Barongan Aji Joyo: Nafas Spiritual di Balik Topeng Raja Hutan

Pengantar ke Dalam Jantung Mistisisme Jawa

Barongan Aji Joyo bukan sekadar sebuah pertunjukan kesenian rakyat; ia adalah manifestasi spiritualitas yang mendalam, warisan leluhur yang menyimpan kearifan, kekuatan, dan sejarah panjang peradaban Jawa. Istilah "Barongan" merujuk pada topeng raksasa berbentuk kepala harimau atau singa yang gagah, ikon dari energi alam liar yang terkendali. Namun, penambahan frasa "Aji Joyo" mengangkat kesenian ini dari sekadar hiburan menjadi ritual sakral. "Aji" dalam konteks Jawa kuno berarti mantra, ilmu, atau kekuatan supranatural, sementara "Joyo" berarti kemenangan atau kejayaan. Oleh karena itu, Barongan Aji Joyo secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai 'Kekuatan Singa (atau Harimau) yang Membawa Kemenangan Spiritual'.

Kesenian ini, yang memiliki akar kuat di Jawa Timur, khususnya di wilayah Mataraman dan sekitarnya yang berbatasan dengan Reog Ponorogo, memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari Barongan pada umumnya. Perbedaannya terletak pada intensitas ritual sebelum pertunjukan, pemilihan material yang harus melalui proses pensakralan, dan yang paling signifikan adalah transfer energi (aji) kepada si penari atau *pembarong*. Proses ini memastikan bahwa setiap gerakan yang ditampilkan bukan hanya koreografi, melainkan luapan energi kosmik yang telah diserap dan dikendalikan oleh sang pembarong.

Memahami Barongan Aji Joyo berarti menelusuri lapisan-lapisan historis yang kompleks, mulai dari era prasejarah pemujaan roh alam, asimilasi dengan ajaran Hindu-Buddha, hingga pengaruh Islam yang masuk melalui jalur akulturasi budaya. Energi Aji Joyo dipercaya berasal dari lelaku spiritual yang ketat, menjadikannya pusaka tak benda yang dijaga kerahasiaannya oleh para sesepuh dan maestro seni tradisi. Artikel ini akan membedah setiap aspek, dari struktur fisik topeng hingga filosofi mendalam yang menyelimuti pertunjukan kesenian abadi ini.

Asal-Usul dan Linimasa Historis Barongan Aji Joyo

Untuk melacak jejak Barongan Aji Joyo, kita harus kembali ke masa-masa awal kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Meskipun Barongan modern sering diidentikkan dengan varian Reog atau Jaranan, konsep topeng raksasa pemangsa sudah hadir jauh sebelum itu. Para ahli sejarah seni percaya bahwa Barongan adalah perwujudan dari pemujaan terhadap kekuatan alam, khususnya raja hutan—singa atau harimau—yang dianggap sebagai simbol kekuasaan, keberanian, dan penjaga wilayah gaib.

1. Era Majapahit dan Simbolisme Raja

Pada masa puncak Kerajaan Majapahit, simbol singa atau harimau sering digunakan dalam panji-panji kerajaan dan arca-arca sebagai representasi kekuatan politik dan spiritual raja. Beberapa naskah kuno mengisyaratkan adanya tarian ritual yang menggunakan topeng besar sebelum raja berperang atau melakukan upacara besar. Dalam konteks ini, Barongan Aji Joyo mungkin berevolusi dari ritual militer atau penyucian, di mana 'Aji Joyo' merupakan doa atau mantra kemenangan yang dibaca oleh para petinggi spiritual kerajaan untuk memompa semangat prajurit atau mengusir roh jahat.

Penyebaran tradisi ini kemudian terjadi seiring runtuhnya Majapahit, di mana para seniman, pengrajin, dan spiritualis menyebar ke berbagai wilayah, membawa serta ilmu dan filosofi kesenian mereka. Hal inilah yang menyebabkan Barongan memiliki banyak varian regional, tetapi inti spiritual Aji Joyo tetap dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang fokus pada aspek mistisnya.

2. Peran Walisongo dalam Akulturasi

Kedatangan Islam tidak mematikan tradisi Barongan, melainkan mengintegrasikannya. Para Walisongo, khususnya yang berdakwah di Jawa Timur, sering memanfaatkan media kesenian sebagai sarana penyebaran ajaran. Barongan, yang sarat dengan unsur mistis, diinterpretasikan ulang. Energi 'Aji Joyo' yang semula mungkin berasal dari tradisi Hindu-Buddha atau Kejawen murni, kemudian diselaraskan dengan doa-doa Islam atau ilmu-ilmu hikmah, menjadikannya lebih dapat diterima oleh masyarakat yang bertransisi.

Pada masa ini, Barongan Aji Joyo tidak hanya berfungsi sebagai pertunjukan, tetapi juga sebagai alat *ruwatan* (pembersihan) desa, perlindungan dari wabah penyakit, atau sarana untuk memohon hujan. Kekuatan 'Aji Joyo' diyakini mampu menyeimbangkan dimensi fisik dan spiritual lingkungan sekitar. Proses pewarisan Aji Joyo dilakukan secara tertutup, hanya kepada murid-murid terpilih yang dianggap memiliki integritas spiritual tinggi, memastikan kemurnian ilmu tersebut terjaga dari penyalahgunaan.

Anatomi Fisik dan Spiritual Barongan

Barongan Aji Joyo memiliki perbedaan signifikan dalam konstruksi materialnya dibandingkan dengan Barongan yang digunakan untuk tujuan komersial semata. Setiap elemen fisik pada Barongan Aji Joyo adalah simbol dan wadah spiritual yang telah melalui serangkaian ritual ketat. Keseimbangan antara ukiran artistik dan energi spiritual adalah kunci dari kekuatan Barongan ini.

1. Kepala atau Topeng (Cakep): Sumber Aji

Kepala Barongan adalah bagian terpenting, pusat di mana energi Aji Joyo bersemayam. Proses pembuatannya sangat sakral. Pemilihan kayu harus melalui *lelaku* (ritual puasa dan meditasi) oleh pembuatnya. Jenis kayu yang paling sering digunakan adalah kayu *pule* atau kayu *randu* yang dipercaya memiliki daya magis alami dan ringan namun kuat. Detail-detail yang menjadi fokus utama meliputi:

2. Rambut dan Mahkota (Gimbal dan Kembang Dhodhok)

Rambut Barongan Aji Joyo biasanya terbuat dari serat *ijuk* (serat pohon aren) atau terkadang rambut kuda, yang dipilih karena kemampuannya menyerap energi panas (emosi) dan dingin (spiritual). Rambut ini harus tebal dan panjang, mencerminkan kekuasaan yang tak terbatas. Pada bagian mahkota, sering dipasang hiasan bulu merak atau bulu ayam hutan, melambangkan kewibawaan dan koneksi dengan dunia atas.

3. Kostum dan Kain Penutup (Kukub)

Kukub adalah kain yang menutupi seluruh tubuh pembarong. Warna utamanya adalah hitam atau merah marun, dihiasi dengan pola batik tertentu seperti Parang Rusak atau Kawung, yang masing-masing memiliki filosofi kekuasaan dan pengendalian diri. Di dalam kukub inilah pembarong berinteraksi langsung dengan Aji Joyo; kain ini berfungsi sebagai isolator spiritual yang melindungi penari dari energi negatif sekaligus memperkuat energi positif dari Barongan.

Ilustrasi detail ukiran topeng Barongan Aji Joyo, fokus pada mata dan taring sebagai pusat energi Aji.

Filosofi Aji Joyo: Mantra Kemenangan Sejati

Inti dari Barongan Aji Joyo terletak pada filosofi Aji-nya. Ini bukan sekadar gerakan fisik, melainkan dialog antara penari dengan roh Barongan yang diyakini bersemayam dalam topeng. Filosofi ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati (Joyo) bukanlah dominasi fisik, melainkan kemampuan untuk mengendalikan energi alam dan energi diri sendiri.

1. Tri Tunggal Aji Joyo

Filosofi ini sering kali dibagi menjadi tiga pilar utama yang harus dikuasai oleh seorang *Pembarong Aji Joyo*:

  1. Aji Kawibawan (Kharisma): Kekuatan untuk memancarkan aura wibawa, membuat penonton maupun roh halus di sekitar tunduk dan segan. Ini dicapai melalui sikap mental yang lurus dan pengendalian diri yang sempurna. Tanpa kawibawan, Barongan akan terlihat hanya sebagai boneka, bukan Raja Hutan.
  2. Aji Kasampurnan (Kesempurnaan): Penguasaan teknis terhadap tarian dan musik, dipadukan dengan pemahaman spiritual yang utuh. Kesempurnaan dalam konteks ini adalah penyatuan total antara raga (penari), rasa (spiritual), dan irama (gamelan).
  3. Aji Pengendalian Diri (Tapa Brata): Aspek paling krusial. Kekuatan Barongan bersifat liar dan destruktif. Aji Joyo berfungsi sebagai rem spiritual yang memastikan bahwa ketika penari mencapai kondisi *ndadi* (trance), energi liar tersebut tetap diarahkan untuk tujuan positif (membersihkan, mengobati, atau memberi perlindungan), bukan merusak.

Penguasaan Tri Tunggal ini membutuhkan tirakat bertahun-tahun, termasuk puasa mutih, puasa *ngebleng* (puasa di ruangan gelap), dan meditasi di tempat-tempat keramat seperti sendang atau gua. Proses ini membersihkan jiwa penari, menjadikannya wadah yang layak bagi Aji Joyo.

2. Simbolisme Gerakan Tarian

Setiap gerakan Barongan Aji Joyo memiliki makna filosofis yang mendalam. Gerakan menghentak keras (disebut *gebrak*) melambangkan penolakan terhadap energi negatif. Gerakan membuka mulut lebar-lebar (*nganga*) bukan hanya menampilkan topeng, tetapi juga melepaskan suara spiritual yang diyakini mampu memecah kebuntuan atau kesialan. Putaran cepat (*mubeng*) melambangkan siklus kehidupan dan kematian, serta rotasi kosmik yang diatur oleh Sang Pencipta.

Perbedaan mencolok terlihat dalam gerakan saat *ndadi*. Barongan Aji Joyo cenderung menunjukkan kekuatan yang lebih terkonsentrasi dan intens. Tidak jarang, penari akan melakukan atraksi ekstrem seperti memakan beling, api, atau benda tajam. Atraksi ini bukan sekadar pameran kekuatan fisik, melainkan demonstrasi bahwa jiwa telah dilindungi sepenuhnya oleh Aji Joyo, dan tubuh fisik tidak lagi menjadi penghalang bagi manifestasi spiritual.

Ritual dan Persiapan Pertunjukan Sakral

Pertunjukan Barongan Aji Joyo tidak pernah dimulai tanpa persiapan ritual yang panjang dan ketat. Prosesi ini memastikan bahwa energi Aji Joyo yang tersimpan dalam Barongan dapat diakses dengan aman dan memberikan manfaat maksimal bagi komunitas yang menyaksikannya.

1. Persiapan Kelompok dan Sesaji (Ubo Rampe)

Jauh sebelum hari pertunjukan, seluruh kelompok, termasuk pemain gamelan, jathil, dan pembarong, diwajibkan melakukan puasa ringan. Di lokasi pertunjukan, sebuah *sesaji* (persembahan) lengkap disiapkan. Sesaji ini biasanya terdiri dari:

2. Prosesi Invokasi dan Penyatuan Jiwa (Nylenthek)

Prosesi paling sakral adalah *Nylenthek*, yaitu saat topeng Barongan dikenakan. Pembarong tidak boleh langsung memakai topeng. Ia harus duduk di depan Barongan, melakukan meditasi singkat, dan membaca serangkaian mantra Aji Joyo. Mantra ini berfungsi sebagai kunci pembuka energi yang tersimpan. Gamelan mulai dimainkan dalam irama yang sangat pelan dan hipnotis (*Gangsaran Kawitan*).

Saat topeng dikenakan, pembarong mengumumkan niatnya kepada roh Barongan (dikenal sebagai *Danyang Barongan*) dan kepada roh leluhur. Prosesi ini seringkali diikuti dengan gerakan tubuh yang mulai tidak disadari, tanda bahwa Barongan mulai mengambil alih kontrol kesadaran penari. Transisi ini harus dikawal ketat oleh seorang *Waranggana* (pawang/sesepuh) yang bertugas menjaga agar trance tetap terarah.

3. Puncak Trance (Ndadi Aji Joyo)

Ketika pembarong sudah sepenuhnya dikuasai, ia memasuki fase *ndadi* atau trance. Dalam Barongan Aji Joyo, fase ndadi ini lebih fokus pada demonstrasi kekuatan batin daripada atraksi fisik semata. Pembarong mungkin akan memberikan wejangan (nasihat) spiritual kepada penonton dalam bahasa kuno atau melakukan ritual penyembuhan secara spontan.

Musik yang mengiringi ndadi adalah kunci. Tabuhan kendang yang cepat dan ritmis, dipadukan dengan gong dan saron yang intens, menciptakan resonansi getaran yang memperkuat transfer energi Aji Joyo. Jika tarian Barongan biasa seringkali berfokus pada kelincahan, Aji Joyo menekankan pada kekuatan sentakan, erangan yang mendalam, dan tatapan mata yang penuh daya magis, yang mampu membuat penonton terdiam dalam kekaguman sekaligus ketakutan.

Peran Gamelan dan Iringan Musik dalam Energi Joyo

Gamelan bukanlah sekadar pengiring dalam Barongan Aji Joyo; ia adalah nyawa dan moderator dari energi yang dilepaskan. Gamelan berfungsi sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia roh, serta sebagai pengendali emosi Barongan agar tidak lepas kendali. Tanpa irama yang tepat, Aji Joyo bisa menjadi bencana bagi penari maupun penonton.

1. Laras dan Pathet Kuno

Untuk pertunjukan Barongan Aji Joyo yang bersifat sakral, sering kali digunakan *laras* (tangga nada) yang lebih kuno, seperti Laras Pelog atau Laras Slendro dengan *pathet* (mode) tertentu yang dianggap memiliki resonansi spiritual tinggi. Pathet yang sering digunakan untuk memanggil semangat adalah *Pathet Manyura* atau *Pathet Sanga*, yang diyakini mampu menembus batas dimensi.

2. Komposisi Musik Khusus untuk Trance

Ada beberapa gending (komposisi musik) khusus yang wajib dimainkan selama ritual Barongan Aji Joyo, yang masing-masing memiliki fungsi spesifik:

Pengendalian musik oleh para penabuh gamelan (disebut *wiyaga*) harus sangat presisi. Mereka tidak boleh salah tempo sedikit pun, karena perubahan irama mendadak dapat menyebabkan pembarong kehilangan fokus spiritual, yang berpotensi membahayakan dirinya.

Tokoh Pendukung: Jathil, Ganong, dan Waranggana

Meskipun Barongan Aji Joyo adalah pusat perhatian, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari peran sentral tokoh-tokoh pendukung yang melengkapi narasi dan menjaga keseimbangan energi.

1. Jathil (Penunggang Kuda Lumping)

Jathil, penari kuda lumping, melambangkan prajurit berkuda yang setia mengawal Raja. Dalam konteks Aji Joyo, Jathil juga seringkali mengalami *ndadi*, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Jika Barongan melambangkan kekuatan liar yang tak terkalahkan, Jathil melambangkan keberanian, ketangkasan, dan kesetiaan. Jathil sering berinteraksi langsung dengan Barongan dalam kondisi trance, bertindak sebagai mediator atau bahkan 'mangsa' ritualistik bagi Barongan.

2. Ganong atau Bujang Ganong

Bujang Ganong, dengan topeng yang lucu, mata melotot, dan hidung besar, seringkali dianggap sebagai tokoh jenaka atau abdi dalem yang cerdik. Namun, dalam konteks Aji Joyo, Ganong memiliki peran spiritual penting: penyeimbang. Ia melambangkan aspek manusiawi, kelucuan, dan kerendahan hati. Kehadiran Ganong mencegah Barongan menjadi terlalu serius atau energi spiritualnya terlalu mencekam. Ia menciptakan ruang tawa dan relaksasi yang diperlukan untuk meredakan ketegangan energi yang tinggi.

3. Waranggana (Pawang dan Penjaga Aji)

Waranggana adalah figur yang paling bertanggung jawab secara spiritual. Ia adalah guru, pawang, dan penjaga tradisi Aji Joyo. Tugasnya meliputi:

Waranggana harus memiliki ilmu spiritual yang jauh lebih tinggi daripada pembarong, karena ia adalah pemegang kunci dan segel energi Aji Joyo.

Pewarisan dan Tantangan di Era Modern

Tradisi Barongan Aji Joyo menghadapi tantangan besar dalam upaya pewarisan di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Sifatnya yang sangat esoteris dan menuntut laku spiritual yang berat seringkali sulit diterima oleh generasi muda.

1. Sistem Pewarisan Tertutup (Ngawiji)

Pewarisan Aji Joyo tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Prosesnya disebut *Ngawiji*, yang berarti menanam benih. Calon pembarong harus diuji tidak hanya kemampuan menari, tetapi juga kejernihan hati dan ketahanan mentalnya. Mereka harus menjalani puasa, meditasi, dan seringkali tinggal bersama Waranggana selama bertahun-tahun untuk menyerap filosofi secara langsung.

Aspek ketersediaan waktu dan komitmen spiritual inilah yang menjadi hambatan utama. Di masa lalu, menjadi pembarong adalah panggilan hidup. Hari ini, banyak calon yang menyerah karena tuntutan karir dan kehidupan modern yang sulit diselaraskan dengan disiplin spiritual Aji Joyo.

2. Komersialisasi versus Kesakralan

Banyak kesenian Barongan saat ini beralih ke format pertunjukan yang lebih komersial, dengan fokus pada atraksi ekstrem yang sensasional (misalnya, memakan kaca hanya untuk hiburan) tanpa didasari ritual pengisian Aji Joyo yang memadai. Hal ini menyebabkan erosi makna. Barongan Aji Joyo sejati harus menjaga garis tipis antara pertunjukan yang menarik dan ritual yang sakral. Jika terlalu komersial, energi Aji Joyo dipercaya akan hilang atau ‘ngambek’ (merajuk), tidak mau bermanifestasi.

3. Upaya Pelestarian Digital dan Dokumentasi

Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa kelompok Barongan Aji Joyo mulai mendokumentasikan filosofi mereka secara lebih terbuka (meski mantra inti tetap dirahasiakan) melalui platform digital. Tujuannya adalah untuk menarik minat generasi muda dan membuktikan bahwa kekuatan tradisi ini relevan sebagai sumber identitas budaya, bukan hanya sebagai peninggalan masa lalu yang usang. Pelestarian dilakukan dengan penekanan bahwa Aji Joyo adalah warisan budaya tak benda yang harus dihormati dan dipelajari dengan etika yang benar.

Energi Kosmik dan Mitologi yang Melingkupi Aji Joyo

Di luar aspek seni dan ritual, Barongan Aji Joyo terikat erat dengan sistem kepercayaan kosmologi Jawa. Ia dipercaya memiliki kemampuan untuk memediasi energi antara tiga dunia: dunia atas (para dewa/roh leluhur), dunia tengah (manusia), dan dunia bawah (roh tanah atau roh jahat).

1. Barongan sebagai Titisan Prabu Klana Sewandana

Dalam mitologi yang lebih luas, Barongan sering dikaitkan dengan tokoh epik Prabu Klana Sewandana, raja yang memiliki kesaktian luar biasa dan jatuh cinta pada Dewi Songgolangit. Barongan (Singa Barong) adalah perwujudan kegagahan dan hasrat raja tersebut. Dalam versi Aji Joyo, Barongan merepresentasikan wujud paling spiritual dari sang Raja, di mana kekuatan (*Aji*) didapatkan melalui pengorbanan dan pengendalian diri yang ketat.

2. Konsep Sedulur Papat Lima Pancer

Pembarong Aji Joyo harus memahami dan mengendalikan konsep spiritual Jawa tentang *Sedulur Papat Lima Pancer* (Empat Saudara dan Lima Pusat). Empat saudara ini adalah roh-roh yang mendampingi manusia sejak lahir (Amara, Kawah, Ari-ari, Darah). Pusat (Pancer) adalah diri manusia itu sendiri. Ketika pembarong memasuki trance, ia sedang menyelaraskan pancer-nya dengan energi Aji Joyo, memanfaatkan kekuatan keempat saudara untuk mengendalikan roh Barongan dan melakukan pertunjukan tanpa cedera.

Pelatihan spiritual yang ketat ini bukan hanya untuk pertunjukan. Tujuan utamanya adalah mencapai *Kajoyon* (Kemenangan Sejati) dalam hidup, yaitu kemenangan atas hawa nafsu dan kesombongan diri sendiri. Barongan, yang merupakan simbol hawa nafsu liar, diangkat menjadi alat untuk mencapai kesempurnaan spiritual melalui Aji Joyo.

3. Interaksi dengan Dunia Gaib Lokal (Danyang)

Setiap pertunjukan Barongan Aji Joyo diyakini wajib meminta izin kepada *danyang* atau roh penjaga lokasi setempat. Kesuksesan pertunjukan dan manifestasi Aji Joyo sangat bergantung pada restu dari danyang. Jika Barongan tampil tanpa restu, ia mungkin akan mengalami gangguan, seperti topeng yang menjadi sangat berat, atau bahkan pembarong yang mengalami kelelahan ekstrem atau kesurupan oleh roh yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, ritual di awal selalu mencakup pemanggilan dan penghormatan kepada danyang desa.

Dampak Sosiologis dan Ekonomi Barongan Aji Joyo

Selain nilai spiritual dan artistik, Barongan Aji Joyo juga memainkan peran vital dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat lokal, terutama di pedesaan Jawa yang masih memegang teguh tradisi leluhur.

1. Perekat Komunitas dan Identitas Lokal

Pertunjukan Barongan Aji Joyo seringkali menjadi titik fokus dalam acara-acara besar desa, seperti bersih desa, pernikahan, atau peringatan hari besar. Kesenian ini berfungsi sebagai perekat sosial, menyatukan masyarakat dari berbagai lapisan sosial. Keberadaan kelompok Barongan Aji Joyo yang kuat menjadi sumber kebanggaan dan identitas bagi desa tersebut. Kelompok ini seringkali dihormati sebagai penjaga moral dan spiritualitas lokal.

2. Ekonomi Kreatif Tradisional

Meskipun Barongan Aji Joyo memiliki dimensi sakral, aspek ekonominya tetap berjalan. Terdapat ekosistem ekonomi yang mengelilingi Barongan:

Ekonomi ini berbasis pada kepercayaan dan kualitas spiritual, berbeda dengan kesenian yang mengandalkan volume pertunjukan. Kelompok Aji Joyo seringkali lebih selektif dalam memilih acara agar kesakralan tetap terjaga.

3. Pendidikan Karakter dan Etika

Pelatihan untuk menjadi bagian dari rombongan Aji Joyo bukan hanya tentang seni, tetapi juga tentang pendidikan karakter. Disiplin diri, kerendahan hati (meskipun menampilkan kekuatan Raja Hutan), dan rasa tanggung jawab terhadap warisan leluhur adalah nilai-nilai inti yang ditanamkan. Ini berfungsi sebagai sekolah etika non-formal bagi pemuda di desa yang terlibat dalam seni ini, mengarahkan energi remaja yang bergejolak ke dalam disiplin spiritual yang konstruktif.

Penutup: Keabadian Aji Joyo

Barongan Aji Joyo adalah sebuah monumen hidup dari kekayaan spiritual Jawa. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada pengendalian diri dan keselarasan dengan alam semesta, bukan sekadar kehebatan fisik. Topeng Raja Hutan itu adalah cerminan dari jiwa manusia yang berjuang mencapai kemenangan spiritual (Joyo) di tengah tantangan kehidupan, menggunakan ilmu (*Aji*) yang diwariskan oleh para leluhur.

Selama masih ada komunitas yang setia menjaga ritualnya, melakukan tirakat, dan memahami bahwa setiap ukiran, setiap hentakan kaki, dan setiap tabuhan gong adalah doa yang dimanifestasikan, maka Barongan Aji Joyo akan terus hidup, melampaui batas waktu dan perubahan zaman, menjadi nafas keabadian dari budaya Nusantara.

Kesenian ini adalah harta tak ternilai yang menuntut penghormatan tertinggi. Bukan untuk ditonton sebagai sirkus, tetapi untuk disaksikan sebagai upacara suci yang mempertemukan kita kembali dengan akar spiritual terdalam dari tanah Jawa.

🏠 Homepage