Dalam khazanah kesenian tradisional Nusantara, Barongan atau Reog seringkali identik dengan warna-warna primer yang mencolok: merah menyala, hitam pekat, atau putih suci. Representasi ini merefleksikan kekuatan, keberanian, dan spiritualitas yang gamblang. Namun, di beberapa sudut kebudayaan, muncul fenomena yang memantik rasa ingin tahu dan interpretasi baru: Barongan berwarna ungu. Kemunculan warna ungu, yang secara tradisional tidak mendominasi palet kesenian klasik, membawa serta lapisan makna yang mendalam, menghubungkan dimensi spiritual, misteri, dan evolusi seni yang tak pernah berhenti.
Ungu adalah warna yang jarang muncul secara alami dalam konteks pigmen tradisional Barongan. Kehadirannya seringkali merupakan hasil dari perkembangan modern, pencampuran pigmen, atau bahkan permintaan spesifik yang didasari oleh pemahaman filosofis kontemporer. Warna ini, yang merupakan perpaduan antara api merah dan ketenangan biru, mewakili dualitas yang fundamental: kebijaksanaan yang dipadukan dengan gairah, serta spiritualitas yang berbatasan dengan dunia fana. Melalui penelusuran Barongan ungu, kita tidak hanya mengamati estetika visual yang berbeda, tetapi juga menyelami bagaimana sebuah tradisi kuno mampu menyerap dan mengadaptasi simbolisme baru tanpa kehilangan esensinya.
Representasi artistik dari Barongan dengan skema warna ungu yang intens.
Untuk memahami sepenuhnya dampak Barongan ungu, kita harus menelusuri makna universal dan lokal dari warna tersebut. Secara global, ungu telah lama diasosiasikan dengan kemewahan, kekuasaan, dan spiritualitas karena sulitnya mendapatkan pigmen ungu alami (seperti Tyrian Purple) di masa lalu. Ini menjadikannya warna raja dan rohaniwan. Dalam konteks Barongan, asosiasi ini diperkuat dan diberikan sentuhan lokal yang unik.
Barongan, pada dasarnya, adalah representasi dari kekuatan gaib dan pelindung desa. Jika Barongan merah melambangkan keberanian fisik dan Barongan hitam melambangkan kekuatan mistis yang gelap, maka Barongan ungu seringkali diasosiasikan dengan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi, bahkan transendental. Warna ungu, terutama pada spektrum indigo atau violet, berada pada frekuensi tertinggi dalam cahaya tampak, sering dikaitkan dengan cakra mahkota dalam sistem kepercayaan Timur, melambangkan hubungan langsung dengan Ilahi.
Dalam pertunjukan, Barongan ungu mungkin tidak hanya menampilkan tarian kekuatan, tetapi juga gerakan-gerakan yang sarat dengan meditasi dan kekhusyukan. Penari yang mengenakan Barongan ungu diharapkan memiliki kematangan spiritual yang lebih tinggi, mampu mengendalikan energi yang diwakili oleh warna tersebut. Ini adalah pergeseran dari kekuatan yang bersifat duniawi ke kekuatan yang bersifat kosmis.
Warna ungu adalah hasil sintesis dari merah (gairah, agresi, duniawi) dan biru (ketenangan, langit, spiritualitas). Perpaduan ini menciptakan sebuah titik keseimbangan yang dinamis. Dalam interpretasi Jawa, dualitas ini dapat dikaitkan dengan konsep Rwa Bhineda, di mana dua entitas yang berlawanan eksis secara harmonis. Barongan ungu mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan energi kasar dan halus, menyatukan naluri binatang buas (yang diwakili oleh bentuk Barongan) dengan kebijaksanaan tertinggi.
Transformasi juga menjadi kata kunci. Barongan ungu dapat melambangkan siklus perubahan atau evolusi dari seorang individu atau komunitas. Ini bukan sekadar topeng statis, tetapi simbol metamorfosis spiritual. Ketika digunakan dalam ritual penyembuhan atau pembersihan, Barongan ungu dipercaya mampu menyerap energi negatif (merah yang tidak terkontrol) dan memurnikannya menjadi ketenangan (biru yang mendalam).
Secara tradisional, Barongan klasik di Jawa Timur dan Jawa Tengah memiliki palet warna yang terbatas, di mana ungu sangat jarang muncul. Kehadiran warna ungu seringkali merupakan indikasi dari pengaruh modern atau spesifikasi dari seorang dalang atau seniman yang ingin menyampaikan pesan tertentu yang tidak terakomodasi oleh warna konvensional.
Di masa lalu, pigmen alami ungu sangat sulit didapat dan tidak stabil. Namun, dengan masuknya cat sintetis dan pewarna modern, warna ungu menjadi mudah diakses. Sejak pertengahan abad ke-20, seniman mulai bereksperimen, dan ungu dipilih bukan hanya karena ketersediaannya, tetapi juga karena daya tariknya yang unik dan kontras yang ditawarkannya terhadap palet tradisional. Ini adalah contoh bagaimana seni tradisi merespons kemajuan teknologi.
Beberapa komunitas seniman di daerah tertentu mungkin memiliki tradisi Barongan ungu sebagai kekhasan garis keturunan mereka. Misalnya, di suatu desa yang mayoritas penduduknya adalah pembuat kerajinan atau seniman spiritual, mereka mungkin secara sadar memilih ungu sebagai identitas untuk membedakan diri dari pertunjukan Barongan konvensional yang lebih berorientasi pada hiburan massa. Barongan ungu ini lantas menjadi warisan eksklusif, diwariskan dengan ritual dan filosofi yang ketat, menjadikannya benda sakral yang tidak dipertunjukkan sembarangan.
Ungu dalam Barongan adalah jembatan antara yang kasat mata dan yang tak kasat mata, sebuah manifestasi visual dari energi batin yang tak terucapkan.
Setiap komponen Barongan memiliki makna mendalam, dan ketika diwarnai ungu, makna tersebut diperkuat atau diubah. Pemilihan nuansa ungu, dari violet muda hingga indigo gelap, sangat menentukan pesan yang ingin disampaikan oleh Barongan tersebut.
Rambut Barongan (disebut juga surai atau jamang) yang biasanya terbuat dari ijuk atau tali serat, jika diberi warna ungu, melambangkan aura dan energi kosmik. Jika surai tersebut berwarna ungu pekat, ia bisa melambangkan kekuatan magis yang terpendam. Sementara itu, surai ungu muda atau lavender seringkali melambangkan kedamaian, mimpi, atau imajinasi kreatif. Hal ini kontras dengan surai Barongan merah yang melambangkan api dan amarah yang meledak-ledak.
Meskipun mata Barongan biasanya didominasi oleh warna putih, merah, atau kuning, penggunaan ungu sebagai latar atau bingkai mata mengindikasikan "mata batin" atau pandangan yang menembus dimensi. Ini menunjukkan bahwa entitas yang diwakili oleh Barongan ungu tidak hanya melihat dunia fisik tetapi juga alam spiritual. Pandangan ini adalah refleksi dari kebijaksanaan yang diperoleh melalui pertapaan atau laku spiritual.
Hiasan kepala atau aksesoris tambahan pada Barongan ungu seringkali menggunakan elemen emas atau perak untuk meningkatkan kesan agung dan spiritual. Emas (kekayaan, keagungan) yang dipadukan dengan ungu (spiritualitas, misteri) menciptakan representasi yang sempurna dari raja yang bijaksana atau dewa yang menjaga keseimbangan alam semesta. Pemilihan bahan seperti bulu merak yang memang memiliki pigmen kebiruan-ungu alami juga memperkuat asosiasi ini, menyatukan unsur alam dengan pigmen buatan.
Dalam beberapa dekade terakhir, Barongan ungu semakin sering muncul dalam media dan seni kontemporer, jauh melampaui panggung ritual desa. Ini adalah upaya seniman muda untuk "merevitalisasi" tradisi, membuatnya relevan bagi audiens global.
Pada pertunjukan-pertunjukan festival modern, koreografer sering memilih Barongan ungu untuk adegan-adegan yang membutuhkan suasana magis atau futuristik. Warna ini menonjol di bawah pencahayaan panggung modern, memberikan kesan dramatis yang tidak dapat dicapai oleh warna tradisional. Barongan ungu di sini berfungsi sebagai ikon visual yang menarik perhatian, menunjukkan bahwa tradisi tidak harus stagnan tetapi dapat berevolusi dalam bentuk yang menarik.
Barongan ungu juga telah menginspirasi desain grafis, ilustrasi, dan bahkan fesyen. Para desainer menggunakan pola Barongan ungu untuk T-shirt, poster, dan seni digital. Dalam konteks ini, ungu melambangkan estetika yang unik dan canggih, memadukan kekayaan sejarah dengan tren visual masa kini. Kehadiran Barongan ungu dalam media ini membantu menyebarkan mitologi Jawa kepada generasi yang mungkin tidak lagi terpapar langsung pada pertunjukan tradisional.
Ketika Barongan muncul dalam film fantasi atau permainan video bertema mitologi Indonesia, karakter Barongan ungu sering diberi peran sebagai entitas yang sangat kuat, seringkali bijak, dan terkadang misterius. Karakter ini mungkin menjadi penjaga rahasia kuno atau entitas yang harus dihadapi di level spiritual tertinggi. Warna ungu mengkomunikasikan kompleksitas karakter yang lebih besar daripada sekadar monster atau penjaga biasa.
Memasuki wilayah interpretasi yang lebih dalam, kita perlu mempertimbangkan bagaimana psikologi warna berinteraksi dengan energi ritual. Barongan adalah wadah energi, dan warna adalah konduktor energi tersebut. Studi psikologi warna menunjukkan bahwa ungu dapat merangsang kreativitas, mendorong introspeksi, dan memiliki efek menenangkan namun intens.
Saat pertunjukan Barongan ungu berlangsung, atmosfer yang tercipta seringkali lebih tenang dan kontemplatif dibandingkan dengan Barongan merah yang cenderung agresif dan berapi-api. Penonton diajak untuk merenungkan makna di balik topeng, memikirkan misteri alam semesta, dan hubungan antara manusia dan roh. Ungu menciptakan jarak sakral, yang membedakannya dari pertunjukan hiburan semata.
Dalam konteks ritual tertentu, Barongan ungu digunakan untuk membantu proses meditasi atau penyembuhan. Dipercaya bahwa getaran warna ungu mampu menyeimbangkan pikiran yang terlalu aktif atau emosi yang berlebihan. Ini adalah perwujudan visual dari proses pemurnian spiritual.
Ungu adalah warna ambivalen; ia bisa menjadi warna kesedihan atau warna kemewahan yang ekstrem. Dalam Barongan, ambivalensi ini diterjemahkan menjadi misteri. Barongan ungu tidak memberikan jawaban yang jelas mengenai sifatnya; apakah ia baik atau jahat, pelindung atau penghancur. Ia adalah entitas yang berada di batas, mewakili kekuatan alam yang tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh akal manusia. Misteri ini adalah bagian fundamental dari daya tarik Barongan ungu.
Pembuatan Barongan ungu seringkali melibatkan ritual yang berbeda dari pembuatan Barongan biasa, terutama jika warna ungu dipilih karena alasan spiritual mendalam, bukan sekadar estetika modern.
Sebagaimana Barongan pada umumnya, Barongan ungu harus dibuat dari kayu yang dianggap bertuah, seperti Jati atau Pule. Namun, pembuat Barongan ungu seringkali memilih kayu yang memiliki nuansa kehitaman alami atau yang diambil pada waktu-waktu tertentu (misalnya, saat bulan purnama atau malam Suro), yang dipercaya meningkatkan resonansi spiritual yang cocok dengan warna ungu.
Jika pigmen yang digunakan adalah pigmen modern, proses pewarnaan Barongan ungu mungkin disertai dengan doa-doa atau mantra khusus yang bertujuan untuk 'memanggil' energi spiritual yang diwakili oleh warna tersebut. Pewarnaan ini bukan hanya proses teknis, tetapi juga ritual pensakralan. Lapisan cat ungu diaplikasikan secara hati-hati, dengan keyakinan bahwa setiap sapuan kuas menambahkan energi mistis pada topeng.
Setelah selesai diukir dan dicat, Barongan ungu harus menjalani upacara pengisian roh atau Ngeroweng. Untuk Barongan ungu, upacara ini mungkin berfokus pada meditasi mendalam dan pemanggilan entitas spiritual yang memiliki karakter bijaksana dan tenang. Berbeda dengan Barongan merah yang mungkin diisi dengan energi yang lebih liar, Barongan ungu diisi dengan energi yang terkontrol, mencerminkan kesucian dan ketinggian budi pekerti.
Asosiasi ungu dengan kemewahan dan kekuasaan tidak asing dalam budaya Jawa. Meskipun merah dan emas adalah warna keraton yang dominan, ungu, dalam bentuk indigo atau nila tua, sering digunakan dalam kain batik dan busana bangsawan tertentu untuk melambangkan kewibawaan yang lebih tenang, kebijaksanaan, dan otoritas yang tidak perlu diteriakkan.
Barongan ungu mengambil inspirasi dari filosofi keraton ini. Ia mewakili kewibawaan seorang pemimpin yang memimpin dengan pengetahuan dan intuisi spiritual, bukan hanya dengan kekuatan militer. Barongan ini bisa menjadi simbol dari leluhur bijaksana atau spiritual leader yang menjaga ketenteraman masyarakat.
Dalam konteks sosial pertunjukan Barongan, Barongan ungu dapat berfungsi sebagai pembeda. Sementara Barongan konvensional mungkin menampilkan cerita rakyat dan kepahlawanan, Barongan ungu mungkin khusus digunakan untuk upacara adat yang sangat penting, seperti penyucian desa (Ruwat Desa) atau penobatan tokoh adat. Fungsinya yang spesifik ini membatasi kemunculannya dan meningkatkan nilai sakralnya.
Dalam pandangan Jawa kuno, warna adalah bagian integral dari struktur kosmos (Manunggaling Kawula Gusti). Ungu, berada di luar spektrum warna duniawi yang biasa, melambangkan perjalanan jiwa menuju kesempurnaan atau moksa. Barongan ungu, dengan demikian, bukan sekadar pelindung fisik tetapi juga pemandu spiritual komunitas menuju keselarasan dengan alam semesta.
Barongan ungu, sebagai varian yang lebih jarang dan terkadang kontroversial, menghadapi tantangan konservasi yang unik. Apakah kita harus melestarikan tradisi Barongan yang murni (merah, hitam, putih) ataukah kita harus merayakan evolusi dan adaptasi, termasuk Barongan ungu?
Beberapa puritan seni tradisional berpendapat bahwa Barongan ungu adalah penyimpangan, hasil komersialisasi yang merusak pakem asli. Mereka berpendapat bahwa warna tradisional memiliki akar historis yang lebih kuat. Namun, para pendukung adaptasi berargumen bahwa vitalitas tradisi terletak pada kemampuannya untuk berdialog dengan zaman. Barongan ungu adalah bukti bahwa seni dapat beradaptasi tanpa mati, menggunakan estetika modern untuk menyampaikan pesan kuno.
Penting untuk mendokumentasikan Barongan ungu, terutama yang memiliki sejarah regional yang spesifik, untuk memahami mengapa dan kapan warna ini mulai digunakan. Studi akademis harus memisahkan antara penggunaan ungu yang murni didorong oleh estetika pasar (komersial) dan penggunaan ungu yang didasarkan pada filosofi spiritual baru yang berkembang di kalangan seniman tertentu.
Dokumentasi ini harus mencakup wawancara mendalam dengan para pengrajin dan penari, menanyakan secara spesifik makna di balik pilihan warna ungu, serta mantra atau ritual yang menyertainya. Tanpa dokumentasi yang cermat, filosofi di balik Barongan ungu modern berisiko hilang dan hanya dianggap sebagai tren visual sementara.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang memadai, kita perlu memecah simbolisme ungu menjadi tiga lapisan yang saling terkait, sebagaimana yang sering diinterpretasikan dalam tradisi mistik Jawa dan Bali, yang mana Barongan memiliki irisan kultural yang signifikan.
Secara fisik, ungu adalah warna yang lembut namun menarik. Ia tidak mengintimidasi seperti merah, namun memiliki kehadiran yang tak terbantahkan. Dalam konteks alam, ungu bisa dikaitkan dengan pegunungan yang diselimuti kabut senja, atau kedalaman laut yang gelap sebelum fajar. Barongan ungu, oleh karena itu, mewakili kekuatan alam yang luas dan sunyi, bukan kekuatan yang berisik atau destruktif. Ia adalah energi bumi yang berdiam diri namun maha kuat.
Pada tingkat emosional, ungu mewakili empati, spiritualitas, dan kedamaian batin yang dicari oleh manusia. Barongan ungu dapat menjadi cerminan dari emosi kolektif masyarakat yang mendambakan ketenangan setelah melewati masa kekacauan. Ia menenangkan jiwa yang gelisah dan mendorong audiens untuk mencari makna yang lebih dalam dari keberadaan mereka. Penggunaan warna ini seringkali bertujuan untuk menghasilkan resonansi emosional yang intens dan damai secara bersamaan.
Secara spiritual, ungu adalah gerbang menuju kesadaran kosmik atau Ilahi. Ia adalah warna yang paling dekat dengan kegelapan absolut (hitam) namun mengandung cahaya yang paling murni (biru). Ini melambangkan transisi dari ketidaktahuan menuju pencerahan. Barongan ungu dapat dianggap sebagai manifestasi dari penjaga alam gaib yang bertugas memediasi antara manusia dan kekuatan tak terlihat.
Dalam bahasa Jawa, terminologi warna tidak selalu merujuk pada spektrum visual secara persis, tetapi seringkali memiliki muatan filosofis yang kuat. Istilah untuk ungu, seperti wungu (yang juga bisa berarti 'bangun' atau 'sadar'), memberikan interpretasi yang menarik ketika diterapkan pada Barongan.
Jika kita menghubungkan kata sifat warna 'ungu' dengan kata kerja 'wungu' (bangkit), Barongan ungu dapat diinterpretasikan sebagai simbol kebangkitan spiritual atau kesadaran kolektif. Barongan ini datang untuk 'membangunkan' masyarakat dari kelalaian atau kebodohan, mengingatkan mereka akan warisan spiritual dan tanggung jawab mereka terhadap alam dan leluhur. Ini memberikan dimensi aktivisme budaya pada topeng tersebut.
Nuansa ungu yang lebih gelap, sering disebut sebagai nila atau tarum (indigo), memiliki koneksi historis dengan batik dan pewarna alami. Warna-warna ini dikaitkan dengan kedalaman, misteri, dan kualitas tak terbatas. Barongan dengan pewarnaan indigo yang kaya menyiratkan kebijaksanaan kuno yang sangat tua, mungkin bahkan lebih tua dari mitologi Barongan itu sendiri, menghubungkannya kembali ke tradisi animisme primal.
Seni tradisional seringkali mencerminkan harapan dan ketakutan suatu masyarakat. Barongan ungu, yang merupakan produk adaptasi, dapat dilihat sebagai proyeksi harapan masyarakat terhadap masa depan yang spiritual dan damai.
Generasi muda seringkali tertarik pada warna-warna yang menonjol dan berbeda. Ungu berhasil menarik perhatian mereka, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan mereka dengan tradisi kuno. Seniman yang menciptakan Barongan ungu secara sadar memanfaatkan daya tarik visual ini untuk melestarikan ritual dan cerita Barongan, memastikan bahwa warisan tersebut tetap relevan dan menarik bagi mata modern.
Penciptaan Barongan ungu juga merupakan pernyataan tentang otonomi artistik. Seniman menolak batasan dogmatis dari pakem warna tradisional, menegaskan hak mereka untuk berinovasi dan mengekspresikan pemahaman spiritual pribadi mereka melalui medium tradisional. Ini adalah contoh vitalitas seni yang hidup, yang terus bernegosiasi antara masa lalu dan masa kini.
Efek Barongan ungu tidak berdiri sendiri; ia diperkuat oleh iringan musik gamelan dan penari. Untuk Barongan ungu, musiknya sering kali memiliki karakter yang berbeda.
Sementara Barongan merah sering diiringi oleh tabuhan gamelan yang cepat, keras, dan ritmis (kental dengan energi perang), Barongan ungu mungkin diiringi oleh melodi yang lebih lirih, dengan penekanan pada instrumen seperti gender atau suling, yang menghasilkan suara yang lebih meditatif dan melankolis. Iringan musik ini menekankan aspek spiritualitas dan kontemplasi yang dibawa oleh warna ungu.
Tembang (lagu) atau mantra yang mengiringi Barongan ungu seringkali berisi petuah spiritual, nasihat moral, atau doa-doa untuk keselamatan dan pencerahan. Ini memperkuat peran Barongan ungu sebagai pemandu spiritual, bukan sekadar entertainer.
Tidak semua Barongan ungu diciptakan sama. Nuansa spesifik dari ungu yang digunakan membawa konotasi yang sangat berbeda.
Violet, yang paling dekat dengan biru, mewakili idealisme, intuisi, dan pencerahan. Barongan violet sering digunakan dalam pertunjukan yang sangat fokus pada tema-tema metafisik, seperti perjalanan jiwa atau komunikasi dengan leluhur. Ia adalah warna yang murni spiritual.
Magenta, yang memiliki lebih banyak sentuhan merah, membawa energi gairah dan kreativitas. Barongan magenta mungkin digunakan dalam festival seni yang berfokus pada inovasi dan ekspresi diri. Ia masih spiritual, tetapi lebih membumi dan penuh semangat hidup.
Indigo, ungu yang sangat gelap dan kaya, seperti yang dihasilkan dari pewarna alami, melambangkan kebijaksanaan yang sangat tua, misteri kosmik, dan otoritas. Barongan indigo seringkali dianggap sebagai yang paling sakral di antara varian ungu, digunakan untuk ritual-ritual paling serius dan jarang terlihat di panggung umum.
Barongan bukan fenomena yang berdiri sendiri; ia terintegrasi dalam jaringan mitologi yang lebih luas di Nusantara. Posisi Barongan ungu dalam struktur mitologi ini menunjukkan kedudukannya yang unik.
Meskipun Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul, paling dikenal dengan warna hijau, legenda tertentu di wilayah Jawa Selatan mengaitkannya dengan nuansa biru-ungu yang mendalam, terutama pada malam hari atau di bawah permukaan air. Barongan ungu, dalam konteks ini, dapat dipandang sebagai penjaga yang memiliki koneksi dengan kekuatan laut yang misterius dan agung, kekuatan yang berada di luar kontrol manusia.
Mitologi Jawa sering membagi alam semesta menjadi tiga atau empat lapisan. Barongan ungu, karena sifatnya yang transendental, sering diplotkan sebagai penjaga batas antara lapisan alam manusia dan alam dewata (atau alam gaib tertinggi). Fungsinya adalah memfilter energi, memastikan bahwa kekuatan yang kacau (merah) tidak mengganggu ketenangan spiritual (biru).
Barongan ungu adalah sebuah babak baru dalam sejarah panjang seni Barongan. Ia membuktikan bahwa tradisi budaya adalah entitas yang hidup, bernapas, dan mampu berdialog dengan zaman. Kehadiran warna ungu menantang kita untuk melihat lebih dari sekadar permukaan, menuntut kita untuk memahami lapisan-lapisan filosofis yang diselipkan oleh para seniman dan pemangku adat.
Ungu adalah pengingat bahwa kekuatan sejati tidak selalu terletak pada agresi yang terlihat, tetapi seringkali berada dalam kebijaksanaan yang tenang dan koneksi spiritual yang mendalam. Dalam setiap pertunjukan Barongan ungu, kita menyaksikan bukan hanya tarian seekor binatang mitologi, tetapi juga ekspresi dari aspirasi tertinggi manusia untuk mencapai keseimbangan antara duniawi dan ilahi.
Adaptasi ini adalah kunci kelangsungan Barongan. Jika para seniman terus menemukan cara baru untuk menanamkan makna yang relevan ke dalam bentuk-bentuk kuno, Barongan akan terus menjadi sumber kekayaan budaya yang tak lekang oleh waktu, dengan warna ungu menjadi simbol abadi dari misteri, transformasi, dan keagungan spiritual yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap serat ungu yang menghiasi topeng tersebut menceritakan kisah tentang pencarian manusia akan makna yang melampaui batas-batas fisik yang dapat kita lihat dan sentuh. Kedalaman filosofis ini memastikan bahwa diskusi mengenai Barongan ungu akan terus berlanjut, memperkaya kancah seni dan spiritualitas Nusantara secara keseluruhan. Ini adalah sebuah perjalanan abadi menuju pencerahan yang diwakili oleh perpaduan warna merah dan biru, menciptakan dimensi baru dalam keagungan tradisi. Barongan ungu adalah cerminan dari jiwa budaya yang dinamis dan tak pernah usang, selalu siap menerima makna baru tanpa melupakan akar-akar sejarahnya yang mendalam. Kehadirannya yang kuat dan sunyi di panggung dunia seni tradisional Indonesia menegaskan posisinya sebagai ikon misteri dan kebijaksanaan. Eksplorasi makna warna ungu ini tidak akan pernah mencapai titik akhir, karena setiap mata yang memandang akan menemukan resonansi spiritualnya sendiri, sesuai dengan pengalaman hidup dan kedalaman batin masing-masing individu yang menyaksikan keindahan dan keagungan Barongan yang diselimuti nuansa keunguan yang memukau. Fenomena Barongan ungu ini adalah sebuah perayaan atas kemampuan tradisi untuk terus berevolusi sambil mempertahankan esensi sakralnya, sebuah sintesis harmonis antara yang lama dan yang baru, yang fana dan yang transendental. Inilah warisan yang berharga, sebuah simfoni warna dan makna yang tak terhingga.