Menguak Filosofi, Sejarah, dan Teknik Otentik Tarian Singa
Istilah Barongsai telah berakar kuat dalam budaya Nusantara sebagai representasi Tarian Singa tradisional Tiongkok. Namun, untuk memahami Barongsai yang “beneran” atau otentik, kita harus melampaui sekadar pertunjukan akrobatik di pusat perbelanjaan. Barongsai yang sesungguhnya adalah ritual sakral, manifestasi seni bela diri (Wushu atau Kung Fu), dan narasi filosofis yang kaya akan simbolisme keberuntungan, pengusiran roh jahat, serta penghormatan terhadap leluhur.
Otentisitas Barongsai tidak terletak pada kemewahan kostum semata, melainkan pada pemahaman mendalam tentang *Qing* (cara singa makan), ritme musik yang tepat (Gong, Gendang, Simbal), dan terutama, penguasaan gaya tarian yang diwariskan secara turun-temurun, seperti gaya Selatan (Nan Shi) dan gaya Utara (Bei Shi). Perbedaan kedua gaya ini sangat signifikan dan memengaruhi seluruh interpretasi karakter singa.
Di Indonesia, Barongsai umumnya merujuk pada Nan Shi (Gaya Selatan), yang berasal dari provinsi Guangdong. Karakteristik utamanya adalah kepala singa yang besar dengan mata yang dapat berkedip, tanduk di dahi (seperti naga), dan cermin di kepala untuk memantulkan energi jahat. Tarian ini lebih menekankan pada drama, ekspresi emosional singa (mulai dari rasa ingin tahu, takut, gembira, hingga marah), serta gerakan dasar Kung Fu Hung Gar atau Choi Lee Fut.
Sebaliknya, Bei Shi (Gaya Utara), yang lebih umum di Tiongkok Utara, menampilkan singa dengan penampilan yang lebih mirip anjing atau Pekingese. Kostumnya lebih berbulu dan tarian ini jauh lebih akrobatik. Bei Shi sering melibatkan dua singa (sepasang jantan dan betina) atau bahkan anak singa yang dipimpin oleh seorang badut. Jika Nan Shi adalah teater, maka Bei Shi adalah sirkus. Barongsai yang beneran harus mampu membedakan dan menghormati tradisi masing-masing gaya ini, bahkan jika hanya salah satunya yang dipraktikkan.
Barongsai bukanlah tarian modern; akarnya tertanam kuat dalam sejarah Tiongkok kuno, bahkan jauh sebelum singa fisik dikenal di wilayah tersebut. Singa yang dihormati adalah makhluk mitologis, simbol kekuatan yang diimpor melalui jalur perdagangan sutra dari Persia dan India, lalu diserap ke dalam seni dan budaya Tiongkok, terutama sebagai penjaga kuil dan istana kekaisaran. Bukti tertua tarian ini dapat ditelusuri kembali ke Dinasti Han (206 SM–220 M), namun Barongsai yang kita kenal sekarang baru benar-benar terbentuk selama era Dinasti Tang (618–907 M).
Salah satu narasi paling fundamental yang menjelaskan tujuan Barongsai adalah legenda monster Nian. Nian adalah makhluk buas yang muncul setiap pergantian tahun baru untuk memangsa ternak dan manusia. Rakyat menemukan bahwa Nian takut pada suara keras, warna merah, dan tampilan makhluk buas yang lebih menakutkan darinya. Dari kebutuhan untuk menakuti Nian inilah lahirlah tradisi tarian singa dengan drum yang menggelegar dan kostum merah menyala.
Dengan demikian, fungsi utama Barongsai yang beneran adalah ritualistik: membersihkan lingkungan (rumah, toko, desa) dari roh jahat atau energi stagnan (Qi buruk) yang terakumulasi selama setahun. Ketika singa memasuki suatu tempat, ia tidak hanya menari untuk hiburan; ia sedang melakukan pembersihan spiritual. Gerakan energik, kibasan kepala yang kuat, dan irama musik yang keras adalah “senjata” spiritualnya.
Kedatangan Barongsai di Nusantara dibawa oleh imigran Tiongkok selama berabad-abad, dan tarian ini beradaptasi menjadi bagian integral dari budaya Tionghoa-Indonesia, terutama dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Namun, sejarahnya di Indonesia mengalami masa sulit, terutama selama rezim Orde Baru, ketika Barongsai dilarang tampil di ruang publik sebagai bagian dari upaya asimilasi kebudayaan Tionghoa.
Masa pelarangan ini memaksa Barongsai disembunyikan dan dipraktikkan secara diam-diam di kuil-kuil atau komunitas tertutup. Periode ini justru memperkuat nilai otentik Barongsai sebagai identitas budaya yang kuat, bukan sekadar pertunjukan musiman. Ketika larangan dicabut pada era Reformasi, Barongsai meledak kembali ke ruang publik dengan semangat yang lebih besar, membawa serta teknik-teknik yang telah dipertahankan dan diasah oleh generasi master secara tersembunyi.
Barongsai “beneran” di Indonesia hari ini adalah perpaduan unik antara teknik tradisional (Guangdong) dan semangat lokal yang mencerminkan perjuangan panjang untuk pengakuan budaya.
Tarian Singa adalah seni yang membutuhkan sinkronisasi sempurna antara dua penari: kepala (pemain depan) dan ekor (pemain belakang). Pemain depan memegang tanggung jawab terbesar, karena ia mengendalikan ekspresi wajah, emosi, dan interaksi singa. Barongsai yang beneran tidak hanya berlari dan melompat; ia harus “hidup”.
Seorang penari Barongsai sejati dilatih untuk menampilkan serangkaian emosi yang kompleks, yang harus tercermin melalui gerakan kepala, kedipan mata, dan kibasan mulut singa. Tujuh emosi dasar yang harus dikuasai adalah:
Penguasaan emosi ini adalah pembeda utama antara Barongsai profesional dan amatir. Singa “beneran” harus mampu bercerita hanya melalui pergerakan kepalanya. Misalnya, ketika singa mengendus ‘Qing’, pemain depan harus menggerakkan mulut singa seolah-olah sedang mencium aroma dengan hidungnya, sebuah detail kecil yang menambah kedalaman karakter.
Latihan Barongsai yang otentik adalah latihan fisik yang sangat menuntut, berakar kuat pada kuda-kuda (stance) Kung Fu. Kuda-kuda dasar seperti *Ma Bu* (kuda-kuda berkuda), *Gong Bu* (kuda-kuda busur), dan *Pu Bu* (kuda-kuda rendah) harus dieksekusi dengan sempurna. Kekuatan kaki, khususnya pada pemain belakang yang sering menopang beban pemain depan, adalah kunci.
Dalam Barongsai Nan Shi, pemain depan dan belakang harus bergerak seolah-olah mereka adalah satu entitas. Sinkronisasi langkah “Singa Jalan” (Lion Walking) harus menghasilkan ilusi tulang punggung singa yang fleksibel. Jika pemain depan mengambil langkah lebar, pemain belakang harus mengikuti dengan langkah yang sama persis, memastikan tubuh singa tidak terlihat patah atau kaku di bagian tengah.
Salah satu gerakan paling sulit adalah transisi emosi yang cepat, yang membutuhkan koordinasi napas dan energi yang luar biasa. Misalnya, transisi dari tidur lelap (Shui) ke terkejut (Jing) dan kemudian melompat tinggi membutuhkan eksplosivitas otot yang hanya bisa dicapai melalui latihan bela diri yang ketat.
Ritual “Cai Qing” (memetik sayuran) adalah puncak dari setiap pertunjukan Barongsai. ‘Qing’ biasanya terdiri dari selada air (yang berbunyi mirip ‘rezeki’ dalam dialek Kanton) yang diikat bersama amplop merah (Angpao). Namun, Barongsai yang beneran tidak langsung mengambil amplop tersebut. Proses Cai Qing adalah narasi penuh strategi:
Kesempurnaan Cai Qing diukur dari seberapa halus dan natural gerakan singa saat berinteraksi dengan ‘Qing’, menghindari kesan bahwa manusia di dalamnya hanya mengambil uang.
Barongsai yang beneran tidak dapat dipisahkan dari musiknya. Irama adalah jiwanya; ia memerintahkan, menginspirasi, dan mengatur emosi singa. Orkestra Barongsai (dikenal sebagai ‘Luo Gu’) terdiri dari tiga instrumen utama, sering disebut “Tiga Harta Karun”:
Setiap gerakan singa memiliki pola drum yang spesifik, dikenal sebagai ‘Gu Pu’. Musik ini tidak diimprovisasi. Pemain gendang adalah “sutradara” pertunjukan. Jika singa bergerak maju, gendang akan berirama ‘ciang-ciang-ciang’. Jika singa berhenti dan merenung, irama akan melambat menjadi ‘dong-gong’ yang dalam. Beberapa pola ritme klasik meliputi:
Ketidakakuratan dalam ritme dapat membuat tarian kehilangan maknanya. Misalnya, jika singa seharusnya sedang tidur tetapi musiknya terlalu cepat, emosi yang ingin disampaikan akan gagal. Oleh karena itu, penguasaan Gu Pu adalah indikator penting dari kualitas dan otentisitas sebuah kelompok Barongsai.
Volume suara dalam Barongsai beneran sangat keras, bukan karena para pemain ingin bising, tetapi karena ini adalah bagian dari ritual pembersihan. Frekuensi tinggi dari simbal yang beradu dan resonansi rendah dari gong diyakini mampu memecah energi negatif dan menarik perhatian dewa-dewa keberuntungan. Semakin keras dan akurat irama yang dihasilkan, semakin besar keberuntungan yang diharapkan akan dibawa oleh singa.
Dalam beberapa dekade terakhir, standar Barongsai profesional di seluruh dunia telah didorong oleh kompetisi, dan puncaknya adalah tarian di atas tiang tinggi atau “Gao Qiao” (dikenal juga sebagai Meihua Zhuang - Tiang Bunga Plum). Meskipun Gao Qiao adalah inovasi modern (dipopulerkan sejak tahun 1980-an), ia kini menjadi penentu keahlian teknis tertinggi dalam Nan Shi.
Gao Qiao yang beneran membutuhkan kombinasi kekuatan Wushu, keseimbangan akrobatik, dan keberanian ekstrem. Tiang-tiang baja, yang tingginya bisa mencapai 3 meter atau lebih, diposisikan secara strategis untuk meniru medan gunung atau pohon tinggi yang harus dijelajahi singa.
Ada beberapa elemen penting yang harus dikuasai dalam Gao Qiao yang otentik:
Kelompok Barongsai yang “beneran” melatih Gao Qiao dengan disiplin yang setara dengan atlet Olimpiade. Setiap pendaratan, setiap langkah, harus tepat di tengah tiang kecil (diameter hanya sekitar 20-30 cm). Kesalahan kecil dapat berakibat fatal, sehingga membutuhkan kepercayaan mutlak antara pemain depan dan belakang.
Meskipun tampak modern, Gao Qiao memiliki filosofi tradisional: tantangan dan penguasaan rintangan. Singa yang mampu menaklukkan tiang tinggi melambangkan keberhasilan mengatasi kesulitan, mencapai puncak baru, dan membawa keberuntungan yang lebih besar kepada mereka yang menyaksikannya.
Kostum Barongsai, terutama kepala singa, adalah mahakarya seni dan simbolisme. Setiap bagian memiliki arti, dan kualitas bahan serta pengerjaannya mencerminkan penghormatan terhadap tradisi.
Barongsai yang beneran sering kali dibedakan berdasarkan warna yang melambangkan karakter sejarah Tiongkok atau lima elemen (Wu Xing):
Ketika dua Barongsai tampil bersama, pemilihan warna menunjukkan hubungan hierarkis atau naratif. Misalnya, singa hitam (Zhang Fei) mungkin tampil lebih agresif dan eksplosif, sementara singa kuning (Liu Bei) tampil dengan gerakan yang lebih anggun dan anggun.
Pembuatan kostum Barongsai yang beneran membutuhkan keterampilan tukang yang ahli, sering kali memakan waktu berbulan-bulan untuk memastikan keseimbangan kepala yang tepat agar penari dapat melakukan “Shua Tou” (menggoyangkan kepala) dengan ekspresi yang alami tanpa kehilangan kendali.
Barongsai yang otentik adalah warisan yang diturunkan melalui hubungan master dan murid (Sifu dan Tu Di). Proses latihannya jauh melampaui latihan koreografi; ini adalah pembentukan karakter dan disiplin fisik.
Tidak ada Barongsai “beneran” tanpa dasar seni bela diri. Sebagian besar kelompok Barongsai di Indonesia berasal dari perguruan Wushu atau Kung Fu. Alasan utamanya adalah: kuda-kuda Wushu memberikan kekuatan, daya tahan, dan yang paling penting, stabilitas yang diperlukan untuk membawa kepala singa yang berat sambil melakukan gerakan eksplosif.
Latihan dimulai dengan penguatan kaki dan punggung. Murid mungkin harus mempertahankan posisi Ma Bu selama 30 menit atau lebih. Kemudian, mereka berlatih membawa kepala singa (yang beratnya bisa mencapai 5-10 kg) sambil melakukan kuda-kuda. Tujuannya adalah membuat kepala singa terasa seperti perpanjangan alami dari tubuh, bukan beban yang harus diangkat.
Salah satu aspek unik dari pelatihan Barongsai yang sering diabaikan adalah latihan ekspresi. Murid diinstruksikan untuk berdiri di depan cermin dan meniru ekspresi singa hanya dengan menggerakkan kepala, rahang, dan kelopak mata (jika kostumnya memiliki mekanisme mata yang bergerak). Mereka harus belajar bagaimana membuat singa terlihat “marah” hanya dengan cara mengangguk dan menghentikan gerakan secara tiba-tiba.
Latihan sinkronisasi antara pemain depan dan belakang melibatkan latihan tanpa kostum, hanya dengan seutas tali yang menghubungkan pinggang mereka, memaksa mereka untuk merasakan setiap tarikan dan dorongan rekan mereka. Barongsai yang beneran akan menunjukkan hubungan telepati yang hampir sempurna antara kedua penari.
Setiap kelompok Barongsai memiliki ritual sakral yang harus diikuti, terutama sebelum dan sesudah pertunjukan. Sebelum mengenakan kostum, sering ada upacara kecil untuk “menghidupkan” singa (Dian Jing). Ini melibatkan pengecatan titik-titik penting (mata, mulut, tanduk) di kepala singa oleh seorang master atau tokoh terhormat, melambangkan penanaman roh singa ke dalam kostum.
Penghormatan terhadap kostum juga sangat ketat. Kostum tidak boleh diletakkan di lantai, tidak boleh dilangkahi, dan harus disimpan di tempat yang tinggi dan bersih. Pelanggaran etika ini dianggap sebagai penghinaan terhadap semangat singa itu sendiri, yang mencerminkan kedalaman ritual yang melekat pada tarian ini.
Seringkali terjadi kekeliruan antara Barongsai (Lion Dance) dan Tarian Naga (Dragon Dance atau Wu Long). Meskipun keduanya adalah pertunjukan Tiongkok yang meriah, filosofi dan tekniknya sangat berbeda, dan memahami perbedaannya adalah kunci untuk menghargai otentisitas Barongsai.
Barongsai yang beneran harus mempertahankan karakter individualistiknya. Sementara naga adalah gerakan yang seragam dan indah, singa harus memiliki kepribadian – ia bisa ceroboh, lucu, curiga, atau marah. Ini adalah inti dramatis Barongsai yang membedakannya secara fundamental dari Tarian Naga.
Fokus Barongsai ada pada kepala (ekspresi wajah) dan kaki (kuda-kuda Kung Fu), sering kali melibatkan lompatan vertikal dan interaksi dengan lingkungan. Sementara fokus Tarian Naga adalah pada aliran horizontal, menciptakan gelombang panjang yang spektakuler, menuntut sinkronisasi yang berirama dari seluruh tim secara linier.
Untuk memastikan Barongsai yang beneran terus hidup, komunitas perlu berfokus pada pelestarian tradisi di tengah modernisasi. Kompetisi internasional memang telah meningkatkan standar teknis (terutama Gao Qiao), tetapi ada risiko bahwa fokus pada akrobatik semata dapat mengorbankan nilai naratif dan filosofis tarian.
Kelompok-kelompok Barongsai di Indonesia, yang telah membuktikan ketangguhannya selama masa pelarangan, kini memikul tanggung jawab untuk mengajar generasi baru tidak hanya teknik melompat, tetapi juga sejarah Gu Pu (ritme drum), filosofi lima elemen dalam pemilihan warna, dan cara menghayati emosi singa.
Barongsai adalah lebih dari sekadar tontonan perayaan; ia adalah sebuah kitab yang hidup, ditulis dengan gerakan tubuh, diiringi irama yang menggelegar, dan dipenuhi harapan akan keberuntungan dan kedamaian. Memahami Barongsai yang beneran adalah menghargai sejarah panjang diaspora Tionghoa, dedikasi seni bela diri, dan kekayaan ritual yang kini menjadi warisan budaya yang tak terpisahkan dari bumi Nusantara.
Penting untuk selalu mengingat bahwa setiap kali Barongsai “terbang” melintasi tiang tinggi atau mengedipkan matanya dengan rasa ingin tahu saat mengambil ‘Qing’, ia sedang mengulangi sebuah kisah kuno – kisah tentang keberanian, pembersihan, dan siklus abadi harapan yang melambangkan semangat Tahun Baru.
Dibutuhkan jam terbang yang tak terhitung jumlahnya, keringat yang mengalir deras dalam latihan kuda-kuda Ma Bu yang kaku, dan pemahaman spiritual yang mendalam tentang peran singa sebagai penjaga gerbang keberuntungan. Barongsai yang “beneran” adalah singa yang hidup, bernapas, dan berkomunikasi dengan audiens melalui bahasa gerakan yang universal dan penuh makna. Ini adalah esensi sejati dari tarian singa yang harus terus dijaga keasliannya.
Dalam konteks modern, tantangan terbesar bagi Barongsai yang beneran adalah mempertahankan narasi di balik tarian. Ketika sebuah tim tampil, mereka harus menyajikan urutan yang logis: singa bangun, mencari makanan, menghadapi rintangan, mengatasi bahaya, dan akhirnya berhasil. Struktur naratif ini, yang didukung oleh perubahan ritme drum yang presisi, adalah hal yang membuat Barongsai otentik terasa “hidup”. Kegagalan dalam menyampaikan narasi ini, meski dengan akrobatik yang spektakuler, akan mengurangi esensi spiritual dan budaya tarian ini.
Kelompok-kelompok tradisional seringkali menolak memodifikasi kostum secara berlebihan dengan lampu LED atau elemen-elemen modern yang mengganggu, karena mereka percaya bahwa elemen klasik seperti cermin dan bahan yang dihormati adalah bagian integral dari kekuatan spiritual singa. Otentisitas juga mencakup penghormatan terhadap bahan pembuatan, di mana kostum yang dibuat oleh pengrajin master dari Tiongkok Selatan (atau pengrajin lokal yang mengikuti tradisi Guangdong) dihargai karena berat, keseimbangan, dan mekanisme ekspresif yang superior.
Selain itu, aspek kolektif dari Barongsai tidak boleh dilupakan. Barongsai yang beneran adalah tarian komunitas. Kelompok harus melatih seluruh bagian Luo Gu (musisi) dengan kedisiplinan yang sama seperti penarinya. Seringkali, kegagalan dalam pertunjukan berasal dari musisi yang tidak mampu mengikuti atau memandu perubahan emosi singa secara tepat. Pemain drum, khususnya, harus memiliki memori dan kecepatan reaksi yang luar biasa, mampu mengubah tempo dari lambat dan waspada menjadi cepat dan agresif dalam hitungan detik, sesuai dengan aksi singa di lapangan atau tiang.
Di masa depan, edukasi publik mengenai perbedaan antara Barongsai (Lion Dance) dan Wu Shi (teknik akrobatik) akan menjadi krusial. Wu Shi adalah alat, sementara Barongsai adalah tarian ritual dan naratif. Ketika sebuah tim Barongsai melakukan gerakan sulit, gerakan itu harus memiliki tujuan dalam cerita singa (misalnya, melompat tinggi untuk melihat sekeliling, atau berguling untuk membersihkan diri dari kotoran). Gerakan yang dilakukan hanya demi pameran teknis, tanpa konteks emosional atau naratif, adalah Barongsai yang kurang “beneran”.
Upaya pelestarian Barongsai yang otentik juga mencakup dokumentasi ritual-ritual minor yang mendahului tarian. Misalnya, ritual saat memasuki toko baru (Khai Zhang) memiliki tata cara yang sangat spesifik, termasuk urutan pembersihan sudut-sudut ruangan, penyerahan koin keberuntungan, dan durasi tarian yang harus tepat. Kelompok yang benar-benar menjunjung tinggi tradisi akan memastikan bahwa ritual ini dilakukan dengan presisi, karena di sinilah letak kekuatan Barongsai sebagai pembawa keberuntungan yang efektif.
Sebagai kesimpulan akhir, Barongsai yang beneran adalah manifestasi seni Tiongkok yang berhasil bertahan dan beradaptasi di tengah berbagai tantangan sejarah. Ia adalah tarian yang menuntut fisik dan jiwa; sebuah perpaduan unik antara seni bela diri, teater rakyat, dan ritual spiritual. Keindahan otentisitasnya terletak pada kemampuan para penari untuk menghilangkan diri mereka dan membiarkan Singa itu sendiri yang bercerita.