Dalam lanskap keislaman Indonesia, terdapat nama-nama yang tak lekang oleh waktu, sosok ulama yang jejaknya terus dikenang dan menginspirasi. Dua di antaranya adalah Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, dan KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, yang dikenal luas sebagai Abah Guru Sekumpul. Keduanya, dengan cara dan latar belakang yang berbeda, telah memberikan kontribusi luar biasa dalam penyebaran ajaran Islam, merawat kebangsaan, serta menjadi teladan dalam kerukunan. Meskipun memiliki gaya dakwah dan pendekatan yang unik, spirit kemanusiaan dan keislaman yang mereka usung seringkali menemukan titik temu.
Gus Dur, seorang tokoh pluralisme dan pembela hak-hak minoritas, dikenal luas dengan pemikiran-pemikirannya yang progresif dan keberaniannya dalam menyuarakan dialog antarumat beragama. Beliau bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang negarawan dan intelektual yang memahami betul dinamika sosial-politik Indonesia. Keterbukaannya terhadap perbedaan dan pendekatannya yang humanis menjadikan Gus Dur sebagai sosok yang dicintai oleh berbagai kalangan, tidak terbatas pada satu kelompok agama atau etnis saja. Pengaruhnya terasa dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kebijakan negara hingga pemikiran keagamaan yang inklusif.
Di sisi lain, Abah Guru Sekumpul adalah representasi ulama kharismatik dari tanah Banjar, Kalimantan Selatan. Beliau dikenal dengan kedalaman ilmunya, ketinggian akhlaknya, dan metode dakwahnya yang sederhana namun penuh makna. Ribuan umat berdatangan dari berbagai penjuru untuk menimba ilmu, mendapatkan berkah, dan mendengarkan nasihat-nasihatnya yang menyejukkan hati. Melalui majelis-majelis taklim dan pengajiannya, Abah Guru Sekumpul berhasil menanamkan nilai-nilai agama dan moral kepada masyarakat luas, membimbing mereka untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Kekhusyukan dalam beribadah dan kerendahan hati adalah dua sifat yang selalu melekat pada diri beliau.
Meskipun Gus Dur lebih menonjol dalam ranah politik dan advokasi sosial, serta Abah Guru Sekumpul lebih terfokus pada pembinaan spiritual dan akhlak umat secara langsung, keduanya memiliki kesamaan mendasar dalam hal kecintaan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, dan para sahabat. Keduanya mengajarkan pentingnya mencintai sesama, menjaga persatuan, dan menebarkan rahmat bagi seluruh alam.
Gus Dur, misalnya, seringkali mengutip syair-syair Sufi dan menekankan dimensi spiritual dalam kehidupan beragama. Beliau meyakini bahwa kebenaran ilahi dapat dijangkau melalui berbagai jalan, termasuk melalui cinta dan kasih sayang. Sementara itu, Abah Guru Sekumpul, dengan consacration (keterlibatan) yang mendalam pada kitab-kitab klasik dan tradisi tasawuf, juga mengajarkan tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah yang tulus, zikir, dan tawakal. Keduanya, dalam cara masing-masing, membawa pesan tentang pentingnya dimensi batiniah dalam beragama.
Perbedaan gaya dakwah mereka juga patut dicatat. Gus Dur seringkali menggunakan analogi-analogi yang segar, terkadang humoris, untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan keagamaan yang kompleks. Beliau mampu merangkul berbagai kalangan dengan bahasanya yang luwes dan pemikirannya yang terbuka. Sebaliknya, Abah Guru Sekumpul lebih dikenal dengan majelis-majelisnya yang khidmat, penuh bacaan shalawat, syair-syair pujian kepada Rasulullah, dan nasihat-nasihat yang disampaikan dengan suara lembut namun penuh wibawa. Suasana spiritual yang diciptakan di majelis Abah Guru Sekumpul mampu menyentuh hati para jamaahnya secara mendalam.
Warisan yang ditinggalkan oleh Gus Dur dan Abah Guru Sekumpul sangatlah berharga bagi Indonesia. Gus Dur meninggalkan warisan pemikiran tentang Islam yang ramah, toleran, dan sesuai dengan konteks kebangsaan Indonesia. Beliau mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang memperjuangkan kemaslahatan umat dan keadilan sosial. Konsep pribumisasi Islam yang digagasnya memungkinkan Islam untuk tumbuh subur dalam budaya lokal tanpa kehilangan esensinya.
Sementara itu, Abah Guru Sekumpul mewariskan semangat keikhlasan dalam beribadah dan berdakwah. Beliau menjadi contoh bagaimana seorang ulama dapat menjadi pusat perhatian spiritual bagi jutaan orang tanpa pernah kehilangan kesederhanaan dan kerendahan hati. Ajaran beliau tentang pentingnya bershalawat, mencintai Nabi Muhammad, dan bertawakal kepada Allah terus hidup dan diamalkan oleh generasi penerusnya. Murid-muridnya kini menjadi penggerak dakwah di berbagai daerah, melanjutkan estafet perjuangan ilahi.
Keduanya, Gus Dur dan Abah Guru Sekumpul, meskipun tak lagi bersama kita, semangat dan ajaran mereka terus hidup dalam hati umat. Mereka adalah bukti nyata bahwa dakwah dapat dilakukan dengan berbagai cara, asal dilandasi oleh keikhlasan, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepedulian terhadap sesama. Harmoni spirit mereka dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur Islam dan menjaga keutuhan bangsa menjadikan mereka dua pilar yang tak tergantikan dalam sejarah keislaman Indonesia.