I. Pengantar: Singo Maruto, Lebih dari Sekadar Topeng
Dalam khazanah seni tradisi Nusantara, khususnya di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, Barongan menempati posisi yang sangat sakral dan dinamis. Di antara berbagai varian topeng singa yang dikenal, nama Barongan Singo Maruto muncul sebagai entitas yang membawa bobot historis dan spiritualitas yang khas. Singo Maruto bukanlah sekadar properti pentas; ia adalah perwujudan kekuatan kosmik, simbol kearifan raja, sekaligus manifestasi roh pelindung desa.
Barongan, secara umum, merujuk pada topeng kepala singa besar yang biasanya dimainkan oleh satu orang. Namun, Singo Maruto dikonstruksi dengan detail yang sangat spesifik, sering kali menampilkan ukiran yang lebih garang, mata yang memancarkan energi, dan mahkota (jamang) yang rumit. Kisah-kisah yang melingkupinya sering kali dikaitkan dengan narasi kepahlawanan, legenda lokal, dan upaya untuk menjaga keseimbangan alam.
Topeng Singo Maruto dipercaya mengandung daya magis yang tidak hanya berasal dari kayu pilihan yang diukir, tetapi juga dari ritual penyatuan antara topeng dengan penari (pembarong) serta lelaku spiritual yang mendahului setiap pertunjukan. Memahami Singo Maruto berarti menyelami lapisan-lapisan kebudayaan Jawa yang kompleks, di mana seni, sejarah, dan spiritualitas menyatu dalam gerakan tari yang memesona dan menggetarkan.
II. Filosofi dan Simbolisme Singo Maruto
Nama Singo Maruto sendiri sarat makna. 'Singo' berarti singa, melambangkan keberanian, kekuasaan, dan keagungan. Sementara 'Maruto' sering dikaitkan dengan angin atau kekuatan yang cepat dan tak terhentikan, mencerminkan kecepatan tindakan dan keputusan yang bijaksana. Secara keseluruhan, Singo Maruto melambangkan pemimpin yang memiliki kekuatan besar namun bergerak dengan kearifan dan kecepatan yang diperlukan untuk melindungi rakyatnya.
A. Makna di Balik Wajah Garang
Wajah Barongan Singo Maruto yang biasanya didominasi warna merah, hitam, dan emas, bukan sekadar pewarna. Warna merah (abangan) melambangkan keberanian, nafsu, dan kekuatan fisik. Hitam (ireng) melambangkan keabadian, misteri, dan dimensi spiritual. Sementara emas (kuningan) adalah lambang kemuliaan, kekuasaan, dan spiritualitas tinggi. Kontras warna ini menciptakan dualitas yang esensial dalam pandangan Jawa: kekuatan harus diimbangi dengan moralitas.
Detail Spiritual Mata Barongan
Mata Singo Maruto adalah pusat perhatian dan sumber energi utama. Mata ini dibuat besar, melotot, dan sering kali dicat dengan pupil yang tajam. Secara filosofis, mata yang lebar ini melambangkan Waskita, kemampuan melihat hal-hal yang tersembunyi, baik yang kasat mata maupun yang bersifat gaib. Penari harus mampu menyalurkan energi melalui pandangan mata topeng tersebut, menciptakan interaksi yang intens dengan penonton dan lingkungan sekitarnya. Ini adalah inti dari transisi antara manusia dan ruh singa penjaga.
B. Peran Mahkota (Jamang) dan Rambut (Gimbal)
Mahkota atau Jamang Singo Maruto tidak seperti mahkota raja manusia. Ia dihiasi ukiran naga atau pola sulur yang rumit. Naga seringkali dikaitkan dengan kekuatan air dan bumi, melambangkan kesuburan dan keseimbangan. Jamang memastikan bahwa kekuatan Singo Maruto terikat pada nilai-nilai tradisi dan kesuburan tanah.
Rambut gimbal atau surai (disebut juga *gimbalan*) yang terbuat dari serat tanaman ijuk, rafia, atau bahkan rambut kuda, memberikan kesan liar dan dinamis. Surai ini melambangkan aura dan energi yang terpancar bebas, serta hubungan Barongan dengan alam liar yang tak tersentuh. Gerakan surai saat menari, yang seringkali dihentakkan dengan keras (disebut *obah*), melambangkan pelepasan energi negatif atau pembersihan spiritual wilayah pertunjukan.
III. Asal-Usul dan Genealogi Singo Maruto dalam Tradisi Jawa
Sejarah Barongan sangat erat kaitannya dengan perkembangan kesenian klasik Jawa Timur, terutama yang berpusat di wilayah Kediri, Blitar, dan Ponorogo. Singo Maruto sering diposisikan sebagai salah satu varian yang paling murni atau paling tua, mewarisi bentuk dasar Barong yang dikaitkan dengan tokoh Raja Kertanegara atau mitologi Prabu Klono Sewandono (dalam konteks Reog).
A. Hubungan dengan Reog Ponorogo
Meskipun Barongan Singo Maruto bisa berdiri sendiri sebagai pertunjukan, secara genealogi, ia tidak bisa dilepaskan dari Barongan yang menjadi bagian sentral dalam Reog Ponorogo, yang dikenal sebagai Singo Barong. Singo Maruto sering diyakini sebagai interpretasi atau pengembangan lokal dari Singo Barong di komunitas yang lebih terpencil atau memiliki fokus ritual yang berbeda. Perbedaannya terletak pada detail ukiran, dominasi warna, dan energi pertunjukan; Singo Maruto cenderung lebih fokus pada aspek mistis dan kekuatan murni tanpa terlalu banyak interaksi komedi seperti pada Reog modern.
B. Legenda Penamaan Lokal
Di beberapa daerah, nama 'Singo Maruto' dikaitkan dengan legenda spesifik mengenai pertempuran atau perlindungan. Salah satu versi menyebutkan bahwa Maruto adalah nama dari seekor singa gaib yang membantu seorang pahlawan lokal dalam melawan penjajah atau roh jahat. Setelah singa tersebut gugur, pahlawan itu membuat topeng tiruannya untuk mengabadikan kekuatan dan semangat juangnya. Dengan demikian, setiap kali Singo Maruto tampil, ia tidak hanya menari, tetapi juga memanggil kembali memori kolektif akan perlindungan heroik tersebut.
Evolusi Bentuk dan Material
Pada awalnya, Barongan dibuat dari kayu yang sangat ringan seperti kayu Pule atau Dadap. Namun, Barongan Singo Maruto yang diyakini memiliki energi spiritual tinggi sering kali terbuat dari kayu Wunglen atau Trembesi yang lebih berat namun dipercaya memiliki serat yang lebih kuat untuk menampung khodam atau energi penjaga. Evolusi ini menunjukkan upaya seniman untuk tidak hanya menciptakan karya seni, tetapi juga wadah spiritual yang bertahan lama.
Tali pengikat topeng, yang kini sering menggunakan tali modern, dulunya diikat dengan tali dari serat alami yang telah melalui proses peritualan (tirakat), memastikan bahwa koneksi antara topeng dan penari dilakukan secara fisik dan batin. Kepercayaan ini adalah pilar utama mengapa seni Barongan Singo Maruto tetap hidup dan dihormati.
IV. Proses Kreasi: Anatomi dan Seni Ukir Barongan Singo Maruto
Keagungan Singo Maruto terletak pada kerumitan pembuatannya. Ini adalah sebuah proses yang menggabungkan keahlian ukir, pemahaman akan simbolisme warna, dan ritual penyucian material. Seorang undagi (pengrajin topeng) Singo Maruto tidak hanya mengukir kayu; ia sedang memahat jiwa.
A. Pemilihan Kayu dan Waktu Pengerjaan
Pemilihan kayu adalah langkah krusial. Kayu harus diambil dari pohon yang dianggap memiliki energi baik, biasanya di hutan keramat atau di bawah pengawasan sesepuh desa. Kayu Pule dikenal karena ringan dan mudah diukir, ideal untuk Barongan yang harus diangkat dalam waktu lama. Namun, jika Barongan tersebut dimaksudkan untuk tujuan ritual yang lebih berat, kayu Nangka atau Jati yang sudah tua dan ‘mati ngurak’ (mati karena usia bukan ditebang) sering dipilih. Kayu ini dipercaya lebih mampu menyimpan aura magis.
Proses pemahatan harus dilakukan dengan penuh konsentrasi dan seringkali diiringi puasa atau ritual tertentu. Konon, bagian mata harus dipahat terakhir, dan ketika mata itu selesai, topeng tersebut dianggap telah memiliki 'nyawa' atau energi awal. Pengerjaan Singo Maruto, dari pemilihan bahan hingga pewarnaan akhir, bisa memakan waktu antara tiga minggu hingga beberapa bulan, tergantung tingkat kerumitan mahkota dan detail gigi/lidah.
B. Teknik Pengecatan dan Pewarnaan Simbolik
Pengecatan Barongan Singo Maruto mengikuti pakem tradisional yang ketat, meskipun ada variasi antar sanggar.
- Lapisan Dasar Merah (Singo Ganas): Bagian wajah utama diwarnai merah tua atau marun, melambangkan keberanian dan sifat singa yang ganas.
- Aksen Hitam (Kekuatan Spiritual): Garis-garis tegas di sekitar mata, hidung, dan kumis diwarnai hitam pekat. Hitam berfungsi sebagai penegas ekspresi kemarahan dan kedalaman spiritual.
- Emas dan Kuning (Kemuliaan): Emas diaplikasikan pada mahkota (jamang), sisik naga, dan terkadang di ujung gigi. Ini adalah simbol kemuliaan yang kontras dengan kegarangan wajah.
Pewarna yang digunakan dulunya berasal dari bahan alami (misalnya, merah dari getah atau tanah liat yang dibakar), namun kini sering diganti cat minyak atau akrilik yang lebih awet. Meskipun demikian, pengrajin senior tetap menekankan pentingnya aura alami yang dihasilkan oleh pigmen tradisional.
C. Pemasangan Gimbal (Rambut Singa)
Kualitas Singo Maruto sering ditentukan oleh kualitas gimbalnya. Gimbal yang ideal harus terlihat lebat, bergerak lentur, dan memiliki tekstur yang kasar namun indah. Pemasangan gimbal adalah pekerjaan yang teliti, di mana setiap helai diikatkan secara manual ke dalam lubang-lubang kecil yang telah disiapkan di sekitar kepala topeng. Gimbal ini tidak hanya estetika; ia berfungsi sebagai penyaring energi, melindungi penari dari pandangan jahat.
Variasi Singo Maruto Berdasarkan Wilayah
Meskipun memiliki inti yang sama, Singo Maruto di Kediri mungkin memiliki bentuk hidung yang lebih memanjang, sementara di Blitar mungkin lebih menekankan pada bentuk mahkota yang menyerupai sayap burung Garuda, mengindikasikan kaitan dengan kejayaan Majapahit. Variasi ini membuktikan bahwa Singo Maruto adalah seni hidup yang beradaptasi dengan narasi lokal, namun tetap mempertahankan esensi Singa Raja Angin.
Dalam konteks Jawa Timuran, Barongan sering disertai dengan aksen cekingan atau sisik naga di bagian leher, sebuah detail yang jarang ditemukan pada Barongan Jawa Tengah murni. Singo Maruto memaksimalkan detail ini, menjadikannya perpaduan sempurna antara kekuatan fauna (singa) dan kekuatan mitologi (naga).
V. Barongan Singo Maruto dalam Panggung Pertunjukan
Pertunjukan Singo Maruto adalah ritual yang penuh energi, bukan sekadar tari hiburan. Ia merupakan media komunikasi antara dunia nyata dan dunia spiritual, di mana penari menjadi medium bagi roh Singa Raja. Pertunjukan ini selalu diiringi oleh Gamelan yang khas, memadukan suara kendang yang menghentak dengan melodi saron dan gong yang mendalam.
A. Tata Gerak dan Teknik Pembarong
Penari (pembarong) yang membawa Singo Maruto harus memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, mengingat berat topeng Barongan bisa mencapai 30 hingga 50 kilogram, apalagi dengan tambahan gimbal yang tebal. Teknik gerak utamanya meliputi:
- Goyang Kepala (Oklak/Obah): Gerakan cepat dan kuat yang menghentakkan kepala topeng ke kanan dan kiri, menyebabkan gimbal bergoyang liar. Ini adalah gerakan pemanggilan energi dan menunjukkan kekuatan singa yang sedang marah atau bersemangat.
- Cangkeman (Menggigit): Barongan memiliki mulut yang bisa dibuka tutup. Gerakan ini dilakukan untuk mengejar dan 'menggigit' pemain lain atau bahkan penonton. Secara simbolis, ini adalah gerakan untuk menghilangkan bala atau penyakit.
- Jumping (Lompatan Kaki): Meskipun topengnya berat, pembarong harus mampu melompat tinggi, melambangkan Singo Maruto yang lincah dan berkuasa atas wilayahnya. Lompatan ini sering diakhiri dengan posisi membungkuk, menantang musuh.
Penari Singo Maruto harus menjalani latihan spiritual dan fisik yang ketat, termasuk puasa mutih dan mandi kembang, untuk memastikan mereka mampu menahan dan mengendalikan energi yang dipancarkan topeng selama kondisi trance (kesurupan) yang sering terjadi di puncak pertunjukan.
B. Orkestra Gamelan Pengiring
Gamelan yang mengiringi Singo Maruto harus mampu membangkitkan suasana mistis dan heroisme. Instrumen kunci meliputi:
- Kendang Gendhing: Memberikan irama dasar yang cepat dan tegas, mengatur tempo gerakan singa.
- Terbang Jidor: Memberikan irama yang lebih ritmis dan bersemangat, terutama saat Barongan sedang beraksi liar.
- Gong Suwukan: Gong kecil yang digunakan untuk menandai perubahan gerakan atau transisi energi.
- Saron dan Demung: Memberikan melodi yang terkadang menyeramkan, terkadang agung, menciptakan latar suara bagi Barongan Raja Hutan.
C. Interaksi dengan Tokoh Lain
Dalam konteks pementasan penuh (misalnya, Kuda Lumping atau Reog), Singo Maruto berinteraksi dengan karakter-karakter lain. Interaksi ini penting untuk menceritakan keseluruhan kisah:
- Interaksi dengan Jathil (Penari Kuda Lumping): Singo Maruto sering bertindak sebagai pelindung atau kadang pengganggu Jathil. Gerakan mereka yang lincah berlawanan dengan gerakan singa yang berat, menciptakan dinamika visual yang menarik.
- Interaksi dengan Bujang Ganong: Ganong, dengan topengnya yang jenaka dan lincah, seringkali menjadi penyeimbang komedi dan kelincahan yang berhadapan langsung dengan kegarangan Barongan. Ganong adalah representasi akal dan keluwesan, sementara Singo Maruto adalah representasi kekuatan murni.
VI. Dimensi Spiritual dan Ritual Singo Maruto
Singo Maruto bukanlah sekadar pertunjukan seni, melainkan sebuah ritual komunal yang bertujuan menjaga keselamatan desa, menolak bala, dan memohon kesuburan. Dimensi spiritualnya sangat kental, melibatkan lelaku (tirakat) baik dari topeng itu sendiri maupun dari komunitas sanggar.
A. Jamasan dan Penyucian Topeng
Sama seperti keris atau pusaka lainnya, Singo Maruto wajib menjalani ritual Jamasan (pembersihan) secara berkala, biasanya pada bulan Suro (Muharram). Jamasan dilakukan dengan air kembang tujuh rupa dan asap dupa, disertai mantra-mantra. Proses ini diyakini tidak hanya membersihkan topeng secara fisik tetapi juga 'mengisi ulang' energi spiritualnya, menjaga kesakralan Singo Maruto agar tetap terjaga dan dihormati.
B. Fenomena Trance (Kesurupan)
Salah satu ciri khas pertunjukan Barongan adalah potensi terjadinya trance pada penari atau bahkan penonton. Dalam konteks Singo Maruto, trance sering diartikan sebagai manifestasi roh penjaga (khodam singa) yang masuk ke dalam tubuh penari. Saat trance, gerakan penari menjadi jauh lebih liar, tanpa kendali sadar, dan menunjukkan kekuatan fisik yang melebihi batas manusia normal. Trance dianggap sebagai puncak pertunjukan, sebuah momen di mana manusia bertemu langsung dengan energi gaib. Para sesepuh sanggar memiliki peran penting untuk mengendalikan trance ini agar tidak membahayakan penari atau penonton.
Etika Menghormati Barongan
Dalam komunitas adat, ada etika ketat yang harus dipatuhi saat berinteraksi dengan Singo Maruto. Topeng tidak boleh diletakkan sembarangan, tidak boleh dilangkahi, dan harus ditempatkan di tempat yang tinggi dan terhormat saat tidak digunakan. Menyentuh Singo Maruto tanpa izin atau dengan niat buruk dianggap sebagai penghinaan terhadap roh penjaga yang bersemayam di dalamnya, dan dipercaya dapat mendatangkan musibah.
Oleh karena itu, setiap penari yang baru bergabung dalam sanggar harus melalui ritual inisiasi khusus, di mana mereka bersumpah untuk menjaga kehormatan Singo Maruto dan melanjutkan tradisi leluhur dengan hati yang bersih dan niat yang lurus. Ritual ini memperkuat posisi Singo Maruto sebagai benda pusaka budaya, bukan sekadar alat hiburan.
VII. Pelestarian Barongan Singo Maruto di Era Modern
Di tengah gempuran budaya global dan hiburan instan, pelestarian Barongan Singo Maruto menghadapi tantangan yang kompleks. Namun, berkat dedikasi para seniman dan komunitas lokal, seni ini terus beregenerasi dan menemukan relevansinya.
A. Tantangan dan Adaptasi Kontemporer
Tantangan terbesar adalah menarik minat generasi muda yang lebih akrab dengan media digital. Sanggar-sanggar Barongan merespons hal ini dengan cara mengadaptasi durasi pertunjukan, memasukkan unsur modern (meski esensi ritualnya tetap dipertahankan), dan menggunakan media sosial untuk mendokumentasikan serta mempromosikan keindahan Singo Maruto.
Adaptasi juga terlihat pada musik. Meskipun gamelan tradisional wajib ada, beberapa pementasan kini menggabungkannya dengan alat musik modern untuk menciptakan energi yang lebih intens, terutama dalam festival budaya yang bersifat kompetitif. Namun, para purist menekankan bahwa ‘roh’ Singo Maruto hanya dapat dibangkitkan sepenuhnya melalui irama gamelan yang otentik dan sakral.
B. Peran Komunitas dan Sanggar
Komunitas dan sanggar adalah benteng pertahanan utama tradisi Singo Maruto. Mereka berfungsi sebagai pusat pelatihan, tempat penyimpanan pengetahuan, dan laboratorium artistik. Dalam sanggar, tidak hanya diajarkan teknik menari dan bermain gamelan, tetapi juga diajarkan budi pekerti dan filosofi hidup berdasarkan nilai-nilai Jawa.
Regenerasi penari, khususnya pembarong utama, adalah hal yang vital. Seorang pembarong Singo Maruto harus dipilih berdasarkan bakat fisik, ketahanan spiritual, dan kepribadian yang jujur. Proses magang yang panjang memastikan bahwa ketika tongkat estafet kepemimpinan kesenian diserahkan, energi dan sejarah Barongan tidak akan hilang, melainkan terus mengalir dari generasi ke generasi.
Singo Maruto sebagai Identitas Regional
Banyak kabupaten di Jawa Timur kini menggunakan Barongan sebagai salah satu identitas budaya utama mereka. Singo Maruto, dengan karakteristiknya yang kuat, telah menjadi duta budaya yang diperkenalkan dalam festival nasional maupun internasional. Pengakuan ini memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk memberikan dukungan finansial dan logistik, memastikan bahwa pengrajin dan penari dapat terus berkarya tanpa harus khawatir tradisi mereka tenggelam dalam lautan waktu. Singo Maruto adalah simbol harga diri budaya lokal.
VIII. Elaborasi Mendalam: Kekuatan dan Estetika Tiada Akhir
Untuk memahami kedalaman Barongan Singo Maruto, kita perlu mengupas tuntas setiap detailnya, dari serat rambut gimbal yang melambangkan kebebasan hingga lekuk ukiran gigi yang melambangkan ketegasan hukum alam. Estetika Singo Maruto adalah estetika yang tidak mencari keindahan semata, melainkan mencari keutuhan harmoni antara yang kasar (kasar) dan yang halus (alus).
A. Analisis Komparatif Bahan Dasar
Pilihan bahan, seperti yang telah disinggung, memiliki implikasi spiritual yang mendalam. Pengrajin Barongan Singo Maruto sering membandingkan kayu Pule (ringan, lentur, mudah diisi) dengan kayu Jati (berat, kokoh, membutuhkan lelaku yang lebih besar). Barongan Pule cenderung digunakan untuk pertunjukan yang bersifat lebih menghibur, sementara Singo Maruto dari kayu Jati sering kali disimpan untuk ritual-ritual besar, seperti bersih desa atau ruwatan, di mana energi yang diperlukan haruslah energi yang stabil dan abadi.
Serat Ijuk untuk gimbal lebih disukai karena lebih tahan air dan memberikan nuansa hitam yang lebih pekat, melengkapi warna merah wajah singa. Dalam konteks pertunjukan, gimbal ijuk memberikan suara 'desis' yang unik ketika digerakkan dengan cepat, menambah dimensi auditori pada kegarangan visual Barongan. Perhatian terhadap detail akustik ini menunjukkan tingkat kesempurnaan dalam seni Singo Maruto.
B. Gerakan Tarian dan Interpretasi Sastra
Setiap gerakan Singo Maruto memiliki interpretasi sastra atau mitologi. Gerakan Nggajah Ngadep (Gajah Menghadap), di mana Barongan mengangkat kepala tinggi-tinggi dengan postur agung, melambangkan penghormatan terhadap Dewa atau entitas yang lebih tinggi. Sebaliknya, gerakan Ngeblak (Mengamuk), yang melibatkan hentakan keras ke tanah dan getaran seluruh tubuh, melambangkan pelepasan amarah atau perang melawan roh jahat.
Dalam pertunjukan yang lengkap, Singo Maruto sering menampilkan gerakan tarian yang mengikuti irama puisi Jawa kuno, meskipun penonton modern mungkin tidak menyadarinya. Penari yang menguasai seni ini tidak hanya menari dengan fisik, tetapi juga dengan pemahaman mendalam terhadap narasi yang diusungnya. Mereka menari cerita tentang bagaimana keberanian Singa Maruto menyelamatkan kerajaan atau desa dari bahaya kelaparan atau serangan musuh.
C. Pengaruh Barongan Singo Maruto pada Kesenian Lain
Pengaruh Singo Maruto tidak hanya terbatas pada panggung tari. Estetika wajah singa yang garang dan dinamis ini sering diadopsi dalam seni rupa Jawa modern, lukisan, dan bahkan desain busana. Singo Maruto menjadi ikon yang merepresentasikan keberanian tanpa batas dan spiritualitas yang tak tergoyahkan. Kehadirannya dalam media kontemporer membuktikan bahwa roh Singa Maruto terus relevan dan mampu berdialog dengan zaman.
Kontinuitas Ritual Pembuatan
Salah satu tradisi yang paling dilestarikan adalah saat Singo Maruto pertama kali 'dibangunkan'. Setelah ukiran selesai dan sebelum pewarnaan dimulai, topeng tersebut akan disajikan di hadapan sesepuh desa. Di momen ini, dilakukan ritual sesaji (persembahan) yang bertujuan memohon izin kepada alam dan leluhur agar topeng tersebut dapat berfungsi sebagai medium penjaga. Prosesi ini adalah kunci untuk memastikan Singo Maruto memiliki titisan (energi spiritual) yang kuat, membedakannya dari topeng Barongan biasa yang hanya untuk hiasan.
Bahkan seniman kontemporer yang membuat Singo Maruto secara komersial pun sering kali merasa terikat untuk melakukan ritual dasar ini, sebagai bentuk penghormatan terhadap pakem yang telah diwariskan turun-temurun. Inilah mengapa, ketika melihat Singo Maruto, kita tidak hanya melihat kayu dan cat, tetapi juga sejarah, keyakinan, dan ratusan tahun penghormatan terhadap alam dan kekuatan yang tak terlihat.
Kajian mendalam terhadap Singo Maruto membawa kita pada kesadaran bahwa kesenian rakyat Jawa bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan sebuah sistem nilai yang hidup. Barongan Singo Maruto adalah perwujudan sempurna dari semangat Jawa Dwipa: kuat dalam menghadapi tantangan, luhur dalam moralitas, dan kaya dalam ekspresi budaya. Setiap kali Barongan ini diangkat dan menari, ia tidak hanya menghibur, tetapi juga menegaskan kembali identitas kolektif dan spiritual masyarakat yang menjaganya. Ia adalah Singa yang mengaum, memanggil kembali ingatan akan kebesaran masa lalu, dan melindungi harapan masa depan. Kekuatan Singo Maruto akan terus menjadi cahaya yang memandu pelestarian budaya tradisional di tengah arus perubahan dunia yang tiada henti.