Barongan, sebuah entitas seni pertunjukan yang merentang luas dari Jawa Timur hingga Bali, bukan sekadar topeng atau figur tarian biasa. Ia adalah manifestasi spiritual, perwujudan kekuatan purba, dan penjaga tradisi yang tak lekang oleh waktu. Dalam setiap ukiran kayu yang dihidupkan, terkandung narasi panjang mengenai keseimbangan alam semesta. Namun, dari sekian banyak ragam Barongan yang ada, Barongan yang dihiasi dengan Warna Telon—merah, putih, dan hitam—memiliki kedudukan filosofis yang paling mendalam, mewakili spektrum kosmik yang menyeluruh dan fundamental dalam pandangan dunia Nusantara kuno.
Warna Telon bukanlah pilihan estetika yang kasual; ia adalah bahasa visual dari ajaran teologis dan filosofis yang telah dianut oleh masyarakat Jawa dan Bali selama ribuan tahun. Ketiga warna ini, yang sering kali disebut sebagai Tri Murti dalam konteks Hindu atau Tri Kona dalam dimensi waktu, adalah kunci untuk memahami peran Barongan sebagai perantara antara dunia manusia (Bhuana Alit) dan alam semesta raya (Bhuana Agung). Pemahaman terhadap kekuatan simbolik ini membuka pintu menuju inti spiritualitas yang menggerakkan setiap gerakan, setiap irama gamelan, dan setiap jenggutan rambut ijuk pada topeng raksasa tersebut.
Istilah 'Telon' secara harfiah berarti tiga, merujuk pada tiga warna pokok yang fundamental dalam kebudayaan Jawa-Bali. Konsep ini jauh melampaui sekadar pewarnaan kain atau topeng; ia adalah cerminan dari filosofi keseimbangan semesta. Ketika diterapkan pada Barongan, warna-warna ini tidak hanya memperkuat penampilan sang maskot tetapi juga mengaktifkan dimensi spiritualnya, menjadikannya sebuah jembatan komunikasi antara dunia profan dan sakral.
Warna merah pada Barongan umumnya diposisikan pada tubuh utama, lidah, atau bagian yang mencolok lainnya. Merah melambangkan *Brahmā* dalam Trimurti, dewa pencipta, tetapi dalam konteks energi kehidupan, merah identik dengan *Rajas Guna*. Rajas adalah energi gerak, hasrat, dan aktivitas. Ia adalah api kehidupan, gairah, keberanian, dan pada sisi negatifnya, amarah dan nafsu (kama). Dalam pewayangan dan tradisi mistik Jawa, merah sering kali dihubungkan dengan sifat *wirotama* (kepahlawanan) dan juga sifat-sifat yang belum terkendali.
Dalam Barongan, Merah adalah kekuatan pendorong yang memungkinkannya bergerak dan menari secara dinamis, menunjukkan vitalitas yang tak terbatas. Ini adalah representasi dari energi penciptaan yang liar dan belum sepenuhnya dijinakkan, mencerminkan aspek pralaya (kekacauan awal) yang mendahului keteraturan.
Putih melambangkan *Iswara* atau *Siwa* sebagai pemelihara atau pelebur (tergantung aliran), namun yang pasti, Putih mewakili *Sattwa Guna*. Sattwa adalah kualitas kebaikan, kesucian, kemurnian, pencerahan, dan kebijaksanaan. Putih sering kali digunakan untuk detail mata Barongan atau hiasan mahkota, menunjukkan bahwa di balik penampilan yang garang, terdapat kesadaran spiritual yang tinggi. Putih adalah simbol dari *bayu* atau napas kehidupan yang murni, menahan kekuatan Merah agar tidak meledak tak terkendali.
Jika Merah adalah aktivitas, Putih adalah refleksi. Ia mewakili air suci, pemurnian, dan keadaan hening sebelum tindakan. Dalam Barongan, elemen Putih seringkali dihubungkan dengan *Dewa-Dewi* yang lebih tinggi, memberikan legitimasi spiritual pada entitas maskot tersebut. Tanpa Putih, Barongan hanyalah monster; dengan Putih, ia menjadi makhluk spiritual yang agung.
Warna hitam seringkali dihubungkan dengan rambut ijuk, kumis, janggut, atau bagian dalam mulut Barongan. Hitam melambangkan *Wisnu* (pemelihara) dan juga konsep *Tamah Guna*. Tamah adalah sifat kemalasan, kegelapan, dan keabadian. Namun, dalam konteks kosmik, Hitam adalah kekosongan (sunyata) dan asal mula segala sesuatu. Ia adalah tanah, kedalaman bumi, dan dimensi waktu yang tak terbatas (kala).
Hitam pada Barongan adalah penarik kekuatan gaib. Ia adalah representasi dari leluhur (danyang) atau kekuatan bumi yang mengakar. Kehadirannya memastikan bahwa Barongan tidak hanya berurusan dengan kekuatan surgawi (Putih) dan dinamis (Merah), tetapi juga kekuatan alam bawah dan dimensi waktu yang misterius. Hitam memberikan bobot dan otoritas purba kepada Barongan, menjadikannya entitas yang dihormati dan ditakuti.
Penerapan Warna Telon pada Barongan adalah visualisasi langsung dari konsep Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) dan Tri Loka (Tiga Dunia). Tiga dunia ini mencakup:
Barongan, dengan perpaduan ketiga warnanya, berfungsi sebagai mikro-kosmos yang mencakup seluruh alam semesta. Ketika Barongan menari, ia tidak sekadar bergerak di atas panggung; ia menggerakkan energi dari ketiga lapisan alam tersebut, berusaha menciptakan harmoni dan menyeimbangkan *sekala* (kasat mata) dan *niskala* (gaib). Proses penyatuan tiga warna ini adalah ritual yang mendalam, seringkali melibatkan upacara khusus sebelum pewarnaan, memastikan bahwa topeng tersebut benar-benar menjadi wadah spiritual yang sah.
Barongan, khususnya yang mengandung simbolisme Telon yang kuat, tidak dibuat oleh sembarang seniman. Pembuatnya harus memiliki keahlian teknis yang tinggi (undagi) sekaligus kemurnian spiritual (pandita). Proses pembuatan topeng adalah sebuah ritual panjang yang dimulai dari pemilihan kayu—biasanya kayu sakral seperti Pule atau Beringin—hingga proses pewarnaan yang penuh makna. Kayu yang dipilih harus diambil dari tempat yang diyakini berpenghuni atau memiliki energi spiritual yang kuat, dan pengambilan kayu pun didahului dengan permohonan izin kepada penjaga alam tersebut.
Setelah topeng diukir dan dihaluskan, tahap pewarnaan Telon adalah inti pengisian spiritual. Pewarnaan ini tidak menggunakan cat industri biasa, melainkan pigmen alami yang memiliki daya tahan dan resonansi spiritual. Merah seringkali didapatkan dari ekstrak daun atau tanah tertentu; Hitam dari arang khusus atau jelaga yang dianggap sakral; dan Putih dari kapur tohor yang telah dimurnikan. Setiap sentuhan kuas adalah doa, setiap lapis warna adalah penanaman energi.
Pengisian kekuatan spiritual, atau proses 'penyungsungan', menjadikan Barongan Telon benar-benar hidup. Proses ini melibatkan seorang Rektor atau Pemangku adat yang membacakan mantra-mantra kuno, meletakkan benda-benda pusaka (seperti rambut ijuk yang diambil dari tempat keramat, atau gigi babi hutan) di dalam topeng, dan melakukan persembahan (sesajen) yang lengkap. Tujuan dari ritual ini adalah memanggil roh penjaga (danyang) atau entitas pelindung untuk bersemayam di dalam topeng. Ketika Barongan telah 'diisi', ia tidak lagi hanya sebuah benda, melainkan perwujudan kekuatan yang harus diperlakukan dengan penuh penghormatan dan kehati-hatian.
Kehadiran warna hitam, sebagai penanda Tamah Guna, sangat penting dalam konteks ini. Hitam mewakili lapisan bumi dan alam bawah, tempat roh leluhur bersemayam. Dengan mengaplikasikan warna hitam, pembuat Barongan memastikan bahwa energi perlindungan dan otoritas purba para leluhur ikut menyatu dengan Merah (aktivitas) dan Putih (kesadaran). Ini adalah jaminan bahwa Barongan akan memiliki kekuatan penyembuhan sekaligus kekuatan destruktif jika diperlukan, menjaga keseimbangan komunitas dari segala ancaman, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.
Dalam konteks pementasan, terutama pada tari Jathilan atau Reog (dengan Barongan sebagai intinya), Barongan Warna Telon memainkan peran sentral sebagai figur utama yang memimpin pertunjukan. Perannya adalah mengundang dan mengendalikan suasana, seringkali memicu kondisi *trance* (kesurupan) pada para penari atau penonton yang lemah spiritualitasnya. Kekuatan Telon yang menyatu ini menjadi katalisator bagi pelepasan emosi dan energi spiritual kolektif.
Pengendalian Barongan Telon oleh pawang atau dhalang merupakan sebuah seni yang sangat halus. Pawang harus mampu membaca kombinasi energi Merah, Putih, dan Hitam yang sedang mendominasi. Jika Merah terlalu kuat, pawang harus segera memasukkan elemen Putih melalui mantra atau air suci. Jika Hitam terlalu dominan, yang bisa menyebabkan kegelapan atau kebisuan mendalam, maka Merah harus diaktifkan kembali melalui ritme gamelan yang cepat dan membakar semangat. Keseimbangan dinamis Telon ini adalah inti dari setiap pertunjukan Barongan yang sukses dan aman.
Di Jawa, Barongan Telon sering dikaitkan dengan figur singa atau macan purba, yang dikenal sebagai *Singa Barong* atau *Gembong*. Pewarnaan Telon pada wujud hewan buas ini semakin menekankan dualitas: kekuatan liar yang harus dihormati (Merah/Hitam) disandingkan dengan kesadaran moral yang mengendalikan (Putih). Ini adalah pelajaran filosofis bagi masyarakat: bahwa kekuatan terbesar hanya dapat dicapai ketika naluri liar (Merah/Hitam) didominasi oleh akal budi dan kesucian (Putih).
Konsep Telon tidak hanya eksklusif pada Barongan. Ia muncul berulang kali dalam seluruh spektrum budaya Nusantara, mulai dari kain tenun, arsitektur pura dan keraton, hingga sajian ritual (sesajen). Universalitas ini menunjukkan bahwa Merah, Putih, dan Hitam adalah kode semesta yang diterima secara luas, jauh sebelum intervensi agama-agama monoteistik. Ketiga warna ini, ketika disatukan, membentuk sebuah lingkaran sempurna, mewakili siklus kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali (Tri Kona).
Dalam konteks ritual Jawa dan Bali, misalnya, terdapat Banten Telon atau *canang sari* yang mencakup tiga elemen utama yang diwarnai secara simbolis. Merah mewakili Dewa Brahma (Api), Putih mewakili Dewa Siwa (Udara/Eter), dan Hitam mewakili Dewa Wisnu (Air). Barongan, sebagai personifikasi kekuatan ilahi di bumi, membawa prinsip-prinsip kosmik ini ke dalam dimensi visual dan kinetik. Ia adalah kitab suci yang menari.
Kehadiran pigmen Hitam yang mendalam pada Barongan juga terhubung dengan konsep *Kala* (Waktu) dan *Bima* (figur raksasa penjaga). Hitam memberikan kesan angker dan berat, sebuah penghormatan terhadap kekuatan yang abadi dan tak tertandingi. Ketika Barongan Telon berdiri tegak, ia seolah-olah mengundang aura yang sangat tua, aura dari zaman *Dewa-Dewi* pertama kali menciptakan semesta. Ini adalah mengapa Barongan Telon seringkali ditempatkan di garis depan pawai ritual, berfungsi sebagai pelindung utama yang menyingkirkan energi negatif di sepanjang jalannya.
Sementara itu, Putih, yang seringkali menjadi warna penyejuk, mengingatkan kita pada pentingnya *dharma* atau kebajikan. Topeng Barongan mungkin memiliki mata putih besar yang menatap tajam, seolah-olah menimbang setiap tindakan manusia. Mata putih ini adalah cerminan dari kesadaran tertinggi, yang tidak dapat disembunyikan. Ia melihat melalui ilusi (maya) dan menuntun pertunjukan kembali ke jalur yang benar, memastikan bahwa energi liar Merah/Hitam tidak merusak atau menyimpang dari tujuan spiritual utamanya.
Perpaduan Merah yang berapi-api, Putih yang murni, dan Hitam yang misterius menjadikan Barongan Telon sebuah karya seni yang sangat kompleks secara semiotika. Tidak ada warna yang boleh mendominasi secara berlebihan; jika Putih terlalu dominan, Barongan akan kehilangan kekuatan liarnya dan menjadi terlalu jinak (kurang ditakuti oleh roh jahat). Jika Hitam terlalu banyak, ia bisa menjadi terlalu gelap dan berbahaya. Jika Merah terlalu banyak, ia menjadi terlalu agresif dan sulit dikendalikan. Proporsi adalah kuncinya, dan proporsi ini dijaga dengan ketat oleh para pembuat Barongan tradisional.
Di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, tradisi Barongan, yang seringkali berakar pada cerita Panji atau kisah mistis lokal, menggunakan Warna Telon untuk menegaskan identitas dan hubungan mereka dengan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha terdahulu seperti Majapahit dan Singasari. Penggunaan Telon adalah pernyataan bahwa seni ini adalah warisan murni yang telah melewati proses asimilasi budaya dan agama, tetap mempertahankan inti filosofisnya yang purba.
Generasi muda saat ini mungkin melihat Barongan sebagai hiburan semata, namun bagi para sesepuh, Barongan Telon adalah penangkal bencana. Mereka percaya bahwa ketidakseimbangan kosmik yang tercermin dalam kehidupan nyata (bencana alam, wabah, atau konflik sosial) dapat dinetralkan dengan mengembalikan keseimbangan Telon. Pertunjukan Barongan Telon adalah upaya kolektif untuk memulihkan harmoni alam semesta yang terganggu. Energi yang dimanifestasikan dalam gerakan topeng raksasa tersebut adalah energi pembersih dan penata ulang.
Oleh karena itu, ketika Barongan Telon tampil di desa-desa, ia tidak hanya dinikmati, tetapi dihormati. Jalan yang dilewati Barongan harus bersih, persembahan harus diletakkan dengan benar, dan penonton harus menjaga tingkah laku. Pelanggaran terhadap ritual ini dipercaya dapat memicu murka Barongan, yang dapat bermanifestasi sebagai kerasukan massal atau bahkan insiden yang tidak menyenangkan. Kepercayaan ini menggarisbawahi betapa seriusnya simbolisme Telon dalam praktik ritual sehari-hari.
Bukan hanya topengnya, tetapi juga kostum para penari pengiring (Jathilan) seringkali memadukan unsur Telon. Kuda lumping mereka dihiasi dengan pita merah, putih, dan hitam, memperluas medan kekuatan Telon dari Barongan utama ke seluruh rombongan. Ini menciptakan satu kesatuan spiritual yang kohesif, di mana setiap penari berfungsi sebagai konduktor bagi energi Telon yang agung. Ketika semua elemen ini bergerak serentak, efek spiritual yang ditimbulkan menjadi luar biasa dan transformatif bagi komunitas yang menyaksikannya.
Filosofi Telon pada Barongan membawa kita jauh melampaui pertimbangan artistik. Ini adalah penjelajahan ke dalam ranah mistisisme Jawa kuno yang menganggap bahwa realitas adalah sebuah permainan kekuatan berpasangan yang harus selalu dijaga harmoninya. Barongan Telon adalah representasi visual dari bagaimana kekacauan (Merah dan Hitam) dapat dikendalikan dan diarahkan oleh kesadaran murni (Putih).
Dalam tradisi esoteris, Barongan yang diwarnai dengan Telon seringkali dianggap sebagai cikal bakal dari semua Barong atau topeng sakral lainnya. Ia memegang otoritas karena ia mencakup spektrum penuh keberadaan. Ketika para penari Jathilan mengalami trance di bawah tatapan Barongan Telon, mereka seolah-olah sedang menjalani inisiasi kilat, merasakan secara langsung pusaran energi Merah, Hitam, dan Putih yang berinteraksi dalam diri mereka.
Penting untuk diingat bahwa penggunaan Hitam tidak selalu berarti kejahatan atau kegelapan. Dalam konteks Telon, Hitam adalah kekuatan yang menahan, fondasi yang kokoh, dan gudang ilmu pengetahuan purba. Jika Merah adalah gejolak, dan Putih adalah kedamaian, maka Hitam adalah keheningan yang memungkinkan keduanya ada. Ini adalah dimensi yang paling sulit dipahami oleh masyarakat modern yang cenderung melihat Hitam sebagai warna negatif semata.
Di sisi lain, kekuatan Merah pada Barongan Telon sering diinterpretasikan sebagai energi *Kama Jaya* atau *Asmara Datu*, energi penciptaan dan reproduksi yang intens. Ketika Merah berinteraksi dengan Putih, ia menghasilkan kehidupan yang terorganisir. Interaksi Merah dan Hitam menghasilkan otoritas spiritual yang mengikat. Seluruh tarian Barongan adalah negosiasi tanpa henti antara ketiga prinsip kosmik ini, sebuah drama filosofis yang dimainkan di hadapan publik.
Meskipun zaman telah berubah dan Barongan kini banyak ditampilkan sebagai atraksi wisata, makna fundamental dari Warna Telon harus terus dijaga dan diajarkan. Ketika topeng Barongan Telon dicat ulang atau diperbarui, ritual yang menyertainya memastikan bahwa esensi spiritual dari Merah, Putih, dan Hitam tidak hilang, digantikan oleh sekadar warna kosmetik.
Pelestarian Barongan Telon adalah pelestarian pandangan dunia yang meletakkan keseimbangan kosmik sebagai inti kehidupan sosial dan spiritual. Ini adalah pengakuan bahwa manusia tidak dapat hidup terpisah dari alam atau dari kekuatan-kekuatan purba yang membentuk realitas. Barongan Telon berdiri sebagai monumen bergerak atas kebijaksanaan leluhur yang mampu merangkum seluruh alam semesta dalam tiga warna sederhana namun penuh daya.
Penggunaan pigmen alami dan ritual pemanggilan roh dalam pembuatan Barongan Telon menjadikannya sebuah peninggalan yang hidup. Setiap guratan merah, setiap helai putih, dan setiap bayangan hitam pada topeng raksasa tersebut bercerita tentang Trimurti, Tri Loka, dan perjuangan abadi untuk mencapai *moksa* (kebebasan spiritual). Ketika kita menatap mata Barongan Telon yang tajam, kita tidak hanya melihat kayu dan cat, tetapi kita menatap cerminan dari alam semesta itu sendiri, sebuah representasi yang utuh dan tak terpisahkan.
Eksistensi Barongan Telon di tengah modernitas adalah bukti ketahanan budaya Nusantara. Ia menolak untuk menjadi artefak museum yang bisu; sebaliknya, ia terus menari, meraung, dan mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan kita untuk menyatukan dan menyeimbangkan kontras-kontras yang ada: baik dan buruk, hidup dan mati, terang dan gelap. Keseimbangan ini, yang termanifestasi sempurna dalam tiga warna sakral—Merah, Putih, Hitam—adalah warisan abadi dari Barongan Warna Telon.
Kajian mendalam mengenai Barongan Warna Telon juga harus menyentuh bagaimana interaksi warna ini mempengaruhi struktur narasi dalam pertunjukan. Ketika Barongan tampil, seringkali ia diposisikan sebagai figur yang berada di persimpangan moralitas. Merah mendorongnya ke tindakan heroik atau destruktif. Putih menariknya ke arah kebijaksanaan dan perlindungan. Hitam memberinya keunggulan supranatural dan kemampuan untuk melihat dimensi lain. Ketiga warna ini bekerja sama untuk membangun karakter yang multidimensi, bukan hanya sekadar monster atau pahlawan, melainkan sebuah entitas yang kompleks, mencerminkan kompleksitas moralitas manusia yang selalu berada di antara tiga kutub tersebut.
Bagi komunitas penganut tradisi ini, Barongan Telon juga berfungsi sebagai media edukasi non-verbal. Anak-anak yang menyaksikan pertunjukan, meskipun tidak memahami istilah filosofis Trimurti atau Tri Loka, secara intuitif menyerap konsep keseimbangan ini. Mereka belajar bahwa Merah yang menarik dan berani harus diimbangi dengan Putih yang tenang, dan bahwa Hitam mewakili sesuatu yang misterius dan kuat yang harus dihormati. Pemahaman subliminal ini ditransfer dari generasi ke generasi, memastikan bahwa filosofi Telon tetap relevan dalam struktur sosial.
Lebih jauh lagi, proses pemeliharaan Barongan Telon juga merupakan ritual. Topeng tidak boleh disimpan sembarangan; ia harus diletakkan di tempat yang tinggi, bersih, dan sering kali diberikan sesajen secara berkala. Hal ini mencerminkan penghormatan terhadap entitas spiritual yang diwakili oleh perpaduan Merah, Putih, dan Hitam. Kegagalan dalam merawatnya dipercaya dapat menyebabkan topeng 'marah' atau kehilangan kekuatannya. Dalam hal ini, Barongan Telon menjadi barometer spiritual bagi komunitas: jika Barongan terawat baik, maka komunitas tersebut diyakini berada dalam keadaan harmonis dengan alam semesta.
Peran musik gamelan dalam mengaktifkan Telon juga tak bisa diabaikan. Ritme dan melodi Gamelan yang mengiringi Barongan Telon dirancang untuk menstimulasi resonansi dari masing-masing warna. Instrumen dengan nada rendah dan berat (gong, kendang besar) seringkali dikaitkan dengan energi Hitam (Tamah). Instrumen yang bernada tinggi dan cepat (saron, bonang) membangkitkan energi Merah (Rajas). Dan jeda, atau melodi yang menenangkan dan harmonis, mewakili Putih (Sattwa). Ketika ketiga irama ini berpadu sempurna, Barongan pun mencapai puncak manifestasi spiritualnya.
Eksplorasi mendalam terhadap Barongan Telon juga mengungkap hubungan eratnya dengan praktik *kejawen* dan esoterisme lokal. Banyak praktisi spiritual percaya bahwa meditasi di hadapan Barongan Telon dapat membantu seseorang mencapai keseimbangan internal antara *napsu* (Merah), *cipta* (Putih), dan *karsa* (Hitam/kehendak). Ini menunjukkan bahwa Barongan Telon tidak hanya merupakan objek eksternal yang dihormati, tetapi juga peta jalan internal menuju pencerahan pribadi.
Setiap Barongan Telon memiliki sejarahnya sendiri, seringkali terkait dengan *danyang* (roh penjaga desa) tertentu. Warna Telon pada Barongan tersebut berfungsi sebagai tanda pengenal spiritual, menunjukkan jenis kekuatan kosmik yang bersemayam di dalamnya. Misalnya, Barongan dengan Merah yang sangat dominan mungkin dikaitkan dengan perlindungan dari serangan fisik atau bencana. Sementara Barongan dengan keseimbangan sempurna Putih-Hitam-Merah akan berfungsi sebagai penyeimbang yang menjaga keharmonisan internal desa secara menyeluruh.
Studi semiotika lebih lanjut mengungkapkan bahwa tekstur yang digunakan pada Barongan Telon juga memiliki peran dalam memperkuat makna warna. Rambut ijuk hitam yang kasar dan tebal menunjukkan kekuatan Tamah yang tak dapat ditembus. Kulit Merah yang berkilat menunjukkan kekuatan Rajas yang membara. Sementara kain atau hiasan Putih yang halus menunjukkan kesucian Sattwa yang lembut namun mendalam. Gabungan tekstur dan warna ini menciptakan pengalaman multisensori yang kuat bagi penonton, memperkuat rasa hormat dan kekaguman terhadap entitas Barongan.
Dalam konteks pementasan modern, terdapat risiko komersialisasi yang dapat mengikis makna sakral Telon. Beberapa kelompok Barongan mungkin mulai menggunakan cat sintetis yang tidak memiliki resonansi spiritual, atau menghilangkan ritual pengisian demi efisiensi waktu. Hal ini dapat mengurangi kekuatan spiritual Barongan Telon, menjadikannya hanya sekadar properti pentas. Oleh karena itu, upaya para penjaga tradisi untuk mempertahankan metode pewarnaan dan ritual kuno adalah krusial demi kelangsungan hidup Barongan sebagai media spiritual yang autentik.
Diskusi mengenai Merah, Putih, dan Hitam pada Barongan juga harus dikaitkan dengan konsep *Sedulur Papat Lima Pancer* dalam filosofi Jawa. Sedulur Papat (Empat Saudara) diwakili oleh empat arah mata angin dan elemen, sementara Lima Pancer (Pusat) adalah diri kita sendiri. Merah, Putih, dan Hitam, dalam beberapa interpretasi lokal, mewakili tiga dari empat saudara tersebut, dengan warna keempat (seringkali kuning atau hijau) dan Pancer (diri) melengkapi keseluruhan kosmos kecil di dalam diri manusia. Barongan Telon, dengan demikian, tidak hanya memanifestasikan alam semesta besar (Bhuana Agung), tetapi juga peta batin manusia (Bhuana Alit) yang mencari keseimbangan spiritual.
Jika kita menilik lebih jauh ke dalam sejarah Barongan, penggunaan Warna Telon kemungkinan besar sudah ada sejak era pra-Hindu, kemudian diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam kerangka Trimurti. Ini menunjukkan betapa mendalamnya akar kosmologis ketiga warna ini dalam pikiran kolektif masyarakat Austronesia. Mereka adalah kode primal yang melampaui perubahan dinasti dan agama. Barongan Telon adalah kapsul waktu yang membawa pesan kebijaksanaan leluhur tentang cara hidup seimbang di tengah dualitas dunia.
Sebagai penutup, Barongan yang dihiasi dengan Warna Telon bukanlah hanya sebuah tontonan kebudayaan yang menarik mata. Ia adalah guru filosofis, penjaga spiritual, dan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai alam semesta. Setiap jengkal Merah, setiap sentuhan Putih, dan setiap bayangan Hitam pada topeng raksasa itu adalah pengingat abadi akan perlunya harmoni antara hasrat, kesucian, dan misteri yang mendalam. Keagungan Barongan Telon adalah manifestasi visual dari sebuah filsafat hidup yang menuntut keseimbangan, keberanian, dan penghormatan terhadap semua dimensi realitas.