Wujud Singo Barong, simbol kekuatan mistis dan penjaga tradisi dalam pentas Barongan Singo Mudho Purwosari.
Tradisi Barongan di Jawa Timur bukan sekadar tontonan seni, melainkan manifestasi spiritualitas kolektif masyarakat yang telah mengakar selama berabad-abad. Di antara sekian banyak kelompok yang menjaga warisan ini, nama Barongan Singo Mudho Purwosari muncul sebagai salah satu pilar utama yang teguh mempertahankan kemurnian gerak, filosofi, dan elemen magisnya. Berlokasi di wilayah Purwosari, yang seringkali diasosiasikan dengan lintasan budaya antara Kediri, Malang, dan Pasuruan, kelompok ini mewakili sinkretisme budaya Jawa yang khas, memadukan unsur legenda heroik, mitologi binatang buas, dan penghormatan terhadap leluhur.
Singo Mudho, yang secara harfiah berarti "Singa Muda", menyiratkan energi baru dan semangat pembaharuan dalam bingkai tradisi yang kokoh. Mereka tidak hanya mewarisi tarian, tetapi juga mewarisi tanggung jawab untuk memastikan bahwa esensi sakral dari setiap gerakan dan irama tidak luntur digerus modernitas. Pemahaman mendalam terhadap Barongan Singo Mudho Purwosari memerlukan penelusuran dari akar historisnya yang kompleks, struktur pentasnya yang berlapis, hingga peran sosialnya yang tak tergantikan dalam siklus kehidupan komunitas.
Untuk memahami sepenuhnya keberadaan Barongan Singo Mudho Purwosari, kita harus menempatkannya dalam konteks geografis dan kultural Purwosari. Wilayah ini, yang strategis, sering menjadi titik pertemuan berbagai aliran seni pertunjukan rakyat. Barongan, dalam konteks Jawa Timur, seringkali merupakan varian dari Reog Ponorogo atau Jathilan (Kuda Lumping) dengan penekanan lokal yang kuat pada figur Singo Barong yang dominan.
Barongan, sebagai sebuah genre, memiliki akar yang sangat tua, ditelusuri kembali ke masa kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Figur singa atau macan melambangkan kekuatan raja, penolak bala, atau bahkan inkarnasi dari dewa penjaga. Berbeda dengan Reog yang fokus pada legenda Raja Kelana Sewandono dan Dewi Songgolangit, Barongan yang berkembang di area Purwosari dan sekitarnya cenderung lebih terfokus pada pertarungan spiritual antara kebaikan dan kebatilan yang direpresentasikan melalui figur mistis dan kerasukan (trance).
Istilah "Singo Mudho" sendiri diperkirakan muncul sebagai upaya revitalisasi pasca masa sulit atau sebagai penanda transisi kepemimpinan dalam kelompok. Kelompok ini membawa semangat pemuda untuk melestarikan ritual sakral yang mungkin sempat memudar. Mereka tidak hanya mewarisi kostum dan musik, tetapi juga mantra dan tata cara ritual yang ketat, menjadikannya bukan sekadar tarian, melainkan sebuah upacara yang dipentaskan.
Menurut kisah lisan yang diturunkan, cikal bakal Singo Mudho Purwosari bermula dari sebuah kelompok Jathilan desa yang kemudian mengadopsi elemen Barong yang lebih besar dan seram, mungkin dipengaruhi oleh interaksi dengan seniman dari Ponorogo atau Kediri. Penambahan nama Purwosari menegaskan identitas teritorial, menunjukkan komitmen kelompok ini sebagai penjaga budaya di daerah tersebut. Mereka menjadi entitas seni yang diundang dalam setiap upacara penting, mulai dari pernikahan, syukuran panen, hingga ritual bersih desa.
Transformasi dari kelompok seni biasa menjadi kelompok yang berpegangan teguh pada pakem ritual membutuhkan dedikasi yang luar biasa. Para sesepuh dan pemimpin kelompok ini dihormati sebagai orang yang memiliki kemampuan spiritual (ndadi) yang kuat. Penekanan pada kekuatan internal dan kesiapan mental penari menjadi ciri khas utama, membedakannya dari pertunjukan Barongan yang hanya mengejar aspek hiburan semata. Mereka percaya bahwa kekuatan Barong hanya akan termanifestasi sempurna jika penarinya memiliki kemurnian hati dan kesiapan raga untuk dikuasai oleh spirit pelindung.
Barongan Singo Mudho Purwosari adalah narasi visual tentang keseimbangan kosmik. Setiap elemen, dari warna kostum hingga pola tabuhan kendang, mengandung makna mendalam yang menghubungkan dunia manusia (Jagat Cilik) dengan alam semesta (Jagat Gedhe).
Figur Singo Barong adalah pusat gravitasi pertunjukan. Ia melambangkan kekuatan yang tak terkalahkan, kemarahan yang suci, dan penjaga batas antara dimensi nyata dan gaib. Topeng Barong di Purwosari, seringkali dibuat dari kayu pilihan yang telah melalui proses ritual, memiliki aura mistis yang kuat. Matanya yang melotot dan surainya yang panjang (yang kini sering menggunakan bulu merak atau ijuk) adalah simbol kewaspadaan dan keagungan.
Filosofi di baliknya adalah tentang 'Dua Kekuatan'. Singo Barong bukan representasi kejahatan mutlak, melainkan kekuatan alam liar yang harus dihormati dan dikendalikan. Ketika Barong ndadi (mengalami kerasukan), ia memanifestasikan energi yang diperlukan untuk membersihkan desa dari roh jahat atau pengaruh negatif. Gerakannya yang berat, mengentak, dan menghentak-hentak tanah merupakan simbol upaya ‘membumikan’ energi buruk, mengembalikannya ke tempat asalnya agar tidak mengganggu kedamaian manusia. Peran Singo Barong adalah memastikan harmoni kembali tercapai setelah adanya kekacauan spiritual.
Penari Jathilan (Kuda Lumping) yang lincah dan berirama adalah antitesis sekaligus pelengkap bagi Barong yang berat dan ganas. Mereka melambangkan manusia biasa, para prajurit yang setia, atau dalam beberapa interpretasi, mereka adalah representasi dari alam manusia yang mudah terpengaruh dan rentan. Kuda lumping, yang terbuat dari anyaman bambu, melambangkan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Gerakan mereka yang dinamis melambangkan energi kehidupan, kerja keras, dan kepatuhan terhadap pemimpin.
Ketika Jathilan mengalami ndadi, mereka menjadi lebih liar, memanifestasikan kekuatan yang berbeda dari Barong. Jika Barong adalah kekuatan yang besar dan mengayomi, Jathilan adalah kecepatan, ketahanan, dan kadang-kadang, kepolosan yang dikuasai oleh semangat keprajuritan. Interaksi antara Jathilan dan Barong dalam pentas adalah pelajaran visual tentang bagaimana kekuatan besar (Barong) melindungi dan mengarahkan energi rakyat (Jathilan) menuju tujuan yang sama, yaitu terciptanya ketertiban sosial dan spiritual.
Warok adalah figur yang melambangkan kebijaksanaan dan pengendalian. Mereka adalah para sesepuh atau penjaga yang memastikan bahwa prosesi ndadi berjalan aman dan terkendali. Dalam filosofi Jawa, Warok sering dikaitkan dengan kekuatan batin dan kemampuan untuk menyeimbangkan energi yang dilepaskan. Mereka adalah jembatan antara dunia spiritual dan dunia penonton.
Sementara itu, Bujang Ganong, dengan topengnya yang berwajah lucu, lincah, dan bermata besar, berfungsi sebagai figur yang membawa keceriaan dan mengendurkan ketegangan. Ia melambangkan sifat manusia yang cerdik, humoris, dan seringkali menjadi representasi dari hasrat duniawi yang harus diakui keberadaannya tetapi tidak boleh mendominasi. Ganong, meskipun jenaka, memiliki peran penting dalam menstabilkan suasana sebelum atau sesudah puncak ketegangan ritual Barong.
Pentas Barongan Singo Mudho Purwosari adalah sebuah drama kolosal yang terbagi menjadi beberapa babak. Transisi antara babak-babak ini sangat dipengaruhi oleh ritme Gamelan, yang berfungsi sebagai narator dan pemandu spiritual.
Pertunjukan selalu diawali dengan Gending pembuka yang berfungsi memanggil roh dan mempersiapkan arena. Salah satu yang sering digunakan adalah Gending Kebo Giro atau sejenisnya, yang memiliki tempo lambat dan mistis. Ini adalah momen sakral di mana para penari melakukan pemanasan mental, sementara Warok atau sesepuh melakukan sesorah (pidato pembukaan), meminta izin kepada bumi dan langit serta memohon perlindungan dari leluhur setempat. Aroma kemenyan dan bunga-bunga mulai menyebar, menandakan dimulainya dimensi ritual.
Babak ini menampilkan penari Jathilan yang bergerak secara koreografis, meniru gerakan prajurit berkuda, berbaris, dan berperang. Fokus utama di sini adalah keindahan gerak, sinkronisasi, dan stamina. Irama musik masih teratur, didominasi oleh Kendang dan Bonang. Penonton diajak larut dalam suasana heroik dan dinamis.
Ini adalah inti dari Barongan Singo Mudho Purwosari. Irama musik berubah menjadi lebih cepat, lebih keras, dan lebih repetitif, memicu kondisi trance. Penari Jathilan mulai menunjukkan gejala kerasukan, menari dengan energi yang tidak wajar, melakukan aksi-aksi ekstrem seperti memakan pecahan kaca atau bara api (di beberapa tradisi yang lebih ekstrem), yang menunjukkan bahwa roh telah masuk ke dalam raga mereka. Bersamaan dengan ini, figur Singo Barong yang besar dan berat memasuki arena.
Gerakan Barong sangat dramatis; ia menghentak, menggerakkan rahangnya, dan menyabetkan surainya. Interaksi antara Barong yang kerasukan dengan Jathilan yang juga kerasukan adalah puncak visual drama, sebuah representasi pertempuran spiritual antara energi positif (yang dipimpin Barong) melawan energi negatif yang menyerang penari. Warok dan Pambaris memainkan peran vital di sini, mengawasi dan menenangkan penari yang terlalu agresif atau membahayakan diri sendiri, menjaga batas antara seni dan bahaya spiritual.
Setelah energi mencapai puncaknya, Warok akan mulai melantunkan doa atau mantra penenang. Irama Gamelan melambat kembali. Prosesi 'pemulihan' atau pengembalian kesadaran (ngluwari) dilakukan dengan hati-hati. Ini memerlukan teknik khusus yang hanya dikuasai oleh pemimpin spiritual kelompok, memastikan bahwa roh yang merasuki raga penari kembali ke tempat asalnya tanpa meninggalkan dampak buruk pada fisik atau mental penari. Babak penutup ini sering kali diakhiri dengan tarian sederhana atau pesan moral kepada penonton.
Gamelan dalam Barongan Singo Mudho Purwosari bukanlah sekadar musik latar; ia adalah roh yang memandu dan menginduksi energi ndadi. Tanpa irama yang tepat, ritual tidak akan berjalan. Penggunaan laras (tangga nada) yang spesifik—seringkali laras Slendro—menciptakan suasana yang cenderung magis dan keras.
Kendang (gendang) adalah instrumen terpenting. Ketukan kendang tidak hanya menjaga tempo, tetapi juga memberikan aba-aba psikologis kepada penari. Dalam konteks Barongan, terdapat beberapa jenis kendang yang bekerja bersamaan:
Permainan kendang yang dilakukan oleh pengrawit (pemain gamelan) yang mahir adalah sebuah seni tersendiri, karena mereka harus peka terhadap energi penari, mampu menyesuaikan kecepatan berdasarkan intensitas kerasukan yang sedang terjadi di arena.
Gong adalah penanda siklus irama yang paling penting. Bunyinya yang dalam, menggetarkan, dan resonan berfungsi sebagai titik koma dalam narasi musikal. Dalam Barongan, pukulan Gong tidak hanya menandakan akhir dari satu pola melodi, tetapi juga berfungsi spiritual sebagai penanda batas antara ruang sakral dan profan.
Terdapat dua jenis Gong utama: Gong Ageng (besar, suara sangat dalam, diletakkan di akhir frasa yang sangat panjang) dan Gong Kempul (lebih kecil, digunakan untuk aksentuasi dan irama yang lebih pendek). Gabungan keduanya menciptakan struktur waktu yang kuat, memberikan jangkar bagi penari yang sedang terombang-ambing oleh energi ndadi.
Bonang dan Kenong (instrumen pukul berbentuk wadah logam) memainkan peran sebagai pembentuk melodi tengah atau melodi inti (balungan). Kenong memberikan aksen ritmik yang tegas dan berjarak, sementara Bonang, dengan jajaran nadanya, mulai menyulam melodi yang lebih kompleks. Di saat-saat pementasan Barongan Singo Mudho Purwosari yang menuntut peningkatan intensitas, Bonang akan dimainkan dengan teknik pipilan (pukulan cepat dan berulang) untuk mempercepat tempo dan meningkatkan ketegangan psikologis.
Instrumen-instrumen bilah logam ini bertanggung jawab atas melodi pokok. Suara Saron yang tajam dan Slenthem yang lembut berpadu untuk menciptakan fondasi nada. Dalam pementasan Barongan, melodi yang dimainkan cenderung bersifat repetitif dan hipnotis. Pengulangan ini sangat penting secara spiritual, karena membantu penari mencapai keadaan kesadaran yang terfokus dan akhirnya, kondisi trance.
"Gamelan bukan hanya suara; ia adalah mantra yang disuarakan melalui logam dan kayu. Setiap tabuhan adalah langkah menuju pembebasan spiritual, sebuah jalan yang menghubungkan penari Singo Mudho dengan para leluhurnya."
Di Purwosari, Barongan Singo Mudho lebih dari sekadar kelompok seni; mereka adalah institusi sosial yang menjaga struktur adat dan menawarkan mata pencaharian bagi puluhan anggotanya.
Kehadiran Singo Mudho Purwosari hampir wajib dalam ritual besar komunitas, terutama Bersih Desa (ritual pembersihan desa tahunan). Dalam konteks ini, pertunjukan Barongan berfungsi sebagai:
Tanpa Barongan yang mampu memimpin ritual ndadi yang otentik, diyakini bahwa ritual desa akan terasa hampa dan perlindungan spiritual desa akan berkurang. Oleh karena itu, posisi Warok dan pemimpin Barongan sangat dihormati dalam struktur sosial Purwosari.
Kelompok Singo Mudho Purwosari menyediakan sumber pendapatan yang vital bagi para penari, pengrawit, perias, dan perajin kostum. Panggilan pentas dari berbagai acara pribadi (pernikahan, khitanan) atau festival daerah memungkinkan roda ekonomi kelompok terus berputar. Pendanaan ini digunakan untuk perbaikan kostum, perawatan Gamelan, dan, yang terpenting, regenerasi.
Regenerasi adalah tantangan terbesar. Kelompok Barongan harus secara aktif mencari dan melatih pemuda-pemudi yang tidak hanya memiliki bakat menari, tetapi juga kesediaan untuk mematuhi disiplin spiritual yang ketat. Keterlibatan pemuda inilah yang membenarkan nama "Singo Mudho"—semangat muda yang menjaga api tradisi agar tidak padam. Mereka belajar membuat properti, memahami Gamelan, dan mempelajari mantra-mantra pengiring, memastikan pengetahuan tidak hanya berhenti pada gerakan fisik.
Kecepatan dan energi gerak penari Jathilan yang merupakan representasi dari prajurit Singo Mudho.
Aspek yang paling membedakan Barongan Singo Mudho Purwosari dari bentuk pertunjukan Barongan lainnya adalah penekanan luar biasa pada ritual pra-pentas dan penanganan energi ndadi.
Bagi penari inti dan Warok, persiapan tidak dimulai di hari pementasan, tetapi jauh sebelumnya. Mereka diwajibkan melakukan puasa, tidak hanya puasa makan dan minum, tetapi juga puasa batin (menahan hawa nafsu dan emosi negatif). Tujuannya adalah mencapai kemurnian raga dan jiwa, sehingga raga mereka layak dijadikan wadah bagi spirit yang akan turun.
Sesajen (persembahan) adalah elemen kunci. Sesajen ini terdiri dari berbagai macam unsur yang melambangkan empat elemen kehidupan dan empat arah mata angin. Di antara isinya adalah:
Sesajen ini diletakkan di tempat khusus (punden) atau di sudut panggung, dan selalu diiringi dengan pembacaan mantra yang dilakukan oleh Warok, memohon izin agar pertunjukan berjalan lancar dan tidak ada penari yang terluka.
Fenomena ndadi (kerasukan) bukanlah sekadar akting. Bagi Singo Mudho Purwosari, ini adalah komunikasi langsung dengan dimensi lain. Kerasukan terbagi dalam beberapa fase:
Keberhasilan sebuah pertunjukan Barongan Singo Mudho Purwosari seringkali diukur dari kualitas ndadi yang dimanifestasikan—seberapa ‘murni’ dan kuat energi yang hadir.
Estetika Barongan Singo Mudho Purwosari sangat ditentukan oleh kontras antara gerakan masif Barong dan kelincahan Jathilan, serta kekayaan detail kostum yang membedakannya dari seni serupa.
Gerakan Singo Barong meniru kekuatan primordial alam. Ini adalah tarian yang mengandalkan kekuatan leher dan bahu untuk mengangkat kepala Barong yang beratnya bisa mencapai puluhan kilogram. Gerakan inti Barong meliputi:
Keindahan gerakan Barong Purwosari terletak pada kemampuannya untuk bergerak secara eksplosif dan mengancam, tetapi tetap dalam koridor irama Gamelan, bahkan saat sedang kerasukan.
Kostum dalam Barongan Singo Mudho Purwosari sangat detail dan memiliki fungsi simbolis:
Kelompok Singo Mudho Purwosari menghadapi dilema klasik yang dihadapi semua seni tradisi sakral: bagaimana menjaga kemurnian ritual sambil tetap relevan dan menarik bagi generasi digital.
Di satu sisi, Barongan seringkali diminta untuk tampil dalam festival modern atau acara pariwisata. Permintaan ini sering menuntut durasi yang lebih singkat, pengurangan elemen ritual yang berat (seperti kerasukan yang memakan waktu lama), dan penghilangan beberapa elemen sesajen demi kenyamanan panggung modern. Komersialisasi ini berisiko mengaburkan batas antara tontonan dan tuntunan spiritual.
Tantangan terbesar yang dihadapi Singo Mudho adalah meyakinkan pemuda bahwa disiplin spiritual (puasa dan pantangan) masih penting, bahkan jika pentasnya hanya berdurasi satu jam. Jika aspek spiritual hilang, Barongan hanyalah tarian topeng biasa, dan Singo Mudho Purwosari berisiko kehilangan keunikannya.
Untuk mengatasi tantangan ini, kelompok Barongan Singo Mudho Purwosari telah mengambil langkah adaptif yang hati-hati:
Konservasi yang berhasil adalah konservasi yang bernapas, yang memungkinkan tradisi untuk tumbuh tanpa kehilangan identitasnya. Singo Mudho Purwosari terus berjuang untuk menemukan titik temu antara warisan nenek moyang dan kebutuhan penonton kontemporer.
Aspek yang seringkali disalahpahami oleh penonton luar adalah manifestasi kekerasan, baik dalam bentuk gerakan Singo Barong yang ganas maupun aksi ekstrem Jathilan saat ndadi. Dalam konteks Barongan Singo Mudho Purwosari, kekerasan ini adalah simulasi, representasi energi yang harus dikendalikan.
Pertunjukan Barongan berfungsi sebagai katarsis komunal. Dalam masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi kesopanan dan pengekangan emosi (unggah-ungguh), Barongan memberikan ruang legal dan ritualistik bagi pelepasan emosi yang terpendam. Energi ndadi yang tampak liar adalah pelepasan kolektif dari ketakutan, amarah, dan trauma yang tidak dapat diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.
Figur Singo Barong yang mengamuk adalah cerminan dari kekacauan di luar batas desa atau di dalam jiwa. Dengan menyaksikannya, komunitas ‘memproses’ kekacauan tersebut. Kekerasan yang terjadi di panggung adalah kekerasan yang sudah dikontrol dan dibingkai secara ritual, berbeda dari kekerasan nyata.
Tanpa Warok, pentas Barongan bisa menjadi bencana. Warok adalah simbol pengendalian diri yang paling tinggi. Mereka harus memiliki kematangan spiritual untuk menahan agresi Barong dan menenangkan Jathilan yang sedang beraksi memakan beling atau bara api. Kemampuan Warok untuk menguasai mantra, ditambah dengan kekuatan spiritualnya, menjamin bahwa meskipun penari kehilangan kesadaran diri, mereka tidak akan pernah melampaui batas yang telah ditetapkan oleh ritual.
Proses ngluwari (mengeluarkan roh) adalah contoh pengendalian diri yang paling ekstrem. Warok harus menghadapi energi besar yang menolak keluar, meyakinkannya melalui dialog spiritual, dan memastikan bahwa penari kembali utuh. Ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukanlah pada manifestasi keganasan, tetapi pada kemampuan untuk mengendalikan energi tersebut secara bijaksana.
Setiap properti dalam Barongan Singo Mudho Purwosari, terutama topeng Barong dan kuda lumping, tidak dianggap sebagai benda mati, melainkan sebagai wadah yang memiliki daya hidup (yoni) dan harus dirawat secara spiritual.
Topeng Singo Barong adalah benda paling sakral. Topeng ini tidak boleh diletakkan sembarangan. Ia memiliki tempat penyimpanan khusus, seringkali diletakkan di atas altar kecil yang dilengkapi dengan sesajen harian. Perawatan topeng dilakukan secara berkala, melibatkan ritual pencucian dengan air bunga (jamasan) pada waktu-waktu tertentu, misalnya, pada malam 1 Suro (Tahun Baru Islam/Jawa).
Keyakinan ini menghasilkan kualitas material yang abadi. Kayu yang digunakan diyakini menyerap energi dari pementasan ke pementasan. Semakin tua topeng, semakin kuat auranya. Anggota Singo Mudho Purwosari memperlakukan topeng ini layaknya anggota keluarga yang dihormati, sebuah praktik yang menjamin kelestarian properti artistik selama bergenerasi.
Kuda lumping, meskipun terbuat dari bambu anyaman, juga melalui prosesi ritual. Penari Jathilan seringkali memiliki ‘kuda’ pribadinya sendiri yang telah diikat secara spiritual melalui mantra. Sebelum pentas, penari akan melakukan meditasi singkat dengan kudanya. Ikatan ini diperlukan agar ketika ndadi terjadi, roh yang masuk dapat menggerakkan kuda tersebut seolah-olah ia adalah kuda sungguhan.
Kuda lumping dalam Barongan Purwosari bukanlah sekadar aksesori; ia adalah bagian dari tubuh spiritual penari. Kerusakan pada kuda, misalnya, robek atau patah, seringkali ditafsirkan sebagai pertanda spiritual yang harus segera ditanggapi dengan ritual penyembuhan.
Dalam Barongan Singo Mudho Purwosari, ada pemaknaan mendalam mengenai struktur melodi yang dipilih. Melodi yang digunakan bukanlah melodi pop, melainkan gending-gending kuno yang memiliki resonansi sejarah dan spiritual.
Mayoritas musik Barongan menggunakan Laras Slendro, yang memiliki lima nada dan dikenal memiliki karakter yang ceria namun juga magis dan primitif. Laras ini dipercaya lebih efektif dalam menginduksi trance dibandingkan Laras Pelog yang cenderung lebih tenang dan halus. Repetisi ritmis dari Saron, dipadukan dengan aksen tajam dari Bonang, menciptakan efek gelombang suara yang secara perlahan menurunkan frekuensi gelombang otak penari menuju kondisi semi-meditatif.
Berbeda dengan pertunjukan tari yang terikat naskah musik ketat, pengrawit Singo Mudho harus bekerja secara simbiotik dengan penari yang sedang kerasukan. Ketika Barong bergerak sangat liar, pengrawit harus secara spontan menginterpretasikan gerakan itu dan membalasnya dengan irama yang lebih keras dan cepat. Mereka adalah komentator yang tidak berbicara. Jika Barong berhenti mendadak, Gamelan harus mampu menyesuaikan diri dengan keheningan yang penuh makna. Kesatuan yang cair ini hanya bisa dicapai melalui latihan bertahun-tahun dan pemahaman spiritual yang sama antar anggota.
"Musik Gamelan Barongan Singo Mudho adalah jembatan yang terbuat dari bunyi. Jembatan ini harus cukup kuat untuk menampung roh-roh yang melintas dari alam gaib menuju panggung pentas, sekaligus cukup indah untuk disaksikan mata manusia."
Kelangsungan hidup Singo Mudho bergantung pada dedikasi generasi penerus. Meskipun tantangan modernitas besar, komunitas Purwosari bertekad memastikan bahwa tradisi ini terus bergema.
Pewarisan dalam Barongan Purwosari tidak hanya melibatkan koreografi, tetapi juga ngaweruhi (pemahaman ilmu spiritual). Calon Warok tidak hanya dipilih berdasarkan kemampuannya menari atau memimpin, tetapi berdasarkan kemurnian hati, kesabaran, dan bakat spiritual alaminya. Proses pewarisan ini memakan waktu bertahun-tahun dan seringkali bersifat tertutup, hanya diajarkan dari guru ke murid terpilih, demi menjaga keotentikan mantra dan teknik ngluwari yang sakral.
Dukungan dari pemerintah daerah dan komunitas lokal Purwosari sangat krusial. Pengakuan Barongan Singo Mudho sebagai warisan budaya tak benda lokal memberikan perlindungan hukum dan alokasi dana untuk pemeliharaan properti dan pelatihan. Selain itu, inisiatif desa untuk menjadikan pentas Barongan sebagai ikon budaya Purwosari dalam acara-acara regional memastikan kelompok ini terus mendapat panggung dan apresiasi publik.
Pada akhirnya, Barongan Singo Mudho Purwosari adalah penanda identitas yang kuat bagi masyarakatnya. Ia adalah cerminan dari kekuatan yang mereka yakini, sejarah yang mereka junjung, dan harapan untuk masa depan mereka. Setiap dentuman Kendang dan setiap sabetan surai Barong adalah pengingat bahwa warisan Jawa Timur—yang kaya akan magi dan filosofi—terus hidup dan berkembang di tengah derasnya arus zaman. Semangat "Singo Mudho" akan terus mengaum, menjaga batas-batas spiritual komunitas Purwosari agar tetap aman, makmur, dan berbudaya.
Tradisi ini, yang menggabungkan elemen hiburan rakyat dengan ritual yang ketat, menuntut penghormatan yang mendalam. Mereka yang menyaksikannya tidak hanya melihat sebuah pertunjukan, melainkan sebuah manifestasi dari kekuatan leluhur yang bekerja melalui raga manusia, sebuah warisan hidup dari kebudayaan Jawa Timur yang tak lekang oleh waktu. Keberanian, kesabaran, dan ketaatan ritual adalah kunci dari keabadian Barongan Singo Mudho Purwosari.
Pembuatan dan pengecatan topeng Singo Barong di Purwosari melibatkan teknik tradisional yang memakan waktu lama. Cat yang digunakan dulunya berasal dari bahan alami (misalnya, hitam dari jelaga, merah dari tanah liat khusus), tetapi kini banyak menggunakan cat minyak yang lebih tahan lama. Namun, ada aturan ketat mengenai palet warna: Merah (keberanian, nafsu, energi), Hitam (kekuatan gaib, kemisteriusan, bumi), dan Emas (kemuliaan, kekayaan spiritual, surga). Penggunaan warna harus seimbang, karena ketidakseimbangan warna diyakini dapat mengganggu aura spiritual topeng. Proses melukis mata, misalnya, adalah momen yang penuh kehati-hatian, karena mata adalah portal masuknya spirit.
Kuda lumping (jathilan) dibuat dari anyaman bambu (gedek) atau kulit sapi tipis yang dibentuk menyerupai kuda. Kualitas anyaman harus lentur dan ringan, memungkinkan penari untuk bergerak cepat dan dinamis tanpa terbebani. Bagian kepala kuda sering dihiasi dengan mahkota (janggelan) dari kulit atau kertas emas. Para perajin Singo Mudho Purwosari memastikan bahwa titik keseimbangan kuda lumping tepat berada di punggung, memudahkan penari memegang tanpa mengganggu gerakan kaki yang mengentak. Bambu yang digunakan pun sering dipilih dengan ritual khusus, menjamin properti tersebut memiliki aura yang baik untuk tarian sakral.
Purwosari, yang sering berada di dekat pegunungan atau memiliki sumber air yang penting, mengintegrasikan elemen alam ini dalam ritual Barongan. Dipercaya bahwa roh yang merasuki Singo Barong atau Jathilan berasal dari roh penjaga gunung atau roh air. Sebelum pentas, sering dilakukan ritual membersihkan diri di sumber air terdekat (kali atau sendang) sebagai bentuk penghormatan dan penyucian diri. Keterkaitan ini memperkuat peran Barongan sebagai seni ekologis yang menghormati lingkungan lokal.
Setiap desa memiliki danyang atau roh penjaga. Barongan Singo Mudho Purwosari, ketika tampil, harus terlebih dahulu meminta izin kepada danyang desa tuan rumah. Ritual ini menjamin bahwa kerasukan yang terjadi adalah kerasukan yang disetujui, bukan kerasukan liar yang dapat membahayakan. Warok harus mahir dalam membedakan antara ndadi yang positif (dari roh pelindung) dan ndadi yang negatif (dari roh pengganggu). Kemampuan ini menjadikan Barongan Singo Mudho bukan sekadar seni, tetapi pelayanan spiritual antar-komunitas.
Gerak kaki Jathilan adalah fondasi dari tarian ini. Meskipun saat ndadi gerakannya menjadi tidak teratur, pada dasarnya Jathilan menggunakan pola langkah dasar yang disebut "tapak kuda" atau "jeglong". Ini adalah gerakan menghentak tumit ke tanah secara ritmis, meniru suara derap kuda. Kecepatan jeglong harus sinkron sempurna dengan ketukan Kendang Sabet, menciptakan resonansi getaran dari tanah ke seluruh tubuh penari. Latihan intensif diperlukan untuk memastikan penari dapat mempertahankan kecepatan dan kekuatan entakan ini selama durasi pementasan yang panjang.
Meskipun sering dianggap sebagai selingan humor, tarian Bujang Ganong (Kelana Sewandono) memiliki standar teknis yang tinggi. Ganong harus lincah, mampu melakukan gerakan akrobatik seperti melompat, berguling, atau bahkan melakukan salto. Ekspresi wajah topeng Ganong yang mencolok—mata besar, hidung mancung, senyum lebar—menuntut penari untuk memiliki energi yang selalu tinggi. Gerakan Ganong adalah kontra-gerak yang sangat diperlukan untuk menyeimbangkan aura mistis dan berat dari Barong, memastikan penonton tidak terlalu tertekan oleh aspek sakral pertunjukan.
Mantra yang digunakan oleh Warok dan pemimpin Singo Mudho Purwosari seringkali menggunakan campuran bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan Jawa halus (Krama Inggil). Bahasa ini tidak mudah dipahami oleh masyarakat umum, menambah aura misteri dan kesakralan. Fungsi mantra ini beragam: memanggil spirit, melindungi penari, menenangkan roh, dan mengucapkan terima kasih. Pengucapan mantra harus jelas, rendah, dan penuh keyakinan. Kesalahan dalam pengucapan mantra dipercaya dapat mengundang konsekuensi spiritual yang serius.
Selain mantra, Warok juga menggunakan aba-aba vokal yang keras dan tegas (sering disebut suwuk) untuk mengarahkan penari saat ndadi. Suara Warok adalah komando mutlak yang harus dipatuhi oleh spirit yang merasuki. Dalam situasi ekstrem di mana penari Jathilan mulai membahayakan diri sendiri, suara Warok akan menjadi satu-satunya yang mampu menembus kondisi trance, menarik roh keluar dari raga penari, menunjukkan otoritas spiritual yang tak terbantahkan dari pemimpin kelompok Barongan Singo Mudho Purwosari.
Barongan Singo Mudho Purwosari bukan hanya melestarikan seni, tetapi juga melestarikan peradaban. Ia adalah ensiklopedia bergerak yang mengajarkan sejarah, filosofi, dan moralitas kepada generasi muda. Melalui kisah Singo Barong yang ganas namun adil, penonton diajarkan tentang keseimbangan antara agresi dan kebijaksanaan, antara insting dan kontrol. Kelompok ini adalah duta budaya Purwosari, membawa esensi spiritual Jawa Timur yang autentik ke panggung nasional dan internasional, membuktikan bahwa tradisi dapat menjadi energi tak terbatas bagi masa depan.
Di balik gemerlap kostum dan gemuruh Gamelan, terdapat refleksi mendalam tentang kehilangan dan regenerasi. Singo Mudho (Singa Muda) harus berhadapan dengan hilangnya para sesepuh yang membawa ilmu murni. Setiap kali seorang Warok sepuh meninggal, kelompok menghadapi tantangan besar untuk mengisi kekosongan spiritual dan pengetahuan. Proses pewarisan ini adalah perjuangan keras melawan waktu, memastikan bahwa rantai pengetahuan tidak terputus. Keberadaan Barongan Singo Mudho Purwosari adalah bukti nyata ketahanan budaya Jawa Timur untuk selalu menemukan cara untuk hidup kembali, sekuat auman singa muda yang baru lahir.
Akhirnya, pentas Barongan Singo Mudho Purwosari adalah undangan untuk merenung. Untuk melihat bahwa di balik hiburan, ada nilai-nilai luhur yang dijaga dengan ketat, sebuah komitmen spiritual yang diperbarui dalam setiap pentas. Seni ini adalah warisan paling berharga dari Purwosari, sebuah simfoni spiritual yang akan terus dimainkan selama komunitasnya masih bernapas dan Gamelan masih bertalu-talu.