Barongan Caplok Caplok: Penjelajahan Mendalam Atas Singa Spiritual Tanah Jawa

Barongan, sebuah kesenian rakyat yang berasal dari akar budaya Jawa, bukan sekadar pertunjukan topeng atau tarian biasa. Ia adalah manifestasi dari energi primal, representasi mitologis, dan ritual spiritual yang dipertahankan turun-temurun. Dalam setiap gerakannya, terkandung kisah tentang keberanian, kekuatan gaib, dan hubungan mendalam antara manusia dengan alam spiritual. Salah satu ciri paling ikonik dan sentral dari pertunjukan ini adalah aksi dinamis yang dikenal sebagai ‘Caplok Caplok’, sebuah gerakan menggigit atau mencaplok yang dilakukan oleh kepala Singo Barong, sang figur utama yang menyerupai singa mitologis dengan surai yang lebat.

Aksi ‘Caplok Caplok’ ini lebih dari sekadar atraksi fisik. Ia adalah inti filosofis yang menghubungkan seluruh narasi pertunjukan. Ketika Pembarong (penari Barongan) mengayunkan kepala Barong dan menggerakkan rahangnya dengan ritme cepat, ia sedang melakukan sebuah pembersihan spiritual. Gerakan ini dipercaya mampu mengusir roh jahat, menyerap energi negatif dari lingkungan, dan melindungi komunitas dari marabahaya. Memahami Barongan berarti menyelami kompleksitas antara mitos, seni pertunjukan, dan praktik spiritual tradisional.

Visualisasi Kepala Barongan dengan Mulut Terbuka CAPLOK

Representasi artistik kepala Barongan yang siap melakukan gerakan 'Caplok Caplok', menampilkan rahang yang bergerak dan mata yang tajam penuh energi.

I. Jejak Sejarah dan Mitologi Singo Barong

Untuk memahami sepenuhnya ‘Caplok Caplok’, kita harus kembali ke akar mitologis yang membentuk entitas Singo Barong. Figur Barongan sering dikaitkan erat dengan narasi besar Jawa, terutama yang berkaitan dengan era Majapahit atau, dalam konteks tertentu, cerita Panji yang tersebar di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun, narasi yang paling kuat adalah yang menghubungkan Barong dengan legenda Reog Ponorogo, meskipun Barongan berdiri sebagai kesenian yang mandiri di banyak wilayah seperti Kudus, Jepara, dan Blora.

Asal Mula Singa Mitologis

Singo Barong bukanlah singa biologis Afrika atau Asia, melainkan singa mistis yang digambarkan memiliki kekuatan spiritual luar biasa. Dalam beberapa versi mitos, Singo Barong adalah manifestasi dari Patih Gajah Mada atau prajurit gagah yang berubah wujud setelah bertapa, menjadikannya simbol kekuatan perlindungan yang tak tertandingi. Dalam konteks lain, ia adalah makhluk hutan yang menakutkan namun akhirnya dijinakkan atau diintegrasikan ke dalam struktur kosmos Jawa sebagai pelindung desa.

Kisah-kisah ini menekankan dualitas Barong: ia menakutkan sekaligus sakral. Surai yang lebat, mata yang melotot, dan taring yang menonjol menandakan kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan kejahatan. Namun, ketika kekuatan ini digunakan melalui tarian ritual, ia menjadi kekuatan konstruktif. Gerakan ‘Caplok Caplok’ adalah perwujudan fisik dari dualitas ini—gerakan menggigit yang bisa melukai atau menelan, tetapi dalam konteks pertunjukan, ia menelan keburukan.

Periode Islamisasi dan Sinkretisme Budaya

Barongan juga menunjukkan lapisan sinkretisme budaya yang mendalam. Selama periode masuknya Islam ke Jawa, banyak kesenian pra-Islam yang tidak dimusnahkan, melainkan disesuaikan. Barongan, yang berakar pada animisme dan Hindu-Buddha, dipertahankan karena perannya yang vital dalam upacara adat dan pertanian. Energi 'Caplok' yang awalnya mungkin digunakan untuk menakut-nakuti roh pengganggu panen, kemudian diinterpretasikan sebagai metode untuk menjauhkan godaan atau bala bencana yang berasal dari dimensi gaib.

Kesenian ini, khususnya di wilayah pesisir Jawa Tengah, berkembang pesat sebagai sarana hiburan rakyat sekaligus pelengkap ritual. Struktur pementasan yang melibatkan interaksi langsung dengan penonton dan sering kali diselenggarakan di ruang terbuka (lapangan atau persimpangan desa) memperkuat fungsinya sebagai seni komunal. Kesenian ini menjadi media komunikasi yang efektif, baik secara vertikal (dengan leluhur/roh) maupun horizontal (antar anggota masyarakat).

II. Mekanisme dan Estetika Kepala Singo Barong

Wujud fisik kepala Barong adalah sebuah mahakarya kriya yang rumit. Bahan utama yang digunakan secara tradisional adalah kayu Jati, Nangka, atau Cempaka yang dikenal kuat dan ringan. Pemilihan kayu tidak hanya berdasarkan aspek teknis, tetapi juga spiritual; beberapa jenis kayu dianggap memiliki isi (kekuatan gaib) yang lebih tinggi.

Konstruksi Rahang dan Kepala

Kepala Barong (sering disebut juga kedok atau caplokan) terdiri dari dua bagian utama yang terpisah: bagian atas yang stasioner dan rahang bawah yang dapat digerakkan. Inilah kunci dari aksi ‘Caplok Caplok’. Rahang bawah disambungkan pada bagian atas melalui engsel atau tali kulit yang tersembunyi. Untuk memastikan gerakan cepat dan keras, Pembarong menggunakan tali atau pegangan kayu yang terpasang di dalam kepala, yang dioperasikan dengan kekuatan leher, dagu, dan genggaman tangan.

Kekuatan Fisik di Balik ‘Caplok Caplok’

Gerakan ‘Caplok Caplok’ menuntut kekuatan fisik dan stamina yang luar biasa dari Pembarong. Kepala Barong yang berukuran besar dan berat (bisa mencapai 30-50 kg, tergantung bahan) harus diangkat dan diayunkan secara ritmis dan berkelanjutan. Gerakan mencaplok dilakukan dengan hentakan rahang yang cepat dan keras, menghasilkan suara ‘klotak’ yang khas dan menjadi bagian dari irama musik gamelan.

Ketepatan dan kecepatan gerakan ini menunjukkan kualitas Pembarong. Pembarong senior mampu melakukan gerakan ‘Caplok’ sambil berlari, melompat, atau bahkan dalam posisi menari di atas tiang. Energi yang dikeluarkan saat rahang Barong menghantam kembali adalah simbol energi yang dilepaskan ke alam semesta, membersihkan ruang di sekitarnya. Penguasaan teknik ini memakan waktu bertahun-tahun, melibatkan pelatihan fisik yang intensif, serta penempaan spiritual.

Gerakan mencaplok tidak hanya terjadi di udara kosong; sering kali Barong mencaplok benda-benda ritual, seperti sesajen, atau bahkan benda-benda yang dilemparkan oleh penonton, menunjukkan kekuatan magisnya dalam "menelan" atau memproses entitas asing. Dalam beberapa pementasan, Barong bahkan ‘mencaplok’ anak kecil sebagai bentuk interaksi dan doa perlindungan, sebuah tradisi yang diterima masyarakat sebagai berkah dan bukan ancaman.

Detail pada ukiran Barong sering kali sangat spesifik, mencerminkan gaya lokal. Barongan dari Blora mungkin memiliki karakteristik yang lebih sederhana dan fokus pada surai yang ekstrem, sementara Barongan dari Jepara atau Kudus mungkin lebih fokus pada detail ukiran yang halus dan rumit, mencerminkan tradisi ukir kota tersebut. Terlepas dari variasi estetika, mekanisme ‘Caplok’ tetap menjadi elemen universal yang mendefinisikan tarian tersebut.

III. Filosofi Gerak: Makna Spiritual Aksi Mencaplok

Inti dari Barongan adalah transendensi, perpindahan dari dunia nyata ke dunia spiritual, dan aksi ‘Caplok Caplok’ adalah jembatan utama menuju ranah tersebut. Gerakan mencaplok bukan sekadar peniruan singa yang sedang makan; ini adalah peniruan tindakan kosmis yang melibatkan penyatuan dan pembersihan.

Caplok Sebagai Pemurnian (Ruwat)

Dalam konteks ritual Jawa, tindakan menelan atau mencaplok sering dikaitkan dengan konsep ruwat (pembersihan atau penetralan nasib buruk). Ketika Barong mencaplok, ia secara simbolis menelan atau membatalkan kutukan, penyakit, atau energi negatif (sengkolo) yang mungkin melekat pada seseorang atau suatu tempat. Kekuatan Barong dianggap cukup besar untuk menyerap kotoran spiritual tanpa terkontaminasi.

Hal ini menjelaskan mengapa pertunjukan Barongan sering diminta dalam upacara adat penting, seperti sedekah bumi, pernikahan, atau pembersihan desa. Kehadiran Singo Barong dan gerakan caplokannya yang ritmis diyakini menciptakan medan energi positif, mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu keberkahan acara atau kesuburan tanah.

Fenomena Kesurupan (Trance)

Aksi ‘Caplok Caplok’ juga berfungsi sebagai katalisator untuk kondisi kesurupan (trance) yang sering terjadi pada Pembarong dan anggota rombongan lainnya, khususnya penari Jathilan (kuda lumping) yang menyertai Barongan. Irama musik yang intens, gerakan yang repetitif dan cepat, serta energi yang terkumpul dari penonton, mendorong Pembarong mencapai keadaan non-sadar. Dalam kondisi ini, Pembarong tidak lagi bertindak sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai wadah bagi roh Singo Barong yang sesungguhnya.

Saat Barong 'dirasuki', gerakan mencaplok menjadi lebih agresif, tidak terkontrol, dan sering kali diarahkan pada elemen-elemen yang dianggap mengandung kejahatan. Kekuatan yang dibutuhkan untuk menahan dan menggerakkan topeng berat dalam kondisi trance ini menunjukkan bahwa energi yang bekerja bukanlah energi manusia biasa, melainkan kekuatan dari entitas spiritual yang merasukinya. Pengendalian kembali sang Pembarong dari kondisi trance sering kali memerlukan ritual khusus dan intervensi dari pawang (dukungan spiritual grup).

Simbolisme Suara Hantaman

Suara keras ‘klotak’ yang dihasilkan oleh hantaman rahang Barong bukanlah efek samping, melainkan bagian integral dari musik dan ritual. Dalam kosmologi Jawa, suara memiliki kekuatan magis. Suara hantaman Barong dipercaya memiliki frekuensi yang mampu memecah konsentrasi entitas jahat, sehingga memaksa mereka pergi. Ritme ‘Caplok Caplok’ yang teratur dan kuat adalah mantra yang diucapkan melalui gerak dan bunyi, sebuah peringatan kepada dunia gaib bahwa penjaga telah hadir.

Kualitas suara ini sangat penting sehingga Pembarong sering menguji rahang Barong sebelum pertunjukan untuk memastikan suara yang dihasilkan tebal dan resonan. Suara ini, berpadu dengan tabuhan Kendang dan Gong, menciptakan suasana sakral yang membawa penonton dan penari ke dalam dimensi pertunjukan yang lebih dalam dan mistis.

IV. Ragam Pertunjukan dan Iringan Gamelan Khas

Pertunjukan Barongan merupakan kolaborasi intensif antara gerak, topeng, dan musik. Gamelan yang mengiringi Barongan memiliki karakter yang berbeda dengan gamelan keraton, cenderung lebih ritmis, keras, dan bersemangat, disesuaikan dengan kebutuhan tarian rakyat yang ekspresif dan penuh kekuatan.

Instrumen Penting dalam Gamelan Barongan

Komposisi musik Barongan dirancang untuk mendukung transisi energi, dari awal yang tenang menuju klimaks kekerasan (Barong ngamuk) dan kembali ke penutup. Beberapa instrumen kunci meliputi:

Visualisasi Kendang, Irama Utama Barongan KENDANG

Kendang, instrumen utama yang mengatur tempo dan energi, sangat penting untuk mengendalikan ritme agresif 'Caplok Caplok'.

Struktur Pementasan

Pementasan Barongan modern biasanya menggabungkan beberapa elemen, meskipun fokus utamanya tetap pada Singo Barong. Tiga fase utama pertunjukan meliputi:

  1. Pembukaan (Gelar): Iringan musik yang lebih lambat dan ritual penyambutan. Barong masuk ke arena dengan gerakan elegan dan hati-hati, memancarkan aura keagungan.
  2. Puncak Aksi (Caplok dan Ngamuk): Ini adalah bagian yang paling dinanti. Tempo musik meningkat tajam. Pembarong mulai menunjukkan kekuatan penuh ‘Caplok Caplok’ dan gerakan akrobatik. Pada fase ini, sering terjadi kesurupan pada penari atau pengikut. Aksi Barong yang marah (ngamuk) bertujuan untuk membersihkan lingkungan.
  3. Penutup (Penyadaran): Setelah energi Barong terkuras, atau setelah ritual pembersihan selesai, pawang akan melakukan proses penyadaran, membawa kembali roh Pembarong ke kesadaran normal. Gerakan Barong menjadi lebih tenang, dan musik perlahan meredup.

Dalam pertunjukan tradisional yang lebih murni ritual, fokus pada ‘Caplok Caplok’ menjadi lebih dominan di awal untuk segera melakukan pembersihan spiritual sebelum narasi utama (jika ada) dimulai. Barongan, sebagai kesenian yang hidup, selalu beradaptasi dengan kebutuhan sosial; di beberapa daerah, ia juga digunakan sebagai kritik sosial yang disampaikan secara terselubung melalui dialog atau aksi kocak dari tokoh pendamping (seperti Barongan versi Cepu/Blora yang memiliki unsur komedi yang kuat).

Penggunaan kostum, terutama pada bagian badan Barong, juga menambah dimensi mistis. Kain penutup Barong sering berwarna gelap dan tebal, melambangkan misteri hutan dan dimensi gaib. Kain ini juga bertindak sebagai pelindung visual bagi Pembarong, menyembunyikan identitas manusia di balik entitas spiritual yang sedang dimainkan.

V. Variasi Regional dan Kekuatan Kesenian Barongan

Meskipun inti dari gerakan ‘Caplok Caplok’ tetap sama, Barongan berkembang menjadi berbagai gaya di Jawa, masing-masing membawa ciri khas lokal yang dipengaruhi oleh sejarah dan kepercayaan setempat. Perbedaan ini terlihat jelas pada bentuk topeng, kostum, irama gamelan, dan intensitas spiritual pertunjukannya.

Barongan Jawa Tengah Timur (Blora dan Cepu)

Barongan Blora dikenal karena aspek kerakyatannya yang kuat dan unsur humor yang disisipkan. Barongan di sini sering dikaitkan erat dengan ritual pertanian. Gerakan ‘Caplok Caplok’ pada Barongan Blora cenderung lebih kasar dan spontan, sering kali mengarah ke interaksi fisik dengan penonton sebagai bagian dari humor atau tantangan. Surai Barongan Blora biasanya sangat tebal, panjang, dan sering dihiasi dengan kaca cermin yang mencolok. Mereka juga sering mempertontonkan adegan kesaktian seperti memakan pecahan kaca atau benda tajam dalam kondisi trance.

Barongan Jawa Tengah Utara (Kudus dan Jepara)

Di wilayah pantura, Barongan cenderung lebih mengedepankan aspek seni ukir. Karena Jepara terkenal sebagai pusat ukiran kayu, kepala Barong di wilayah ini mungkin memiliki detail yang lebih halus dan penggunaan warna yang lebih cerah, meskipun tetap mempertahankan mata yang menyeramkan. Di Kudus, Barongan sering dikaitkan dengan ritual sedekah laut atau pembersihan kota, dan gerakan ‘Caplok’ lebih terfokus pada titik-titik vital dalam upacara, seperti di sekeliling sesajen, daripada interaksi langsung dengan massa.

Barongan Jawa Timur (Konteks Reog)

Meskipun sering disamakan, Barongan (yang merupakan tarian independen) dan Singo Barong dalam Reog Ponorogo adalah dua entitas yang berbeda. Singo Barong Reog jauh lebih besar dan ditarikan oleh satu orang yang menopang topeng di atas kepala dengan gigitan—sebuah aksi kekuatan yang berbeda fokusnya. Namun, roh Singo Barong (Raja Singo Barong) di kedua kesenian memiliki kesamaan filosofi tentang kekuatan dan perlindungan. Dalam Barongan mandiri di Jawa Timur (di luar Ponorogo), aksi ‘Caplok’ tetap menjadi gerakan esensial untuk membuang kesialan.

Tantangan Pelestarian di Era Modern

Di tengah gempuran budaya global, kesenian Barongan menghadapi tantangan pelestarian yang kompleks. Salah satu tantangan terbesarnya adalah regenerasi Pembarong. Karena tuntutan fisik dan spiritual yang tinggi, tidak mudah mencari generasi muda yang mau mendedikasikan diri sepenuhnya. Selain itu, bahan baku tradisional seperti rambut kuda asli untuk surai semakin sulit didapatkan, memaksa kelompok seni menggunakan alternatif buatan.

Namun, gerakan ‘Caplok Caplok’ yang dramatis dan penuh energi justru menjadi daya tarik utama bagi penonton modern. Kelompok Barongan kini sering tampil di festival dan acara kebudayaan, menggunakan atraksi ‘Caplok’ sebagai klimaks pertunjukan yang memukau, sehingga memastikan bahwa esensi energi dan kekuatan spiritual Barong tetap relevan di mata publik.

Kehadiran Barongan di festival-festival menunjukkan perubahan fungsi, dari murni ritual menjadi pertunjukan seni yang memperkuat identitas lokal. Ini adalah strategi adaptif yang penting: menjaga ritual inti (Caplok) sambil membuatnya mudah diakses dan dinikmati sebagai hiburan spektakuler.

VI. Teknik dan Etika Khusus Seorang Pembarong Sejati

Menjadi Pembarong bukan hanya tentang mengenakan topeng dan menari; ini adalah jalur disiplin fisik, spiritual, dan artistik yang ketat. Kualitas seorang Pembarong sejati diukur dari kemampuannya untuk menyalurkan roh Singo Barong, yang puncaknya terlihat saat melakukan gerakan ‘Caplok Caplok’ dengan penuh penghayatan dan kekuatan.

Latihan Fisik yang Berat

Latihan fisik berfokus pada penguatan leher, bahu, dan punggung, yang vital untuk menopang dan menggerakkan kepala Barong yang berat selama durasi pertunjukan. Pembarong harus mampu menahan beban dan melakukan gerakan cepat yang tidak terduga, meniru gerakan liar singa. Kecepatan dan ketepatan ‘Caplok’ bergantung pada refleks otot yang terlatih sempurna. Tanpa stamina yang prima, Pembarong tidak akan mampu mencapai kondisi trance yang diperlukan untuk pertunjukan ritualistik yang efektif.

Disiplin Spiritual (Laku)

Aspek spiritual sama pentingnya dengan aspek fisik. Seorang Pembarong sering kali harus menjalani laku (ritual atau disiplin spiritual) tertentu, seperti puasa (mutih), meditasi, dan pembacaan mantra. Disiplin ini bertujuan untuk membersihkan diri dan membuat tubuhnya layak menjadi wadah bagi roh Barong. Ketika Pembarong telah siap secara spiritual, roh Singo Barong akan lebih mudah masuk, dan gerakan ‘Caplok Caplok’ yang dihasilkan akan memiliki energi spiritual yang jauh lebih besar.

Terkadang, Pembarong juga memiliki jimat atau benda pusaka yang diyakini menyimpan kekuatan Barong, yang mereka bawa selama pertunjukan. Benda-benda ini berfungsi sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia roh. Keseluruhan proses ini memastikan bahwa aksi ‘Caplok Caplok’ bukan sekadar mekanis, melainkan tindakan yang dimediasi oleh kekuatan gaib.

Bahaya dan Etika Saat Trance

Dalam kondisi kesurupan, Pembarong berada dalam bahaya fisik, terutama saat melakukan ‘Caplok Caplok’ yang sangat agresif. Peran pawang sangat krusial di sini. Pawang bertindak sebagai pengawas dan pengontrol, memastikan bahwa energi Barong yang sedang mengamuk tidak menimbulkan bahaya bagi penonton atau merusak tatanan ritual. Etika utama Pembarong adalah menghormati roh yang mendiaminya dan memastikan bahwa kekuatan yang disalurkan digunakan untuk tujuan yang baik (pembersihan dan perlindungan).

Gerakan Caplok, ketika dilakukan dalam kondisi trance, dapat melibatkan risiko bagi Pembarong sendiri, termasuk cedera leher akibat hentakan yang berlebihan atau kekuatan yang tidak wajar. Oleh karena itu, pelatihan yang dilakukan bertahun-tahun tidak hanya berfokus pada kekuatan, tetapi juga pada manajemen risiko dan pengendalian diri, meskipun dalam kondisi tidak sadar sepenuhnya. Perpaduan antara fisik yang prima, spiritual yang matang, dan pengendalian diri inilah yang membuat Pembarong dianggap sebagai seniman sekaligus praktisi spiritual yang dihormati.

Pembarong sejati memahami bahwa mereka adalah penjaga tradisi dan spiritualitas. Setiap gerakan, setiap ayunan kepala, dan setiap hantaman ‘Caplok’ adalah sebuah doa tanpa kata, sebuah persembahan kepada leluhur dan kepada energi alam semesta.

VII. Barongan dalam Dimensi Kontemporer dan Representasi Budaya

Di abad ini, Barongan Caplok Caplok telah melampaui batas-batas desa dan pementasan ritual. Ia menjadi salah satu ikon kebudayaan Jawa yang paling dikenal, sering mewakili energi dan semangat keberanian Indonesia dalam konteks internasional.

Caplok Sebagai Identitas Visual

Aksi Barongan, terutama gerakan mencaplok yang dramatis, telah diabadikan dalam berbagai bentuk seni kontemporer, mulai dari patung modern, lukisan, hingga desain grafis. Gambaran Barong yang mengaum dengan rahang terbuka lebar melambangkan keberanian, ketegasan, dan penolakan terhadap kepalsuan atau kejahatan. Visual ini sangat kuat karena merepresentasikan tindakan tegas dan langsung.

Para seniman muda sering bereksperimen dengan desain Barongan, menggabungkan elemen tradisional dengan warna dan material modern, namun mereka hampir selalu mempertahankan ciri khas rahang yang dinamis. Ini menunjukkan betapa esensialnya aksi ‘Caplok Caplok’ bagi identitas kesenian tersebut; tanpanya, Barongan kehilangan sebagian besar kekuatan visual dan filosofisnya.

Integrasi dalam Kesenian Lain

Barongan kini sering diintegrasikan ke dalam pertunjukan tari kontemporer, teater, dan bahkan opera modern di Indonesia. Dalam konteks ini, fungsi ritualnya mungkin berkurang, namun fungsi estetika dan simbolisnya justru diperkuat. Gerakan ‘Caplok’ digunakan untuk memberikan kejutan, menandai transisi dramatis, atau mewakili konflik batin antara kebaikan dan kejahatan.

Melalui adaptasi ini, pesan tentang kekuatan perlindungan dan pembersihan yang dibawa oleh Barong dapat menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang tidak akrab dengan latar belakang spiritual tradisional Jawa. Transformasi ini membuktikan bahwa Barongan adalah kesenian yang dinamis dan mampu bertahan melintasi zaman.

Barongan dan Edukasi Budaya

Saat ini, banyak sanggar seni dan sekolah mulai memasukkan Barongan ke dalam kurikulum mereka, mengajarkan tidak hanya teknik menari tetapi juga filosofi di baliknya. Fokus pada ‘Caplok Caplok’ sebagai tindakan pembersihan memberikan pelajaran berharga tentang kearifan lokal dalam menghadapi kesulitan. Anak-anak yang belajar Barongan tidak hanya melatih fisik mereka, tetapi juga dibekali pemahaman tentang pentingnya menjaga keseimbangan spiritual dan ekologis.

Melalui upaya edukasi ini, warisan Barongan dan makna mendalam dari aksi mencaplok diyakini akan terus hidup. Kesenian ini akan terus menjadi cermin spiritual masyarakat Jawa, sebuah pengingat abadi bahwa kekuatan terbesar adalah kekuatan untuk membersihkan dan melindungi diri sendiri dari segala marabahaya, baik yang nyata maupun yang gaib, yang semuanya terwujud dalam satu hentakan rahang yang mematikan namun menyelamatkan: Caplok Caplok.

Barongan adalah napas, Barongan adalah ritual, dan setiap 'Caplok' adalah penegasan kehidupan dan perlindungan abadi.

🏠 Homepage