Menelusuri Jiwa Barongsai yang Barongsai: Keagungan Tarian Singa Sejati
Lebih dari sekadar atraksi akrobatik atau hiasan perayaan, Barongsai adalah perwujudan energi, keberanian, dan filosofi kuno. Untuk memahami Barongsai yang Barongsai, kita harus menembus lapisan kostum warna-warni dan ritme tabuhan drum yang memekakkan, masuk ke dalam inti spiritual dan sejarah yang membentuk identitasnya sebagai mahakarya seni budaya yang hidup.
I. Pendahuluan: Definisi Otentikasi dan Eksistensi
Konsep Barongsai yang Barongsai merujuk pada pemahaman holistik bahwa tarian singa (Lion Dance) bukanlah sekadar olahraga atau seni pertunjukan biasa. Ia adalah sebuah narasi bergerak, sebuah ritual pengusiran roh jahat, dan manifestasi dari harapan kemakmuran. Barongsai yang otentik adalah singa yang memiliki jiwa, ditenagai oleh sinkronisasi tiga elemen kunci: Gerakan (Jing), Musik (Yi), dan Semangat (Shen).
Sejarah panjang Barongsai, yang berakar kuat pada tradisi dinasti Tiongkok, telah melahirkan variasi regional yang kaya, namun intinya tetap sama: penghormatan terhadap makhluk mitologis yang diyakini membawa keberuntungan. Di Indonesia, Barongsai telah mengalami perjalanan akulturasi yang unik, dari ritual murni di klenteng hingga menjadi simbol pluralisme budaya, namun tantangan utamanya adalah menjaga kemurnian gerakan dan filosofi di tengah tuntutan komersialitas.
Peran Mistik Singa dalam Budaya Tiongkok Kuno
Singa, meskipun bukan fauna asli Tiongkok (kecuali singa Asia yang terbatas), diimpor sebagai simbol kekuasaan dan perlindungan pada masa Dinasti Han melalui Jalur Sutra. Singa menjadi penjaga gerbang istana dan kuil, dihormati karena kekuatan dan keganasannya. Tarian Barongsai muncul sebagai cara untuk 'menghidupkan' penjaga ini, memungkinkannya berinteraksi dengan dunia manusia, membersihkan aura negatif, dan memberkati tempat tinggal atau usaha. Singa ini dianggap sebagai perantara antara dunia fana dan spiritual, menjadikannya tarian yang sangat sakral.
II. Akar Sejarah, Mitologi, dan Filosofi Yin-Yang
Untuk benar-benar menghargai Barongsai yang Barongsai, kita harus kembali ke mitos dasar. Barongsai dipercaya berasal dari setidaknya tiga tradisi utama: ritual pengadilan selama Dinasti Tang, tarian rakyat untuk merayakan panen, dan legenda monster Nian.
Mitologi Nian dan Asal Mula Kebisingan
Legenda paling terkenal yang terkait dengan Barongsai adalah kisah Nian (年), seekor monster buas yang muncul setiap pergantian tahun baru untuk memangsa manusia dan hasil panen. Penduduk desa menemukan bahwa Nian takut pada tiga hal: warna merah, api, dan suara bising yang keras. Dengan menggabungkan elemen-elemen ini—kostum merah, kembang api, dan tabuhan drum, gong, serta simbal—penduduk desa menciptakan tiruan singa untuk menakuti Nian. Tarian ini, yang awalnya merupakan pertahanan hidup, berevolusi menjadi ritual tahunan untuk memastikan keberuntungan dan keamanan sepanjang tahun yang baru. Inilah mengapa Barongsai selalu identik dengan suasana yang riuh, penuh energi, dan penuh warna merah cerah.
Keseimbangan Yin dan Yang dalam Gerakan
Filosofi Tiongkok yang fundamental, Yin dan Yang, terpatri dalam setiap aspek Barongsai. Gerakan Barongsai yang sejati selalu mencerminkan dualitas ini:
- Yin (Feminin, Tenang): Ditampilkan melalui gerakan singa yang tenang, tidur, menjilati bulu, atau berinteraksi dengan ramah. Ini adalah fase introspektif, menandakan persiapan dan kerendahan hati.
- Yang (Maskulin, Agresif): Diwujudkan melalui lompatan tinggi, raungan keras, gerakan mematuk yang cepat, dan pertarungan. Ini adalah fase pelepasan energi, pengusiran kejahatan, dan penangkapan keberuntungan.
Singa yang mahir akan mampu bertransisi mulus antara Yin dan Yang, menunjukkan tidak hanya kekuatan fisik tetapi juga kedalaman emosional. Tanpa keseimbangan ini, singa hanya tampak sebagai robotik, kehilangan keagungan spiritualnya.
III. Anatomi Kostum dan Simbolisme Warna
Setiap detail pada kostum Barongsai yang sejati memiliki makna yang mendalam, jauh melampaui fungsi estetika semata. Kostum adalah wadah bagi roh singa yang diperankan.
Struktur Kepala (Kepala Nan Pai)
Kepala Barongsai Selatan (Nan Pai), yang paling umum di Indonesia, biasanya terbuat dari bambu, kertas, dan kain. Kepalanya berukuran besar, menonjolkan fitur-fitur seperti:
- Tanduk/Cula (角 - Jiǎo): Terletak di dahi, ini bukan tanduk, melainkan simbol keberanian dan identitas Qilin (makhluk mitologis). Ini digunakan untuk mematuk musuh spiritual.
- Cermin (鏡子 - Jìngzi): Terpasang di dahi, cermin berfungsi memantulkan energi negatif atau roh jahat kembali ke asalnya. Ini adalah perangkat perlindungan spiritual yang penting.
- Mata yang Berkedip: Mata yang dapat dibuka-tutup secara manual menunjukkan emosi singa—rasa ingin tahu, marah, tidur, atau kegembiraan. Ini adalah kunci untuk menyampaikan Shen (Semangat).
- Jenggot Panjang: Simbol usia, kebijaksanaan, dan kekuatan. Bahan jenggot seringkali menentukan kualitas dan tingkat kehormatan singa tersebut.
Sistem Pewarnaan dan Makna Lima Elemen
Warna singa sering kali merujuk pada karakter legendaris dari Kisah Tiga Negara atau dikaitkan dengan Lima Elemen (Wu Xing) Tiongkok, yang masing-masing melambangkan arah, musim, dan sifat tertentu:
- Merah (關羽 - Guan Yu): Keberanian, kesetiaan, api. Singa merah adalah yang paling umum dan dianggap paling kuat dalam mengusir kejahatan.
- Emas/Kuning (劉備 - Liu Bei): Kekuatan kekaisaran, bumi, kemakmuran, dan kehormatan. Sering kali menjadi singa utama dalam suatu grup.
- Hitam (張飛 - Zhang Fei): Kecepatan, agresivitas, air. Singa hitam adalah yang paling liar dan bersemangat.
- Hijau: Alam, pertumbuhan, kayu. Melambangkan regenerasi dan kesuksesan.
- Putih: Kesucian, kemurnian, logam. Singa putih terkadang dianggap sebagai singa yang paling tua dan bijaksana.
Sebuah tim Barongsai yang Barongsai tidak hanya memilih warna yang mereka suka, tetapi memilih warna berdasarkan peran dan aura spiritual yang ingin mereka proyeksikan dalam tarian mereka.
IV. Aliran Utama Barongsai: Perbedaan Mendalam Nan Pai dan Bei Pai
Tarian Barongsai dibagi menjadi dua aliran utama yang sangat berbeda dalam penampilan, gerakan, dan musik: Nan Pai (Gaya Selatan) dan Bei Pai (Gaya Utara). Pemahaman tentang kedua aliran ini adalah esensial untuk mengidentifikasi keotentikan tarian singa yang disajikan.
A. Nan Pai (Singa Selatan): Fokus pada Ekspresi dan Akrobatik
Gaya Selatan, yang berasal dari provinsi Guangdong, dikenal karena gayanya yang bersemangat, ekspresif, dan sangat terperinci dalam meniru emosi singa. Inilah gaya yang mendominasi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
1. Karakteristik Gerakan Nan Pai
Gerakan Nan Pai berakar pada seni bela diri Kung Fu Selatan (Hung Gar dan Choy Li Fut). Gerakannya meliputi:
- Ekspresi Wajah (Shen): Menggunakan mata, mulut, dan telinga yang dapat digerakkan secara manual untuk menunjukkan rasa takut, gembira, atau kehati-hatian.
- Gerakan Ritual (Qing): Selalu mengikuti serangkaian gerakan baku saat mendekati Qing (採青), yaitu proses 'memetik hijau' (biasanya berupa sayuran selada yang digantung bersama angpao).
- Keseimbangan dan Kekuatan: Menggunakan kuda-kuda Kung Fu yang kuat, gerakan ini seringkali melibatkan mengangkat pemain depan atau melakukan jongkok dalam (deep squat) untuk menunjukkan kegagahan singa.
- Akrobatik Tiang (Cing Cai): Nan Pai modern sangat fokus pada akrobatik di atas tiang-tiang kecil (jong), yang menuntut keseimbangan luar biasa dari pemain depan dan kekuatan kaki pemain belakang.
2. Sub-Gaya Nan Pai: Foshan dan Heshan
Nan Pai sendiri terbagi menjadi dua sub-gaya utama:
- Foshan (佛山): Singa Foshan dikenal karena kepala yang besar, tanduk yang menonjol, dan penampilan yang agung. Gerakannya kuat, agresif, dan sangat berdasarkan kuda-kuda Kung Fu. Musiknya cepat, keras, dan mendominasi.
- Heshan (鶴山): Singa Heshan, yang dikembangkan oleh "Raja Singa" Feng Geng, lebih fokus pada ekspresi dan kejenakaan. Kepala Heshan memiliki bentuk hidung yang lebih mirip bebek, lebih ringan, dan gerakannya lebih menyerupai kucing (licin dan curiga) daripada singa yang dominan.
B. Bei Pai (Singa Utara): Fokus pada Akrobatik dan Realisme
Gaya Utara, yang berasal dari Beijing, sering disebut sebagai ‘Singa Peking’ atau Shizi (獅子). Gaya ini lebih berorientasi pada pertunjukan akrobatik murni yang meniru singa liar secara lebih realistis dan digunakan di lingkungan istana.
1. Karakteristik Gerakan Bei Pai
Kostum Bei Pai lebih realistis, dengan surai panjang dan tebal. Gerakannya sangat berbeda:
- Tubuh Fleksibel: Singa Utara lebih kecil dan tubuhnya lebih menyerupai kostum anjing Peking yang tebal, memungkinkan gerakan berguling (rolling) dan melompat yang lebih lincah.
- Akrobatik Lapangan: Fokus utamanya adalah melompati rintangan, menyeimbangkan diri di bola raksasa, atau berayun di atas meja. Mereka kurang fokus pada gerakan emosional wajah seperti Nan Pai.
- Kehadiran Dua Singa: Seringkali tampil berpasangan (jantan dan betina) dan ditemani oleh karakter Buddha Tertawa (Da Tou Fo) yang menggunakan kipas raksasa untuk 'menggoda' singa.
Meskipun Nan Pai mendominasi panggung internasional dan Indonesia, esensi Barongsai yang Barongsai terletak pada kemampuan sebuah tim untuk mengeksekusi gerakan otentik dari aliran yang mereka pilih tanpa mencampuradukkan teknik dasar secara sembarangan.
V. Gerakan Inti dan Teknik Dasar: Bahasa Tubuh Singa Sejati
Gerakan dalam Barongsai adalah sebuah bahasa. Setiap langkah, ayunan kepala, dan kibasan ekor menyampaikan pesan. Gerakan yang sejati tidak hanya dilakukan dengan kekuatan, tetapi dengan pemahaman terhadap psikologi singa.
Peran dan Sinkronisasi Pemain
Barongsai dimainkan oleh dua orang: Pemain Kepala (Shi Tou - 獅頭) dan Pemain Ekor (Shi Wei - 獅尾). Keberhasilan pertunjukan Barongsai yang Barongsai bergantung pada sinkronisasi keduanya, menciptakan ilusi bahwa mereka adalah satu makhluk hidup.
- Pemain Kepala: Bertanggung jawab atas ekspresi, ritme tarian, dan interaksi dengan lingkungan (seperti mengambil Qing). Posisi ini membutuhkan kekuatan leher dan lengan serta pemahaman mendalam tentang karakter singa.
- Pemain Ekor: Bertanggung jawab atas postur, kaki depan singa, dan kekuatan pendorong. Dalam akrobatik tiang, pemain ekor adalah dasar yang menopang seluruh bobot dan keseimbangan.
Teknik Gerakan Dasar (Nan Pai)
Gerakan dasar yang harus dikuasai untuk menunjukkan keotentikan meliputi:
1. Tidur dan Bangun (Sleeping and Awakening)
Ini adalah awal dari semua tarian ritual. Singa memulai dalam posisi tidur, dengan kepala menunduk. Transisi dari tidur ke bangun sangat penting—mata terbuka perlahan, kepala mengangkat dengan waspada, diikuti dengan "menggaruk" (meniru kucing besar membersihkan diri). Tahap ini menunjukkan kerentanan dan kesiapan singa.
2. Berjalan dan Mengamati (Stalking and Observing)
Singa berjalan dengan langkah yang disengaja dan waspada, menggunakan kuda-kuda yang rendah. Kepala Barongsai akan bergerak dalam pola 'delapan' atau 'tak hingga' (infinity loop) untuk memindai area, menunjukkan kewaspadaan terhadap ancaman atau keberuntungan.
3. Cai Qing (採青): Memetik Hijau
Ini adalah klimaks utama tarian. Ketika singa mendekati Qing, gerakannya harus menggambarkan rasa ingin tahu, kecurigaan, ketakutan (jika ada rintangan), dan akhirnya keberanian. Proses ini bisa memakan waktu lama, melibatkan: menyentuh Qing dengan hidung (mencium), mematuk dengan mulut, dan akhirnya 'memakannya' (mengambil selada dan menyebarkan daunnya, melambangkan penyebaran kemakmuran).
4. Teknik Melompat dan Papan Bunga Plum (Gao Qing)
Teknik yang paling menantang dan spektakuler adalah tarian di atas tiang besi (Jongs). Teknik ini bukan hanya pameran fisik, tetapi juga simbol perjalanan singa melewati rintangan yang sulit untuk mencapai keberuntungan (Qing). Ketinggian tiang bisa mencapai 3-4 meter, dan jarak antar tiang menuntut lompatan yang tepat. Kesalahan sedikit saja berarti jatuh. Gerakan di atas tiang harus tetap memiliki Shen; singa harus terlihat gagah, bukannya hanya menyeimbangkan diri.
5. Kuda-Kuda (Stances)
Pemain yang terlatih wajib menguasai kuda-kuda dasar Kung Fu seperti Gong Bu (Kuda-kuda Panah), Ma Bu (Kuda-kuda Kuda), dan Pu Bu (Kuda-kuda Rendah). Kekuatan dan stabilitas kuda-kuda inilah yang memberikan energi dan keaslian pada setiap gerakan singa.
VI. Musik Pengiring: Jantung yang Menggerakkan Barongsai
Jika gerakan adalah tubuh singa, maka musik (dikenal sebagai Luo Gu) adalah jantungnya. Musik tidak hanya mengiringi; ia memerintahkan. Ritme drum, gong, dan simbal adalah sinyal bagi pemain untuk mengubah kecepatan, emosi, atau gerakan. Musik Barongsai yang sejati adalah dialog konstan antara musisi dan singa.
Trinitas Instrumen: Drum, Gong, dan Simbal
Setiap instrumen memiliki peran yang spesifik dan non-negosiasif:
- Drum (鼓 - Gǔ): Drummer adalah pemimpin orkestra. Drum menentukan ritme, tempo, dan suasana hati singa. Pukulan drum yang cepat dan kuat mengindikasikan agresi atau kegembiraan, sementara pukulan yang pelan dan terputus-putus menunjukkan kehati-hatian atau tidur.
- Gong (鑼 - Luó): Memberikan irama yang dalam dan mantap, melambangkan suara ‘bumi’ atau kekuatan yang stabil. Gong biasanya dipukul pada ketukan pertama untuk menegaskan ritme.
- Simbal (鈸 - Bó): Memberikan elemen ‘udara’—suara tajam, cepat, dan renyah. Simbal digunakan untuk memberikan aksen, menunjukkan kejutan, atau transisi mendadak.
Pola Ritme dan Sinyal
Ada pola musik standar yang dikenal di seluruh tim Barongsai, seperti pola Tujuh Bintang (Qi Xing) atau pola Tiga Titik (San Dian). Pola-pola ini tidak boleh diimprovisasi secara sembarangan. Ketika drummer memainkan pola 'waspada', singa akan menggerakkan telinganya; ketika drummer memainkan pola 'berburu', singa akan merangkak perlahan. Sinkronisasi sempurna antara musik dan gerakan adalah bukti Barongsai yang Barongsai.
VII. Barongsai dalam Budaya Nusantara: Perjuangan dan Akulturasi
Di Indonesia, tarian singa telah mengalami perjalanan sejarah yang penuh gejolak, menjadikannya simbol unik dari ketahanan budaya Tionghoa-Indonesia (Tionghoa Peranakan). Barongsai di Nusantara adalah kisah akulturasi, pelarangan, dan revitalisasi.
Asimilasi Awal dan Peran Klenteng
Barongsai pertama kali masuk ke Nusantara bersama para imigran Tiongkok Selatan, terutama dari Fujian dan Guangdong, sekitar abad ke-17. Awalnya, pertunjukan ini terikat erat pada ritual keagamaan di klenteng, dilakukan hanya pada perayaan Imlek atau peringatan dewa-dewa. Berbeda dengan Tiongkok, di mana tarian ini sering menjadi bagian dari pawai militer, di Indonesia Barongsai berfungsi utama sebagai pengusir bala dan pembawa berkah dalam konteks komunitas kecil.
Masa Kelam Orde Baru dan Kebangkitan
Periode paling krusial bagi Barongsai di Indonesia adalah era Orde Baru (1967-1998), di mana ekspresi kebudayaan Tionghoa di ruang publik dilarang (melalui Inpres No. 14 Tahun 1967). Selama tiga dekade, Barongsai terpaksa bergerak di bawah tanah atau hanya tampil tertutup di dalam klenteng. Inilah masa di mana esensi spiritual dan teknik murni hampir hilang. Hanya dedikasi para tetua dan komunitas kecil yang memungkinkan seni ini bertahan hidup.
Pencabutan Inpres No. 14 pada tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi titik balik. Barongsai meledak kembali ke ruang publik, bukan hanya sebagai atraksi etnis, tetapi sebagai simbol kebebasan berekspresi budaya. Kebangkitan ini memerlukan rekonstruksi; para master harus mengajarkan kembali teknik yang telah lama disembunyikan, memastikan bahwa Barongsai yang kembali tampil adalah Barongsai yang Barongsai, bukan sekadar parodi.
Akulturasi dan Inovasi Lokal
Meskipun Barongsai mempertahankan tradisi Tiongkoknya, di Indonesia terjadi sentuhan lokal yang khas. Beberapa tim di Jawa, misalnya, memasukkan elemen musik lokal atau pola kain batik pada kostum singa mereka, menunjukkan peleburan yang harmonis. Namun, yang paling penting adalah semangat kompetitif yang tinggi, memicu Indonesia menjadi salah satu kekuatan Barongsai terbesar di dunia dalam kompetisi akrobatik tiang (Cing Cai).
VIII. Ritual dan Spiritualisme: Kesakralan yang Tak Boleh Hilang
Setiap pertunjukan Barongsai yang otentik diawali dan diakhiri dengan ritual yang bersifat spiritual. Tarian ini adalah ritual yang dikemas sebagai pertunjukan, bukan sebaliknya.
Dian Jing (點睛): Upacara Buka Mata
Sebelum Barongsai dapat digunakan secara ritual, ia harus 'dihidupkan' melalui upacara Dian Jing (Buka Mata). Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang biksu, tokoh agama, atau sesepuh. Pewarna cinnabar (merah) digunakan untuk mengecat mata, telinga, tanduk, dan mulut singa.
- Pengecatan Mata: Untuk melihat dunia dan membedakan kebaikan dan kejahatan.
- Pengecatan Telinga: Untuk mendengar suara klenteng dan doa.
- Pengecatan Mulut: Untuk memakan kejahatan dan menyebarkan keberuntungan.
Tanpa Dian Jing, kostum Barongsai hanyalah kerangka—ia belum memiliki jiwa (Shen). Tim yang menjunjung tinggi keotentikan tidak akan pernah menggunakan Barongsai yang belum di-Dian Jing untuk ritual penting.
Interaksi dengan Angpao (Hao)
Tradisi memberikan Angpao (Amplop Merah) atau ‘Hao’ kepada Barongsai adalah inti dari pertukaran spiritual. Angpao adalah bentuk penghormatan dan persembahan. Ketika Barongsai mengambil Angpao, singa akan melakukan serangkaian gerakan terima kasih dan memberkati si pemberi dengan mengibaskan kepalanya ke arah mereka. Proses pengambilan Angpao ini harus dilakukan dengan gerakan yang meyakinkan, menunjukkan rasa terima kasih dan keagungan. Dipercaya bahwa semakin bersemangat Barongsai, semakin besar berkah yang dibawanya.
Hubungan dengan Dewa Bumi (Tu Di Gong)
Dalam banyak tradisi, Barongsai akan memberi penghormatan pertama kepada Dewa Bumi (Tu Di Gong) di lokasi pertunjukan, karena Dewa Bumi adalah penjaga wilayah tersebut. Penghormatan ini dilakukan dengan gerakan membungkuk dalam (Tiga Kali Hormat) di empat penjuru mata angin, memastikan bahwa aktivitas singa tersebut disetujui oleh entitas spiritual penjaga lokasi.
IX. Masa Depan dan Regenerasi: Menjaga Api Spiritual
Pelestarian Barongsai yang Barongsai di era modern menghadapi tantangan ganda: menjaga tradisi di tengah arus globalisasi dan memastikan regenerasi yang memahami kedalaman filosofi, bukan hanya akrobatik.
Tantangan Globalisasi dan Komersialisasi
Ketika Barongsai menjadi populer, risiko komersialisasi meningkat. Banyak tim baru yang fokus hanya pada aspek akrobatik yang menarik penonton (seperti lompatan tinggi di tiang), sementara mengabaikan ritus dasar, sinkronisasi musik yang benar, dan ekspresi emosi (Shen). Hasilnya adalah pertunjukan yang menawan secara fisik namun hampa secara spiritual. Tugas utama para master adalah menanamkan kepada generasi muda bahwa akrobatik adalah sarana, bukan tujuan akhir, dari tarian singa.
Standarisasi Kompetisi Internasional
Sejak Barongsai diakui sebagai olahraga kompetitif, terutama dalam format akrobatik tiang Nan Pai, standar teknik telah meningkat pesat. Kompetisi internasional memaksa tim untuk menguasai jalur yang sangat sulit dan menantang gravitasi. Walaupun ini memacu peningkatan keahlian fisik, kritikus tradisional khawatir bahwa penekanan pada skor teknis telah mengorbankan penceritaan emosional dan gerakan otentik ala Kung Fu Selatan.
Pentingnya Pendidikan Filosofis
Regenerasi yang sejati tidak hanya membutuhkan atlet yang kuat, tetapi juga murid yang berpengetahuan. Tim Barongsai yang Barongsai diwajibkan untuk mengajarkan sejarah Nian, filosofi Yin-Yang, dan makna setiap warna serta instrumen musik. Tanpa pengetahuan ini, pemain hanyalah penari. Dengan pengetahuan ini, mereka adalah pelestari warisan kuno.
Peran Pelatih (Shifu)
Shifu (Guru) memiliki peran krusial. Mereka tidak hanya melatih gerakan, tetapi juga mendisiplinkan karakter, mengajarkan kerendahan hati, dan menanamkan rasa hormat terhadap kostum dan ritual. Barongsai yang sejati lahir dari disiplin yang ketat dan rasa hormat yang mendalam terhadap tradisi.
X. Penutup: Warisan Keagungan yang Bergerak
Barongsai yang Barongsai adalah sebuah karya seni yang menuntut kesempurnaan fisik dan kedalaman spiritual. Ini adalah tarian yang hidup, bernapas, dan merayakan siklus hidup, kematian, dan regenerasi. Ketika drum berdentum dengan ritme yang kuat, gong bergetar, dan singa melompat dengan mata yang berkedip penuh makna, kita menyaksikan bukan sekadar pertunjukan, tetapi perwujudan energi kosmik yang melindungi dan memberkati. Keagungan Barongsai adalah warisan yang tak ternilai, sebuah jembatan yang menghubungkan masa lalu mistik Tiongkok dengan semangat modern Nusantara.
Mempertahankan esensi Barongsai berarti menjamin bahwa generasi mendatang akan terus menyaksikan singa yang tidak hanya gagah, tetapi juga berjiwa—sebuah janji keberuntungan yang tak pernah pudar.