Barongsai, simbol keberanian dan pengusir nasib buruk.
Seni tari Barongsai, atau Tarian Singa, adalah salah satu elemen budaya Tiongkok yang paling dikenal secara global, terutama dalam perayaan Tahun Baru Imlek. Jauh melampaui sekadar pertunjukan akrobatik, Barongsai adalah perwujudan filosofi mendalam, kepercayaan spiritual, dan sejarah panjang yang telah bertahan melalui berbagai era politik dan sosial. Kehadiran Barongsai di jalanan membawa energi yang kuat, dipercaya mampu mengusir roh jahat, membawa keberuntungan, dan memastikan panen yang melimpah di tahun mendatang.
Fokus utama dalam pemahaman Barongsai adalah pengakuan bahwa singa ini bukanlah binatang buas biasa, melainkan entitas mitologis yang dikendalikan oleh irama drum yang khas. Setiap kibasan ekor, setiap gerakan mata, dan setiap langkah kaki yang dihentakkan ke lantai memiliki makna ritual dan narasi tertentu. Memahami Barongsai, berarti menyelami kekayaan budaya yang menghubungkan masa lalu, kini, dan harapan untuk masa depan yang lebih cerah.
Meskipun singa bukanlah satwa endemik Tiongkok kuno, kehadirannya sebagai simbol kekuatan dan keberanian diperkenalkan melalui jalur perdagangan sutra dari Asia Tengah dan India. Catatan tertua mengenai tarian singa ditemukan pada masa Dinasti Han (206 SM – 220 M), awalnya sebagai bagian dari tarian militer atau pertunjukan istana yang disebut “San Jiong.” Namun, bentuk Barongsai modern yang kita kenal sekarang, dengan kostum yang besar dan gerakan yang dramatis, mulai berkembang pesat pada masa Dinasti Tang (618–907 M). Pada masa Tang, Barongsai menjadi bagian integral dari festival rakyat dan ritual keagamaan.
Legenda populer menyebutkan bahwa tarian ini diciptakan setelah seekor singa misterius menyelamatkan seorang kaisar dari bahaya. Sebagai bentuk penghormatan, singa tersebut diabadikan dalam bentuk tarian. Dalam konteks budaya Barongsai, kisah seperti ini memperkuat statusnya bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai simbol pelindung kerajaan dan rakyat jelata. Ekspansi maritim dan diaspora Tiongkok di seluruh dunia, terutama ke Asia Tenggara, membawa seni Barongsai ke Nusantara, di mana ia mengalami akulturasi yang unik.
Dalam sejarah Barongsai, terdapat dua aliran utama yang mendominasi, masing-masing membawa ciri khas regional yang berbeda dalam gerakan, musik, dan desain kostum. Kedua gaya ini adalah Singa Selatan (Nán Shī) dan Singa Utara (Běi Shī).
Gaya Barongsai 2 yang paling sering terlihat dalam perayaan Imlek di Asia Tenggara adalah Nán Shī, atau Singa Selatan. Gaya ini fokus pada ekspresi emosi singa yang mendalam, menekankan sifat keingintahuan, kegembiraan, kemarahan, dan ketenangan, yang semuanya diekspresikan melalui mekanisme mata dan mulut yang hidup.
Berasal dari provinsi Guangdong, Nán Shī sangat kental dengan tradisi seni bela diri Tiongkok Selatan, khususnya Kung Fu. Gerakannya lebih berotot, kuat, dan ritmis. Dibagi lagi menjadi dua sub-gaya utama:
Musik pengiring untuk Nán Shī selalu agresif dan cepat, menyesuaikan dengan tempo hati singa yang dinamis. Elemen utama Nán Shī adalah ‘memetik sayuran’ (Cǎi Qīng), di mana singa harus mengatasi berbagai rintangan untuk mendapatkan ‘amplop merah’ (Hong Bao) yang sering digantung tinggi atau diletakkan di tempat sulit.
Singa Utara, yang berasal dari Beijing dan wilayah Utara lainnya, memiliki penampilan yang lebih mirip singa asli, lengkap dengan surai panjang dan kostum yang berwarna-warni. Běi Shī cenderung lebih akrobatik, seringkali menampilkan keseimbangan di atas bola besar, melompati meja, atau formasi piramida manusia. Běi Shī biasanya ditampilkan dalam perayaan yang lebih bersifat hiburan murni atau di istana, berbeda dengan Nán Shī yang sangat berakar pada ritual pengusiran roh jahat.
Setiap putaran, lompatan, atau kedipan mata dalam Barongsai 2 bukanlah kebetulan; itu adalah narasi yang terstruktur. Filosofi inti dari Barongsai berpusat pada dualitas Yin dan Yang, harmoni, dan komunikasi antara dunia manusia dan dunia roh. Singa yang ‘hidup’ adalah manifestasi dari Qì (energi vital) yang kuat.
Warna pada Barongsai mengindikasikan karakter dan generasi singa, terinspirasi dari pahlawan Tiga Negara:
Bahkan detail terkecil, seperti cermin kecil yang dijahit di dahi Barongsai, memiliki fungsi spiritual: untuk memantulkan kembali roh jahat yang mencoba mendekati dan mengganggu upacara.
Pelatihan Barongsai melibatkan penguasaan postur yang meniru perilaku singa, namun dimodifikasi dengan teknik seni bela diri:
Kostum Barongsai adalah karya seni yang membutuhkan keahlian tingkat tinggi. Proses pembuatannya bisa memakan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, tergantung pada kerumitan detail dan mekanisme yang terpasang di kepala. Kostum ini harus kuat, ringan, dan yang terpenting, ekspresif.
Kepala adalah inti dari Barongsai 2. Ia terbuat dari kerangka bambu yang ringan, yang kemudian dilapisi kertas, kain, dan bulu sintetis atau asli. Kepala Nán Shī (Selatan) memiliki mekanisme internal yang kompleks:
Berat kepala biasanya berkisar antara 3 hingga 5 kilogram, memerlukan kekuatan leher dan punggung yang luar biasa dari pemain di bagian depan.
Badan Barongsai terbuat dari kain yang panjang dan berbulu, yang harus mampu beriak dan bergerak mengikuti irama. Pemain di bagian belakang (ekor) bertanggung jawab memastikan bahwa gerakan ekor tidak hanya mengikuti kepala, tetapi juga menambah dimensi emosional. Ekor yang lemas menunjukkan rasa takut atau lelah, sementara ekor yang melambai-lambai dengan kuat menunjukkan kegembiraan atau kekuatan. Harmoni antara kepala dan ekor adalah penentu keberhasilan tarian Barongsai.
Barongsai 2 tidak dapat eksis tanpa musik pengiringnya. Musik adalah denyut nadi singa; ia mendikte setiap lompatan, setiap perubahan suasana hati, dan setiap langkah kaki. Orkestra Barongsai (biasanya terdiri dari tiga instrumen) berfungsi sebagai penerjemah emosi singa.
Terdapat pola ritme dasar (misalnya, “Tiga Bintang,” “Tujuh Bintang”) yang digunakan untuk berkomunikasi dengan para pemain. Musik Barongsai adalah kode rahasia yang mengikat pemain depan dan belakang, memastikan koordinasi yang sempurna.
Sebelum sebuah Barongsai baru dapat digunakan dalam pertunjukan, ia harus menjalani upacara spiritual yang sangat penting yang dikenal sebagai Dian Jing, atau ‘Titik Mata’ (atau Kai Guang, Pembukaan Cahaya). Tanpa ritual ini, Barongsai hanyalah kostum mati; setelah ritual, ia dipercaya memiliki roh pelindung yang bersemayam di dalamnya.
Upacara ini dipimpin oleh biksu, pendeta Tao, atau kepala perguruan Kung Fu yang dihormati. Menggunakan tinta atau kuas yang dicelupkan ke dalam darah ayam jantan (tradisional) atau cinnabar merah (modern), kepala Barongsai diberi titik di mata, telinga, mulut, dan tanduk. Setiap titik mewakili indra yang dibangkitkan:
Setelah Dian Jing, Barongsai dianggap ‘hidup’ dan menjadi pelindung spiritual yang harus diperlakukan dengan penuh hormat. Barongsai 2 yang sudah diberkati tidak boleh diletakkan sembarangan atau dilangkahi.
Ritual Cǎi Qīng adalah inti dari pertunjukan Barongsai. ‘Qīng’ secara harfiah berarti sayuran (biasanya selada hijau), tetapi juga merupakan homofon untuk ‘Qīng’ yang berarti kemakmuran dan keberuntungan. Selada ini digantung bersama amplop merah berisi uang (Hong Bao) di tempat yang sulit dijangkau.
Proses Cǎi Qīng adalah ujian kecerdasan, ketangkasan, dan keberanian singa. Singa harus menunjukkan berbagai emosi—keingintahuan, frustrasi, perencanaan, dan akhirnya kemenangan. Setelah ‘memakan’ selada (melambangkan pembersihan dan penyerapan keberuntungan), Barongsai akan memuntahkan daun selada tersebut kembali ke kerumunan, melambangkan penyebaran keberuntungan kepada penonton dan tuan rumah.
Menjadi pemain Barongsai 2 membutuhkan dedikasi fisik dan mental yang setara dengan seni bela diri tingkat tinggi. Ini bukan hanya tentang menari, tetapi tentang menyalurkan energi dan sinkronisasi dua tubuh menjadi satu kesatuan yang kohesif.
Dalam Barongsai modern, terutama dalam konteks kompetisi, teknik melompati tiang besi atau kayu (Jong, atau Gāo Qiáo) telah menjadi standar emas. Jong melambangkan tantangan dan rintangan yang harus diatasi untuk mencapai keberuntungan (Hong Bao) yang berada di ujung tiang.
Ketinggian tiang bisa mencapai tiga meter atau lebih, dan jarak antar tiang bisa menantang batas fisik pemain. Pemain kepala harus memiliki keseimbangan sempurna, sementara pemain ekor harus menyediakan dorongan dan stabilitas yang mutlak. Kesalahan sedikit saja dapat mengakibatkan jatuh fatal.
Pelatihan Barongsai melibatkan kombinasi dari:
Disiplin adalah kunci. Sekolah Barongsai 2 sering kali berafiliasi dengan sekolah Kung Fu, menekankan bahwa Barongsai adalah perpanjangan dari seni bela diri, bukan sekadar tari pertunjukan.
Di Indonesia, Barongsai memiliki kisah sejarah yang unik dan penuh tantangan. Kedatangan Barongsai ke Nusantara dibawa oleh para imigran Tiongkok yang menetap, dan ia segera berakulturasi dengan budaya lokal, sering kali menjadi bagian dari perayaan masyarakat Tionghoa-Indonesia.
Selama periode Orde Baru, khususnya setelah tahun 1967, ekspresi kebudayaan Tionghoa di ruang publik dibatasi secara ketat. Barongsai praktis menghilang dari jalanan dan hanya dipraktikkan secara rahasia di dalam kuil-kuil atau perkumpulan tertutup.
Titik balik datang pada tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres No. 14 tahun 1967, membuka jalan bagi Tionghoa-Indonesia untuk secara bebas mengekspresikan budaya mereka. Kebangkitan Barongsai 2 setelah pelarangan ini sangat fenomenal. Ia tidak hanya kembali ke komunitas Tionghoa, tetapi juga diakui sebagai salah satu kekayaan budaya nasional.
Barongsai di Indonesia menunjukkan ciri khas akulturasi. Di beberapa daerah, terutama di Jawa, Barongsai menjadi bagian dari Cap Go Meh (15 hari setelah Imlek) yang dirayakan bersama dengan budaya lokal (misalnya, penggunaan gamelan dalam musik Barongsai di beberapa komunitas). Kostum Barongsai 2 di Indonesia seringkali sangat cerah dan berani, mencerminkan selera visual Asia Tenggara.
Penyebaran popularitas Barongsai di Indonesia kini meluas melintasi batas etnis, menjadikannya simbol persatuan dan toleransi, jauh dari identitas eksklusif. Anak-anak dari berbagai latar belakang etnis kini aktif berpartisipasi dalam sekolah-sekolah Barongsai, memperkaya warisan seni ini.
Sejak akhir abad ke-20, Barongsai telah bertransformasi menjadi olahraga kompetitif internasional. Standar kompetisi ditetapkan oleh Federasi Tarian Naga dan Singa Internasional (International Dragon and Lion Dance Federation – IDLDF), yang memastikan objektivitas penilaian dan mendorong inovasi dalam teknik.
Dalam kompetisi, juri menilai Barongsai 2 berdasarkan beberapa kriteria utama:
Kompetisi global telah mendorong peningkatan standar teknis secara drastis, membuat Barongsai modern jauh lebih atletis dan akrobatik dibandingkan bentuk tradisionalnya, meskipun filosofi intinya tetap dipertahankan.
Barongsai 2 tidak hanya menuntut fisik, tetapi juga mental. Pemain kepala, khususnya, harus mampu menanggung beban fisik dan tekanan mental untuk "menjadi" singa. Mereka harus memproyeksikan aura kekuatan, mengendalikan pernapasan, dan memproyeksikan niat singa kepada penonton hanya melalui gerakan kepala. Kerjasama yang erat dengan pemain ekor membutuhkan tingkat kepercayaan (xìnyòng) yang sangat tinggi, seringkali dibentuk melalui persaudaraan yang setara dengan ikatan militer.
Pelatihan psikologis meliputi kemampuan untuk mengatasi rasa takut ketinggian saat berada di atas tiang Jong, dan kemampuan untuk mempertahankan konsentrasi penuh meskipun irama musik sangat agresif dan cepat. Penguasaan Barongsai 2 yang sejati adalah ketika pemain melupakan dirinya sendiri dan hanya ada singa yang menari.
Pemain ekor sering dianggap sebagai tulang punggung, atau Qì, dari Barongsai. Meskipun pemain kepala adalah ‘wajah’ singa, pemain ekor bertanggung jawab atas stabilitas, kekuatan dorong, dan ekspresi ritme dasar. Dalam gerakan akrobatik di atas Jong, pemain ekor harus menguasai teknik dèng (menginjak) dan tǐ (mengangkat) dengan presisi milidetik. Kegagalan koordinasi pemain ekor akan membuat seluruh pertunjukan Barongsai 2 runtuh.
Pemain ekor menggunakan posisi kuda-kuda rendah (mabu) untuk waktu yang lama, melatih daya tahan dan ledakan otot kaki. Melalui gerakan pinggul dan ayunan badan, pemain ekor juga membantu memberi ‘hidup’ pada ekor kain yang panjang, yang dalam filosofi, melambangkan ekor naga, menambahkan elemen mistis pada tarian singa.
Pembuatan dan pengecatan kepala Barongsai adalah bentuk seni tersendiri. Kepala tradisional dibuat dari anyaman bambu yang dicampur dengan kasa dan lem, proses yang menuntut kesabaran tinggi. Seniman Barongsai harus menjadi ahli patung, pelukis, dan ahli mekanik. Pola yang dilukis di kepala, seperti sisik naga, awan, atau api, memiliki makna kosmik dan melindungi singa. Setiap garis dahi, setiap desain di sekitar mata, dirancang untuk memaksimalkan ekspresi emosional singa saat bergerak. Estetika Barongsai 2 merayakan kekuatan, warna-warna cerah, dan sedikit unsur konyol, yang semuanya dirancang untuk menarik perhatian dan mengusir roh jahat dengan tawa dan kegembiraan.
Dalam Barongsai 2, terdapat referensi halus terhadap unsur-unsur kosmik. Warna merah (api) mendominasi, melambangkan panas, kegembiraan, dan energi yang berapi-api yang dibutuhkan untuk mengusir kemalangan. Namun, gerakan Barongsai juga harus memiliki elemen air: mengalir, luwes, dan tak terduga, terutama saat singa ‘membersihkan’ dirinya atau bergerak dengan lambat sebelum lompatan eksplosif. Keseimbangan antara api (keberanian) dan air (kewaspadaan) adalah filosofi yang mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada fleksibilitas.
Globalisasi telah membantu Barongsai 2 menyebar jauh melampaui komunitas Tiongkok. Kini, ada tim-tim Barongsai yang sukses di Amerika, Eropa, dan Australia, yang menunjukkan apresiasi universal terhadap seni akrobatik yang energik ini. Perkembangan ini juga mendorong inovasi material. Kepala Barongsai modern sering menggunakan bahan yang lebih ringan dan tahan air, yang membantu pemain dalam kompetisi ekstrem. Meskipun demikian, para konservator budaya berjuang untuk memastikan bahwa modernisasi tidak menghilangkan akar spiritual dan ritual dari Barongsai, menekankan bahwa teknologi harus melayani seni, bukan menggantikannya.
Meskipun Barongsai adalah ritual serius, elemen humor sering dimasukkan, terutama melalui kehadiran karakter pendamping seperti Buddha Tertawa (Dà Tóu Fó). Karakter berkepala besar ini sering menggoda singa, memancingnya, atau membersihkan jalannya. Peran Buddha Tertawa adalah untuk mencairkan ketegangan ritual, mengajarkan bahwa keberuntungan datang melalui kegembiraan, dan mengingatkan bahwa bahkan roh jahat pun dapat diusir oleh humor dan kebahagiaan. Kontras antara kegagahan Barongsai 2 dan keceriaan Buddha Tertawa menciptakan dinamika yang menarik bagi semua usia.
Penting untuk diingat bahwa setiap Barongsai membawa nama dari sekolah atau garis keturunan (sekte) tertentu. Membawakan Barongsai 2 di depan umum adalah kehormatan dan tanggung jawab besar. Jika Barongsai tampil buruk, itu mencoreng nama sekolah. Oleh karena itu, latihan fisik yang brutal bukan hanya untuk akrobatik, tetapi juga untuk menanamkan rasa hormat, disiplin, dan martabat. Para pemain Barongsai adalah duta dari ribuan tahun tradisi kepahlawanan Tiongkok.
Dalam konteks kontemporer, martabat Barongsai 2 juga terlihat dalam cara mereka berinteraksi dengan masyarakat. Mereka harus selalu memancarkan kehangatan dan keberanian, menjadi simbol harapan di tengah kesulitan. Setiap kali Barongsai tampil di pintu masuk toko, ia bukan hanya meminta Hong Bao, tetapi memberikan berkat perlindungan dan kemakmuran, sebuah transaksi spiritual yang tak ternilai harganya.
Kelestarian seni Barongsai 2 di masa depan sangat bergantung pada generasi muda yang bersedia menjunjung tinggi disiplin seni bela diri dan memahami kedalaman filosofi yang melingkupinya. Ini adalah warisan yang harus dijaga, tidak hanya sebagai tarian, tetapi sebagai manifestasi nyata dari harapan dan energi vital.
Barongsai adalah seni tarian yang terus berevolusi namun tetap teguh pada akarnya. Dari kisah-kisah kuno di istana kaisar hingga panggung kompetisi modern di atas tiang Jong yang menantang gravitasi, Barongsai 2 telah membuktikan daya tahannya sebagai pusaka budaya yang kuat.
Setiap raungan drum, setiap lompatan akrobatik, dan setiap kedipan mata singa adalah pengulangan dari doa kuno: permohonan untuk keberuntungan, pengusiran nasib buruk, dan perayaan kehidupan. Barongsai bukan sekadar tontonan, melainkan pengalaman spiritual dan keindahan fisik yang menyatukan masyarakat di bawah energi keberanian dan harapan abadi.