Keagungan dan kengerian yang terangkum dalam wajah Barongan Caplokan.
I. Menggali Akar Tradisi: Definisi dan Konteks Barongan Caplokan
Barongan Caplokan, sebuah entitas seni pertunjukan yang monumental, mewakili salah satu puncak ekspresi budaya Jawa Timur, khususnya dalam lingkup kesenian Reog Ponorogo. Istilah "Barongan" merujuk pada topeng raksasa berbentuk kepala singa atau harimau mistis, sementara "Caplokan" secara harfiah berarti ‘menangkap’ atau ‘memangsa’, merujuk pada gerakan mulut topeng yang terbuka lebar, siap menelan. Secara kolektif, Barongan Caplokan adalah personifikasi dari Singo Barong, sosok mitologis yang penuh kekuatan, kegagahan, dan memiliki aura mistis yang sangat kental.
Kesenian ini tidak sekadar tarian atau drama; ia adalah perwujudan naratif sejarah lokal, sinkretisme kepercayaan, dan simbolisasi perjuangan hidup. Kehadiran Barongan Caplokan di panggung selalu menarik perhatian, tidak hanya karena ukurannya yang masif, tetapi juga karena energi spiritual yang dipancarkan oleh penarinya. Dalam kerangka Reog Ponorogo, Barongan Caplokan bertindak sebagai mahkota, penyangga utama yang menanggung beban hiasan bulu merak raksasa, yang dikenal sebagai Dadak Merak.
A. Simbolisme Singo Barong dalam Masyarakat Jawa
Singo Barong bukanlah singa biasa. Ia adalah makhluk hibrida yang menggabungkan elemen raja hutan dengan naga atau makhluk mitologi air. Simbolisme ini mencerminkan konsep kekuasaan kosmik; singa mewakili kekuasaan duniawi (darat), sementara elemen naga/barong mewakili kekuasaan spiritual (langit dan air). Singo Barong adalah penjaga gerbang, pelindung dari marabahaya, dan penjelmaan sifat keberanian yang tak tertandingi. Dalam konteks sosial, topeng ini sering dianggap memiliki roh penjaga atau khodam, yang menjadikannya objek penghormatan dan bahkan ketakutan.
Peran Barongan Caplokan dalam alur cerita Reog Ponorogo secara tradisional sering dikaitkan dengan kisah Raja Kelana Sewandana yang mencoba meminang Dewi Songgolangit. Singo Barong adalah pengawal atau musuh yang harus ditaklukkan, namun interpretasi modern sering kali menempatkannya sebagai manifestasi dari kekuatan alam yang liar dan harus diseimbangkan. Keberadaan taring yang tajam, mata melotot, dan warna-warna primer yang mencolok (merah, hitam, putih) semuanya adalah kode visual yang menyampaikan pesan tentang otoritas dan magis.
II. Jejak Sejarah dan Evolusi Estetika Barongan
Untuk memahami kedalaman Barongan Caplokan, kita harus menelusuri sejarahnya yang panjang, yang melampaui batas-batas kerajaan Hindu-Buddha hingga era Islamisasi Jawa. Meskipun bentuknya yang paling terkenal saat ini terasosiasi kuat dengan Ponorogo, akar-akar kesenian topeng raksasa (Barong) sebenarnya tersebar luas di seluruh Nusantara, dengan variasi yang mencerminkan adaptasi lokal.
A. Barongan dan Pengaruh Prasejarah
Banyak sejarawan budaya yang mengaitkan Barongan dengan praktik animisme purba. Sebelum masuknya agama-agama besar, masyarakat Jawa kuno memiliki kepercayaan yang kuat terhadap roh leluhur dan kekuatan alam. Topeng besar seperti Barongan kemungkinan besar digunakan dalam ritual penyembuhan atau pemanggilan roh, di mana topeng berfungsi sebagai medium komunikasi antara dunia manusia dan dunia spiritual. Bentuk binatang buas atau mistis dipilih karena dianggap sebagai manifestasi kekuatan non-manusia yang paling efektif.
Dalam perkembangannya, ketika Hinduisme dan Buddhisme masuk, figur Singo Barong mulai berintegrasi dengan mitologi India. Singa sering dihubungkan dengan dewa-dewa penting (misalnya, kendaraan Dewi Durga). Hibriditas singa-naga yang terlihat pada Barongan Caplokan modern menunjukkan adanya sintesis budaya yang kompleks, di mana dewa-dewa asing diinterpretasikan ulang melalui lensa spiritualitas Jawa yang sudah ada. Kehadiran bulu merak dalam Dadak Merak (yang ditopang Barongan) juga menambah lapisan simbolik yang kaya, mungkin terkait dengan legenda lokal atau bahkan pengaruh Tiongkok dalam beberapa interpretasi.
B. Era Majapahit dan Legenda Warok
Beberapa narasi sejarah lisan menghubungkan munculnya Reog Ponorogo, dan Barongan Caplokan di dalamnya, dengan masa keemasan Kerajaan Majapahit. Konon, kesenian ini diciptakan sebagai sindiran satir terhadap pemerintahan atau sebagai bentuk perlawanan kultural. Namun, versi yang paling populer berpusat pada tokoh legendaris Warok, yang merupakan figur sentral dalam tradisi Ponorogo.
Barongan Caplokan mewakili kekuatan yang diperjuangkan oleh para Warok—sekelompok pendekar yang memegang teguh nilai-nilai keberanian, kejujuran, dan kesetiaan. Topeng ini bukan hanya hiasan, melainkan sebuah ujian kekuatan fisik dan mental bagi penarinya. Penari Barongan (disebut Jaranan atau Jathilan dalam beberapa konteks) harus mampu menopang beban yang sangat berat (terkadang mencapai 50-70 kg) menggunakan giginya, menunjukkan tingkat stamina, disiplin spiritual, dan penguasaan teknik pernapasan yang luar biasa. Beban ini, ditopang melalui Caplokan, menjadi metafora beban tanggung jawab dan kehormatan kultural.
III. Anatomi dan Proses Sakral Penciptaan Caplokan
Penciptaan Barongan Caplokan adalah proses yang panjang dan sarat ritual, jauh melampaui sekadar kerajinan kayu. Setiap Barongan dianggap memiliki nyawa dan karakternya sendiri. Proses ini membutuhkan dedikasi, keahlian pahat, dan pemahaman mendalam tentang dimensi mistis material.
A. Pemilihan Material Dasar: Kayu dan Mantra
Inti dari Barongan Caplokan adalah kerangka kepalanya. Bahan yang paling umum dan dihormati adalah kayu Jati (Tectona grandis) atau kayu Dadap (Erythrina variegata). Kayu Jati dipilih karena kekuatannya dan daya tahannya, melambangkan keabadian dan ketahanan. Sementara kayu Dadap, meskipun lebih ringan, sering digunakan dalam Barongan yang berukuran sangat besar karena sifatnya yang diyakini memiliki energi spiritual yang dingin dan menenangkan, yang dapat membantu menahan energi panas (amuk) dari roh Caplokan itu sendiri.
Pemilihan kayu tidak sembarangan. Seorang pengrajin (disebut *undagi* atau *empu*) harus melakukan ritual khusus, seperti *slametan* atau puasa, sebelum memotong pohon. Tujuannya adalah meminta izin dari roh penjaga pohon (danyang) dan memastikan kayu yang dipilih memiliki ‘karakter’ yang sesuai dengan topeng yang akan dibuat. Bagian kayu yang paling baik seringkali adalah bagian tengah atau pangkal pohon yang dianggap menyimpan energi paling murni.
B. Teknik Pemahatan (Pahatan)
Setelah kayu dipilih, proses pemahatan dimulai. Karena Barongan Caplokan harus memiliki rongga yang cukup untuk kepala penari dan pegangan gigi, proses ini memerlukan perhitungan dimensi yang presisi. Tahapan pemahatan meliputi:
- Nggambar Pola (Membuat Sketsa): Sketsa kasar Barongan digambar langsung pada balok kayu, menentukan posisi mata, taring, dan rongga mulut yang masif.
- Nggethok (Pembentukan Kasar): Menggunakan kapak dan pahat besar, bentuk dasar Barongan diukir, membuang sebagian besar material yang tidak terpakai.
- Ngukir Detil (Detailing): Menggunakan pahat kecil (tatah), pengrajin membentuk detail ekspresi—kerutan di dahi yang menunjukkan kemarahan, bentuk rahang yang kokoh, dan rongga hidung yang menyerupai binatang buas. Detil mata harus dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah mata tersebut “hidup” dan mengikuti pergerakan penonton.
- Rongga Caplokan: Rongga mulut adalah bagian terpenting. Ukurannya harus ergonomis untuk menampung leher penari, dan bagian gigi caplokan (tempat penari menggigit) harus dilapisi dengan kulit atau kain keras agar nyaman dan aman saat digunakan untuk menahan beban berat Dadak Merak.
C. Pewarnaan dan Pelengkap Estetika
Pewarnaan Barongan Caplokan menggunakan pigmen yang melambangkan kekuatan spesifik:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, nafsu, dan kekuatan yang tak terkontrol (amuk). Ini adalah warna dominan pada wajah Barongan.
- Putih (Putih): Melambangkan kesucian, kejujuran, atau kadang-kadang aspek spiritual dan kekuatan baik yang mengendalikan kekuatan liar. Digunakan pada taring, bola mata, dan kadang garis batas wajah.
- Hitam (Ireng): Melambangkan kegelapan, mistisisme, dan keberanian yang berakar pada bumi. Digunakan untuk alis, kumis, dan rambut ijuk.
- Emas/Kuning (Kuningan): Melambangkan kemewahan, status raja, dan aura ilahi. Sering digunakan pada mahkota atau ornamen pendukung di sekitar wajah.
Rambut Barongan biasanya menggunakan ijuk hitam atau ekor kuda/sapi yang diikat rapat. Ijuk memberikan tekstur yang kasar dan liar, menambah kesan buas dan purba. Beberapa Barongan mewah menggunakan rambut sintetik atau serat alam yang dicat hitam pekat.
Gerakan dramatis penari Barongan Caplokan saat menahan Dadak Merak menggunakan giginya.
IV. Spiritualisme dan Teknik Pertunjukan Caplokan
Barongan Caplokan membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan fisik; ia menuntut penguasaan spiritual dan keselarasan antara penari (Jathil atau Warok) dan topeng yang dibawanya. Pertunjukan Barongan adalah latihan daya tahan, fokus, dan penghayatan karakter yang intensif.
A. Penguasaan Teknik Ngenceng dan Napas
Teknik utama yang membedakan Barongan Caplokan adalah kemampuan penari untuk menahan beban topeng raksasa (kepala Barongan dan Dadak Merak) hanya dengan menggigit bagian Caplokan. Proses ini dalam bahasa Jawa dikenal sebagai ngenceng. Beban keseluruhan bisa bervariasi antara 30 hingga 70 kilogram, tergantung material dan ukuran bulu merak. Penari sejati harus mampu melakukan gerakan dinamis, berputar, dan melompat, sementara seluruh beban hanya ditopang oleh otot leher dan rahang.
Untuk mencapai kekuatan ini, pelatihan yang sangat ketat harus dijalani, seringkali sejak usia muda. Pelatihan mencakup:
- Latihan Leher dan Rahang: Mengangkat benda-benda berat dengan gigitan, dilakukan secara bertahap.
- Olah Napas (Pernapasan): Teknik pernapasan perut yang dalam sangat penting untuk menjaga stamina selama pertunjukan yang bisa berlangsung berjam-jam. Kontrol napas juga dihubungkan dengan kontrol emosi dan energi spiritual.
- Meditasi dan Puasa: Penari seringkali diwajibkan melakukan puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air) atau puasa ngebleng (tidak tidur dan puasa penuh) sebagai bagian dari ritual penyelarasan diri dengan roh Barongan.
B. Elemen Trance (Kesurupan) dalam Pertunjukan
Meskipun tidak selalu terjadi, salah satu puncak dramatis dari pertunjukan Barongan adalah munculnya elemen trance atau kesurupan (ndadi). Fenomena ini diyakini terjadi ketika energi Singo Barong terlalu kuat dan masuk ke dalam tubuh penari. Ketika dalam kondisi trance, penari menunjukkan kekuatan fisik yang abnormal, gerakan yang lebih liar, dan bahkan melakukan atraksi ekstrem seperti memakan beling atau bara api (meskipun praktik ini semakin dibatasi demi keamanan).
Trance dalam konteks Barongan Caplokan bukan hanya hiburan, tetapi penegasan kembali akan dimensi magis dan spiritual tradisi. Ini adalah bukti bahwa Barongan adalah entitas hidup yang terikat dengan dunia lain. Proses ‘penyadaran’ penari yang trance biasanya dilakukan oleh Warok senior atau dukun dengan menggunakan mantra dan air suci, mengembalikan penari dari keadaan liar ke kesadaran normal.
V. Barongan Caplokan dalam Konteks Kesenian Reog Ponorogo
Barongan Caplokan adalah primadona dalam struktur pertunjukan Reog Ponorogo. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan terjalin erat dengan peran-peran lain yang menciptakan keseluruhan naratif dan hirarki sosial dalam panggung.
A. Posisi Singo Barong (Caplokan)
Singo Barong adalah pemimpin dari semua gerakan dalam Reog. Ia adalah simbol kekuasaan tertinggi dan kekuatan yang harus dihormati. Selama pertunjukan, Barongan menari dengan gerakan yang tegap, mengayunkan kepala besar secara ritmis sesuai irama Gamelan. Keahlian penari diukur dari seberapa luwes dan agresif gerakan Barongan, yang harus tetap mempertahankan keseimbangan Dadak Merak di atasnya. Dadak Merak sendiri adalah hiasan bulu merak dan kepala harimau yang besar, dan seluruh konstruksi ini, termasuk Caplokan, dapat memiliki tinggi hingga 2.5 meter.
B. Hubungan dengan Jathil, Warok, dan Bujang Ganong
1. Warok: Para Warok adalah pelindung dan pengendali Barongan Caplokan. Mereka adalah figur tetua yang maskulin, mengenakan pakaian hitam dan sarung, serta memiliki kekuatan spiritual dan fisik. Warok berperan menjaga agar Barongan tetap dalam kendali dan memastikan keselamatan penonton, terutama saat elemen trance terjadi.
2. Jathil: Jathil adalah penari kuda lumping yang menari dengan anggun dan energik. Mereka melambangkan prajurit berkuda yang mendukung Singo Barong. Gerakan Jathil yang cepat dan dinamis seringkali kontras dengan gerakan Barongan yang megah dan berwibawa, menciptakan dinamika visual yang menarik.
3. Bujang Ganong: Karakter ini adalah patih (perdana menteri) atau pengawal Raja Kelana Sewandana. Topengnya yang berhidung panjang dan mata melotot melambangkan kegesitan dan kelucuan. Bujang Ganong seringkali bertindak sebagai penyeimbang komedi di tengah ketegangan dan kemistisan yang dibawa oleh Barongan Caplokan.
Interaksi antara Barongan Caplokan dan karakter-karakter pendukung ini menciptakan sebuah drama epik tentang kekuasaan, kesetiaan, dan perjalanan spiritual, yang semuanya disatukan oleh irama Gamelan yang bersemangat.
VI. Variasi Regional dan Perbedaan Gaya Barongan
Meskipun Barongan Caplokan sangat identik dengan Reog Ponorogo, konsep Barong sebagai topeng binatang buas memiliki interpretasi yang luas di Jawa dan Bali. Memahami variasi ini membantu mengapresiasi keunikan Barongan Caplokan.
A. Barongan Ponorogo vs. Barongan Blora/Grobogan
Barongan yang berasal dari wilayah Blora atau Grobogan (Jawa Tengah) memiliki fokus yang berbeda. Barongan Blora umumnya berdiri sebagai pertunjukan tunggal atau bagian dari Kuda Lumping, tanpa membawa beban Dadak Merak. Kepala Barongan Blora cenderung lebih sederhana dalam konstruksi, namun memiliki ekspresi yang lebih liar dan menakutkan, dengan fokus pada gerakan kepala yang agresif dan interaksi langsung dengan penonton. Fungsi utamanya adalah sebagai penangkal bala atau alat ritual kesuburan.
Sebaliknya, Barongan Caplokan Ponorogo, karena harus menopang Dadak Merak, memiliki desain Caplokan (gigi gigitan) yang jauh lebih kokoh dan perhitungan berat yang lebih kompleks. Estetika Barongan Ponorogo juga cenderung lebih agung dan bermartabat, sejalan dengan statusnya sebagai raja dalam cerita Reog.
B. Perbedaan Filosofis dengan Barong Bali
Perbandingan dengan Barong di Bali juga penting. Barong Bali (misalnya Barong Ket) adalah manifestasi dari kebaikan (Dharma) yang selalu berjuang melawan Rangda (kejahatan). Barong Bali memiliki wajah yang lebih cerah dan dihiasi dengan pernak-pernik yang indah. Barongan Caplokan Jawa, meskipun juga dipandang sebagai pelindung, membawa aura yang lebih gelap dan primal. Ia seringkali melambangkan kekuatan liar yang tidak terkelola, yang harus dikendalikan oleh kebijaksanaan Warok, menciptakan filosofi dualisme yang berbeda.
Di Jawa, fungsi Caplokan (menggigit) menekankan pada pengorbanan dan ketahanan penari, sebuah fokus yang lebih menekankan pada aspek fisik dan spiritualitas Warok. Sementara di Bali, pertunjukan Barong lebih berfokus pada narasi dramatis antara Barong dan Rangda, seringkali melalui tarian dan dialog.
VII. Pelestarian dan Tantangan di Era Modern
Dengan perkembangan zaman dan modernisasi, Barongan Caplokan menghadapi tantangan serius dalam upaya pelestariannya. Namun, ia juga menemukan jalur baru untuk beradaptasi dan terus hidup di hati generasi muda.
A. Krisis Regenerasi dan Material
Salah satu tantangan terbesar adalah krisis regenerasi. Keahlian menjadi penari Barongan Caplokan membutuhkan dedikasi fisik dan spiritual yang sangat tinggi, sesuatu yang sulit dipertahankan oleh generasi muda yang terpapar gaya hidup modern. Selain itu, keterampilan membuat topeng yang sakral dan presisi juga terancam punah. Pengrajin Barongan Caplokan sejati yang memahami ritual pemilihan kayu dan mantra-mantra pengisian roh semakin berkurang.
Tantangan material juga muncul, terutama terkait dengan Dadak Merak. Penggunaan bulu merak alami seringkali menimbulkan isu konservasi dan legalitas. Ini memaksa para pengrajin untuk mencari alternatif, seperti bulu sintetis, yang sayangnya dapat mengurangi nilai estetika dan spiritual dari kesenian tersebut.
B. Adaptasi dan Komersialisasi Global
Di sisi lain, Barongan Caplokan kini menemukan panggung global. Pemerintah daerah dan komunitas seni semakin gencar mempromosikan Reog Ponorogo melalui festival nasional dan internasional. Adaptasi ini mencakup pengurangan durasi pertunjukan, penekanan pada aspek visual yang spektakuler, dan penggunaan teknologi panggung yang canggih.
Barongan Caplokan juga telah menjadi ikon budaya Jawa Timur yang sangat diminati sebagai suvenir atau koleksi seni. Meskipun komersialisasi dapat membantu ekonomi seniman, ada risiko bahwa aspek spiritual dan ritual dari pembuatan dan pertunjukan Caplokan akan terpinggirkan, menjadi sekadar komoditas dekoratif tanpa pemahaman mendalam mengenai filosofi aslinya.
C. Peran Komunitas Adat dan Pendididikan
Pelestarian yang paling efektif saat ini terletak pada upaya komunitas adat dan institusi pendidikan. Sanggar-sanggar seni lokal di Ponorogo dan sekitarnya kini aktif mengadakan pelatihan intensif untuk anak-anak, mengajarkan tidak hanya teknik menari dan ngenceng, tetapi juga etika dan sejarah Warok. Sekolah formal mulai memasukkan materi tentang Reog Ponorogo dan Barongan Caplokan ke dalam kurikulum lokal, memastikan bahwa pemahaman tentang nilai-nilai kultural ini ditanamkan sejak dini. Dukungan pendanaan dari pemerintah untuk pemeliharaan peralatan dan penyelenggaraan festival lokal juga menjadi kunci vital untuk menjaga denyut nadi tradisi ini.
Pengetahuan tentang ritual pembersihan dan upacara *Selamatan Reog* sebelum pertunjukan besar juga terus diajarkan. Ini mencakup ritual pemberian sesajen, pembacaan mantra, dan penghormatan kepada leluhur (danyang desa), yang memastikan bahwa energi spiritual Barongan tetap terjaga dan dihormati.
VIII. Kedalaman Filosofis Taring dan Rupa
Setiap bagian dari Barongan Caplokan adalah sebuah kalimat filosofis yang terukir dalam kayu. Untuk benar-benar mengapresiasi Barongan, kita harus membaca detail-detail kecil yang sering terabaikan, dari taring hingga bulu mata.
A. Makna Ekspresi Mata dan Taring
Mata Barongan Caplokan biasanya dibuat sangat besar dan melotot (belalak), mencerminkan kewaspadaan abadi dan kekuatan supranatural. Pupil mata yang menatap tajam melambangkan kemampuan Singo Barong untuk menembus ilusi dunia material dan melihat kebenaran spiritual. Mata ini sering dicat dengan warna-warna cerah seperti merah, kuning, atau putih, yang menambah kontras dramatis terhadap kulit topeng yang gelap.
Taring atau gigi Caplokan adalah manifestasi dari kekuatan destruktif dan protektif. Mereka melambangkan kemampuan untuk ‘memangsa’ kejahatan, penyakit, atau energi negatif yang mengancam komunitas. Namun, taring juga berfungsi ganda; mereka adalah titik di mana penari menghubungkan dirinya secara fisik dengan topeng, mengubah kebuasan Singo Barong menjadi beban tanggung jawab yang diangkat dengan kemanusiaan dan kekuatan spiritual.
Bentuk mulut yang lebar dan ternganga (Caplokan) adalah undangan sekaligus ancaman. Ia mengundang keberanian dan memanggil energi, sementara pada saat yang sama, ia mengingatkan pada bahaya kekuatan yang tidak terkontrol. Rongga mulut yang terbuka lebar ini juga memungkinkan penari memiliki bidang pandang yang terbatas, memaksa mereka untuk bergerak berdasarkan intuisi dan ritme musik, bukan hanya penglihatan.
B. Peran Rongga Suara (Gonggongan)
Dalam beberapa Barongan Caplokan, terdapat mekanisme sederhana di bagian dalam topeng yang memungkinkan penari untuk menghasilkan suara menyerupai auman atau gonggongan (terutama dalam varian di Jawa Tengah). Suara ini, yang disebut *nggonggong*, merupakan elemen penting dalam pertunjukan. Auman Barongan adalah panggilan terhadap kekuatan alam, sebuah manifestasi suara dari roh Barong yang bergemuruh. Teknik nggonggong ini memerlukan penyesuaian khusus pada rongga Caplokan dan latihan artikulasi yang unik, seringkali dilakukan saat penari sedang dalam keadaan stamina puncak.
C. Hubungan dengan Trias Kosmik
Filosofi Jawa sering memandang dunia melalui konsep Trias Kosmik (atas, tengah, bawah). Dalam konteks Barongan Caplokan, konsep ini dapat dilihat dari konstruksi fisiknya:
- Bagian Bawah (Caplokan): Melambangkan dunia manusia dan bumi, tempat penari Warok menjejak dan menahan beban. Ini adalah ranah kekuatan fisik dan ketahanan.
- Bagian Tengah (Kepala Barongan): Melambangkan dunia pertengahan, ranah konflik, emosi, dan kekuatan liar (Singo Barong) yang perlu dikendalikan.
- Bagian Atas (Dadak Merak): Melambangkan dunia atas, spiritualitas, keindahan, dan kehormatan kerajaan (lambang Raja Kelana Sewandana).
Seorang penari Barongan Caplokan adalah jembatan yang menghubungkan ketiga ranah ini, memikul beban dunia atas dengan kekuatan dunia bawah, melalui manifestasi Singo Barong.
Ketelitian dan peralatan tradisional yang dibutuhkan untuk menciptakan Barongan Caplokan yang sakral.
IX. Dinamika Ekonomi dan Dampak Sosial Komunitas Barongan
Kesenian Barongan Caplokan bukan hanya aset budaya, tetapi juga mesin ekonomi bagi komunitas di daerah asalnya. Lingkaran ekonomi yang terbentuk di sekitar Barongan melibatkan banyak pihak, dari pengrajin hingga penampil dan penyedia perlengkapan.
A. Livelihood Pengrajin Topeng
Seorang pengrajin Barongan Caplokan, atau *Empu Topeng*, memegang peranan vital. Kualitas topeng tidak hanya dinilai dari keindahannya, tetapi juga dari ‘kekuatan’ spiritual yang dimilikinya. Topeng Barongan berkualitas tinggi, yang dibuat dengan kayu Jati tua dan melalui ritual lengkap, bisa berharga puluhan juta rupiah. Penghasilan ini menghidupi keluarga pengrajin dan melestarikan pengetahuan tradisional tentang pemahatan dan pewarnaan alami.
Permintaan akan Barongan Caplokan saat ini tidak hanya datang dari grup-grup Reog di Indonesia, tetapi juga dari kolektor seni internasional yang tertarik pada kekayaan estetika dan antropologis topeng tersebut. Perajin modern juga mulai bereksperimen dengan material yang lebih ringan, seperti serat kaca, untuk topeng yang digunakan dalam tur internasional, meskipun topeng ritual tetap harus menggunakan kayu asli.
B. Peran Sanggar dan Grup Pertunjukan
Grup Reog (sanggar) adalah tulang punggung operasional Barongan Caplokan. Sebuah sanggar besar dapat mempekerjakan puluhan hingga ratusan orang, termasuk penari Warok, Jathil, Bujang Ganong, penabuh Gamelan, dan staf logistik. Pendapatan mereka didapat dari pertunjukan pada acara-acara besar seperti pernikahan, sunatan, festival desa, dan perayaan nasional.
Kehadiran Barongan Caplokan dalam sebuah pertunjukan seringkali menjadi daya tarik utama yang menentukan tarif pertunjukan. Semakin tua dan terkenal Barongan Caplokan milik sanggar, semakin tinggi pula nilai historis dan spiritual yang mereka tawarkan, yang secara langsung meningkatkan daya tarik komersial mereka di pasar seni pertunjukan tradisional.
C. Barongan dan Identitas Lokal
Secara sosial, Barongan Caplokan adalah penanda identitas yang kuat, khususnya bagi warga Ponorogo dan sekitarnya. Kesenian ini memupuk rasa bangga komunal dan solidaritas. Festival Reog, di mana Barongan Caplokan menjadi pusat perhatian, berfungsi sebagai ajang sosial yang mempererat ikatan antarwarga dan antar-desa. Keterlibatan dalam kesenian Barongan, baik sebagai penari, pemusik, atau pengrajin, memberikan status sosial dan kehormatan dalam komunitas.
Barongan Caplokan juga memainkan peran penting dalam ritual siklus hidup, seperti upacara bersih desa atau tolak bala. Kehadirannya dipercaya dapat membersihkan desa dari roh jahat dan membawa kesuburan serta kemakmuran, menegaskan kembali perannya sebagai penjaga spiritual yang sudah ada sejak dahulu kala.
Setiap goresan pada kayu Barongan, setiap helai ijuk yang terikat, dan setiap gerakan ngenceng dari penarinya, semuanya berkisah tentang ketahanan budaya Jawa yang luar biasa. Barongan Caplokan adalah warisan abadi, sebuah simfoni antara seni rupa yang mendalam, spiritualitas yang mencekam, dan ketahanan fisik yang menakjubkan, menjadikannya salah satu permata paling berharga dalam khazanah seni pertunjukan dunia.