat pada surai putihnya, kisah Barongan Devil Putih terus hidup, menjadi penanda abadi bagi kekuatan spiritual yang tak lekang oleh waktu dan modernisasi.
Pengabdian para Pawang dan seniman yang menjaga tradisi ini memastikan bahwa Devil Putih akan terus melompat dan membersihkan, menjaga tapal batas spiritual desa-desa Jawa, dan mengajarkan generasi mendatang bahwa putih bukan selalu tentang kelembutan, melainkan juga tentang kekuatan murni yang menakutkan.
***
Analisis lebih lanjut pada aspek koreografi Barongan Devil Putih mengungkapkan pola gerakan yang tidak sembarangan. Setiap langkah, setiap putaran kepala, dan setiap kibasan surai adalah bagian dari 'geometri suci' pertunjukan. Gerakan Devil Putih sering melibatkan rotasi cepat (putar tujuh arah) yang dipercaya dapat 'menggali' energi negatif dari tanah dan melemparkannya ke angkasa, dibakar oleh aura putih topeng.
Ketika memasuki fase klimaks, penari akan melakukan gerakan yang sangat rendah ke tanah, hampir seperti merangkak. Gerakan ini, yang disebut Ngumbar Bumi, melambangkan penyerapan kekuatan dari Ibu Pertiwi. Barongan Putih, meskipun tampak liar, memiliki disiplin gerak yang tinggi. Kecepatannya yang ekstrem diimbangi oleh jeda-jeda singkat yang penuh ketegangan, di mana ia seolah-olah mendengarkan perintah gaib dari Pawang.
Rambut (gimbal) pada Devil Putih memiliki makna krusial. Dalam kondisi trance, gimbal yang terbuat dari ijuk atau rambut kuda tersebut dianggap sebagai saluran bagi roh. Jika gimbalnya tersentuh oleh orang yang tidak suci, dipercaya energi Barongan dapat melemah atau bahkan menjadi marah. Oleh karena itu, selama pertunjukan, para penonton dilarang keras menyentuh bagian kepala atau surai Barongan Putih, sebuah larangan yang menuntut penghormatan absolut terhadap entitas yang sedang bersemayam.
Kepadatan dan tekstur gimbal juga mempengaruhi estetika gerak. Ketika penari menghentakkan kepala, gimbal putih tersebut menciptakan ilusi 'badai' atau 'aura cahaya' yang bergerak cepat, menguatkan asosiasinya sebagai entitas dari dimensi yang lebih tinggi yang sedang membersihkan kekotoran dunia.
Meskipun memiliki inti filosofis yang sama (putih = pemurnian), Barongan Devil Putih memiliki interpretasi yang bervariasi di berbagai daerah. Perbedaan ini seringkali didasarkan pada legenda lokal dan kebutuhan spiritual komunitas tersebut.
Di Blora, Barongan Devil Putih sering digambarkan dengan bentuk kepala yang sedikit lebih persegi dan taring yang lebih menonjol ke depan. Fungsinya sangat agresif; ia adalah kekuatan yang "memenggal" kejahatan. Legenda lokal mengaitkannya dengan roh prajurit yang telah disucikan, yang tugasnya adalah membersihkan wilayah hutan dari roh-roh yang tersesat atau jahat. Dalam pertunjukan Blora, interaksi Barongan Putih dengan penonton sangat jarang; ia berfokus pada Pawang dan pertempuran gaib di sekeliling panggung.
Di wilayah Kediri dan sekitarnya, Devil Putih lebih dihubungkan dengan elemen air dan kesuburan. Ia digambarkan memiliki hiasan yang lebih halus dan terkadang mengenakan hiasan kepala berupa mahkota yang lebih menyerupai mahkota dewa. Fungsinya adalah sebagai pengayom dan pemberi berkat. Pertunjukannya sering bertepatan dengan musim tanam atau ritual pembersihan sumber mata air, di mana Barongan Putih bertindak sebagai pembawa air suci yang dapat menghidupkan kembali lahan yang kering.
Aspek musikalitas Barongan Putih adalah elemen yang paling jarang dibahas namun vital. Gamelan yang digunakan adalah Gamelan Reog (yang cenderung lebih kasar dan bertenaga) yang dipadukan dengan Saron Demung untuk menciptakan lapisan harmoni spiritual.
Bunyi yang paling penting adalah dari *Kendang Bem* (gendang induk). Ritme Kendang Bem untuk Barongan Devil Putih harus memiliki aksen jeda yang tajam. Jeda ini, yang dalam istilah Jawa disebut Ngajedug, menciptakan kejutan sonik yang dipercaya membuka dimensi spiritual secara tiba-tiba, memancing roh untuk masuk. Jika ritme ini salah, Pawang akan kesulitan mengendalikan entitas di dalam topeng.
Menjadi penari atau Pawang Barongan Devil Putih bukanlah peran yang dapat diambil oleh sembarang orang. Diperlukan dedikasi spiritual yang sangat ketat. Etika ini mencakup berbagai pantangan (larangan) yang harus dipatuhi di luar waktu pertunjukan:
Pantangan Khas Pawang Barongan Putih:
Pelanggaran terhadap etika ini diyakini akan menyebabkan Barongan Putih menjadi mbalik (berbalik menyerang), di mana roh yang seharusnya melindungi justru menjadi jahat dan membahayakan sang Pawang atau komunitasnya.
Ini menegaskan bahwa Barongan Devil Putih adalah seni hidup yang sangat terikat pada moralitas dan integritas spiritual para pengikutnya, menjadikannya bukan sekadar warisan fisik, tetapi warisan etika dan kebatinan yang mendalam.
Nilai-nilai ini, terangkum dalam tarian buas namun suci ini, terus mengalir dan menjadi fondasi spiritual yang kokoh bagi masyarakat Jawa, jauh melampaui batas-batas pertunjukan panggung biasa.