Barongan: Simbol Kekuatan Kosmis dan Penjaga Keseimbangan.
Barongan, sebuah entitas budaya yang lahir dari rahim tradisi Nusantara, bukanlah sekadar pertunjukan seni. Ia adalah manifestasi spiritual, narasi historis yang hidup, dan penjaga filosofis yang termaktub dalam gerak, rupa, dan suara gamelan yang mengiringinya. Keberadaannya melampaui batas geografis, merentang dari ujung timur Jawa hingga ke jantung Bali, mengambil bentuk dan nama yang berbeda—Singo Barong, Barong Ket, Barong Landung—namun membawa satu inti pesan yang sama: pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan, serta upaya manusia untuk mencari keseimbangan kosmik.
Dalam konteks Jawa Timur, khususnya, Singo Barong yang identik dengan Reog Ponorogo, menjelma menjadi representasi kekuatan hegemonik dan spiritual yang dahsyat. Sementara di Bali, Barong sering digambarkan sebagai simbol Dharma, kebaikan yang tak pernah mati, melawan Rangda, simbol Adharma. Perbedaan visual dan kontekstual ini justru menegaskan kekayaan makna Barongan sebagai arketipe budaya Asia Tenggara yang mampu beradaptasi, berevolusi, dan tetap relevan di tengah gempuran modernitas. Artikel ini akan menelusuri setiap lapisan makna Barongan, dari akar mitologinya yang paling dalam hingga peranannya yang vital dalam ekosistem budaya kontemporer.
Keagungan Barongan terletak pada detailnya. Setiap helai ijuk yang menjadi rambut, setiap kilatan cermin yang menghiasi topeng, dan setiap denting gong yang mengawal langkahnya adalah bagian dari narasi besar. Ini adalah kisah tentang hutan belantara yang dihuni roh leluhur, tentang raja-raja yang mencari legitimasi spiritual, dan tentang masyarakat yang menemukan cara untuk merayakan kehidupan sambil menghormati kematian. Barongan adalah cerminan kolektif jiwa Nusantara yang percaya bahwa dunia fisik dan dunia gaib saling berinteraksi, menciptakan dimensi realitas yang penuh misteri dan keajaiban. Memahami Barongan berarti menyelami kosmologi Jawa dan Bali, sebuah pemahaman yang menuntut kekhusyukan dan penghormatan mendalam.
Asal-usul Barongan diselimuti kabut legenda yang bercampur dengan sejarah kerajaan-kerajaan kuno. Para ahli sepakat bahwa Barongan berakar kuat pada kepercayaan animisme dan dinamisme pra-Hindu-Buddha. Sebelum konsep Dewa-Dewi masuk, masyarakat Nusantara menyembah roh penjaga hutan, gunung, dan air. Bentuk Barongan—sebagai makhluk buas berwajah singa, naga, atau macan—adalah representasi dari spirit penjaga yang paling kuat, yang dikenal sebagai *Hyang* atau *Dewa.*
Konsep Barongan sangat terkait dengan pemujaan leluhur yang telah mencapai kesempurnaan dan bertransformasi menjadi penjaga spiritual wilayah. Ketika Barongan dimainkan, ia bukan hanya sekadar boneka besar; ia dianggap sebagai kendaraan bagi roh-roh pelindung tersebut untuk kembali ke dunia manusia, memberikan berkat, perlindungan dari wabah (pageblug), dan mengusir roh jahat. Ritual yang mengelilingi Barongan, seperti *Ngelawang* di Bali, adalah bukti nyata dari fungsi spiritualnya yang mendalam. Fungsi ini menempatkan Barongan sebagai subjek sakral, bukan sekadar hiburan musiman.
Dalam mitologi Jawa, khususnya yang mengarah pada Singo Barong (Reog), figur ini sering dikaitkan dengan kisah Raja Kertabumi dari Majapahit atau tokoh epik Prabu Klono Sewandono dari Ponorogo, yang konon harus menaklukkan singa raksasa atau makhluk buas demi mendapatkan hati putri yang dicintainya. Penaklukan ini, dalam konteks spiritual, adalah simbol penaklukkan hawa nafsu duniawi dan penguasaan diri, yang kemudian direpresentasikan secara fisik melalui topeng Singo Barong yang megah dan berat. Pengangkatan topeng Singo Barong yang bisa mencapai beban hingga 50 kilogram dengan kekuatan gigitan adalah metafora visual untuk kekuatan spiritual yang diperlukan dalam mengendalikan entitas kosmik.
Seiring masuknya agama Hindu dan Buddha, Barongan mengalami sinkretisme. Karakter Barong di Bali sering dikaitkan dengan figur *Banaspati Raja* (Raja Hutan), yang secara harfiah berarti api hutan. Meskipun tidak secara langsung disebut dalam Veda, perannya sebagai pelindung dan entitas yang menjaga batas antara dunia manusia dan dunia gaib sejalan dengan konsep penjaga arah mata angin atau Dewata Nawa Sanga. Pertarungannya dengan Rangda—sosok leak yang menyeramkan—mencerminkan duel antara Dewa dan Raksasa yang lazim dalam kisah Mahabarata dan Ramayana, namun diinterpretasikan ulang dalam kerangka budaya lokal.
Barongan, dengan demikian, berfungsi sebagai jembatan naratif. Ia menghubungkan masa lalu animistik yang memuja roh alam dengan kosmologi Hindu-Buddha yang lebih terstruktur. Topeng Barongan yang dihiasi ukiran rumit dan mahkota yang menyerupai stupa atau hiasan kuil adalah perwujudan fisik dari proses asimilasi budaya yang berlangsung selama berabad-abad. Ia adalah buku sejarah yang dibacakan melalui tarian yang penuh gejolak, diiringi oleh melodi gamelan yang membius kesadaran.
Filosofi Singo Barong dan segala atributnya mengajarkan tentang dualitas. Singa adalah raja hutan, simbol kekuatan tanpa tandingan. Namun, ia juga adalah penjaga yang bijaksana. Dalam pertunjukannya, kadang kala Barong memperlihatkan sisi lucu dan jenaka, berinteraksi dengan penonton anak-anak, mencerminkan bahwa kebaikan sejati tidak harus selalu menakutkan atau jauh, tetapi bisa juga hadir dalam bentuk yang mudah didekati, sebuah pelajaran penting tentang kerendahan hati dalam kekuasaan.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang Barongan, perlu dilakukan pembedahan visual dan simbolis terhadap setiap komponen kostum dan properti yang digunakan. Kostum Barongan, terutama Barong Ket di Bali atau Singo Barong di Jawa, adalah mahakarya kerajinan tangan yang memerlukan ketelitian spiritual dan teknis tinggi. Ia bukan sekadar pakaian, melainkan sebuah kuil bergerak yang menjadi rumah sementara bagi energi spiritual yang diundang.
Topeng Barongan, atau tapel, adalah jantung dari seluruh pertunjukan. Ia umumnya diukir dari kayu pilihan yang dianggap sakral (seperti kayu nangka atau pule) dan sering kali telah melalui ritual penyucian sebelum digunakan. Wajah Barong sering didominasi oleh warna merah, emas, dan putih gading.
Badan Barongan ditutupi oleh jubah tebal dan panjang yang terbuat dari kain bludru atau kulit, dihiasi dengan ribuan cermin kecil, manik-manik, atau uang kepeng. Hiasan-hiasan ini memiliki dua fungsi utama: estetika dan magis.
Berat total kostum Barongan, terutama Singo Barong yang memerlukan dua orang pemain (pemain depan mengendalikan kepala, pemain belakang mengendalikan ekor), dapat menjadi beban fisik yang luar biasa. Beban ini, dalam tradisi Reog, diletakkan sepenuhnya pada leher dan gigi pemain depan, melambangkan pengorbanan dan pelatihan spiritual yang intens. Kemampuan untuk menahan berat tersebut tanpa bantuan tangan adalah demonstrasi dari *kesaktian* atau kekuatan batin yang telah dicapai melalui latihan dan ritual.
Setiap warna yang digunakan pada Barongan memuat filosofi mendalam:
Penggunaan material organik seperti kayu dan serat alami menekankan hubungan erat Barongan dengan alam, menegaskan bahwa kekuatan yang dimilikinya bersumber dari bumi, hutan, dan energi kosmos yang tak terbatas. Barongan adalah patung hidup yang berdenyut dengan sejarah dan spiritualitas kolektif.
Meskipun memiliki inti spiritual yang sama, Barongan berevolusi menjadi berbagai jenis yang unik, disesuaikan dengan konteks budaya dan narasi lokal. Keragaman ini menunjukkan daya lentur dan adaptabilitas kesenian tradisional Indonesia.
Singo Barong, yang paling terkenal sebagai bagian integral dari pertunjukan Reog Ponorogo, adalah Barongan yang paling agung dan menantang secara fisik. Ia digambarkan sebagai singa besar yang dimahkotai oleh merak. Konteksnya adalah kisah Prabu Klono Sewandono yang ingin meminang Dewi Songgolangit.
Barong Ket adalah Barongan yang paling umum dan sering ditampilkan di Bali. Ia berbentuk perpaduan antara singa, macan, dan banteng, yang memiliki penampilan yang lebih bersahabat namun tetap berwibawa.
Barong Landung berbeda drastis karena ia tidak menyerupai hewan buas. Barong Landung adalah patung manusia raksasa, dimainkan oleh satu orang di dalam struktur kayu.
Di wilayah Jawa Tengah, Barongan cenderung lebih sederhana, seringkali dimainkan oleh satu orang dan berfokus pada Barongan berwajah macan atau babi hutan. Fokusnya lebih kepada interaksi komedi dan pengamen jalanan (ngamen). Meskipun demikian, akar ritualnya sebagai pembersih desa tetap ada.
Keragaman ini menunjukkan bahwa Barongan bukanlah entitas statis, melainkan sistem kepercayaan dan seni yang hidup, yang terus menerus bernegosiasi dengan perubahan sosial dan lingkungan budayanya. Namun, benang merah yang menyatukan semua jenis Barongan adalah fungsinya sebagai mediator antara dunia manusia dan dunia spiritual, serta penegas identitas komunal.
Barongan tidak akan pernah menjadi lengkap tanpa kehadiran gamelan. Musik yang mengiringinya bukan sekadar latar belakang, melainkan instruksi gerak, pembangkit spiritual, dan komponen penting dalam menciptakan suasana magis yang diperlukan untuk terjadinya trance.
Setiap jenis Barongan memiliki set gamelan dan ritme (tabuh) yang spesifik. Di Bali, Barong Ket diiringi oleh Gamelan Gong Kebyar atau Semara Pegulingan, yang memiliki tempo cepat, ritme sinkopasi, dan dinamika yang sangat kontras, mencerminkan duel yang dramatis. Di Jawa Timur, Singo Barong diiringi oleh Gamelan Reog, yang didominasi oleh kendang (genderang), kempul (gong kecil), dan angklung reog (alat musik bambu yang khas).
Fungsi utama musik dalam pertunjukan Barongan adalah:
Dalam Reog Ponorogo, irama gamelan yang sangat berorientasi pada kendang menekankan kekuatan dan kebuasan Singo Barong, sementara selingan lagu yang dinyanyikan oleh warok (tokoh pembimbing) memberikan narasi spiritual yang menguatkan tema kekuasaan dan kepahlawanan.
Gerak Barongan (Wiraga) sangat spesifik. Barong selalu bergerak dengan kesan berat, megah, dan terkadang canggung, menekankan dimensi spiritualnya sebagai makhluk yang datang dari dunia lain.
Proses pemulihan dari trance biasanya dilakukan oleh seorang pawang atau pemuka adat yang membaca mantra (japa) dan menggunakan air suci atau dupa. Ini menegaskan bahwa keseluruhan proses Barongan adalah sebuah ritual yang terstruktur, di mana seni dan spiritualitas tidak dapat dipisahkan. Tanpa elemen magis ini, Barongan hanyalah topeng kayu biasa; dengan elemen ini, ia menjadi perwujudan Dewa.
Melampaui ranah seni pertunjukan, Barongan memegang peran sosiokultural yang krusial. Ia adalah perekat komunitas, alat pendidikan moral, dan sistem pertahanan spiritual kolektif.
Fungsi utama Barongan di banyak wilayah adalah sebagai ritual pembersihan atau *ruwatan*. Pertunjukan Barong diyakini dapat menolak bala, mengusir penyakit (wabah), dan menetralisir energi negatif yang mungkin dibawa oleh roh jahat atau ilmu hitam. Ketika Barong diarak mengelilingi desa (Ngelawang), ia secara simbolis membersihkan setiap sudut permukiman.
Kepercayaan ini berakar pada mitos Barong sebagai Raja Hutan, yang memiliki otoritas untuk menjaga keseimbangan alam. Dengan mengundang Barong, masyarakat memastikan bahwa batas-batas spiritual desa mereka terlindungi. Bahkan di era modern, ketika wabah penyakit muncul, tradisi mengundang Barongan sering kali dihidupkan kembali sebagai respons kolektif terhadap ketidakpastian.
Setiap kelompok Barongan atau Reog adalah organisasi sosial yang kompleks. Proses pembuatan kostum, latihan, dan pementasan memerlukan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat—pengrajin, musisi, penari, pawang, dan donatur. Keterlibatan ini memperkuat rasa kepemilikan dan identitas lokal.
Di daerah asalnya, kelompok Barongan adalah simbol harga diri. Generasi muda belajar disiplin, sejarah, dan seni melalui keterlibatan aktif. Barongan menjadi kurikulum tak tertulis yang melestarikan tata krama, etika, dan pengetahuan lokal tentang tumbuhan, ritual, dan mantra-mantra kuno yang terkait dengan seni tersebut.
Pelestarian Barongan menghadapi tantangan serius di era globalisasi. Tuntutan komersial seringkali memaksa Barongan bergeser dari fungsi ritual sakralnya menjadi murni hiburan yang disajikan secara cepat untuk wisatawan atau festival. Pergeseran ini berpotensi menghilangkan elemen-elemen sakral, seperti ritual penyucian atau sesi trance yang dianggap terlalu sulit diprediksi atau "tidak efisien" untuk jadwal panggung yang ketat.
Tantangan lain termasuk:
Upaya pelestarian kini berfokus pada dokumentasi digital, integrasi Barongan ke dalam kurikulum sekolah, dan penyelenggaraan festival yang tetap menghormati ritual asli. Dengan demikian, Barongan dapat terus berfungsi sebagai "Singa Penjaga" yang melindungi warisan budaya Nusantara dari kepunahan, memastikan bahwa auman mistisnya akan terus bergema di masa depan.
Untuk memahami sepenuhnya pengalaman Barongan, seseorang harus hadir saat pementasan berlangsung di lokasi yang masih kental nuansa ritualnya, bukan di panggung turis. Di sanalah aura magis Barongan mencapai klimaksnya. Udara dipenuhi aroma dupa dan kemenyan, yang berfungsi sebagai persembahan kepada roh dan sebagai sarana untuk membersihkan energi penonton. Ketika gamelan mulai bertabuh, ia bukan lagi hanya bunyi, melainkan panggilan. Panggilan ini memiliki frekuensi spesifik yang, dalam konteks ritual, bertujuan menarik roh penjaga.
Pemain Barong, sebelum mengenakan topeng, sering melakukan meditasi atau puasa. Mereka percaya bahwa mereka harus menjadi wadah yang bersih agar roh Barong mau berdiam. Ritual ini, yang kadang berlangsung berjam-jam secara tertutup, adalah bukti dari betapa sakralnya peran yang mereka emban. Ketika Barong akhirnya muncul, gerakannya bukan sekadar tarian yang dilatih, melainkan manifestasi dari entitas yang memiliki kesadaran sendiri. Tatapan mata merahnya, meski terbuat dari cat, seolah memancarkan kehidupan yang dingin dan bijaksana, menilai setiap individu yang hadir dalam lingkaran pertunjukan.
Interaksi antara Barong dengan para penari pendukung (seperti Kera atau Jathilan/Jaranan) adalah drama kehidupan sehari-hari yang dikemas dalam bingkai mitologi. Kera, yang sering tampil jenaka, melambangkan sisi manusia yang ceroboh, namun disayangi. Sementara Jathilan, dengan gerakan kuda lumpingnya, melambangkan prajurit yang setia mendampingi kekuatan besar Barong. Ketika Jathilan mengalami trance, hal ini menegaskan bahwa kekuatan spiritual Barong begitu kuat sehingga mampu merasuki para pengikutnya, memberikan mereka kekuatan fisik yang melampaui batas normal. Momen-momen ini adalah inti dari kepercayaan masyarakat akan intervensi spiritual dalam kehidupan nyata.
Selain fungsi ritual, Barongan juga menjadi penanda identitas regional yang sangat kuat. Di Jawa Timur, keberadaan kelompok Reog (dengan Singo Barong-nya) di berbagai kota adalah kebanggaan yang dipertandingkan dalam festival-festival seni. Seni ini menciptakan dialek visual dan musikal yang membedakan satu daerah dengan daerah lain, meskipun sama-sama menggunakan motif singa. Misalnya, Barongan Blora memiliki gaya gerak yang lebih agresif dan sederhana dibandingkan dengan Reog Ponorogo yang terstruktur secara kerajaan.
Setiap daerah juga menambahkan atribut lokal pada Barong mereka. Di kawasan pesisir, Barong mungkin dihiasi dengan motif biota laut atau diiringi dengan instrumen musik yang khas dari kapal nelayan, menunjukkan adaptasi ekologis dan sosial. Adaptasi ini membuktikan bahwa Barongan adalah budaya yang hidup dan bernafas, bukan artefak museum yang membeku dalam waktu. Ia adalah seni rakyat yang tumbuh bersama rakyatnya, menyerap cerita dan tantangan dari generasi ke generasi.
Kekuatan Barongan terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan berbagai lapisan sejarah. Dari pemujaan roh hutan purba, legenda kerajaan Hindu-Buddha, hingga sentuhan Islam yang memasukkan narasi dakwah ke dalam seni pendukungnya, Barongan berfungsi sebagai ensiklopedia berjalan tentang sinkretisme budaya Nusantara. Setiap kali Barong mengaum, ia menceritakan ribuan tahun sejarah Indonesia dalam satu pertunjukan yang spektakuler dan penuh makna. Hal ini menjadikan Barongan sebagai warisan tak ternilai yang harus dilindungi bukan hanya sebagai seni, tetapi sebagai kunci menuju pemahaman diri bangsa.
Pewarisan Barongan harus seimbang antara menjaga orisinalitas ritual dan memungkinkan inovasi artistik. Para seniman kontemporer dihadapkan pada dilema: seberapa jauh mereka dapat memodifikasi Barongan agar menarik bagi audiens modern tanpa mengorbankan kesakralannya? Inovasi sering terjadi pada aspek kostum (menggunakan bahan yang lebih ringan atau warna yang lebih cerah) atau pada musik (menambahkan instrumen modern atau sinkronisasi dengan cahaya panggung).
Namun, dalam komunitas tradisional, penekanan tetap pada pelatihan spiritual. Seorang calon penari Barong harus mempelajari mantra-mantra tertentu, menjalani tirakat, dan memahami filosofi di balik setiap gerak. Tanpa pemahaman ini, mereka dianggap tidak akan mampu menahan energi Barong. Oleh karena itu, sanggar-sanggar Barongan sejati berfungsi ganda sebagai sekolah seni dan padepokan spiritual, melatih tidak hanya keterampilan fisik, tetapi juga ketahanan batin dan moralitas.
Filosofi yang diajarkan melalui Barongan berpusat pada konsep keharmonisan: harmoni antara manusia dan alam (diwakili oleh Barong sebagai Raja Hutan), harmoni antara manusia dan roh (diwakili oleh trance), dan harmoni antara baik dan buruk (diwakili oleh pertarungan abadi antara Barong dan Rangda). Ini adalah pelajaran hidup yang relevan di masa kini, mengajarkan bahwa konflik adalah bagian tak terhindarkan dari eksistensi, tetapi harus selalu diakhiri dengan upaya memulihkan keseimbangan kosmik.
Dalam setiap penampilan, Barongan adalah refleksi dari jiwa kolektif masyarakat yang menciptakannya. Ketika masyarakat merasa terancam, Barongan tampil lebih heroik dan menakutkan. Ketika masyarakat hidup damai, Barongan mungkin menampilkan sisi humoris dan jenaka. Fleksibilitas ini membuat Barongan tetap relevan dan dicintai. Ia adalah kawan dalam kegembiraan, dan pelindung dalam kesulitan. Ia adalah pengingat bahwa di balik hiruk pikuk kehidupan modern, kekuatan spiritual yang menjaga Nusantara masih terus berdenyut, diwakili oleh auman singa agung yang memanggul warisan ribuan tahun.
Singo Barong, Barong Ket, dan varian-varian lainnya adalah bab-bab berbeda dari buku yang sama, semuanya menceritakan keagungan spiritual yang berani menatap masa depan sambil menggenggam erat masa lalu. Dedikasi terhadap seni ini adalah bentuk pengabdian yang melampaui profesi; ia adalah panggilan suci untuk menjaga api tradisi agar tidak pernah padam, memastikan bahwa identitas Nusantara akan terus diwariskan melalui topeng kayu, bulu ijuk, dan ritme gamelan yang mendebarkan.
Setiap detail kecil pada ukiran Barong, dari serat ijuk yang digunakan untuk janggut hingga ukiran gigi yang mengesankan, adalah hasil dari pengetahuan turun-temurun. Pemilihan kayu pule, misalnya, tidak sembarangan; kayu ini dianggap memiliki aura magis dan koneksi yang kuat dengan roh penjaga hutan. Sebelum ukiran dimulai, pengrajin biasanya melakukan ritual puasa dan meditasi, memohon restu agar topeng tersebut menjadi ‘hidup’ dan sakti. Proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, mencerminkan nilai spiritual yang jauh lebih tinggi daripada nilai materialnya. Kerajinan ini adalah meditasi yang terwujud dalam bentuk seni rupa bergerak.
Tari Barongan, terutama dalam formasi Reog, juga menampilkan struktur sosial yang ketat. Ada peran untuk ‘pemimpin’ spiritual (Warok), ‘prajurit’ (Jathilan), ‘pelawak’ (Ganong atau Bujang Ganong), dan ‘penjaga’ (Singo Barong). Struktur ini meniru hirarki kerajaan dan masyarakat tradisional Jawa, di mana setiap individu memiliki peran penting yang saling melengkapi demi keharmonisan bersama. Barongan, dalam konteks ini, adalah pelajaran tentang manajemen konflik dan kerjasama timbal balik.
Meskipun seringkali dipentaskan di ruang terbuka, Barongan membawa suasana sakral ke mana pun ia pergi. Bahkan ketika dipentaskan di tengah keramaian kota, elemen ritualnya tidak pernah sepenuhnya hilang. Pawang akan selalu menjaga batas-batas spiritual melalui sesaji kecil dan mantra. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa kekuatan Barong tetap terkontrol dan terarah pada tujuan baik—yaitu perlindungan dan pembersihan. Jika batas spiritual ini dilanggar, dikhawatirkan energi yang terkandung dalam Barong dapat membawa petaka atau menyebabkan kesurupan yang tak terkendali.
Perbedaan antara Barongan sebagai seni rakyat dan Barong sebagai kesenian istana juga menarik untuk dicermati. Barongan yang lahir dari lingkungan kerajaan (seperti Barong Ket Bali dan awal mula Reog Ponorogo) cenderung lebih halus, terstruktur, dan memiliki narasi yang jelas terkait legitimasi kekuasaan. Sementara Barongan yang berkembang di tingkat rakyat jelata (seperti Barongan jalanan di Jawa Tengah) lebih spontan, jenaka, dan berfungsi sebagai kritik sosial yang disampaikan secara terselubung. Namun, kedua bentuk ini sama-sama penting dalam menjaga vitalitas tradisi Barongan secara keseluruhan.
Dalam konteks global, Barongan kini telah menjadi duta budaya Indonesia yang efektif. Ketika dipentaskan di panggung internasional, ia memancarkan kekuatan visual dan musikal yang unik. Meskipun penonton asing mungkin tidak memahami setiap detail mitologi atau fungsi trance, mereka merasakan energi primal dan spiritual yang kuat yang dipancarkan oleh kesenian ini. Ini membuktikan bahwa Barongan memiliki bahasa universal—bahasa kekuatan, keindahan, dan spiritualitas yang melintasi batas-batas linguistik dan kultural.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang Barongan, kita berbicara tentang warisan yang memerlukan lebih dari sekadar apresiasi visual. Ia menuntut penghormatan terhadap akar spiritualnya, pemahaman terhadap filosofi dualitas yang dianutnya, dan komitmen kolektif untuk memastikan bahwa "Singa Penjaga Nusantara" ini terus mengaum, membawa keberanian dan perlindungan bagi generasi mendatang.
Melestarikan Barongan berarti melestarikan sebuah dimensi spiritual yang kian tipis di tengah modernisasi yang serba rasional. Barongan mengajarkan bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari diri kita, dan bahwa warisan leluhur adalah harta yang harus dijaga dengan pengorbanan dan dedikasi yang sama besarnya dengan berat Singo Barong yang diemban di leher seorang penari. Kehadiran Barongan adalah janji bahwa roh Nusantara tidak akan pernah tunduk pada kepunahan.