BARONGAN SATRIO JOYO: JATI DIRI, MISTIK, DAN PENJAGA WAJAH KEBUDAYAAN JAWA TIMUR
Barongan Satrio Joyo bukanlah sekadar pertunjukan seni tari biasa, melainkan sebuah manifestasi kompleks dari spiritualitas, sejarah, dan filosofi hidup masyarakat Jawa, khususnya yang berakar di wilayah timur Pulau Jawa. Kesenian ini, yang memiliki kedekatan erat dengan tradisi Reog, memancarkan aura magis yang kuat, menghubungkan dunia nyata dengan dimensi spiritual para leluhur dan penjaga tanah. Dalam setiap gerak, setiap tabuhan gamelan, dan setiap hembusan napas penarinya, terkandung kisah heroik, ajaran moral, serta upaya pelestarian jati diri bangsa yang tak tergerus oleh zaman.
I. Hakekat dan Filosofi Satrio Joyo
Nama Satrio Joyo sendiri mengandung makna yang mendalam. Kata "Satrio" merujuk pada ksatria, pahlawan, atau seorang bangsawan yang memegang teguh kehormatan dan kebenaran. "Joyo" atau Jaya, berarti kemenangan, kejayaan, atau kemuliaan. Dengan demikian, Barongan Satrio Joyo diartikan sebagai representasi spiritual dari 'Ksatria Pemenang'—sosok ideal yang selalu berhasil dalam menegakkan keadilan dan menghadapi segala marabahaya, baik yang bersifat fisik maupun gaib.
Kesenian ini sering kali diyakini sebagai penjelmaan roh pelindung desa atau wilayah, yang bertugas menyeimbangkan energi kosmis. Filosofi utama yang diangkat adalah dualisme alam semesta; pertarungan abadi antara kebaikan (diwakili oleh Satrio atau penari Jathil) dan kekuatan liar yang harus dijinakkan (diwakili oleh sosok Barong atau Singo Barong yang buas). Pertunjukan ini berfungsi sebagai ritual pembersihan spiritual (ruwatan) sekaligus sebagai medium komunikasi dengan dimensi non-fisik.
Simbolisme Warna dan Komponen
Setiap elemen dalam pertunjukan Satrio Joyo memiliki makna simbolis yang kaya. Penggunaan warna merah pada topeng Barong melambangkan keberanian, nafsu, dan energi primal yang belum terarah. Sementara itu, warna putih pada kain atau aksesori tertentu melambangkan kesucian dan spiritualitas. Mahkota atau hiasan kepala yang dikenakan sering kali meniru bentuk tumbuhan atau hewan mitologis, menandakan kekuatan alam yang dipinjam oleh sang ksatria.
Bulu-bulu merak atau ijuk yang digunakan pada Singo Barong, khususnya pada varian Reog yang dominan di Jawa Timur, melambangkan keindahan dan kemuliaan yang muncul dari kekejaman yang terkendali. Tarian ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada keganasan semata, tetapi pada kemampuan untuk mengendalikan keganasan tersebut demi tujuan yang luhur dan mulia. Ini adalah refleksi dari konsep Jawa tentang *Tapa Nglongso*, menahan diri dari hawa nafsu duniawi untuk mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi.
Gambaran Artistik Wajah Barongan Satrio Joyo, melambangkan kekuatan mistik dan kepahlawanan.
II. Jejak Historis dan Asal-Usul Satrio Joyo
Mengurai sejarah Barongan Satrio Joyo seringkali melibatkan penelusuran kembali ke era kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur, seperti Kediri dan Majapahit. Meskipun detail spesifik mengenai Barongan Satrio Joyo sebagai entitas tunggal mungkin bervariasi antar daerah—karena kesenian Barongan sangat terikat pada narasi lokal—akar kesenian ini umumnya dihubungkan dengan kebutuhan masyarakat untuk mendokumentasikan atau merayakan peristiwa penting, serta sebagai media penyebaran nilai-nilai spiritual.
Interpretasi dari Legenda Lokal
Salah satu versi legenda yang melatarbelakangi Barongan Satrio Joyo menceritakan tentang seorang pahlawan lokal (Satrio) yang berjuang melawan makhluk buas atau kekuatan kegelapan yang mengganggu ketentraman desa. Ksatria tersebut, melalui laku tirakat dan kesaktiannya, berhasil menaklukkan makhluk tersebut—yang kemudian menjelma menjadi wujud Barong. Kesenian ini kemudian diciptakan untuk mengenang kemenangan tersebut (Joyo), sekaligus sebagai pengingat bahwa kebaikan akan selalu menundukkan kebuasan.
Di wilayah tertentu, kisah ini dihubungkan dengan pertarungan memperebutkan putri raja atau perebutan wilayah kekuasaan, di mana Barong mewakili musuh yang kuat dan Satrio adalah pewaris tahta yang sah. Aspek historis ini memberikan legitimasi budaya yang kuat, menjadikan pertunjukan bukan hanya hiburan, tetapi pelajaran sejarah yang diwariskan secara lisan dan gerak.
Peran dalam Konteks Kerajaan
Pada masa lampau, kesenian sejenis Barongan berfungsi sebagai pertunjukan resmi di lingkungan keraton atau sebagai penyambut tamu agung. Fungsinya beralih menjadi ritual tolak bala atau meminta kesuburan tanah. Seiring waktu dan masuknya pengaruh Islam, narasi-narasi Barongan mengalami akulturasi, mempertahankan esensi mistiknya sambil menyesuaikan diri dengan nilai-nilai etika yang baru. Namun, karakter dasar ‘Ksatria Penakluk’ dalam Satrio Joyo tetap dipertahankan sebagai inti pertunjukan.
Kesenian Barongan Satrio Joyo seringkali menjadi identitas kultural yang membedakan satu komunitas dengan komunitas lainnya. Perbedaan pada detail hiasan, jenis gamelan pengiring, dan bahkan tata cara pelaksanaan ritual sebelum pementasan, menjadi penanda kekhasan daerah asal. Pewarisan dilakukan dari generasi ke generasi, seringkali dalam lingkup keluarga atau padepokan seni, menjamin kemurnian laku dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
III. Anatomi Pertunjukan: Karakter dan Gerak
Struktur pertunjukan Barongan Satrio Joyo sangat terorganisir, terdiri dari serangkaian adegan yang secara naratif menggambarkan perjalanan ksatria. Karakter-karakter yang tampil tidak hanya berfungsi sebagai pengisi panggung, tetapi sebagai penjelmaan konsep spiritual tertentu.
Karakter Utama dalam Satrio Joyo
1. Singo Barong (atau Dadak Merak)
Ini adalah figur sentral yang paling mencolok, mewakili kekuatan liar, raksasa, atau singa mistis. Diperankan oleh dua orang penari (untuk varian yang besar dan berat), Singo Barong memegang peranan antagonis yang menantang tatanan. Gerakannya keras, spontan, dan seringkali menunjukkan ‘kerasukan’ (trance), yang menandakan masuknya roh penjaga ke dalam tubuh penari. Beratnya topeng (yang kadang mencapai puluhan kilogram) dan mekanisme penggeraknya menuntut kekuatan fisik dan mental luar biasa dari para pelaku.
2. Penari Jathil (Kuda Lumping)
Para Jathil adalah penari berkuda-kudaan yang elegan dan lincah, mewakili pasukan Satrio Joyo. Mereka adalah simbol kesatria muda yang gagah berani, membawa semangat perjuangan dan kesetiaan. Gerakan Jathil sangat dinamis, seringkali menggabungkan unsur tari perang dan tari penghormatan. Jumlah Jathil bisa mencapai belasan, dan mereka bertugas menyeimbangkan energi panggung yang dibawa oleh kegarangan Barong.
Gerak Jathil menunjukkan disiplin dan kesiapan Satrio dalam menghadapi ancaman Barong.
3. Bujang Ganong (Patih atau Prajurit Lucu)
Sosok yang seringkali mengenakan topeng berwajah kera atau raksasa kecil dengan mata melotot, Bujang Ganong berperan sebagai patih yang setia, jenaka, namun cekatan. Ia berfungsi sebagai pemecah ketegangan dan penghubung antara penonton dan pertunjukan. Gerakannya akrobatik dan lincah, melambangkan kecerdikan dan keahlian bela diri.
4. Warok (Spiritual Guard)
Meskipun tidak selalu menari, Warok adalah sosok krusial, berfungsi sebagai pengatur spiritual pertunjukan. Warok, yang digambarkan sebagai pria berwibawa dengan pakaian khas, adalah penjaga laku ritual dan memastikan bahwa energi yang muncul di panggung tetap terkendali. Mereka adalah pemegang kunci spiritualitas Satrio Joyo.
Ragam Gerak dan Maknanya
Setiap adegan memiliki ragam gerak yang spesifik. Gerakan Barong (disebut *Obah Singo*) berfokus pada kekuatan dan dominasi, menggunakan hentakan kaki dan ayunan kepala yang dramatis. Sebaliknya, gerakan Jathil (*Tari Keprakan*) lebih ritmis dan berulang, menekankan formasi militer dan keindahan. Klimaks pertunjukan seringkali melibatkan adegan ‘tempur’ atau ‘sindir’ antara Barong dan Jathil, yang memuncak pada adegan trance (kesurupan), di mana penari menunjukkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam, sebagai bukti manifestasi kekuatan gaib Satrio Joyo.
IV. Laku Tirakat dan Persiapan Sakral
Untuk mencapai tingkat manifestasi spiritual yang diperlukan, persiapan Barongan Satrio Joyo jauh melampaui latihan fisik. Ada serangkaian ritual dan laku tirakat yang harus dijalani oleh seluruh anggota kelompok, terutama mereka yang akan berperan sebagai Barong dan Jathil.
Penyucian Diri (Laku Prihatin)
Sebelum pementasan besar, para penari utama diwajibkan melakukan puasa (mutih atau ngebleng), menghindari larangan tertentu (pantangan), dan menjalankan meditasi atau semadi (semedi) di tempat-tempat yang dianggap sakral. Laku prihatin ini bertujuan membersihkan jiwa dan raga, sehingga tubuh mereka layak menjadi wadah bagi roh-roh penjaga yang akan menyertai pertunjukan. Keberhasilan pertunjukan sangat bergantung pada kesucian batin para pelakunya.
Sesaji dan Doa Penjaga
Setiap kelompok Satrio Joyo memiliki Pusaka (benda pusaka) dan perangkat Barong yang dianggap keramat. Sebelum pertunjukan, dilakukan upacara sesaji (persembahan) yang terdiri dari bunga tujuh rupa, kemenyan, kopi pahit, dan makanan tradisional. Sesaji ini ditujukan kepada Danyang (roh penjaga desa) dan arwah leluhur yang diyakini menjaga kesenian tersebut. Doa dan mantra (donga) dibacakan oleh Pawang atau pemimpin spiritual kelompok untuk meminta izin, keselamatan, dan ‘wahyu’ (restu ilahi) agar pertunjukan berjalan lancar dan penuh berkah.
Tingkat mistisisme dalam Satrio Joyo inilah yang membedakannya dari seni tari kontemporer. Gerakan yang dilakukan saat trance bukanlah akting, melainkan manifestasi dari energi tak kasat mata yang terakumulasi melalui proses tirakat yang panjang. Penari yang ‘ketempelan’ (dirasuki) dipercaya tidak merasakan sakit, bahkan saat melakukan aksi ekstrem, karena yang bekerja adalah kekuatan spiritual.
V. Analisis Mendalam Kostum dan Atribut Kesenian
Keindahan Barongan Satrio Joyo tidak hanya terletak pada geraknya, tetapi juga pada detail artistik kostum yang dikenakan, yang semuanya dipersiapkan dengan penuh ketelitian ritualistik. Setiap komponen adalah simbol dari derajat spiritual dan peran karakter.
A. Topeng Barong (Mahkota Raja Hutan)
Topeng Barong, terutama dalam versi Singo Barong, dibuat dari kayu khusus, seringkali Kayu Pule atau sejenisnya, yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Proses pembuatan topeng ini melibatkan ritual pemotongan kayu pada hari dan jam tertentu yang dianggap baik. Warna topeng didominasi merah tua dan hitam, melambangkan kebuasan yang terkendali oleh hikmah. Bagian yang paling khas adalah hiasan mahkota (Kembang Merak) yang terbuat dari bulu merak asli, mencerminkan kemegahan dan keagungan. Bulu merak dipilih karena melambangkan seribu mata, atau kewaspadaan yang menyeluruh.
Gigi dan taring yang tajam dibuat dari tulang atau kayu, menegaskan sifat buasnya. Di bagian belakang kepala Barong terdapat kain panjang (Udeng) yang dihiasi manik-manik atau kain emas, berfungsi sebagai penyeimbang beban sekaligus sebagai jalur masuknya energi bagi penari. Detail pahatan pada dahi Barong seringkali menyertakan simbol-simbol Jawa kuno yang berfungsi sebagai penolak bala (tolak sengkala).
B. Kostum Jathil dan Aksesori
Kostum Jathil menampilkan kontras total dengan Barong. Mereka mengenakan pakaian layaknya prajurit atau ksatria yang rapi dan elegan. Dominasi warna cerah seperti hijau, kuning, atau putih emas sering digunakan, melambangkan kemurnian niat dan semangat muda. Atribut utama adalah Kuda Kepang (kuda tiruan dari bambu atau kulit) yang dipegang di pinggang. Kuda ini bukan hanya properti, tetapi simbol kendaraan spiritual yang membawa sang Satrio menuju kemenangan.
Pakaian Jathil terdiri dari:
- Udeng/Ikat Kepala: Kain batik atau lurik yang diikat secara khas, menunjukkan kelas ksatria.
- Baju Warok: Pakaian berwarna gelap dengan hiasan kancing kuningan, menunjukkan ketangguhan.
- Stagen dan Sabuk: Kain panjang yang dililitkan di perut untuk menopang tenaga inti (Cakra), penting untuk menahan gerakan yang berat dan potensi trance.
- Celana Panji: Celana longgar yang memungkinkan mobilitas tinggi.
Setiap penari Jathil harus memiliki stamina tinggi, karena mereka harus menari dalam formasi yang ketat sambil membawa properti kuda, yang secara psikologis menyiapkan mereka untuk menahan godaan dan rasa lelah, sejalan dengan prinsip topo brata.
VI. Gamelan Pengiring: Kekuatan Ritme Satrio Joyo
Jantung pertunjukan Barongan Satrio Joyo adalah Gamelan, seperangkat alat musik tradisional yang bukan hanya menghasilkan melodi, tetapi juga menciptakan atmosfer spiritual yang mendukung terjadinya transendensi. Musik Gamelan dalam konteks ini berfungsi sebagai pemanggil roh, pengatur energi, dan penentu tempo dramatik.
Instrumen Utama
Gamelan Barongan umumnya menggunakan laras Slendro, yang memiliki nuansa lebih magis dan heroik dibandingkan Pelog. Instrumen kunci meliputi:
- Kendang (Drum): Pengatur tempo dan dinamika, menjadi komunikasi langsung antara pengrawit (pemain gamelan) dan penari. Ritme Kendang saat adegan Barong berbeda total dengan ritme saat Jathil tampil.
- Gong: Penanda akhir frase musik, memberikan rasa keagungan dan formalitas. Bunyi Gong sering dianggap sebagai suara yang membersihkan energi negatif.
- Saron dan Demung: Instrumen balungan (kerangka melodi) yang menentukan nada dasar.
- Terompet Reog (Sarone): Alat tiup yang memberikan melodi utama yang khas, seringkali nyaring dan melengking, menambah nuansa heroik dan liar pada Barongan.
Ritme dan Fungsi Spiritual
Ritme yang dimainkan saat Barong mulai bergerak biasanya disebut *Srepegan*—cepat, berulang, dan memicu adrenalin, mendorong penari ke ambang batas kesadaran. Ketika penari Jathil tampil, tempo melambat sedikit, menjadi lebih teratur seperti *Lancaran*, menggambarkan disiplin ksatria. Ketika adegan trance dimulai, ritme menjadi sangat intens dan repetitif, berfungsi sebagai mantra akustik untuk memanggil roh penjaga (dayang) agar masuk ke dalam tubuh penari. Musik ini, oleh karena itu, adalah esensi dari ritual, bukan sekadar pelengkap.
Kendang memegang peranan vital sebagai pemandu spiritual dan penentu dinamika panggung.
VII. Pewarisan Budaya dan Dinamika Kontemporer
Di tengah derasnya arus globalisasi, Barongan Satrio Joyo menghadapi tantangan ganda: mempertahankan kemurnian spiritualnya sambil menjamin relevansinya bagi generasi muda. Proses transmisi pengetahuan kesenian ini sangat unik, karena melibatkan transfer keterampilan fisik sekaligus transfer laku spiritual.
Transmisi dari Warok ke Generasi Muda
Pewarisan ilmu Barongan tidak dilakukan melalui kurikulum formal, melainkan melalui proses magang spiritual yang ketat. Calon penari harus tinggal bersama Warok atau sesepuh kelompok, mempelajari gerakan, musik, dan yang terpenting, tata cara laku prihatin. Mereka diajarkan tentang etika panggung, tata krama kepada pusaka, dan cara menghormati energi yang datang saat pertunjukan.
Tekanan terbesar bagi generasi muda adalah bahwa mereka dituntut tidak hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai spiritualis. Mereka harus mampu menyeimbangkan kehidupan modern dengan tuntutan ritual yang sakral, sebuah tugas yang kian sulit di era serba cepat ini. Jika ritual laku tirakat diabaikan, masyarakat percaya bahwa pertunjukan akan kehilangan ‘isi’ (kekuatan magisnya) dan hanya menjadi tontonan kosong.
Barongan Satrio Joyo di Ranah Publik
Dalam perkembangannya, Satrio Joyo telah melampaui batas desa dan kini sering diundang dalam festival budaya, perayaan hari besar nasional, hingga pementasan di luar negeri. Eksposur ini membawa manfaat ekonomi bagi kelompok seni, tetapi juga menimbulkan perdebatan tentang komersialisasi. Apakah pertunjukan yang diadakan semata-mata untuk tujuan hiburan atau uang masih mempertahankan nilai sakralnya?
Untuk menjaga keseimbangan, banyak kelompok Satrio Joyo kini membedakan antara pementasan ritual (yang ketat dan sakral) dan pementasan adaptif (yang lebih fleksibel dan ditujukan untuk audiens luas). Adaptasi ini sering melibatkan pengurangan durasi adegan trance yang ekstrem, dan penambahan unsur komedi atau drama agar lebih mudah dicerna oleh penonton yang belum terbiasa dengan nuansa mistis Jawa.
VIII. Dimensi Psikologis dan Ekonomi Budaya
Kesenian Barongan Satrio Joyo juga memiliki fungsi penting dalam aspek psikologis komunitas dan ekonomi kreatif lokal. Lebih dari sekadar pelestarian, ini adalah mekanisme masyarakat untuk mempertahankan identitas kolektif dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Terapi Komunal Melalui Trance
Fenomena trance (kesurupan) dalam Barongan, meskipun sering dipandang sebagai daya tarik mistis, juga berfungsi sebagai katarsis komunal. Dalam pandangan antropologis, kondisi trance memungkinkan penari (dan terkadang penonton) untuk melepaskan tekanan psikologis atau energi negatif yang terpendam. Ini adalah ruang aman di mana batas-batas rasionalitas dilonggarkan, memungkinkan pembersihan emosional yang intens. Setelah pertunjukan, masyarakat merasa lega dan harmoni sosial kembali terbangun, karena ‘penyakit’ atau ‘sengkala’ yang ada di komunitas telah ‘diserap’ oleh para penari yang kerasukan.
Bagi penari Barong sendiri, kemampuan untuk masuk dan keluar dari kondisi trance adalah demonstrasi pengendalian diri yang ekstrem, melambangkan kemenangan Satrio Joyo atas hawa nafsunya sendiri. Latihan spiritual ini membentuk karakter yang kuat, disiplin, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.
Ekonomi Budaya dan Industri Kreatif
Barongan Satrio Joyo menjadi salah satu motor penggerak ekonomi kreatif di wilayah Jawa Timur. Produksi kostum, topeng, kuda kepang, dan instrumen gamelan melibatkan perajin lokal yang keahliannya diwariskan turun-temurun. Satu set Barongan lengkap, dengan hiasan merak dan perlengkapan Jathil yang detail, bernilai tinggi. Industri pariwisata yang didorong oleh kesenian ini juga menciptakan peluang bagi usaha mikro dan kecil (UMKM) seperti penyedia makanan, transportasi, dan suvenir.
Dengan demikian, pelestarian Satrio Joyo bukan hanya masalah budaya, tetapi juga investasi sosial dan ekonomi. Kesenian ini menyediakan identitas budaya yang kuat yang dapat ‘dijual’ tanpa harus mengorbankan nilai-nilai inti, asalkan pengelolaannya dilakukan dengan penuh kesadaran spiritual dan etika.
IX. Kontemplasi: Pesan Abadi Satrio Joyo
Setelah menelusuri lapisan demi lapisan, mulai dari sejarah, ritual, hingga aspek psikologis, jelas bahwa Barongan Satrio Joyo adalah cerminan utuh dari kawaskitan (kebijaksanaan) masyarakat Jawa. Pesan inti yang dibawanya adalah tentang pentingnya penguasaan diri dan pencarian jati diri yang sejati.
Perjuangan Internal Sang Satrio
Barong sering diinterpretasikan sebagai representasi dari Nafsu Amarah—kekuatan destruktif yang ada dalam diri setiap manusia. Satrio Joyo, sang ksatria, bukanlah yang membunuh Barong, melainkan yang menaklukkan dan mengendalikan energi buas tersebut. Ini adalah metafora bagi perjuangan spiritual dalam ajaran Jawa: bahwa manusia harus mampu menjinakkan nafsu dan egoismenya sendiri agar dapat mencapai kesempurnaan hidup.
Keindahan dari Satrio Joyo terletak pada proses akulturasi yang berkelanjutan. Meskipun berakar pada tradisi animisme dan dinamisme kuno, kesenian ini berhasil bertahan melalui era Hindu-Buddha hingga era Islam, selalu menemukan cara untuk merefleksikan nilai-nilai keutamaan (adiluhung) yang universal. Ini membuktikan daya tahan budaya Jawa yang fleksibel namun tetap memegang teguh esensi spiritualnya.
Dalam konteks modern, Barongan Satrio Joyo mengajak kita untuk merenungkan makna keberanian sejati. Keberanian bukan hanya menghadapi musuh di luar, tetapi menghadapi kegelapan dan kebuasan yang bersemayam dalam hati. Melalui musik gamelan yang bergetar, teriakan penari yang kerasukan, dan keindahan bulu merak yang gemerlap, Satrio Joyo mengajarkan bahwa kemenangan sejati adalah kemenangan atas diri sendiri.
Sebagai penjaga kebudayaan, kelompok-kelompok Satrio Joyo hari ini memikul tanggung jawab yang berat: menjadi jembatan antara masa lalu yang sakral dan masa depan yang digital. Mereka harus memastikan bahwa anak cucu mereka kelak tidak hanya melihat Barong sebagai kostum, tetapi memahami bahwa di baliknya tersembunyi sebuah warisan spiritual yang telah membentuk karakter dan identitas Nusantara selama berabad-abad. Kesenian ini akan terus menjadi mercusuar kejayaan (Joyo) bagi para ksatria (Satrio) yang mencari makna sejati kehidupan.
X. Memperdalam Aspek Teologis: Sinkretisme dan Spiritualitas Jawa
Barongan Satrio Joyo adalah contoh nyata dari sinkretisme budaya Jawa yang luar biasa. Kesenian ini tidak hanya menggabungkan unsur tari dan musik, tetapi juga mencampuradukkan kepercayaan pra-Islam (animisme dan Hindu-Buddha) dengan etika Jawa yang berbasis Islam kejawen. Sinkretisme ini memungkinkan Satrio Joyo untuk diterima secara luas dalam berbagai lapisan masyarakat, dari yang sangat tradisional hingga yang modern.
Konsep Khodam dan Kekuatan Batin
Secara teologis, fenomena trance sering dikaitkan dengan masuknya khodam—makhluk gaib atau roh pelindung yang terikat pada pusaka atau pada individu yang telah melakukan laku batin. Khodam ini dipercaya memberikan kekuatan supernormal, termasuk kekebalan fisik. Dalam konteks Barongan Satrio Joyo, khodam Singo Barong dan Jathil diyakini adalah manifestasi dari arwah leluhur yang saleh atau roh penjaga wilayah (danyang).
Pentingnya konsep ini adalah bahwa kekuatan dalam pertunjukan bukanlah hasil tipuan atau latihan semata, tetapi merupakan anugerah (karunia) yang diperoleh melalui disiplin spiritual yang ketat. Proses pengasihan (memberi makan atau menghormati) khodam ini dilakukan melalui ritual sesaji dan puasa. Hal ini menegaskan bahwa menjadi penari Barongan adalah sebuah panggilan spiritual, bukan sekadar profesi.
Pusaka dan Keberkahan
Setiap kelompok Satrio Joyo pasti memiliki perangkat pusaka inti. Pusaka ini tidak hanya berupa topeng Barong, tetapi juga kadang kala senjata tradisional, seperti keris atau tombak, yang diwariskan. Keris pusaka seringkali diletakkan di dekat area pementasan untuk menjaga pagar gaib dan memastikan tidak ada energi jahat yang mengganggu prosesi. Pusaka ini disakralkan, dan perawatannya (jamasan) dilakukan secara berkala, biasanya pada bulan Suro (Muharram), untuk memperbaharui kekuatan spiritualnya. Konsep keberkahan (barokah) dari pusaka ini menjadi sumber legitimasi bagi eksistensi kelompok seni tersebut.
Laku dan Mantra Khusus
Untuk menaklukkan Barong, para penari Satrio Joyo harus menguasai mantra dan doa khusus. Mantra ini biasanya dibacakan dalam bahasa Jawa kuno atau Kawi, berisi permohonan kepada Tuhan (Gusti Allah) dan penghormatan kepada empat kiblat (sedulur papat lima pancer)—konsep spiritual Jawa yang merujuk pada empat elemen alam dan diri pusat manusia. Penggunaan mantra memastikan bahwa kekuatan yang masuk bersifat positif dan bertujuan untuk kebaikan, sejalan dengan prinsip mamayu hayuning bawana (menjaga keindahan alam semesta).
Proses ngunduh ilmu (mengambil ilmu) ini sangat personal dan rahasia. Tidak semua anggota kelompok diizinkan mempelajari laku spiritual yang mendalam; hanya mereka yang memiliki garis keturunan atau yang ditunjuk secara khusus oleh Warok yang boleh melanjutkan warisan mistik tersebut. Struktur hierarki ini menjamin bahwa pengetahuan sakral tetap terjaga dari penyalahgunaan dan profanasi.
XI. Subtilitas Gerak Jathil: Tarian Keperwiraan yang Terstruktur
Sementara Barong mewakili kekuatan destruktif yang megah, Jathil dalam Barongan Satrio Joyo adalah manifestasi dari disiplin, kesetiaan, dan keanggunan. Gerakan Jathil sangat terstruktur, didasarkan pada formasi militer kuno, namun diperhalus dengan sentuhan estetika tari Jawa.
Formasi dan Taktik Tari
Tari Jathil sering dibuka dengan formasi barisan yang rapi (baris jajar), melambangkan pasukan yang siap tempur. Gerakan kaki (*Jejak*) yang serentak dan hentakan kuda kepang yang ritmis menunjukkan koordinasi dan kekuatan kolektif. Ada tiga jenis gerak utama yang dilakukan oleh Jathil:
1. Gerak Pembukaan (Sembah Jago)
Gerakan ini bersifat penghormatan, di mana penari Jathil memberikan salam kepada Barong, Warok, dan penonton. Gerakannya lambat, mengayun, dan penuh penghormatan, menunjukkan bahwa meskipun ksatria, mereka tetap menjunjung tinggi etika dan tata krama. Posisi kuda kepang diangkat sedikit, seolah-olah kuda tersebut juga ikut menghormat. Gerak ini menekankan aspek spiritual Satrio Joyo sebagai ksatria yang beradab.
2. Gerak Inti (Perang Tandhing)
Ini adalah bagian paling dinamis, di mana Jathil berinteraksi langsung dengan Barong. Gerakan ini melibatkan lompatan kecil, putaran, dan penggunaan properti kuda kepang untuk menangkis atau menyerang. Meskipun terlihat seperti pertempuran, gerakannya tetap indah, melambangkan pertempuran batin yang dilakukan dengan kebijaksanaan. Kecepatan musik pada fase ini meningkat drastis, menuntut sinkronisasi yang sempurna di antara para penari. Energi fisik yang dikeluarkan di sini sangat tinggi, mencerminkan semangat tak kenal menyerah Satrio Joyo.
3. Gerak Penutup (Keprakan)
Gerakan ini dilakukan menjelang atau setelah adegan trance. Penari Jathil bergerak dalam lingkaran (kembangan), seolah-olah membersihkan area panggung. Gerakan ini lebih bebas namun tetap ritmis, berfungsi sebagai pendingin sebelum atau setelah puncak magis pertunjukan. Dalam konteks spiritual, Keprakan adalah upaya untuk mengumpulkan kembali energi yang tersebar selama Barong beraksi.
Filosofi Kuda Kepang
Kuda kepang, properti sederhana dari bambu atau kulit, memiliki makna filosofis yang dalam. Kuda melambangkan transportasi menuju tujuan, energi, dan kecepatan. Dalam konteks Satrio Joyo, kuda kepang adalah alat bantu bagi sang ksatria untuk melampaui batas-batas kemanusiaan. Penari Jathil harus memperlakukan kuda kepangnya seolah-olah itu adalah makhluk hidup, karena diyakini kuda tersebut juga memiliki ‘roh’ atau energi yang menyertai perjuangan ksatria.
XII. Barongan Satrio Joyo sebagai Pembangun Identitas Komunal
Di banyak daerah di Jawa Timur, kepemilikan kelompok Barongan Satrio Joyo adalah sumber kebanggaan utama. Kesenian ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan solidaritas komunal.
Solidaritas Kelompok (Paseduluran)
Sistem dalam kelompok Barongan sangat mengedepankan paseduluran (persaudaraan). Pelatihan yang keras, ritual bersama, dan tanggung jawab kolektif atas keberhasilan pertunjukan membentuk ikatan yang lebih kuat daripada sekadar teman. Para anggota kelompok dianggap sebagai keluarga besar, di mana sesepuh (Warok) berfungsi sebagai orang tua spiritual yang membimbing. Solidaritas ini mencakup aspek materi dan non-materi; mereka saling membantu dalam kesulitan dan berbagi keberhasilan.
Festival dan Pertemuan Barongan
Pertemuan atau festival Barongan (yang sering disebut 'Grebeg Barong') adalah peristiwa penting yang memungkinkan berbagai kelompok Satrio Joyo dari desa atau kabupaten berbeda untuk berkumpul. Pertemuan ini bukan hanya ajang pamer keahlian, tetapi juga platform untuk bertukar pengetahuan spiritual dan teknik. Persaingan yang terjadi bersifat sehat (lomba), namun intinya adalah memperkuat jaringan budaya dan menunjukkan kekayaan tradisi masing-masing daerah.
Fungsi Sosial-Ekonomi
Kelompok Barongan sering kali memiliki peran vital dalam acara-acara sosial desa, seperti bersih desa, pernikahan, atau khitanan. Pementasan Barongan dianggap membawa berkah dan menolak bala bagi acara tersebut. Jasa pertunjukan ini menjadi salah satu sumber pendapatan penting bagi masyarakat di luar sektor pertanian, memberikan alternatif mata pencaharian yang terikat erat dengan identitas lokal.
Sebagai kesenian yang selalu berada di persimpangan jalan antara tradisi yang ketat dan modernitas yang menantang, Barongan Satrio Joyo terus menunjukkan adaptabilitasnya. Para penari muda, sambil tetap berpuasa dan melakukan laku prihatin, kini juga menggunakan media sosial untuk mempromosikan seni mereka, memastikan bahwa cahaya ksatria pemenang (Satrio Joyo) tidak akan pernah padam dari panggung budaya dunia.
Pengabdian terhadap Satrio Joyo adalah sebuah penyerahan diri total pada warisan leluhur. Itu adalah sumpah untuk menjaga api spiritual tetap menyala, diiringi tabuhan gamelan yang menghentak dan gemerlap bulu merak yang menari di bawah cahaya rembulan. Kesenian ini adalah harta tak ternilai yang harus dijaga dengan segenap jiwa, memastikan bahwa setiap generasi baru akan selalu memiliki ksatria yang gagah berani untuk dicontoh.
Secara keseluruhan, Barongan Satrio Joyo adalah sebuah ensiklopedia hidup tentang spiritualitas Jawa. Ia mengajarkan kita bahwa kekayaan budaya suatu bangsa tidak hanya diukur dari pencapaian teknologi atau kekayaan materi, tetapi dari kedalaman filosofi yang diwariskan melalui seni dan ritual. Ksatria Joyo terus berjuang, bukan hanya di panggung, tetapi di dalam hati setiap orang yang menyaksikan pertunjukannya, mengingatkan kita akan potensi kebaikan yang selalu siap memenangkan pertarungan abadi melawan kebuasan.