I. Prolog: Hantu Kekaisaran dan Mistik Siberia
Kisah Roman Fedorovich von Ungern-Sternberg bukanlah sekadar babak dalam Perang Saudara Rusia; ini adalah epik berdarah yang melampaui batas realitas militer dan masuk ke ranah mitologi, nihilisme spiritual, dan kegilaan yang dipimpin oleh hasrat monarki purba. Dijuluki sebagai 'Baron Berdarah' (The Bloody Baron) oleh pers Barat dan 'Tuan Perang yang Mengamuk' oleh musuh-musuhnya, Ungern-Sternberg adalah salah satu figur paling ekstrem dan kontroversial yang muncul dari abu keruntuhan Kekaisaran Rusia.
Ia adalah seorang bangsawan Baltik-Jerman, keturunan Ordo Teutonik kuno, yang pada dasarnya membawa genetik Eropa ke wilayah paling terpencil di Asia Tengah. Namun, warisan genetik ini hanya berfungsi sebagai lapisan luar bagi keyakinan fundamental yang ia anut: bahwa dunia modern, yang dipenuhi liberalisme, demokrasi, dan, yang paling ia benci, Bolshevisme, harus dihancurkan total, dan digantikan oleh monarki teokratis berdasarkan prinsip-prinsip perang suci—sebuah restorasi tata krama abad pertengahan yang dibalut mistisisme Buddha.
Pada puncak kekuasaannya, ia memimpin Divisi Kavaleri Asia, pasukan gabungan Rusia, Buryat, Tiongkok, dan Mongol, yang beroperasi dengan brutalitas mengerikan di Siberia dan Mongolia. Ia menjadi satu-satunya jenderal kulit putih yang berhasil merebut ibu kota negara asing—Urga (kini Ulaanbaatar) pada tahun 1921—dan mengembalikan otoritas teokratis Bogd Khan, penguasa spiritual Mongolia. Tindakannya di sana, yang ditandai oleh pembantaian sistematis terhadap Yahudi, kaum revolusioner, dan bahkan warga sipil yang dicurigai, menciptakan legenda kejam yang terus menghantui sejarah Mongolia hingga hari ini.
Memahami Ungern-Sternberg menuntut kita untuk melepaskan kerangka berpikir militer konvensional. Ia bukan sekadar panglima perang, melainkan figur mesianik yang percaya bahwa ia adalah reinkarnasi salah satu Dewa Perang Tibet. Keyakinan inilah yang mendorong pasukannya, yang terlepas dari kekurangan logistik dan disiplin yang aneh, mampu menahan gelombang Merah di padang rumput yang luas. Artikel ini akan menyelami latar belakang, ambisi, tindakan, dan warisan mistis dari Baron Ungern-Sternberg, sebuah perjalanan ke dalam pikiran seorang jenderal yang memilih kehancuran total daripada kompromi ideologis.
Lambang simbolis yang merefleksikan latar belakang militer dan monarkis Baron.
II. Asal Usul dan Perkembangan Mentalitas Ekstrem
A. Aristokrasi Baltik dan Warisan Kuno
Roman Fedorovich Ungern von Sternberg lahir pada tahun 1886 di Tallinn (saat itu Reval), Estonia, bagian dari Kekaisaran Rusia. Ia berasal dari keluarga bangsawan Uradel (bangsawan kuno) Baltik-Jerman yang terkenal dengan sejarah militer dan kekejaman. Silsilahnya dapat ditelusuri kembali ke Ordo Ksatria Templar dan Tentara Salib. Keluarga Ungern-Sternberg memiliki reputasi lama yang menakutkan, dengan banyak anggota yang secara historis dicap sebagai 'gila' atau 'berdarah dingin'. Ungern tumbuh dengan mendengarkan kisah-kisah tentang nenek moyangnya yang merupakan petualang, penyihir, dan komandan militer yang kejam.
Masa kecilnya dihabiskan di Reval dan kemudian di wilayah yang kini adalah Estonia, setelah kedua orang tuanya bercerai. Didikan militernya dimulai di Sekolah Kadet Angkatan Laut Saint Petersburg, meskipun ia tidak menyelesaikannya. Sejak awal, ia menunjukkan kecenderungan yang tidak stabil: mudah marah, keras kepala, dan memiliki pandangan dunia yang dogmatis dan anti-intelektual. Ia lebih tertarik pada legenda kepahlawanan kuno, filsafat Timur, dan spiritualisme mistis daripada kurikulum modern.
B. Pengalaman Perang Rusia-Jepang dan Pergeseran ke Timur
Pada tahun 1904, saat pecah Perang Rusia-Jepang, Ungern meninggalkan sekolah kadetnya dan mendaftar sebagai sukarelawan. Meskipun ia tidak melihat banyak pertempuran garis depan, pengalaman singkatnya dalam kekalahan Rusia dan atmosfer chauvinisme militer memperkuat pandangan monarkisnya. Setelah perang, ia dipindahkan ke unit-unit Cossack di Siberia, inilah titik balik yang esensial dalam hidupnya. Di sana, ia mulai berinteraksi dengan budaya pribumi—Buryat, Mongol, dan Cossack—yang membuka matanya terhadap spiritualitas Asia.
Ia mempelajari bahasa-bahasa lokal, mengagumi tradisi kavaleri nomaden, dan mulai mengadopsi elemen Buddhisme Vajrayana, mencampurnya secara radikal dengan monarkisme ortodoks Rusia. Bagi Ungern, padang rumput Asia adalah tempat suci yang belum terkontaminasi oleh kebejatan Eropa yang ia yakini telah membusuk. Ia melihat Bogd Khan, pemimpin spiritual Mongolia, sebagai simbol murni dari otoritas teokratis yang ia impikan.
C. Perang Dunia I dan Ketidakstabilan Mental
Ungern bertugas dengan gagah berani di Front Timur selama Perang Dunia I, terutama di Polandia dan Galicia. Ia dikenal karena keberaniannya yang gila dan seringkali ceroboh. Ia terluka lima kali dan menerima Ordo St. George. Namun, di tengah pertempuran, sifatnya yang tidak stabil semakin menonjol. Ia dilaporkan memukuli bawahannya hingga pingsan, menyebabkan komandan-komandannya mempertanyakan kesehatan mentalnya. Salah satu perwira atasannya bahkan mendeskripsikannya sebagai "sangat berani, tetapi terlalu mudah terangsang dan rentan terhadap kejang-kejang kegilaan."
Setelah Revolusi Februari pada tahun 1917 yang menggulingkan Tsar Nicholas II, Ungern sepenuhnya kehilangan kepercayaan pada pemerintah sementara. Ia menganggap runtuhnya monarki sebagai bencana spiritual global. Ia meninggalkan unitnya dan pergi ke Timur Jauh, bersumpah untuk mempertahankan prinsip otokrasi, bahkan jika ia harus melakukannya sendirian di ujung dunia.
III. Merangkul Kekerasan: Perang Saudara dan Divisi Kavaleri Asia
A. Ke Siberia dan Pembentukan Front Anti-Bolshevik
Setelah tiba di Transbaikalia, Siberia, Ungern bergabung dengan pasukan Gerakan Putih yang dipimpin oleh Ataman Grigory Semenov, seorang panglima perang Cossack yang licik. Semenov, yang didukung oleh Jepang, memberinya tanggung jawab atas Distrik Dauria, di sepanjang perbatasan Manchuria dan Mongolia. Di Dauria, Ungern mulai membangun Divisi Kavaleri Asia (The Asiatic Cavalry Division)—sebuah unit yang akan menjadi cerminan sempurna dari kekejaman dan keanehan dirinya.
Ungern tidak tertarik pada tujuan politik gerakan Putih yang lebih besar; fokusnya adalah pemusnahan total terhadap Bolshevisme, yang ia identifikasi sebagai manifestasi kejahatan materialistik, didukung oleh kekuatan internasionalis dan Yahudi—ideologi yang kemudian dikenal sebagai 'Nihilisme Reaksioner'.
B. Dauria: Laboratorium Kegilaan
Di Dauria, Ungern mendirikan wilayah kekuasaannya yang brutal. Stasiun kereta api Dauria menjadi pusat penyiksaan dan eksekusi. Ungern menerapkan disiplin militer yang sangat keras, dicampur dengan ritual spiritual dan hukuman abad pertengahan. Para korban tidak hanya Bolshevik atau simpatisan Merah, tetapi juga pedagang, orang Yahudi, dan siapa pun yang dianggap Ungern membawa 'penyakit' modern. Ia sering melakukan eksekusi dengan tangannya sendiri, menggunakan pedang atau senapannya, di hadapan pasukannya.
Semenov sering kali terganggu oleh perilaku Ungern, tetapi ia menghargai keberanian dan kemampuan tempurnya. Hubungan mereka tegang: Semenov adalah seorang oportunis, sementara Ungern adalah seorang fanatik murni. Namun, keduanya bersatu dalam tekad untuk mempertahankan Siberia dari penguasaan Merah.
C. Komposisi Divisi Kavaleri Asia
Divisi Kavaleri Asia (D.K.A.) bukanlah unit Rusia biasa. Ia terdiri dari campuran eksentrik:
- Cossack Rusia: Inti perwira dan kavaleri.
- Buryat dan Mongol: Yang tertarik pada janji Ungern tentang restorasi Kekaisaran Mongol dan hubungannya dengan Bogd Khan.
- Tentara Tiongkok dan Manchu: Pelarian dari konflik Tiongkok.
- Tahanan Perang Hungaria dan Jerman: Yang direkrut paksa.
Pasukan ini dipimpin oleh Ungern, yang sering mengenakan seragam militer Rusia yang usang, dihiasi dengan lencana Mongolia dan medali Tsar. Dia jarang mandi, sering bertindak dalam keadaan kerasukan spiritual, dan makan dengan jatah yang sama dengan prajurit terendah. Ia menuntut loyalitas absolut dan menanamkan rasa takut yang mendalam pada siapa pun yang berada di jalannya.
D. Visi Spiritual Ungern: Budha dan Pedang
Pada saat ini, Ungern mulai secara terbuka menyatakan kepercayaan mistisnya. Ia menyatakan bahwa ia adalah pemegang takdir ilahi, seorang prajurit Dharma yang bertugas membersihkan Asia sebelum ia dapat kembali ke Eropa dan menyelamatkannya dari Revolusi. Ia menjalin hubungan erat dengan lama (pendeta Buddha) Mongolia, yang beberapa di antaranya mendukungnya sebagai manifestasi dari Cakravartin—penguasa dunia universal yang akan datang.
Keyakinannya ini bukan Buddhisme pasif, melainkan sinkretisme militeristik yang percaya pada kekuatan pemurnian melalui kekerasan. Ia percaya bahwa tindakannya yang kejam hanyalah bagian dari proses karma yang diperlukan untuk menghancurkan kejahatan di bumi. Pengaruh Buddhisme Tibet terhadapnya tidaklah murni; ia mengambil elemen kekejaman, reinkarnasi, dan takdir untuk membenarkan genosida politik dan rasial yang ia lakukan.
Mobilitas Kavaleri Asia di bawah komando Baron Ungern-Sternberg.
IV. Penaklukan Urga: Puncak Kekuasaan dan Teror
A. Latar Belakang Geopolitik Mongolia
Pada akhir tahun 1920, situasi Ungern di Dauria menjadi tidak berkelanjutan. Pasukan Merah (Bolshevik) telah mengonsolidasikan kekuatan di Siberia, dan Semenov mulai mundur. Ungern melihat peluang dan takdirnya terbentang ke selatan, di Mongolia Luar. Mongolia saat itu berada dalam keadaan kekacauan. Secara nominal otonom di bawah Bogd Khan (Jebtsundamba Khutuktu VIII), negara itu baru saja diduduki oleh pasukan Republik Tiongkok di bawah Jenderal Xu Shuzheng, yang memaksakan pencabutan otonomi Mongolia.
Bogd Khan ditahan dan rakyat Mongolia sangat tidak puas dengan pemerintahan Tiongkok. Ungern, yang percaya bahwa ia telah menerima ramalan ilahi bahwa ia akan membebaskan Bogd Khan, memutuskan untuk memimpin 3.000 prajuritnya ke selatan, melintasi perbatasan gurun Gobi menuju ibu kota, Urga.
B. Pengepungan Pertama dan Taktik Psikologis
Pada Oktober 1920, Ungern tiba di luar Urga. Upaya pertamanya untuk merebut kota itu gagal total. Pasukannya, yang kelelahan dan kekurangan perlengkapan, didorong mundur oleh garnisun Tiongkok yang jumlahnya jauh lebih banyak. Kekalahan ini akan menghancurkan moral komandan lain, tetapi Ungern melihatnya sebagai ujian spiritual.
Alih-alih mundur secara permanen, ia menggunakan taktik psikologis. Ia membagi pasukannya menjadi unit-unit kecil yang terus bergerak di sekitar kota, menyalakan api unggun yang besar di malam hari untuk menciptakan ilusi bahwa ia memiliki pasukan yang jauh lebih besar. Pada saat yang sama, ia mengirim utusan ke lama dan bangsawan Mongolia, menjanjikan pembebasan Bogd Khan dan restorasi teokrasi.
C. Pembebasan Bogd Khan dan Penyerbuan Kedua
Pada Februari 1921, Ungern melancarkan serangan keduanya. Setelah melakukan ritual spiritual dan mendapatkan persetujuan dari beberapa lama berpengaruh, Ungern melakukan langkah berani. Sebelum menyerang Urga, ia mengirim unit kavaleri kecil untuk membebaskan Bogd Khan dari tahanan Tiongkok. Tindakan ini, yang berhasil sepenuhnya, memberikan validitas spiritual yang luar biasa bagi Ungern di mata rakyat Mongolia. Ia telah memenuhi janji yang dianggap sebagai kehendak surga.
Dengan moral yang melonjak dan pasukan Tiongkok yang bingung, Ungern menyerbu Urga pada tanggal 4 Februari 1921. Pertempuran itu singkat tetapi brutal. Pasukan Tiongkok melarikan diri dalam kekacauan, meninggalkan persenjataan dan persediaan. Keberhasilan yang mustahil ini mengukuhkan status Ungern sebagai figur mesianik, seorang 'Jenderal Perang Suci' yang tak terkalahkan.
D. Rezim Teror di Urga
Setelah merebut kota, Ungern mendirikan pemerintahan militer yang dipimpin oleh dirinya sendiri, meskipun ia secara formal mengembalikan Bogd Khan ke takhtanya. Bogd Khan memberinya gelar tinggi, 'Pangeran yang Diberkahi' (Wang), dan status Khutuktu, yang semakin memperkuat klaim spiritual Ungern. Namun, restorasi ini segera diikuti oleh gelombang teror yang mengerikan.
Periode ini adalah saat Ungern mendapatkan julukan 'Baron Berdarah'. Ia memerintahkan pembersihan massal yang menargetkan tiga kelompok utama:
- Bolshevik dan Simpatisan Merah: Siapa pun yang dicurigai memiliki ideologi kiri atau liberal.
- Tahanan Tiongkok: Ribuan tentara dan warga sipil Tiongkok dibantai.
- Komunitas Yahudi Lokal: Ungern memiliki anti-Semitisme fanatik, yang ia yakini sebagai akar dari Bolshevisme. Hampir seluruh komunitas Yahudi di Urga dimusnahkan dalam beberapa minggu.
Eksekusi dilakukan tanpa proses pengadilan, seringkali dengan metode kuno yang kejam, termasuk pemenggalan dengan pedang dan mutilasi. Perwira Ungern yang paling kejam, Resuchin, melaksanakan perintah ini dengan antusiasme yang sama dengan tuannya. Urga menjadi kota yang diselimuti ketakutan, sebuah oasis teokratis yang didirikan di atas lautan darah.
V. Ideologi dan Kehancuran: Menghancurkan Dunia Modern
A. Sinkretisme Ideologis Ungern
Apa yang mendorong kekejaman Ungern bukanlah sekadar sadisme militer; itu adalah ideologi yang dipelintir dan kompleks. Ia percaya pada 'Persaudaraan Timur'—aliansi antara masyarakat Mongol, Tibet, dan Buryat, yang dipimpin oleh monarki Putih Rusia, untuk menentang peradaban Barat yang rusak.
Filsafatnya dapat diringkas sebagai:
- Monarkisme Absolut: Keyakinan tak tergoyahkan bahwa hanya otokrasi yang dapat memberikan tatanan dan nilai-nilai spiritual sejati.
- Anti-Bolshevisme Total: Bolshevisme adalah manifestasi tertinggi dari materialisme dan kebobrokan Barat, yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya.
- Mistik Asia: Penggabungan konsep Shamanisme, Buddhisme, dan takdir ksatria Baltik. Ia melihat dirinya sebagai ksatria penjelajah yang mencari Shambhala, kerajaan mistis yang tersembunyi, yang akan memimpin perang suci.
Ungern percaya bahwa ia berperang bukan melawan tentara biasa, tetapi melawan kekuatan kegelapan kosmik. Musuhnya adalah "Revolusi yang dipimpin Setan," dan pedangnya adalah alat pemurnian yang diperlukan oleh karma.
B. Disiplin Militer yang Kontradiktif
Meskipun Ungern menerapkan kekejaman luar biasa terhadap musuh dan orang asing, ia juga mencoba untuk menerapkan kode etik abad pertengahan yang aneh di dalam pasukannya. Ia melarang keras prajuritnya mencuri dari rakyat Mongolia yang dianggapnya sebagai sekutu spiritual. Pelanggaran kecil internal sering dihukum mati, sementara pembantaian massal eksternal dianggap sebagai tugas suci.
Disiplinnya yang brutal menciptakan loyalitas yang menakutkan, terutama di antara perwira inti Divisi Kavaleri Asia. Mereka melihatnya sebagai sosok yang lebih besar dari kehidupan, seorang panglima perang yang beroperasi di luar aturan normal pertempuran, didorong oleh kekuatan yang tak terlihat.
C. Kegagalan Administrasi dan Isolasi
Setelah merebut Urga, Ungern gagal beralih dari panglima perang menjadi administrator. Kekejaman dan ketidakpastiannya merusak pemerintahan Bogd Khan yang baru. Ia tidak mampu menstabilkan ekonomi, dan jalur logistiknya dari Manchuria semakin terputus. Kekuatan fisiknya, yang sebelumnya ia abaikan, juga mulai memburuk. Ia mengalami serangan epilepsi yang semakin sering dan intens, yang diyakini oleh pasukannya sebagai 'kerasukan spiritual'.
Di luar Mongolia, sisa-sisa Gerakan Putih melihat Ungern sebagai aset yang tidak stabil. Kolchak telah dieksekusi, dan Semenov sendiri dalam posisi yang sulit. Ungern semakin terisolasi, hanya bergantung pada janji-janji spiritual dan pasukannya yang mulai kelelahan.
VI. Kemunduran dan Akhir di Steppa Siberia
A. Ancaman Merah yang Mendekat
Keberhasilan Ungern di Mongolia tidak luput dari perhatian Bolshevik. Mereka menyadari bahwa seorang panglima perang monarkis yang didukung oleh agama dapat menjadi ancaman serius bagi Asia Tengah dan Siberia Merah yang baru stabil. Vladimir Lenin sendiri memberikan perhatian khusus pada Ungern, memerintahkan pembentukan unit gabungan Soviet-Mongol untuk menghancurkannya.
Pada musim semi 1921, kekuatan Bolshevik, yang jauh lebih terorganisir dan didukung oleh penasihat Soviet, mulai bergerak ke selatan. Pasukan Mongolia revolusioner, dipimpin oleh Damdin Sükhbaatar, juga bergabung dalam serangan tersebut.
B. Kampanye Akhir dan Invasi ke Siberia
Alih-alih bertahan di Urga, Ungern mengambil keputusan yang tampaknya gila: ia akan menyerang Siberia Merah. Pada Juni 1921, ia memimpin sebagian besar Divisi Kavaleri Asia ke utara, mencoba memicu pemberontakan Cossack dan petani yang ia yakini akan menyambutnya. Keputusan ini fatal.
Begitu Ungern meninggalkan Urga, pasukan Merah dan Mongol Revolusioner berbaris dan merebut ibu kota pada bulan Juli 1921, mengakhiri kekuasaan Ungern. Bogd Khan diizinkan tetap sebagai penguasa seremonial, tetapi Mongolia secara efektif menjadi negara satelit Soviet.
Kampanye Ungern di Siberia Timur dengan cepat menjadi bencana. Ia bertemu dengan perlawanan keras dan tidak ada pemberontakan yang terjadi. Pasukannya, yang kelelahan dan kelaparan, semakin bingung dengan pergerakan Ungern yang tidak menentu dan kejam. Ungern, yang kini tampak sepenuhnya terjerumus ke dalam mania, memerintahkan eksekusi para perwiranya sendiri karena kegagalan atau ketidaktaatan.
C. Mutiny dan Penangkapan
Moral unitnya ambruk. Prajurit Rusia dan Buryat lelah dengan perang yang sepertinya tanpa akhir dan tujuan yang tidak jelas, dipimpin oleh seorang komandan yang menakutkan. Pada Agustus 1921, terjadi pemberontakan massal.
Salah satu unit Mongolnya, yang putus asa dengan perilaku Ungern, memberontak dan menembak Resuchin, tangan kanan Ungern yang paling kejam. Ungern sendiri ditangkap saat mencoba melarikan diri ke Tibet. Ironisnya, ia ditangkap bukan oleh pasukan Merah, tetapi oleh pasukannya sendiri yang kemudian menyerahkannya kepada detasemen Merah terdekat.
Representasi visual dari mitos 'Baron Berdarah'.
VII. Pengadilan Soviet dan Warisan yang Tak Terhapuskan
A. Persidangan Spektakuler di Novonikolayevsk
Penangkapan Ungern-Sternberg adalah kemenangan propaganda besar bagi Bolshevik. Mereka tidak hanya menangkap seorang panglima perang yang paling ditakuti, tetapi juga simbol dari Reaksi Eropa yang bercampur dengan fanatisme Asia. Ia dibawa ke Novonikolayevsk (sekarang Novosibirsk) untuk diadili. Pengadilan itu adalah pertunjukan politik yang dirancang untuk mempermalukan Gerakan Putih dan memperkuat narasi Bolshevik tentang perang melawan kekuatan feodal dan monarkis.
Persidangan yang singkat itu dipimpin oleh Yemelyan Yaroslavsky, seorang propagandis Bolshevik terkemuka. Ungern, yang mengenakan seragam usang yang penuh debu dan darah, tampil dengan ketenangan yang aneh. Ia menolak pembelaan, seringkali menyela dengan ejekan monarkis, dan dengan bangga mengakui tujuannya untuk menghancurkan Revolusi. Ketika ditanya mengapa ia membantai begitu banyak orang Yahudi, ia menjawab bahwa itu adalah tugasnya untuk membersihkan dunia dari 'penyakit kuman' yang membawa materialisme.
B. Keputusan Lenin dan Eksekusi
Meskipun beberapa tokoh Bolshevik sempat berdebat apakah Ungern harus diasingkan ke Eropa untuk studi psikologis, Lenin memutuskan bahwa eksekusi adalah satu-satunya jalan. Lenin sangat memahami kekuatan simbolis dari eksekusi panglima perang yang fanatik ini, mengirimkan pesan yang jelas kepada setiap elemen monarkis di Asia dan Siberia bahwa kekuasaan Soviet adalah final.
Pada tanggal 15 September 1921, Roman von Ungern-Sternberg dieksekusi oleh regu tembak. Beberapa laporan menyebutkan bahwa ia meninggal dengan berteriak, "Mati, anjing-anjing Bolshevik!" atau, menurut legenda yang lebih romantis, bahwa ia meninggal dengan senyum dingin, yakin bahwa takdirnya telah terpenuhi.
C. Warisan di Mongolia dan Rusia
Di Rusia, Ungern segera diubah menjadi monster sejarah, simbol kegilaan borjuis yang dikalahkan oleh kekuatan rakyat. Di Mongolia, warisannya jauh lebih kompleks. Selama pemerintahan komunis, ia digambarkan secara seragam sebagai penindas asing yang kejam.
Namun, bagi sebagian konservatif dan pengikut Buddhisme, ia tetap menjadi sosok yang membingungkan: 'Raja Perang yang Mengamuk' (Jangjun) yang meskipun kejam, adalah satu-satunya orang asing yang membebaskan mereka dari pendudukan Tiongkok dan mengembalikan Bogd Khan ke takhta. Tindakan Ungern secara paradoks membuka jalan bagi kemerdekaan Mongolia modern, meskipun di bawah payung Soviet.
Hingga kini, di Mongolia, cerita-cerita tentang Ungern Khan atau Jenderal yang Gila masih diceritakan, menunjukkan bagaimana batas antara sejarah, mitos, dan spiritualitas menjadi kabur di padang rumput Asia.
VIII. Eksplorasi Lebih Dalam: Mitos, Historisitas, dan Psikologi
A. Melampaui Label ‘Gila’
Ungern-Sternberg sering dilabeli sebagai 'psikopat' atau 'gila', dan memang, tindakannya menunjukkan pola perilaku yang tidak seimbang secara klinis—terutama kekejamannya yang dingin, ketidakpedulian terhadap penderitaan, dan grandiositas mesianik. Namun, sejarawan berpendapat bahwa ia harus dilihat lebih dari sekadar individu yang sakit jiwa. Ia adalah produk dari kekerasan yang tak tertandingi di masanya (Perang Dunia I dan Perang Saudara Rusia), dan juga inkarnasi dari ideologi yang berkembang di kalangan aristokrasi Eropa yang takut akan modernitas.
Ia adalah contoh ekstrem dari seorang 'nihilis reaksioner'—seseorang yang begitu membenci dunia modern (liberalisme, uang, industri, demokrasi) sehingga ia bersedia menghancurkannya untuk kembali ke tatanan yang diidealkannya, meskipun itu berarti kekacauan total. Kekerasan yang ia lakukan adalah alat ideologis, bukan sekadar pelampiasan nafsu.
B. Shambhala dan Ramalan Kosmik
Banyak catatan kontemporer dari perwira Ungern yang masih hidup menceritakan obsesinya terhadap ramalan dan akhir zaman. Ia menghabiskan berjam-jam berkonsultasi dengan lama Tibet dan membaca teks-teks esoteris. Ia percaya pada Kalachakra Tantra, yang meramalkan perang besar antara kekuatan kebaikan (Shambhala) melawan kekuatan jahat (Barat materialistik).
Obsesi ini memberinya legitimasi di antara pasukan Mongol dan Buryat, yang akrab dengan konsep perang suci Buddhis. Ini juga menjelaskan mengapa ia sangat menargetkan peradaban kota dan para intelektual; baginya, merekalah yang membawa 'racun' modernitas ke Asia murni.
C. Peran Anti-Semitisme
Ungern adalah salah satu tokoh pertama yang menerapkan anti-Semitisme massal secara brutal selama Perang Saudara Rusia di Asia. Meskipun banyak panglima perang Putih lainnya di Barat bersifat anti-Semit, kekejaman Ungern di Urga ditandai oleh pemusnahan sistematis. Ia tidak hanya melihat Yahudi sebagai musuh agama atau ras, tetapi sebagai konspirasi metafisik yang mengendalikan kekuatan revolusioner (Bolshevisme) dan kekuatan moneter (Kapitalisme). Dalam pikirannya yang terpelintir, pembersihan komunitas Yahudi adalah langkah penting dalam pemurnian kosmik yang lebih besar.
IX. Memahami Ungern dalam Konteks Kekacauan Global
A. Echos dari Perang Salib di Asia
Kisah Ungern adalah narasi tentang bagaimana Perang Salib Abad Pertengahan bertemu dengan kehancuran abad ke-20. Sebagai Baltik-Jerman, darahnya terkait dengan ekspansi agama ke Timur. Ketika ia melarikan diri dari Revolusi, ia tidak mencari suaka politik, melainkan wilayah baru untuk mendirikan teokrasi purba. Mongolia menjadi kanvas terakhirnya.
Kejadian Ungern-Sternberg menunjukkan bahwa kekacauan yang terjadi setelah runtuhnya kekaisaran dapat menghasilkan bentuk-bentuk kekerasan yang tidak terduga, di mana identitas nasional, agama, dan ideologi berbaur menjadi sesuatu yang benar-benar baru dan mengerikan. Ia adalah salah satu contoh awal dari penyatuan ekstremisme politik dan spiritual yang akan mendefinisikan konflik abad ke-20 dan ke-21.
B. Penilaian Sumber Kontemporer
Sebagian besar kisah Ungern datang dari narasi Bolshevik (yang sangat bias, karena mereka ingin mendiskreditkannya) atau dari memoar para pengamat Barat yang melihatnya sebagai keanehan. Ferdynand Ossendowski, seorang petualang Polandia yang menulis Beasts, Men and Gods, sangat mempopulerkan mitos Ungern di Barat, melukiskannya sebagai karakter yang mistis dan menakutkan, meskipun detailnya sering dipertanyakan. Karya Ossendowski yang sangat laris membantu mengubah Ungern dari seorang panglima perang yang gagal menjadi ikon mistis dari 'Kengerian Asia'.
Meskipun sumber-sumbernya sulit, konsensus sejarah mengonfirmasi inti dari cerita tersebut: kekejaman yang ekstrem, kejeniusan taktis yang singkat, dan penggabungan kepercayaan Timur dan Barat yang unik yang mendorong tindakannya.
X. Akhir Sang Baron dan Mitos Abadi
Kematian Roman von Ungern-Sternberg pada tahun 1921 tidak mengakhiri mitosnya. Sebaliknya, ia menjadikannya abadi. Ia adalah perwujudan kegelapan dan harapan yang terbalik: seorang ksatria yang mencari kerajaan surgawi di tengah gurun es, tetapi yang hanya menemukan cara untuk menyebarkan kekejaman neraka di bumi.
Sangat sedikit pemimpin Putih lainnya yang mencapai tingkat notoriety atau mencapai tujuan militer simbolis yang ia capai. Sementara Denikin, Kolchak, dan Wrangel berperang untuk mempertahankan Rusia lama, Ungern-Sternberg berperang untuk menghancurkan seluruh peradaban dan mendirikan tata tertib yang sudah mati selama berabad-abad.
Keberaniannya yang gila, keyakinan spiritualnya yang mendalam, dan kekejamannya yang tak terbatas menjadikannya subjek yang kaya bagi sastra, film, dan sejarah pop. Ia menjadi simbol dari apa yang terjadi ketika idealisme ekstrem berbenturan dengan realitas brutal perang, menghasilkan sosok yang tidak dapat diklasifikasikan dengan mudah: seorang bangsawan Eropa yang menjadi khan Mongol, seorang prajurit Ortodoks yang percaya pada reinkarnasi Buddhis, dan seorang jenderal kekaisaran yang memilih untuk memimpin gerombolan yang kejam.
Warisan utamanya adalah peringatan tentang bahaya fanatisme, dan bukti bahwa dalam kekacauan revolusioner, yang paling ekstrem, meskipun hanya untuk sesaat, dapat menguasai sebagian besar dunia. Ia adalah Baron Berdarah, ksatria terakhir dari tatanan lama, dan hantu abadi padang rumput Asia.
XI. Detail Ekspedisi dan Kehidupan Kamp: Pandangan dari Dalam
Untuk benar-benar menghargai sosok Ungern, kita harus melihat kehidupan sehari-hari di dalam Divisi Kavaleri Asia. Pasukan Ungern dikenal hidup dalam kondisi yang mengerikan, bergerak tanpa henti melintasi Transbaikalia dan Mongolia. Ungern secara pribadi tidak peduli dengan kenyamanan. Ia tidur di tanah, menolak makanan mewah, dan berpakaian dengan compang-camping. Gaya hidup asketisnya, yang ia yakini dapat meningkatkan kekuatan spiritualnya, menuntut hal yang sama dari para perwiranya, menciptakan suasana pengabdian dan ketakutan.
Para sejarawan militer mencatat bahwa Divisi Ungern adalah anomali logistik. Mereka hampir tidak memiliki jalur suplai yang terorganisir. Mereka hidup dari hasil bumi lokal atau rampasan perang, sebuah strategi yang sangat efektif di padang rumput yang luas, tetapi juga menjelaskan mengapa mereka harus bersikap brutal terhadap penduduk sipil yang non-Mongol.
Keputusan-keputusan militernya seringkali didasarkan pada ramalan yang diterima dari para lama di kemahnya. Pertempuran di Urga, khususnya, diserang pada waktu yang diyakini paling menguntungkan secara astrologi, bukan hanya secara taktis. Ungern menolak peta dan kompas; ia mengandalkan intuisi, pengetahuan tentang steppa, dan keyakinan pada takdir. Metode ini kadang-kadang menghasilkan kemenangan gemilang yang tidak terduga, tetapi lebih sering menyebabkan kekalahan yang berantakan.
XII. Hubungan dengan Bogd Khan: Aliansi yang Tidak Setara
Bogd Khan, penguasa spiritual Mongolia, adalah figur sentral dalam narasi Ungern. Ungern tidak hanya membebaskannya; ia memujanya. Namun, Bogd Khan kemungkinan besar melihat Ungern sebagai alat yang diperlukan, seorang 'Badai Utara' yang ditakdirkan untuk menghapus pendudukan Tiongkok.
Setelah Bogd Khan kembali ke takhta, Ungern mendirikan kemahnya di luar Urga, membiarkan Bogd Khan mengurus urusan agama dan administrasi sipil, sementara Ungern memegang kendali penuh atas militer dan keamanan internal. Dokumen-dokumen dari pemerintahan Bogd Khan menunjukkan bahwa mereka berulang kali memohon kepada Ungern untuk mengurangi kekejamannya, terutama terhadap orang Tiongkok dan Yahudi, tetapi permohonan ini diabaikan oleh Baron, yang percaya bahwa ia bertindak atas perintah ilahi yang lebih tinggi daripada perintah sekuler Bogd Khan.
Aliansi ini menunjukkan paradoks. Ungern adalah seorang monarkis yang berjuang untuk mengembalikan otoritas; namun, tindakannya yang brutal dan otonom pada akhirnya merusak otoritas Bogd Khan di mata masyarakat internasional dan membenarkan intervensi Soviet, yang pada akhirnya membawa Mongolia ke dalam orbit komunisme.
XIII. Penolakan terhadap Logika dan Rasionalitas Barat
Ungern dapat dianggap sebagai antitesis absolut dari 'manusia modern' di Barat. Ia membenci kereta api, telegram, bank, dan konsep kebebasan sipil. Dalam salah satu suratnya yang tersisa, ia meratapi bahwa umat manusia telah meninggalkan kesetiaan dan kehormatan demi uang dan mesin.
Penolakan ini tidak hanya ideologis; itu mempengaruhi strateginya. Di saat para jenderal di Eropa berfokus pada artileri berat dan perang parit, Ungern kembali ke taktik kavaleri nomaden yang berusia ribuan tahun. Ia mengandalkan kecepatan, serangan mendadak, dan teror psikologis—taktik yang hampir mustahil untuk dilawan di padang rumput yang luas, tetapi yang sepenuhnya usang dalam menghadapi kekuatan militer yang terorganisir dan terindustrialisasi seperti Tentara Merah.
Kegagalannya adalah kegagalan idealisme purba melawan realitas industri abad ke-20. Ia adalah ksatria yang membawa pedang ke medan pertempuran tank; ia menang secara simbolis di Urga, tetapi kalah secara mutlak di seluruh konteks geopolitik yang lebih besar.
XIV. Dampak Jangka Panjang pada Perbatasan Tiongkok-Rusia
Meskipun masa kekuasaan Ungern di Mongolia hanya berlangsung beberapa bulan, konsekuensinya terasa selama beberapa dekade. Tindakannya memberi pembenaran yang sempurna bagi Soviet untuk masuk ke Mongolia dengan dalih "membantu rakyat Mongolia membebaskan diri dari tiran Putih."
Pemerintahan Merah di Mongolia (Republik Rakyat Mongolia) didirikan segera setelah kepergian Ungern, memastikan bahwa wilayah tersebut tidak akan pernah kembali di bawah kendali Tiongkok atau Rusia Putih. Dengan demikian, Ungern, musuh terbesar Bolshevisme di Asia, secara tidak sengaja memfasilitasi ekspansi Soviet yang mengubah peta geopolitik Asia Timur dan membantu mengamankan perbatasan selatan Uni Soviet selama Perang Dingin.
Ia adalah katalis kekerasan yang memicu perubahan struktural besar, sebuah badai yang berlalu dengan cepat tetapi meninggalkan jejak yang permanen. Kisahnya tetap menjadi pengingat yang mengerikan bahwa pada titik transisi sejarah yang besar, batas-batas antara spiritualitas yang agung dan kekejaman yang paling gelap dapat runtuh sepenuhnya.
XV. Ungern dan Esoterisme Barat Kontemporer
Pada saat Ungern beroperasi di Asia, Eropa dan Rusia sedang mengalami kebangkitan minat pada esoterisme Timur. Teosofi, Shamanisme, dan Buddhisme menarik banyak intelektual. Ungern bukanlah pengecualian, tetapi ia adalah yang paling radikal dalam mewujudkan ide-ide ini menjadi tindakan politik dan militer. Obsesinya dengan Shambhala dan penemuan kembali 'Kekuatan Dunia' Timur bukanlah hal yang unik di kalangan aristokrasi yang dekaden; yang unik adalah tekadnya untuk memaksakan visi itu dengan darah dan besi.
Kisah Ungern kemudian diserap oleh kaum esoteris dan kelompok ultranasionalis di Eropa pada tahun 1920-an dan 1930-an, yang melihatnya sebagai prototipe pahlawan yang memerangi materialisme. Ironisnya, bahkan ideologi yang ia benci (Nazisme dan Fasisme) kemudian mencoba mengkooptasi elemen-elemen mitosnya—seorang ksatria Utara yang mencari asal-usul Arya di Asia—menunjukkan seberapa luas dan mengerikan resonansi yang ia ciptakan melintasi benua.
XVI. Kesaksian Orang-orang yang Selamat dan Jejak Trauma
Kesaksian dari orang-orang yang selamat dari Urga memberikan gambaran paling jelas tentang teror yang ia sebarkan. Mereka menggambarkan Ungern bukan sebagai pemimpin yang cerdas, tetapi sebagai makhluk yang tidak terduga, yang dapat memberikan hadiah murah hati pada satu hari dan memerintahkan eksekusi massal pada hari berikutnya. Banyak dari pasukannya yang hidup dalam ketakutan yang konstan terhadap komandan mereka, sama seperti mereka takut pada musuh Bolshevik. Perwira-perwira dekatnya, seperti Resuchin, seringkali harus memoderasi atau menyembunyikan perintah-perintah Ungern yang paling tidak rasional.
Dampak trauma yang ditinggalkan di Mongolia dan Siberia oleh Divisi Kavaleri Asia sangat besar. Pembantaian yang sistematis di Urga terhadap komunitas Yahudi (satu-satunya genosida berbasis ras yang terjadi di wilayah tersebut selama Perang Saudara) menandai babak yang gelap dalam sejarah Asia Tengah, sebuah pengingat bahwa bahkan di pinggiran kekacauan global, ideologi kebencian dapat menemukan tanah yang subur.
XVII. Epilog Abadi di Padang Rumput
Di akhir hayatnya, Ungern-Sternberg tidak menunjukkan penyesalan. Ia tetap teguh pada keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang ditakdirkan. Ia mungkin telah gagal merebut kembali dunia untuk tsar dan lama, tetapi ia berhasil mengukir namanya ke dalam kesadaran sejarah sebagai simbol tertinggi dari kemarahan reaksioner. Roman von Ungern-Sternberg, dengan semua kekejaman dan mistiknya, tetap menjadi salah satu enigma paling menarik, sebuah bayangan panjang yang melintasi Eurasia, dari istana Baltik yang dingin hingga biara-biara tersembunyi di Mongolia yang berdebu.