Kepala Barongsai, simbol keberanian dan pengusir roh jahat, menjadi ikon utama dalam setiap perayaan yang melibatkannya.
Fenomena tarian singa atau Barongsai di Indonesia bukanlah sekadar atraksi musiman yang muncul hanya saat Imlek atau Cap Go Meh. Barongsai telah menjelma menjadi sebuah ekosistem budaya yang luas dan merakyat. Kehadirannya kini sangat banyak, tidak hanya di kota-kota besar yang memiliki populasi Tionghoa signifikan, tetapi juga menyebar ke pelosok daerah, dipelajari dan dipentaskan oleh berbagai kelompok etnis, melampaui batas-batas suku dan agama. Keberadaan Barongsai yang 'banyak' ini menandakan asimilasi budaya yang berhasil dan pengakuan atas Barongsai sebagai bagian integral dari kekayaan seni pertunjukan Nusantara.
Barongsai tidak hanya berfungsi sebagai hiburan. Dalam setiap gerak dan tabuhan, terkandung sejarah panjang, filosofi mendalam, serta semangat komunitas yang luar biasa. Untuk memahami mengapa Barongsai kini begitu melimpah dan diterima secara luas, kita perlu menyelami akar historisnya, memahami perbedaan gaya yang bertebaran, dan menguraikan elemen-elemen teknis yang membangun keajaiban tarian ini. Dari ritme dramatis drum yang memekakkan telinga hingga kelincahan akrobatik di atas tiang panggung, setiap aspek menyumbang pada popularitas dan persistensi tarian singa di kancah budaya kontemporer.
Tarian singa, yang secara global dikenal sebagai Lion Dance, memiliki sejarah ribuan tahun di Tiongkok. Meskipun asal-usul pastinya masih diperdebatkan, banyak sejarawan setuju bahwa tarian ini mulai populer pada masa Dinasti Tang (abad ke-7 hingga ke-10 Masehi). Singa, yang sebenarnya bukan hewan endemik Tiongkok, diimpor melalui Jalur Sutra dan dengan cepat menjadi simbol kekuatan, keberanian, dan pelindung spiritual. Karena singa adalah hewan asing, penggambaran singa dalam tarian sangat imajinatif dan mitologis, memunculkan dua gaya utama yang kini mendominasi dunia: Barongsai Selatan (Nán Shī) dan Barongsai Utara (Běi Shī).
Fenomena Barongsai yang banyak di Indonesia terkait erat dengan migrasi masif etnis Tionghoa ke Asia Tenggara (Nanyang) sejak abad ke-17. Para imigran membawa serta tradisi mereka, termasuk seni Barongsai. Di Indonesia, tarian ini menemukan rumah baru dan mulai berinteraksi dengan budaya setempat. Di masa lalu, khususnya sebelum era reformasi, Barongsai sering kali dihubungkan erat dengan perkumpulan bela diri (Kung Fu) dan klenteng, menjadikannya seni yang eksklusif dan tersembunyi. Namun, seiring waktu dan perubahan politik, Barongsai mengalami demokratisasi budaya.
Setelah periode larangan dan pembatasan budaya Tionghoa di masa Orde Baru, pencabutan Inpres Nomor 14 tahun 1967 oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 membuka keran kebebasan ekspresi budaya secara penuh. Momen ini menjadi titik balik penting. Tiba-tiba, tradisi yang tadinya terpendam muncul ke permukaan dengan energi yang berlipat ganda. Inilah salah satu alasan fundamental mengapa Barongsai menjadi 'banyak' dan tersebar di mana-mana—ia bukan lagi seni yang terlarang, melainkan warisan yang dirayakan oleh publik luas.
Keberlimpahan Barongsai juga terletak pada variasi gayanya:
Perbedaan gaya ini menciptakan ladang subur bagi kreasi dan kompetisi, memastikan bahwa selalu ada Barongsai dalam jumlah banyak yang dilatih di berbagai perguruan di seluruh Indonesia.
Setiap putaran, lompatan, dan kibasan ekor Barongsai memiliki makna yang mendalam. Tarian ini adalah narasi tanpa kata tentang siklus hidup, keberuntungan, dan perjuangan melawan kejahatan. Filosofi yang kompleks ini adalah bahan bakar yang mendorong banyak komunitas untuk terus melestarikan dan melatih seni ini, menjamin keberlanjutan Barongsai dari generasi ke generasi.
Kepala Barongsai bukanlah sekadar kostum; ia adalah rumah bagi banyak simbol. Ada lima komponen utama yang sarat makna, menjadikannya objek penghormatan:
Gerakan Barongsai, meskipun terlihat spontan, sebenarnya diatur oleh serangkaian pola yang ketat, yang semuanya disinkronkan dengan musik. Beberapa gerakan kunci yang melimpah dan sering dipentaskan melibatkan transisi dari tidur (istirahat) ke bangun (energi baru):
Mustahil Barongsai dapat beraksi tanpa denyut nadi dari musik pengiringnya. Musik ini bukan sekadar latar belakang; ia adalah komandan yang mengatur kecepatan, emosi, dan alur cerita tarian. Keberlimpahan penampilan Barongsai di berbagai tempat berarti kebutuhan akan musisi yang terampil juga sangat banyak. Formasi musik standar terdiri dari tiga elemen utama yang dikenal sebagai "Tiga Harta Karun" (San Bao).
Sinkronisasi antara singa dan musik harus sempurna. Musik ini memastikan bahwa semua Barongsai, bahkan dalam jumlah besar, bergerak dalam harmoni yang terstruktur:
Keseluruhan musikalitas ini menciptakan medan energi yang memompa semangat, baik bagi penampil maupun penonton. Kualitas dan keragaman ritme yang digunakan oleh berbagai tim Barongsai menunjukkan betapa kayanya tradisi musik yang menyertai tarian ini. Setiap kelompok memiliki variasi tabuhan khasnya sendiri, berkontribusi pada keragaman Barongsai yang 'banyak' dalam hal auditif.
Salah satu alasan utama mengapa Barongsai kini mendapat sorotan global dan memiliki basis penggemar yang banyak adalah perkembangan tarian akrobatik di atas tiang, dikenal sebagai Mei Hua Zhuang (Tiang Bunga Plum). Seni ini mengubah Barongsai dari tarian jalanan menjadi olahraga ekstrim yang membutuhkan kekuatan fisik, keseimbangan luar biasa, dan keberanian tinggi.
Tiang Mei Hua Zhuang menuntut presisi dan keberanian, menunjukkan Barongsai sebagai olahraga akrobatik tingkat tinggi.
Mei Hua Zhuang terdiri dari deretan tiang-tiang baja yang tingginya bervariasi, mencapai hingga tiga meter, ditempatkan dengan jarak yang menantang. Singa harus melompat dari satu tiang ke tiang lain, meniru gerakan singa yang melintasi medan berbahaya atau memanjat tebing. Dalam konteks kompetisi, tim yang mampu menampilkan lompatan terpanjang, pendaratan paling stabil, dan ekspresi wajah singa yang paling meyakinkan akan menjadi pemenang.
Latihan untuk Mei Hua Zhuang sangat intens, menggabungkan pelatihan dasar bela diri (Kung Fu) dengan keseimbangan yang presisi. Teknik-teknik yang wajib dikuasai melibatkan:
Kehadiran banyak tim Barongsai yang berpartisipasi dalam kompetisi akrobatik ini menunjukkan standar profesionalisme yang meningkat di Indonesia. Mereka tidak hanya melestarikan tradisi tetapi juga mendorong batas-batas seni pertunjukan fisik. Ini adalah bukti nyata bahwa Barongsai telah berevolusi menjadi seni atletik yang mendalam.
Barongsai yang 'banyak' juga berarti Barongsai yang beraneka ragam. Di Indonesia, tarian singa telah menyerap nuansa lokal di beberapa daerah, menghasilkan interpretasi unik yang memperkaya khazanah budaya nasional. Asimilasi ini adalah kunci mengapa Barongsai kini tidak lagi terasa asing, melainkan sudah menjadi milik bersama.
Singkawang dikenal sebagai "Kota Seribu Klenteng," dan merupakan salah satu pusat Barongsai terbesar di Indonesia, dengan jumlah perkumpulan Barongsai yang sangat banyak. Di sana, Barongsai dan Liong (Tarian Naga) dipentaskan secara masif, terutama saat perayaan Cap Go Meh. Keunikan di Singkawang adalah intensitas ritualistiknya. Barongsai di sana seringkali menjadi bagian dari ritual Tatung (media kerasukan), menambahkan dimensi spiritual yang sangat lokal pada tarian tradisional Tiongkok.
Di Jawa Tengah, khususnya Semarang, Barongsai memiliki sejarah panjang yang berinteraksi dengan kebudayaan Jawa. Beberapa kelompok Barongsai mengintegrasikan alat musik atau motif batik lokal ke dalam kostum atau penampilan mereka. Sementara itu, di Jakarta, yang dulunya Batavia, Barongsai menjadi simbol pluralisme urban. Kelompok-kelompok Barongsai di Jakarta seringkali sangat profesional, berfokus pada kompetisi dan pertunjukan komersial, menjadikannya seni yang sangat terorganisir dan berlimpah dalam jumlah.
Interpretasi lokal ini menunjukkan bahwa Barongsai tidak bersifat statis. Ia bergerak, beradaptasi, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Kemampuan Barongsai untuk melebur dengan tradisi lokal inilah yang menjadikannya seni yang sangat resilien dan terus berkembang, memicu munculnya semakin banyak kelompok dan variasi.
Kehadiran Barongsai yang banyak di Indonesia tidak mungkin terjadi tanpa adanya semangat komunitas dan transmisi pengetahuan yang terstruktur. Barongsai adalah seni kolektif yang membutuhkan dedikasi jangka panjang dari para pelatih, murid, dan pendukung.
Secara historis, sebagian besar kelompok Barongsai lahir dari atau berafiliasi dengan perguruan Kung Fu (Wushu). Seni bela diri memberikan dasar fisik yang penting: stamina, kekuatan kaki, kelincahan, dan disiplin. Filosofi bela diri, yang menekankan rasa hormat, kerja sama, dan pantang menyerah, secara langsung tercermin dalam performa Barongsai. Setiap gerakan singa harus dilakukan dengan kekuatan dan niat yang jelas, mencerminkan pelatihan fisik yang ketat.
Saat ini, meski banyak klub Barongsai berdiri independen, disiplin ala bela diri tetap menjadi inti pelatihan. Hal ini memastikan bahwa meskipun jumlah Barongsai terus bertambah, kualitas artistik dan fisik para penampil tetap terjaga. Pelatihan yang intensif dan menuntut inilah yang memastikan bahwa setiap penampilan, dari yang paling sederhana hingga yang paling akrobatik, dilakukan dengan standar yang tinggi.
Inti dari Barongsai adalah kerja sama antara dua penari: penari kepala (yang mengendalikan ekspresi wajah, tanduk, dan mata) dan penari ekor (yang bertanggung jawab atas kekuatan belakang dan postur). Kerja sama ini harus mencapai tingkat sinkronisasi yang hampir telepati, terutama saat melakukan gerakan akrobatik yang berbahaya. Ketika Barongsai banyak tampil serentak, ratusan pasang penari harus beroperasi sebagai satu kesatuan yang terkoordinasi dengan ketat, hanya dipandu oleh tabuhan drum.
Pelatihan untuk mencapai sinkronisasi ini sangatlah detail. Mereka harus melatih postur, irama pernapasan, dan reaksi terhadap musik secara berulang-ulang. Proses transmisi keterampilan ini memastikan bahwa semangat Barongsai, yaitu harmoni dan kerja sama tim, tidak hanya dipentaskan tetapi juga dihayati oleh setiap anggotanya.
Keberlimpahan Barongsai juga membawa dampak ekonomi yang signifikan dan memperkuat hubungan antarbudaya di masyarakat. Barongsai kini menjadi industri kecil yang berkelanjutan, mendukung banyak pengrajin dan seniman.
Satu set kostum Barongsai yang berkualitas tinggi, terutama yang digunakan untuk kompetisi, dapat menelan biaya puluhan juta rupiah dan membutuhkan waktu pengerjaan berbulan-bulan. Hal ini menciptakan permintaan yang stabil untuk pengrajin yang mahir dalam membuat kepala singa yang rumit dengan dekorasi, bulu, dan mekanisme mata yang berfungsi dengan baik. Selain itu, permintaan akan drum, gong, dan simbal yang tahan lama juga menciptakan pasar bagi produsen alat musik tradisional.
Fenomena Barongsai yang banyak ini secara langsung menghidupkan kembali kerajinan tangan tradisional, memastikan bahwa keterampilan membuat instrumen dan kostum tidak punah. Pengrajin di berbagai kota kini sibuk memenuhi permintaan dari kelompok Barongsai yang terus bermunculan, mulai dari kelompok sekolah hingga kelompok profesional yang berafiliasi dengan perusahaan besar.
Di luar aspek komersial, Barongsai berfungsi sebagai mediator budaya yang efektif. Karena sifatnya yang sangat visual dan menarik, tarian ini mampu menarik perhatian dari semua lapisan masyarakat. Dalam banyak kasus, kelompok Barongsai di Indonesia kini terdiri dari anggota yang beragam etnis, menunjukkan inklusivitas yang tinggi.
Contohnya, banyak tim Barongsai di Pulau Jawa, Sumatera, hingga Kalimantan memiliki anggota non-Tionghoa yang sangat antusias mempelajari dan mementaskan tarian ini. Mereka melihat Barongsai bukan sebagai seni eksklusif suatu etnis, melainkan sebagai seni pertunjukan Indonesia yang energik dan menantang. Inilah esensi dari Barongsai yang banyak: ia adalah simbol persatuan dalam keberagaman.
Dorongan untuk mencapai standar internasional adalah faktor lain yang berkontribusi pada peningkatan jumlah dan kualitas kelompok Barongsai. Kompetisi telah memaksa tim untuk berinvestasi dalam pelatihan yang lebih baik, peralatan yang lebih aman, dan koreografi yang lebih inovatif.
Pembentukan federasi dan asosiasi Barongsai, baik di tingkat nasional maupun internasional, telah membantu menstandardisasi aturan dan penilaian, terutama untuk kategori akrobatik Mei Hua Zhuang. Standarisasi ini tidak mematikan kreativitas, tetapi justru mendorong inovasi dalam kerangka yang terukur. Setiap gerakan, dari kesulitan lompatan hingga durasi tidur singa, kini dinilai berdasarkan parameter yang ketat.
Kompetisi tingkat nasional maupun internasional yang rutin diadakan, seperti Kejuaraan Dunia Barongsai, menjadi tujuan utama ratusan tim Barongsai. Keinginan untuk meraih medali dan pengakuan internasional memicu persaingan sehat dan semangat berlatih yang tinggi di antara kelompok-kelompok yang banyak ini.
Dalam upaya memenangkan kompetisi, koreografer Barongsai terus mencari inovasi. Mereka menggabungkan elemen-elemen dari seni bela diri lain, mengembangkan teknik lompatan baru, dan memperkaya narasi tarian. Singa modern tidak hanya melompat; ia bercerita tentang petualangan, perjuangan, dan kemenangan. Penggunaan pencahayaan, efek visual, dan panggung yang lebih kompleks dalam pertunjukan modern menarik audiens yang lebih banyak dan lebih muda.
Transisi dari tarian ritual menjadi seni pertunjukan kompetitif yang atletis telah memperluas basis penggemar Barongsai dan memastikan bahwa seni ini relevan di era kontemporer. Jumlah Barongsai yang berlimpah mencerminkan kesiapan Indonesia untuk bersaing di panggung Barongsai global.
Meskipun Barongsai kini sangat banyak dan populer, tantangan tetap ada, terutama terkait regenerasi, pendanaan, dan mempertahankan esensi spiritual di tengah modernisasi yang gencar. Namun, prospek masa depannya terlihat cerah berkat dedikasi komunitas dan pengakuan pemerintah.
Tantangan utama adalah memastikan regenerasi penari dan musisi. Keterampilan Barongsai sangat fisik dan membutuhkan komitmen sejak usia dini. Banyak kelompok kini berfokus pada pelatihan anak-anak dan remaja, membentuk akademi atau sekolah Barongsai yang terstruktur. Program pelatihan ini memastikan bahwa ribuan gerakan dan ritme yang telah dipelihara selama ratusan tahun tidak hilang, dan bahwa Barongsai akan terus banyak dan relevan di masa depan.
Pendekatan yang berorientasi pada pemuda ini tidak hanya menghasilkan penari yang terampil, tetapi juga menanamkan disiplin dan nilai-nilai budaya sejak dini. Dengan adanya sekolah-sekolah Barongsai di berbagai daerah, jumlah individu yang terlibat dan mempelajari seni ini menjadi semakin besar, menjamin keberlangsungan Barongsai sebagai warisan budaya yang hidup.
Penggunaan media sosial dan platform digital juga membantu meningkatkan visibilitas Barongsai. Pertunjukan-pertunjukan Barongsai yang banyak kini mudah diakses melalui internet, menarik perhatian global, dan memicu minat dari calon penari baru. Dokumentasi digital tentang teknik, sejarah, dan filosofi Barongsai membantu menyebarkan pengetahuan di luar batas geografis tradisional.
Barongsai yang dulunya hanya dapat disaksikan di klenteng atau perayaan tertentu, kini hadir di berbagai acara, mulai dari pembukaan pusat perbelanjaan, perayaan nasional, hingga acara pernikahan. Eksposur yang luas ini, didukung oleh dokumentasi media yang intens, memastikan bahwa Barongsai terus menjadi perhatian publik dan mempertahankan posisinya sebagai tarian yang paling banyak dinantikan.
Secara keseluruhan, fenomena Barongsai yang begitu banyak di Indonesia adalah cerminan dari keberhasilan asimilasi budaya, dedikasi komunitas, dan pengakuan negara terhadap kekayaan tradisi Tionghoa. Ia adalah seni yang bergerak dinamis, membawa sejarah, spiritualitas, dan semangat atletik, menegaskan dirinya sebagai salah satu ikon seni pertunjukan yang paling energik dan dicintai di Nusantara.
Ritual cai qing, atau 'memetik sayuran hijau', adalah inti performa Barongsai Selatan dan merupakan salah satu alasan mengapa tarian ini begitu banyak diminta dalam acara bisnis dan perayaan. Qing (sayuran) di sini melambangkan rezeki dan keberuntungan. Ritual ini bukan hanya sekadar mengambil amplop merah (angpau) yang digantung, tetapi sebuah narasi simbolis yang panjang dan detail tentang bagaimana singa meraih keberuntungan dengan kebijaksanaan dan keberanian.
Proses cai qing yang dilakukan ratusan kelompok Barongsai di seluruh dunia mengikuti pola yang ketat. Tahapan ini harus dilakukan dengan presisi filosofis, yang membedakan penampilan ritualistik dari sekadar atraksi sirkus:
Setiap kelompok Barongsai yang banyak berlatih harus menguasai nuansa emosional dalam setiap tahapan ini. Keberhasilan cai qing yang meyakinkan adalah penentu kualitas sebuah pertunjukan ritual.
Filosofi Barongsai Selatan sangat terkait dengan teori Lima Elemen (Wu Xing) Tiongkok: Kayu, Api, Tanah, Logam, dan Air. Meskipun banyak singa modern memiliki warna dekoratif yang beragam, lima warna dasar Barongsai tradisional yang banyak digunakan mewakili karakter dan elemen kosmik:
Singa Kuning, sering disebut sebagai Singa Raja (Liu Bei), melambangkan kekuasaan, kebijaksanaan, dan keadilan. Warna kuning dikaitkan dengan elemen Tanah, mewakili pusat, stabilitas, dan kemakmuran. Ketika Singa Kuning tampil, ia membawa aura otoritas yang tenang. Gerakannya cenderung terukur dan agung. Kehadiran Singa Kuning yang banyak dalam acara-acara besar melambangkan harapan akan pemerintahan yang stabil dan masa depan yang makmur.
Singa Merah (Guan Yu), salah satu yang paling populer dan paling banyak ditemukan, melambangkan keberanian, kesetiaan, dan semangat perang. Warna merah adalah elemen Api, mewakili gairah, energi, dan pengusiran kejahatan. Gerakan Singa Merah selalu cepat, berapi-api, dan sangat energik, sangat cocok untuk membuka acara besar atau perayaan yang membutuhkan intensitas maksimal.
Singa Hitam (Zhang Fei) melambangkan kekuatan kasar, kecepatan, dan kadang-kadang sedikit ketidakpatuhan. Warna hitam dikaitkan dengan elemen Air, mewakili misteri dan adaptabilitas. Gerakannya cenderung eksplosif dan tidak terduga, seringkali menunjukkan teknik yang sangat kuat dan akrobatik. Singa Hitam banyak digunakan dalam pertunjukan yang menantang kekuatan fisik.
Singa Hijau (Zhao Yun) melambangkan kecepatan, pemuda, dan pertumbuhan. Warna hijau adalah elemen Kayu, mewakili musim semi, kehidupan baru, dan fleksibilitas. Gerakannya sangat lincah, ringan, dan cepat, seringkali fokus pada manuver yang menunjukkan keluwesan. Singa Hijau banyak dipilih oleh kelompok muda yang ingin menunjukkan energi baru dan harapan.
Singa Putih/Perak (Ma Chao) melambangkan kemurnian, kesedihan (historis), dan keanggunan. Warna putih adalah elemen Logam, mewakili musim gugur, ketenangan, dan kesempurnaan. Gerakannya sangat anggun, seringkali menampilkan keseimbangan sempurna. Singa Putih, meskipun lebih jarang, tetap penting untuk menunjukkan dimensi spiritual dan keindahan seni Barongsai yang beragam.
Keberlimpahan Barongsai yang berwarna-warni ini memastikan bahwa pada setiap perayaan, kombinasi energi dari kelima elemen kosmik ini terwakili, menciptakan harmoni ritualistik yang lengkap.
Di banyak daerah di Indonesia, Barongsai menjadi alat yang ampuh untuk integrasi. Studi kasus menunjukkan bagaimana praktik Barongsai yang banyak justru menjembatani perbedaan sosial dan etnis, terutama di kota-kota yang pernah mengalami ketegangan komunal.
Ambil contoh di daerah perbatasan seperti di Kepulauan Riau atau Kalimantan Barat. Komunitas Barongsai di sini seringkali melibatkan anggota dari etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa yang berlatih bersama. Dalam lingkungan seperti ini, Barongsai tidak lagi dilihat sebagai ‘budaya asing’ tetapi sebagai seni bersama yang membutuhkan disiplin kolektif. Latihan yang berjam-jam, di mana keringat dicampur bersama, menumbuhkan rasa persaudaraan yang melampaui identitas etnis.
Di daerah ini, ketika Barongsai dipentaskan, ia dilihat sebagai representasi dari seluruh masyarakat, bukan hanya satu kelompok etnis. Kehadiran Barongsai yang banyak dalam perayaan hari besar lokal (bukan hanya Imlek) adalah bukti keberhasilan integrasi ini. Mereka berkolaborasi dengan kelompok seni tradisional lain, menciptakan hibridisasi budaya yang unik dan kaya.
Alasan Barongsai banyak dipilih sebagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah dan universitas adalah fokusnya pada disiplin. Latihan fisik yang meniru gerakan Kung Fu tidak hanya membangun otot, tetapi juga ketahanan mental. Para pelatih Barongsai sering menekankan pentingnya Wu De (etika bela diri): kejujuran, kerendahan hati, dan rasa hormat.
Dengan demikian, semakin banyak anak muda yang terlibat dalam Barongsai, semakin banyak pula individu yang dididik dengan nilai-nilai disiplin dan kerja keras. Ini menjadikan Barongsai sebagai investasi sosial yang penting, di samping nilai budayanya.
Seringkali, di Indonesia, istilah Barongsai dan Liong (Tarian Naga) digunakan bersamaan. Meskipun keduanya adalah tarian mitologis Tionghoa yang dilakukan secara massal (sehingga keduanya ‘banyak’), mereka memiliki perbedaan esensial dalam filosofi, struktur, dan gerakan.
Liong melambangkan Naga, simbol kekaisaran, kekuatan langit, dan air. Naga adalah makhluk yang agung dan spiritual. Tarian Liong melibatkan puluhan penari yang memegang tongkat untuk mengendalikan tubuh naga yang sangat panjang. Gerakan Liong adalah fluiditas, menekankan ombak dan putaran, meniru gerakan naga di awan atau di dalam air. Liong adalah pertunjukan skala besar yang membutuhkan ruang yang sangat luas.
Sementara Barongsai berfokus pada individu (dua penari) yang menunjukkan emosi dan keberanian (seperti singa yang mendekati mangsa), Liong adalah tentang kolektivitas dan kekuatan alam. Barongsai adalah tarian "bumi" (lebih banyak interaksi dengan penonton dan mengambil angpau), sedangkan Liong adalah tarian "langit" (agung, spiritual, dan bergerak dalam formasi besar).
Namun, dalam praktiknya, banyak kelompok Barongsai yang juga menguasai seni Liong. Sinergi antara keduanya memastikan bahwa setiap festival besar memiliki variasi pertunjukan yang memukau: Barongsai yang lucu dan lincah, serta Liong yang agung dan menggetarkan. Kedua tradisi ini, yang sama-sama banyak dan populer, saling melengkapi dalam lanskap seni pertunjukan Tionghoa di Indonesia.
Keberlimpahan penampilan Barongsai menuntut perawatan dan produksi kostum yang banyak dan berkualitas tinggi. Kostum Barongsai yang baik harus ringan, tahan lama, dan memiliki mekanisme yang berfungsi optimal untuk mata dan telinga.
Kepala Barongsai tradisional biasanya dibuat dari rangka bambu atau rotan yang diperkuat, kemudian ditutup dengan kain dan kertas warna-warni, serta bulu sintetis atau alami. Desainnya harus memungkinkan penari di dalamnya untuk bernapas dan memiliki pandangan yang cukup, meskipun terbatas. Bagian ekor (tubuh) terbuat dari kain yang kuat namun ringan, seringkali dilengkapi dengan motif skala (sisik) untuk menambah tekstur mitologis.
Karena Barongsai dianggap memiliki roh spiritual setelah upacara pembukaan mata (Dian Jing), perawatannya pun bersifat ritualistik. Kostum tidak boleh diletakkan sembarangan. Kepala Barongsai harus disimpan dengan hormat. Perawatan yang teliti ini memastikan bahwa setiap Barongsai yang banyak tampil tetap prima dan terawat, baik secara fisik maupun spiritual, menegaskan statusnya sebagai benda ritual yang dihormati.
Dedikasi terhadap detail kostum dan perawatannya menunjukkan komitmen para pelestari budaya terhadap Barongsai. Semakin banyak tim yang berkomitmen pada kualitas, semakin tinggi pula standar keseluruhan Barongsai di Indonesia.
Fenomena Barongsai yang banyak dan tersebar luas di Indonesia adalah lebih dari sekadar indikator popularitas; ia adalah manifestasi kekuatan budaya yang mampu bertahan, beradaptasi, dan merangkul perubahan zaman. Dari sejarahnya yang berakar pada legenda Tiongkok hingga evolusinya menjadi olahraga akrobatik tingkat tinggi di atas tiang Mei Hua Zhuang, Barongsai terus membuktikan relevansinya.
Filosofi di balik gerakan, ritme drum yang menentukan emosi, simbolisme warna, hingga kerja sama erat antara dua penari yang menyatukan jiwa, semuanya berkontribusi pada daya tarik abadi Barongsai. Ketika kita menyaksikan sekelompok Barongsai tampil dengan semangat membara, kita tidak hanya melihat sebuah pertunjukan, tetapi juga menyaksikan sebuah tradisi yang telah berhasil melampaui batas-batas etnis, menjadi milik bersama dan memperkaya mozaik budaya Nusantara secara keseluruhan.
Keberlimpahan Barongsai di panggung-panggung perayaan, jalanan kota, dan ajang kompetisi internasional adalah penegasan bahwa warisan budaya Tionghoa ini telah berakar kuat di tanah air, menjanjikan kelangsungan dan perkembangan seni Barongsai untuk generasi-generasi mendatang.