Ketika Jati Diri Melebur dalam Jantung Pementasan
Seni pertunjukan Barongan, yang tersebar luas dari Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Bali (dengan varian yang dikenal sebagai Barong Bali), bukanlah sekadar tontonan visual atau rangkaian gerak tari yang terstruktur. Lebih dari itu, Barongan adalah manifestasi spiritual, jembatan antara dunia manusia dan alam gaib. Di balik topeng kayu berukir dan riasan rambut ijuk yang lebat, tersembunyi sebuah filosofi mendalam mengenai identitas, keberadaan, dan penyerahan diri total: Rumongso Ingsun.
Frasa ini, yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, dapat diartikan secara bebas sebagai "Aku merasa aku adalah," atau "Aku sadar tentang keberadaanku." Namun, dalam konteks Barongan, interpretasinya jauh lebih kompleks. Ia bukan merujuk pada kesadaran individu sang penari semata, melainkan pada kesadaran kolektif yang dipinjamkan kepada roh yang merasuki topeng. Ketika penari mengenakan topeng Barong, ia berhenti menjadi dirinya sendiri. Ia menjadi wadah bagi roh pelindung, simbol kebaikan, atau bahkan personifikasi energi alam liar. Inilah inti dari perjalanan spiritual yang akan kita selami: titik temu antara raga penari dan jiwa Barong.
Di Jawa, Barongan seringkali terintegrasi dalam rangkaian pertunjukan Reog Ponorogo atau menjadi fokus utama dalam kesenian Barongan lokal seperti yang populer di Blora dan Kudus. Namun, akar mitologisnya membawa kita pada kisah-kisah purba tentang penjaga hutan, roh leluhur, atau perwujudan Dewa Siwa dalam manifestasinya yang ganas. Kesenian ini berfungsi ganda: sebagai hiburan publik, dan sebagai ritual penolak bala (tolak balak) atau penyambut panen raya.
Ritual Barongan bukanlah sekadar tarian, melainkan negosiasi spiritual. Para penari, yang dikenal sebagai *pembarong*, harus melalui serangkaian puasa, meditasi, dan pengisian energi (transfer ilmu) yang memastikan tubuh mereka siap menanggung beban spiritual yang akan diembankan. Tanpa persiapan ini, risiko kesurupan yang berbahaya atau *ndadi* (Jawa: kerasukan) tak terkendali sangat besar. Kesiapan mental dan spiritual inilah yang menjadi landasan bagi munculnya perasaan Rumongso Ingsun.
Untuk memahami kedalaman filosofi ini, kita harus membedah dua kata kuncinya: Rumongso (merasa, menyadari, sadar) dan Ingsun (saya, aku — dalam konteks yang lebih formal atau spiritual daripada aku biasa). Ketika disatukan, frasa ini berbicara tentang penemuan atau penegasan kembali Diri Sejati setelah ego pribadi dilepaskan.
Tahap pertama dalam mencapai Rumongso Ingsun adalah pelepasan ego. Sang pembarong harus melupakan nama, status, dan masalah pribadinya. Dalam tradisi mistik Jawa, proses ini sering disebut sebagai *mati sajroning urip* (mati di dalam hidup). Ketika topeng dipasang, identitas penari dilebur. Ia tidak lagi menari; ia *ditarikan* oleh energi yang masuk. Gerakan yang dihasilkan menjadi spontan, kadang agresif, dan selalu dipenuhi kekuatan yang melampaui kemampuan fisik penari biasa.
"Rumongso Ingsun bukanlah klaim kepemilikan, melainkan pengakuan penyerahan. Aku bukan lagi aku; aku adalah ia, yang menuntun raga ini melalui rimba kesadaran."
Kesurupan (*ndadi*) sering menjadi puncak dari Rumongso Ingsun. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi Barongan yang benar-benar matang, kesurupan bukanlah kehilangan kontrol total. Penari yang terlatih masih memiliki tingkat kesadaran ganda (dual consciousness). Meskipun tubuhnya dikendalikan oleh Barong, ada sebagian kecil pikiran yang mengawasi, memastikan tindakan tersebut tidak membahayakan penonton atau dirinya sendiri, sebuah pertarungan psikologis yang sangat intens.
Pengalaman ini diibaratkan seperti menjadi penonton di dalam tubuh sendiri. Sang penari menyaksikan kekuatan spiritual merubahnya menjadi sosok yang agung dan menakutkan, sosok yang menuntut penghormatan. Kesadaran "Aku adalah Barong" muncul, bukan karena keangkuhan, melainkan karena pengakuan bahwa tubuhnya telah menjadi perwujungan kekuatan kosmik yang lebih besar.
Barong sering kali dipandang sebagai simbol kebaikan abadi (Dharma) yang selalu berjuang melawan Rangda (kejahatan/Adharma). Namun, dalam filosofi Jawa, Barong juga merepresentasikan arketipe Sang Hyang (roh ilahiah yang mendiami alam). Ketika penari mencapai Rumongso Ingsun, mereka menyentuh arketipe ini. Ini adalah momen sakral di mana kemanusiaan bersinggungan dengan ketuhanan atau kekuatan alam purba.
Rambut ijuk pada topeng Barong melambangkan hutan, kekacauan alam yang tak tersentuh oleh manusia. Matanya yang melotot adalah pengawasan terhadap segala sesuatu. Giginya yang tajam adalah kemampuan untuk menghancurkan kejahatan. Dengan mengenakan dan dirasuki oleh Barong, penari menjadi pusat dari kosmos mini, di mana hukum-hukum manusiawi tidak berlaku lagi. Ia menjadi Raja Hutan, penguasa wilayah spiritual tempat pertunjukan itu dilangsungkan.
Gerakan Barong yang patah-patah, cepat, namun tiba-tiba berhenti dan kemudian bergerak lambat penuh wibawa, adalah ekspresi dari sifat Rumongso Ingsun itu sendiri. Kecepatan melambangkan keganasan roh liar yang baru masuk; keheningan melambangkan wibawa leluhur yang telah menguasai raga. Transisi antara gerakan ini adalah dialog internal sang pembarong dengan roh Barong: "Aku mengizinkanmu berada di sini, dan karena aku mengizinkan, aku pun menjadi dirimu."
Detail pada setiap hentakan kaki, setiap kibasan jumbai, setiap anggukan kepala Barong yang berat, semuanya dihayati bukan sebagai koreografi, tetapi sebagai manifestasi keinginan Barong. Jika Barong ingin berlari menerjang, penari akan berlari; jika Barong ingin menjilati tanah, penari akan melakukan hal tersebut. Tidak ada kepura-puraan. Semua adalah kebenaran dari momen trance tersebut.
Jalan menuju Rumongso Ingsun penuh dengan disiplin dan laku tirakat. Pertunjukan Barongan tidak dimulai saat gamelan berbunyi, melainkan jauh sebelumnya, ketika pembarong memulai pembersihan diri.
Seorang pembarong sejati akan menjalani puasa khusus sebelum pementasan besar. Puasa *mutih* (hanya makan nasi putih dan air) adalah yang paling umum, bertujuan untuk menjernihkan tubuh dari hawa nafsu dan kekotoran duniawi. Proses ini menyiapkan tubuh sebagai bejana suci. Tanpa tubuh yang suci, roh Barong dianggap enggan untuk masuk atau, lebih buruk lagi, roh yang masuk adalah roh jahat yang tidak terfilter.
Ritual mandi kembang tujuh rupa dilakukan untuk membuang energi negatif dan memanggil energi positif dari empat penjuru mata angin. Wewangian (dupa, kemenyan, gaharu) selalu menjadi bagian integral. Aroma khas ini berfungsi sebagai sinyal bagi roh Barong bahwa lingkungan telah disiapkan dan layak untuk kehadirannya. Asap kemenyan yang mengepul bukan hanya penyedap suasana; ia adalah medium komunikasi.
Setiap Barong yang dihormati memiliki pusaka pelengkap, seringkali berupa keris atau tombak yang telah disucikan. Sebelum mengenakan topeng, pembarong harus menyatukan batinnya dengan pusaka tersebut. Pusaka ini melambangkan keberanian dan kekuatan spiritual yang akan menopang tubuhnya selama kesurupan.
Saat topeng Barong dikenakan, inilah puncak dari ritual penyatuan. Topeng bukanlah sekadar kostum; ia adalah rumah sementara bagi roh. Kontak fisik antara wajah penari dan bagian dalam topeng menjadi titik transfer energi. Dalam momen sunyi sebelum keluar panggung, pembarong mengucapkan mantra-mantra yang menegaskan penyerahan diri: Rumongso ingsun, aku adalah engkau. Aku menerima keberadaanmu. Keberadaanku adalah keberadaanmu.
Beratnya topeng Barong, yang terkadang mencapai puluhan kilogram, juga memainkan peran psikologis. Beban fisik ini memaksa penari untuk fokus, mengurangi perhatian pada hal-hal duniawi, dan meningkatkan kesiapan untuk menanggung energi spiritual yang akan datang.
Seni Barongan tidak lengkap tanpa elemen-elemen pendukung yang turut memperkuat kondisi Rumongso Ingsun, terutama dari segi audio dan visual. Interaksi antara Barong dan karakter lain, seperti Jathilan atau celeng (babi hutan), adalah ekspresi dramatik dari pertarungan internal sang pembarong.
Musik gamelan dalam Barongan memiliki fungsi esensial. Ritme yang cepat, repetitif, dan terkadang disonan (khususnya pada bagian instrumen *kendang* dan *saron*) dirancang untuk mendorong penari masuk ke kondisi hipnotis atau trance. Musik ini adalah gelombang suara yang mengikat penonton dan penari dalam satu medan energi yang sama.
Lagu-lagu yang mengiringi Barongan seringkali menggunakan tangga nada *pelog* atau *slendro* yang khas. Frekuensi suara gong dan kendang dianggap mampu membuka portal antara dimensi. Ketika irama mencapai puncaknya (biasanya ditandai dengan tabuhan *gejog* yang keras), inilah sinyal bahwa roh telah hadir dan Rumongso Ingsun sedang bekerja. Musik berhenti menjadi latar belakang; ia menjadi perintah yang menggerakkan tubuh Barong.
Karakter-karakter lain dalam pertunjukan, khususnya Jathilan (penunggang kuda lumping) dan Celeng (babi hutan), berfungsi sebagai cermin dan penantang bagi Barong.
Penting untuk dicatat, dalam kondisi Rumongso Ingsun, penari Barong dapat melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan secara sadar, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau menahan hantaman pecut Jathilan. Tindakan ekstrem ini adalah validasi bahwa yang bergerak bukanlah manusia, tetapi roh Barong itu sendiri.
Setelah pementasan yang intens, pembarong harus melalui proses pemulihan, baik fisik maupun spiritual. Rumongso Ingsun tidak hanya tentang masuknya roh, tetapi juga tentang pengeluaran roh dengan selamat dan teratur.
Klimaks dari pertunjukan adalah proses 'mengembalikan' roh Barong ke tempat asalnya, atau dikenal sebagai *mendho*. Proses ini sering melibatkan seorang pawang atau sesepuh yang menggunakan mantera dan air suci (tirta) untuk membangunkan kesadaran penari kembali ke tubuh fisiknya. Jika proses ini gagal, penari bisa mengalami kelelahan ekstrem, sakit, atau bahkan kerusakan mental permanen.
Ketika Rumongso Ingsun ditarik kembali, penari seringkali merasa sangat bingung, seolah baru bangun dari tidur yang amat dalam. Memori tentang aksi yang dilakukan saat *ndadi* biasanya kabur atau hilang sama sekali. Tubuh terasa sakit, otot menegang, dan emosi labil. Inilah bukti fisik dari energi yang begitu besar yang sempat mengisi raga mereka. Pembarong harus kembali menyelaraskan 'Ingsun' mereka sendiri dengan realitas duniawi.
Bagi komunitas penganutnya, filosofi Barongan bukan hanya berlaku di panggung. Disiplin spiritual yang dibutuhkan untuk mencapai Rumongso Ingsun—keikhlasan, penyerahan diri, dan keberanian—diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi Barong mengajarkan mereka tentang tanggung jawab terhadap energi yang dipinjamkan oleh alam.
Pembarong belajar bahwa Diri Sejati (Ingsun) adalah sesuatu yang kuat, murni, dan tidak terikat oleh ketakutan. Ketika mereka kembali menjadi manusia biasa, mereka membawa serta wibawa Barong. Hal ini memposisikan mereka sebagai tokoh yang dihormati dan mampu menjadi penengah dalam komunitas, karena mereka telah teruji mampu menguasai kekuatan supranatural.
Di era modern, di mana kesenian tradisional sering berhadapan dengan budaya global yang serba cepat, Barongan menghadapi tantangan pelestarian. Namun, filosofi Rumongso Ingsun tetap relevan, bahkan menjadi kunci bagi pemahaman identitas budaya di tengah arus modernisasi.
Meskipun beberapa pertunjukan Barongan kini menggunakan teknologi modern atau koreografi yang lebih dinamis, esensi ritual dan spiritual tidak boleh hilang. Generasi muda pembarong harus diajarkan bahwa topeng adalah sakral; ia bukan properti belaka. Kesurupan dan proses Rumongso Ingsun adalah fitur utama yang membedakan Barongan dari tarian topeng biasa.
Banyak pengamat Barat mencoba menyamakan trance Barongan dengan performance art atau metode akting ekstrem. Namun, perbedaan mendasarnya terletak pada spiritualitas: Rumongso Ingsun bukanlah akting; ia adalah kebenaran eksistensial yang dihidupi melalui tubuh. Tidak ada pura-pura dalam kesurupan sejati. Proses ini menuntut kepercayaan mutlak pada eksistensi roh leluhur dan kekuatan alam.
Akhirnya, Barongan mengajarkan kita bahwa setiap manusia memiliki Barong di dalam dirinya—sebuah kekuatan purba, sebuah Jati Diri yang agung dan tak terkalahkan. Tugas setiap individu, menurut ajaran spiritual yang tersirat dalam Barongan, adalah mencapai Rumongso Ingsun secara sadar, tanpa perlu melalui kesurupan. Yakni, menyadari dan menerima sepenuhnya siapa diri kita, dengan segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, untuk menjadi versi diri yang paling otentik dan bermartabat.
Barongan, dengan segala keganasan dan kemegahannya, adalah sebuah cermin. Ia mencerminkan kekacauan di alam, perjuangan manusia melawan kejahatan, dan yang terpenting, perjalanan pencarian jati diri yang tak pernah usai. Ketika Gamelan berhenti, dan topeng dilepas, yang tersisa bukanlah kenangan akan tarian, tetapi resonansi dari sebuah pertanyaan abadi yang telah terjawab, setidaknya untuk sesaat: Siapakah aku? Dan jawabannya menggema di dalam hati sang pembarong: Aku adalah Barong. Rumongso Ingsun.