Di antara kekayaan seni pertunjukan tradisional Indonesia, terdapat satu bentuk ekspresi budaya yang memegang peran sangat khusus, seringkali berada di batas antara realitas profan dan dunia spiritual: Barongan Air. Fenomena ini bukanlah sekadar topeng atau tarian biasa; ia adalah manifestasi simbolis dari entitas penjaga perairan, jembatan antara komunitas daratan dengan kekuatan magis yang bersemayam di sungai, danau, dan lautan. Berbeda fundamental dari barongan darat (seperti Reog Ponorogo atau Barong Ket Bali yang berorientasi pada elemen tanah dan gunung), Barongan Air secara eksklusif berinteraksi dengan energi hidrologis, menjadikannya ritual penting dalam masyarakat agraris dan maritim.
Eksplorasi terhadap Barongan Air membawa kita pada perjalanan menelusuri kedalaman mitologi Nusantara. Praktik ini ditemukan dalam berbagai varian di sepanjang kepulauan, mulai dari tradisi pesisir Jawa, ritual pembersihan sungai di Kalimantan, hingga perayaan yang berhubungan dengan dewi kesuburan air di beberapa wilayah Sumatera. Inti dari pertunjukan ini adalah pemanggilan kekuatan air, baik untuk tujuan proteksi (menghalau bencana banjir, serangan buaya), pemurnian, maupun permohonan berkah (kesuburan panen, tangkapan ikan yang melimpah). Dalam setiap lekuk gerakannya dan setiap detail ukiran topengnya, Barongan Air menyimpan narasi panjang tentang kearifan lokal dalam menyikapi alam.
Konsep Barongan, sebagai manifestasi hewan atau makhluk mitologi, telah ada jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha. Dalam konteks air, entitas yang diwakili seringkali adalah perwujudan Naga (ular raksasa penjaga air), Buaya Putih (simbol penguasa sungai), atau bahkan sosok ikan purba yang diyakini membawa kesuburan. Barongan Air berbeda dari Barongan darat karena spirit yang dipanggil adalah spirit yang bersifat cair, dinamis, dan terkadang destruktif (seperti banjir bandang).
Di wilayah pesisir Jawa dan Bali, misalnya, Barongan Air sering dikaitkan dengan kisah Ratu Pantai Selatan atau entitas penunggu laut yang menuntut penghormatan. Ritual pertunjukannya sering diadakan di bibir pantai atau muara sungai, menegaskan batas kosmis antara dunia manusia dan dunia bawah air. Mitologi yang melingkupinya sangat spesifik, melibatkan kisah perjanjian antara leluhur desa dengan penguasa air, seringkali melibatkan pengorbanan simbolis atau janji untuk menjaga kebersihan sumber air.
Meskipun sulit menemukan bukti tekstual eksplisit yang menyebut 'Barongan Air' dengan nama modernnya, banyak prasasti dan relief candi yang menggambarkan ritual pemanggilan dewa air atau penghormatan kepada makhluk air sakral. Relief-relief yang menampilkan pertempuran antara makhluk darat (singa/barong) dan makhluk air (naga/buaya) menunjukkan dualitas kosmis yang menjadi dasar filosofi Barongan Air. Pertunjukan ini sering dipandang sebagai upaya harmonisasi, memastikan bahwa kekuatan air tetap bersahabat dan tidak menenggelamkan komunitas. Praktik ini merupakan warisan dari tradisi animisme dan dinamisme kuno yang menganggap setiap elemen alam memiliki jiwa dan kekuasaan yang harus dihormati.
Penelusuran historis menunjukkan bahwa Barongan Air memainkan peran vital dalam upacara penentuan musim tanam. Di beberapa daerah pedalaman yang sangat bergantung pada irigasi sungai, penampilan Barongan Air merupakan penanda dimulainya musim hujan atau musim kemarau, dan berfungsi sebagai ritual untuk memastikan aliran air tetap stabil. Kesakralan pertunjukan ini terletak pada kemampuan penarinya untuk mencapai kondisi transendental, yang dipercayai memungkinkan spirit air untuk berkomunikasi langsung melalui medium topeng.
Setiap bagian dari Barongan Air, mulai dari bahan baku hingga gerakan tarian, sarat dengan makna filosofis yang kompleks. Memahami Barongan Air adalah memahami pandangan dunia masyarakat Nusantara tentang keseimbangan kosmik.
Topeng Barongan Air umumnya dibuat dari kayu yang diambil dari pohon yang tumbuh di dekat air, seperti pohon beringin atau jenis kayu keras yang tahan lembab. Pemilihan bahan baku ini bukan tanpa alasan; kayu tersebut diyakini telah menyerap energi air selama pertumbuhannya. Warna dominan pada topeng adalah hijau lumut, biru laut, dan putih (melambangkan ombak atau buaya putih). Berbeda dengan topeng Barong darat yang mungkin memiliki mahkota api, Barongan Air sering dihiasi dengan ijuk atau serat alam yang menyerupai alga atau janggut air.
Gerakan tari Barongan Air adalah inti dari ritual. Tarian ini meniru dinamika air. Ada tiga fase gerakan utama:
Musik pengiring, yang sering disebut Gamelan Laras Air, menggunakan instrumen yang memiliki resonansi basah atau gema yang panjang, seperti gong besar dan kendang yang dimainkan dengan tempo yang menyerupai tetesan air atau gemuruh ombak.
Pembuatan dan persiapan Barongan Air bukan sekadar kerajinan, melainkan sebuah ritual panjang yang melibatkan pantangan, puasa, dan penyucian. Kesakralan Barongan Air berakar kuat pada proses ini.
Kayu yang akan digunakan harus diambil setelah melalui ritual *Ngunduh Koyo* (mengambil kayu). Proses ini dipimpin oleh seorang Undagi (pematung/pengrajin spiritual) yang harus melakukan meditasi di dekat pohon selama beberapa malam. Pohon yang dipilih tidak boleh ditebang sembarangan; izin harus dimohonkan kepada penunggu pohon dan penunggu air terdekat. Serangkaian sesajen (persembahan) diletakkan di bawah pohon sebelum penebangan, memastikan bahwa Barongan yang dibuat tidak hanya berbentuk fisik tetapi juga telah memiliki ‘jiwa’ yang diizinkan oleh alam.
Jika Barongan Air ditujukan untuk melindungi dari buaya, kayu mungkin dipilih dari pohon yang pernah diyakini menjadi tempat persinggahan buaya sakral. Jika untuk kesuburan air, kayunya diambil dari hulu sungai yang paling murni. Detail-detail kecil ini menekankan betapa spesifiknya spiritualitas Barongan Air.
Setelah topeng selesai diukir, ia tidak dapat langsung digunakan. Topeng harus melalui masa tirakat (puasa spiritual) dan penyucian yang ketat. Proses ini bisa memakan waktu 40 hari 40 malam. Selama tirakat, topeng diletakkan di tempat khusus, seringkali di dekat mata air atau di tengah sungai pada malam bulan purnama. Beberapa tradisi mengharuskan topeng disiram dengan air dari tujuh sumber mata air berbeda (Tujuh Tirta), sebuah simbolisasi dari penyatuan energi air dari seluruh penjuru wilayah.
Pengisian kekuatan magis pada Barongan Air (disebut *Nglangkungi*) sering melibatkan pembacaan mantra-mantra kuno yang ditujukan kepada dewa-dewi air. Prosesi ini penting untuk memastikan bahwa ketika Barongan tampil, ia mampu menarik spirit air yang murni, bukan roh jahat yang dapat menyebabkan malapetaka.
Barongan Air memiliki berbagai bentuk pertunjukan yang sangat bergantung pada fungsi ritualnya. Beberapa pertunjukan bahkan mengharuskan penari berada di dalam air.
Di beberapa komunitas yang hidup di tepi sungai besar (seperti di Jawa Tengah atau Kalimantan), Barongan Air dipertunjukkan di atas rakit (getek) atau perahu kecil. Penari, dengan topeng dan kostum berat, menyeberangi sungai sambil menari. Ritual ini bertujuan untuk meminta izin melintasi sungai atau melindungi pelayaran. Koreografinya menekankan keseimbangan dan ketenangan di tengah arus yang bergejolak, melambangkan kontrol manusia atas elemen air yang liar. Musik gamelan dimainkan dari tepi sungai atau dari perahu pengiring.
Ritual Sedo Tirta (Penyucian Air) adalah pertunjukan Barongan Air yang dilakukan di muara sungai atau pantai, biasanya setelah terjadi bencana alam atau wabah penyakit. Penari Barongan akan masuk ke dalam air hingga batas dada atau leher. Tujuannya adalah secara simbolis 'memakan' kotoran spiritual yang mencemari air. Gerakannya sangat menyerupai gerakan ikan besar atau buaya yang sedang berburu di lumpur, lambat namun kuat, disertai bunyi-bunyian instrumen yang dibuat dari bambu untuk meniru gemercik air.
Pada puncak Sedo Tirta, sang penari sering melakukan gerakan *Nyilem* (menyelam) singkat, yang diyakini sebagai momen ketika Barongan berkomunikasi langsung dengan entitas bawah air. Ketika Barongan muncul kembali, ia dianggap telah membawa kembali berkah atau pemurnian.
Dalam memastikan kemurnian Barongan Air, peran pematung dan pewaris tradisi (sering disebut Juru Kunci atau Sesepuh) sangat krusial. Mereka adalah satu-satunya yang berhak menentukan kapan Barongan harus dikeluarkan, kapan harus diistirahatkan, dan kapan harus 'diberi makan' (melalui sesajen khusus). Pewarisan pengetahuan ini dilakukan secara lisan dan melalui praktik langsung, seringkali melibatkan tes spiritual bagi calon penerus. Tanpa legitimasi dari pewaris ini, topeng Barongan Air hanya dianggap sebagai benda mati, bukan medium spiritual.
Detail-detail teknis seperti ukiran mata, yang harus dilakukan dalam satu tarikan napas setelah puasa, atau penggunaan paku kayu (pasak) alih-alih paku logam—karena logam dianggap menodai kesucian air—menunjukkan tingkat komitmen dan kekhususan yang tinggi dalam menjaga tradisi Barongan Air.
Barongan Air memiliki spektrum fungsi yang jauh melampaui hiburan. Ia adalah alat komunikasi spiritual, sistem peringatan dini, dan mekanisme kontrol sosial dalam masyarakat tradisional.
Fungsi yang paling umum dari Barongan Air adalah sebagai *tolak balak* (penangkal bencana). Di daerah rawan banjir, pertunjukan Barongan Air diadakan secara berkala di hulu sungai sebagai permohonan agar air tidak meluap ke permukiman. Diyakini bahwa Barongan memiliki kekuatan untuk ‘menjinakkan’ roh-roh air yang marah. Gerakan lincah dan agresifnya dalam ritual ini berfungsi untuk menakut-nakuti roh jahat yang mungkin membawa penyakit atau kemarahan alam.
Selain banjir, Barongan Air juga sering dipanggil untuk menangkal ancaman spesifik, seperti serangan buaya liar atau wabah penyakit kulit yang disebabkan oleh air kotor. Dalam konteks ini, Barongan tidak hanya menari; ia bertindak sebagai perisai spiritual bagi seluruh desa.
Ketika terjadi kemarau panjang, Barongan Air menjadi fokus ritual *Ngelmu Tirta* (mencari ilmu air). Berbeda dengan fungsi tolak balak yang agresif, ritual ini bersifat memohon dan menenangkan. Barongan akan menari dengan gerakan yang sangat lembut, mendekati sumber air yang hampir kering (sumur tua atau telaga), dan meratap secara simbolis. Penari seringkali menaburkan kembang tujuh rupa ke dalam air yang tersisa, berharap dewa air tergerak dan menurunkan hujan.
Dalam fase ini, masyarakat sekitar juga ikut berpartisipasi, biasanya dengan membawa kendi berisi air dari rumah masing-masing, yang kemudian dicampur dan disiramkan kembali ke tanah kering, menciptakan harapan kolektif yang diwujudkan melalui tarian Barongan.
Fenomena kesurupan (trance) adalah bagian tak terpisahkan dari pertunjukan Barongan Air. Ketika penari memasuki kondisi trance, mereka tidak lagi menari sebagai manusia, melainkan sebagai perwujudan spirit yang merasuki topeng. Kesurupan dalam konteks air memiliki ciri khas: gerakan penari seringkali sangat cair, mata terlihat berkaca-kaca seolah terendam, dan terkadang mereka mengeluarkan suara gemericik atau gerungan yang mirip suara dari dasar sungai.
Pada saat trance, Barongan sering menyampaikan pesan atau petunjuk kepada masyarakat mengenai penyebab masalah (misalnya, adanya pelanggaran terhadap larangan adat mengenai sungai) atau cara untuk menenangkan alam. Pesan ini dicatat dan ditafsirkan oleh seorang Tetua Adat, yang menegaskan fungsi Barongan Air sebagai orakel spiritual masyarakat.
Meskipun memiliki inti yang sama (penghormatan terhadap air), Barongan Air bermanifestasi secara unik di berbagai wilayah, mencerminkan ekologi dan mitologi lokal.
Di daerah Blambangan (Banyuwangi), meskipun terkenal dengan Barong Kemiren-nya, Barongan Air memiliki wujud yang lebih menyerupai naga laut atau buaya. Tradisi ini sangat dipengaruhi oleh kepercayaan maritim Jawa. Pertunjukan utamanya adalah 'Tari Suroan Laut', diadakan pada bulan Suro (Muharram). Barongan diarak menuju pantai, dan puncaknya, topeng Barongan akan dicelupkan ke dalam laut sebagai penyerahan diri dan permohonan maaf kepada penguasa lautan. Kostumnya seringkali dihiasi dengan sisik ikan atau kerang, memperkuat identitasnya sebagai makhluk laut.
Ritual ini sangat terstruktur. Ada tiga lapis penari: penari pembuka yang membersihkan area ritual, penari utama (pembawa Barongan) yang bertugas berinteraksi dengan air, dan penari pendukung yang membawa tiruan kapal atau jaring, melambangkan profesi nelayan. Seluruh ritual berlangsung dari senja hingga fajar, memastikan bahwa Barongan berinteraksi dengan siklus pasang surut air.
Di sepanjang sungai Mahakam, konsep Barongan Air sangat erat kaitannya dengan Hudoq, namun memiliki entitas Barongan yang lebih spesifik. Barongan ini sering disebut 'Buaya Emas' atau 'Buaya Putih'. Karena sungai Mahakam adalah jalur transportasi dan sumber kehidupan utama, Barongan ini berfungsi sebagai pelindung pelayaran dan sumber daya alam. Kostumnya sangat panjang, meniru bentuk buaya saat bergerak di air. Gerakannya lebih horizontal dan merayap, berbeda dengan gerakan vertikal Barongan Jawa yang sering melompat.
Pertunjukan Barongan Buaya Emas diadakan sebelum musim panen ikan atau sebelum ekspedisi besar menyeberangi sungai. Keunikan di sini adalah penggunaan perahu ukir khusus sebagai tempat ritual, menjadikannya pertunjukan yang bergerak. Musik pengiringnya, yang didominasi oleh alat musik petik Dayak (Sape), menciptakan nuansa mistis yang lembut namun mendalam, menggambarkan kedalaman dan ketenangan sungai.
Meskipun Barong Ket di Bali lebih dikenal sebagai Barong Darat (perwujudan Banas Pati Raja), ada varian ritual yang melibatkan Barong dalam konteks air, terutama selama upacara Melasti atau Nyegara Gunung (penyucian dari gunung ke laut). Dalam ritual ini, Barong diarak ke pantai atau danau (seperti Danau Batur). Meskipun topengnya mungkin sama, fungsi spiritualnya saat bersentuhan dengan air berubah. Ia menjadi kendaraan spiritual untuk membawa kotoran dan dosa masyarakat ke laut, tempat di mana Batara Baruna (Dewa Laut) diyakini akan memurnikannya.
Fokus Barong Air di Bali adalah pada prosesi pensucian kolektif. Barong menjadi simbol dari kekuatan alam yang siap menerima beban spiritual masyarakat dan membuangnya ke samudra raya, menjadikannya ritual siklus kehidupan dan pembaruan.
Dalam arus modernisasi dan perubahan lingkungan, Barongan Air menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari hilangnya habitat alami hingga erosi makna ritual.
Seperti banyak tradisi sakral lainnya, Barongan Air rentan terhadap komersialisasi. Beberapa pertunjukan kini diadaptasi menjadi atraksi wisata dengan mengurangi aspek ritual dan spiritualnya. Penggunaan topeng yang tidak melalui tirakat yang benar, atau pertunjukan yang diadakan tanpa izin spiritual dari leluhur, sering dikritik oleh sesepuh adat karena dianggap mengurangi kekuatan intrinsik Barongan tersebut.
Tantangan terbesar adalah ketika komunitas muda tidak lagi memahami pantangan-pantangan yang menyertai Barongan Air. Misalnya, larangan bagi penari untuk makan daging tertentu sebelum tampil atau larangan topeng menyentuh tanah daratan secara langsung. Ketika aturan ini diabaikan, masyarakat percaya bahwa fungsi protektif Barongan akan menghilang, dan yang tersisa hanyalah pertunjukan estetika belaka.
Karena Barongan Air terikat langsung dengan kesehatan ekosistem perairan, kerusakan lingkungan menjadi ancaman serius. Pencemaran sungai, pengeringan mata air, dan perubahan iklim (yang menyebabkan pola hujan ekstrem) secara langsung mengganggu tempat sakral di mana Barongan harus tampil. Jika air tercemar, ritual pembersihan yang dilakukan oleh Barongan dianggap tidak efektif, atau lebih parah, dapat mendatangkan spirit air yang marah.
Oleh karena itu, konservasi Barongan Air kini telah berkembang menjadi gerakan pelestarian lingkungan. Komunitas adat menggunakan ritual Barongan Air sebagai platform untuk menyuarakan pentingnya menjaga kebersihan sungai dan laut, menjadikan tradisi ini relevan sebagai alat advokasi ekologi.
Untuk memastikan kelangsungan Barongan Air, beberapa komunitas telah berupaya melakukan adaptasi yang bijaksana. Hal ini termasuk dokumentasi digital, pelatihan generasi muda (dengan penekanan pada filosofi spiritual, bukan hanya koreografi), dan penggabungan elemen Barongan Air ke dalam festival seni kontemporer, asalkan esensi sakralnya tetap terjaga.
Beberapa seniman modern juga mulai menciptakan musik dan kostum yang terinspirasi dari Barongan Air, menggunakannya sebagai metafora untuk perjuangan melawan perubahan iklim dan polusi. Ini menunjukkan bahwa Barongan Air, meski berakar pada masa lalu yang sangat dalam, memiliki kapasitas adaptasi yang kuat untuk terus berkomunikasi dengan masyarakat masa kini mengenai pentingnya menjaga keseimbangan alam.
Perbedaan antara Barongan Air dan Barongan Darat bukan sekadar perbedaan lokasi tampil, melainkan perbedaan dalam karakter spirit yang diwakilinya, energi yang dipancarkan, dan fungsi ritualnya.
Dalam mitologi Jawa dan Bali, seringkali terdapat konsep dualitas Rwa Bhineda (dua yang berbeda namun satu). Barongan Darat dan Barongan Air berfungsi sebagai pasangan kosmik. Barongan Darat menjaga keseimbangan di atas tanah (pertanian, permukiman), sementara Barongan Air bertanggung jawab atas dunia bawah dan perairan (irigasi, tangkapan laut). Keduanya harus seimbang agar komunitas dapat hidup harmonis.
Ketika kedua Barongan ini bertemu dalam satu ritual (misalnya pada upacara penyatuan Gunung dan Laut), momen tersebut melambangkan kesempurnaan kosmik, di mana langit (Gunung), tanah (Barong Darat), dan air (Barong Air) mencapai harmoni total. Pertemuan ini adalah salah satu ritual terkuat yang melambangkan keutuhan spiritual Nusantara.
Kehadiran Barongan Air selalu didukung oleh ritual-ritual kecil yang detail dan esensial, yang seringkali terlewatkan namun sangat penting untuk menggenapi kekuatan magisnya.
Sesajen yang disiapkan untuk Barongan Air sangat khas. Mereka harus mengandung elemen air dan hasil bumi yang tumbuh di dekat air. Sesajen yang umum meliputi:
Pengaturan sesajen ini harus dilakukan dengan presisi, dan kesalahan sekecil apa pun diyakini dapat memicu murka spirit yang dipanggil, menunjukkan betapa hati-hatinya masyarakat adat dalam berinteraksi dengan Barongan Air.
Gamelan yang mengiringi Barongan Air sangat spesifik. Kendang (drum) yang digunakan, sering disebut Kendang Tirta, memiliki peran sentral. Kendang ini harus terbuat dari kulit yang tidak direndam kimia, dan dipukul dengan teknik yang menghasilkan suara resonansi panjang yang meniru gemuruh air atau tetesan hujan. Ritme Kendang Tirta harus berubah-ubah: saat memanggil spirit, ritmenya pelan dan menghipnotis; saat terjadi trance, ritmenya memuncak, menyerupai arus air deras.
Peran penting lainnya adalah alat musik bambu. Di beberapa daerah, digunakan angklung air atau instrumen bambu yang ditiup di atas air, menghasilkan bunyi yang sangat dekat dengan alam. Musik ini tidak hanya mengiringi tarian, tetapi secara harfiah dianggap sebagai bahasa yang digunakan Barongan untuk berbicara dengan alam.
Barongan Air bukan hanya tradisi lokal, tetapi juga cerminan kolektif dari identitas Nusantara sebagai negara kepulauan yang dikelilingi oleh air. Kehidupan, pangan, dan spiritualitas masyarakat Indonesia sangat terikat pada laut dan sungai.
Di kepulauan, batas antara darat dan air adalah batas sakral. Barongan Air beroperasi di zona liminal ini—di muara, pantai, atau tepi danau. Pertunjukan ini mengajarkan masyarakat untuk tidak memisahkan diri dari air, melainkan hidup berdampingan, memahami siklus pasang surut, dan menghormati kekuatan yang lebih besar di bawah permukaan.
Konsep bahwa Barongan Air adalah penjaga pintu gerbang (penjaga muara) sangat kuat. Ia memastikan bahwa energi dari laut (kesuburan, kekayaan) dapat masuk ke daratan, dan energi dari daratan (pencemaran, dosa) dapat dibersihkan di laut. Ini adalah filosofi pertukaran energi yang berkelanjutan, sebuah model kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pada akhirnya, Barongan Air adalah warisan abadi yang menawarkan perspektif unik tentang bagaimana manusia harus berinteraksi dengan alam. Di tengah krisis ekologi global, narasi yang dibawa oleh Barongan Air—tentang rasa hormat, tanggung jawab, dan harmoni dengan air—menjadi semakin penting. Ia mengingatkan bahwa keberlanjutan hidup kita sepenuhnya bergantung pada seberapa baik kita menjaga penjaga spiritual sungai dan laut kita.
Melalui setiap ayunan topeng yang basah, melalui setiap tetesan air yang jatuh dari kostum penari, Barongan Air terus menceritakan kisah kuno tentang sebuah bangsa yang lahir dari air dan harus selalu kembali menghormati sumber kehidupannya.