Barongan Rojo: Filosofi, Mistik, dan Warisan Budaya Jawa Timur yang Menyala
Di tengah hiruk pikuk modernitas, Jawa Timur menyimpan harta karun seni pertunjukan yang tak lekang oleh waktu, salah satunya adalah Barongan. Namun, di antara berbagai varian yang ada, terdapat sebuah entitas yang secara spiritual dan visual tampil dominan: Barongan Rojo. Kata 'Rojo' dalam bahasa Jawa berarti 'Raja' atau 'Merah', dan kedua makna ini berpadu menciptakan sebuah karakter mistis yang penuh keberanian, kekuatan, dan aura kepemimpinan yang sulit ditandingi. Barongan Rojo bukan sekadar topeng kayu atau rangkaian bulu; ia adalah manifestasi spiritualitas yang mendalam, sebuah cerminan sejarah kerajaan, dan penjelmaan energi kosmik yang menyala-nyala.
Kesenian ini, yang sering kali diasosiasikan erat dengan tradisi Reog Ponorogo atau Jaranan Kediri, memiliki dimensi filosofisnya sendiri. Pakaiannya yang didominasi warna merah menyala, gerakannya yang eksplosif namun teratur, serta kehadiran musikal yang dinamis, seluruhnya bertujuan untuk memanggil atau mewujudkan semangat kepahlawanan dan kekuatan primal. Memahami Barongan Rojo berarti menyelami lapisan-lapisan mitologi Jawa, sistem kepercayaan tradisional, serta dedikasi seniman dalam melestarikan warisan leluhur yang kaya akan makna.
Representasi visual Barongan Rojo yang melambangkan keberanian dan kekuatan mistis.
I. Akar Sejarah dan Genealogi Mistik Barongan Rojo
Penelusuran sejarah Barongan Rojo, sebagaimana kebanyakan seni tradisional Jawa, sering kali bergerak di antara fakta sejarah yang tercatat dan narasi mitologis yang dipercaya secara turun-temurun. Tidak ada dokumen tunggal yang mencatat kapan persisnya Barongan Rojo lahir, namun ia diyakini merupakan evolusi dari tradisi animisme purba yang kemudian dipadukan dengan epik-epik Hindu-Buddha dan cerita-cerita lokal di masa Majapahit dan pasca-Majapahit.
Keterkaitan dengan Tokoh Kerajaan dan Legenda Lokal
Identitas 'Rojo' (Raja) dalam Barongan ini sering dikaitkan dengan beberapa figur kunci dalam sejarah Jawa Timur. Salah satu interpretasi yang paling kuat adalah hubungannya dengan Prabu Klana Sewandana, raja Bantarangin dari legenda Reog Ponorogo. Prabu Klana dikenal memiliki watak keras, ambisius, dan bersemangat, yang semuanya terefleksi dalam warna merah menyala dan gerakan Barongan Rojo. Barongan Rojo adalah penjelmaan dari sisi 'Raja' yang berkuasa, yang memiliki ksatriaan tetapi juga kemarahan yang membara. Ini adalah simbolisasi kekuasaan yang absolut, yang perlu dihormati dan ditakuti.
Interpretasi lain menghubungkan Barongan Rojo dengan legenda mistik lokal di wilayah Kediri dan Blitar, di mana ia dianggap sebagai penjaga gerbang gaib atau representasi dari energi Naga Raja (Raja Naga) yang menjaga keseimbangan alam. Dalam konteks ini, Barongan Rojo mengambil peran sebagai kekuatan penyeimbang yang keras, yang diperlukan untuk menghalau roh-roh jahat atau energi negatif. Simbolisme ini menjelaskan mengapa pertunjukan Barongan Rojo sering kali diawali dengan ritual pensucian (ruwatan) atau permohonan izin kepada penjaga spiritual wilayah tersebut.
Asal Mula Warna Merah (Rojo)
Pilihan warna merah (Rojo) bukan tanpa makna. Dalam kosmologi Jawa, merah melambangkan unsur Api (Agni) dan arah Selatan, yang sering dihubungkan dengan kekuasaan, keberanian, dan hawa nafsu (ambisi). Ini berlawanan dengan warna putih (kesucian) atau hitam (kemisteriusan). Barongan Rojo, dengan dominasi merah darah dan merah menyala, merepresentasikan energi Garba (kekuatan perut) yang meledak-ledak. Warna ini juga merupakan manifestasi dari Nafsu Amarah yang diolah dan dikendalikan, di mana seorang pemimpin harus mampu memanfaatkan amarahnya sebagai motor penggerak, bukan sebagai penghancur. Penggunaan warna merah tua, hampir marun, pada beberapa bagian topeng menunjukkan kebijaksanaan yang menyertai kekuatan tersebut.
Perkembangan Barongan Rojo juga tak lepas dari peran para Wali Songo yang menggunakan seni sebagai media dakwah. Seni pertunjukan yang tadinya sangat kental dengan unsur animisme dan pemujaan dewa, diadaptasi agar selaras dengan nilai-nilai Islam, meski elemen mistiknya tetap dipertahankan sebagai daya tarik spiritual. Transformasi ini memastikan bahwa Barongan Rojo dapat bertahan melewati berbagai perubahan zaman dan tetap relevan bagi masyarakat Jawa Timur hingga kini.
Pada masa kerajaan-kerajaan kecil Jawa pasca-Majapahit, Barongan Rojo sering menjadi simbol propaganda militer atau penanda wilayah. Pertunjukan dilakukan sebelum atau sesudah peperangan sebagai ritual penyemangat atau perayaan kemenangan. Aura magis yang dipancarkan oleh penari yang berada dalam kondisi janturan (trance) dipercaya memberikan kekebalan dan keberanian spiritual bagi prajurit yang menyaksikannya. Dengan demikian, Barongan Rojo adalah seni pertunjukan total yang berfungsi sebagai medium sejarah lisan, ritual, dan manifestasi kekuasaan.
II. Anatomomi Simbolis dan Detail Estetika Barongan Rojo
Menciptakan Barongan Rojo adalah proses yang sakral, jauh melampaui sekadar kerajinan kayu. Setiap garis pahatan, setiap helai ijuk, dan setiap sapuan cat merah memiliki bobot simbolis yang mendalam. Struktur fisik Barongan Rojo dapat dibagi menjadi beberapa elemen utama, masing-masing dengan peranannya dalam memancarkan aura 'Raja' yang berapi-api.
Dhadhak (Kepala Barong) dan Kayu Sakral
Bagian inti dari Barongan Rojo adalah Dhadhak, yaitu topeng atau kepala barong itu sendiri. Dalam tradisi Barongan, Dhadhak harus dibuat dari kayu yang memiliki nilai spiritual tinggi, seperti Kayu Nangka (dianggap stabil dan berdaya tahan) atau Kayu Pule (sering digunakan dalam ritual karena aura mistiknya). Proses pemilihan kayu, pemotongan, hingga pemahatan harus dilakukan dengan puasa atau ritual khusus, menjadikannya benda yang bukan hanya artistik tetapi juga keramat.
Ciri khas Dhadhak Barongan Rojo adalah ukirannya yang lebih agresif dibandingkan Barongan biasa. Wajahnya sering menampilkan ekspresi marah, taring panjang, dan mata yang melotot (belalak) yang dicat hitam pekat atau putih kontras. Bentuk hidung yang besar dan lebar menunjukkan kekuatan pernapasan (simbol daya hidup), sementara janggut dan kumis yang terbuat dari ijuk hitam atau rambut kuda yang tebal memberikan kesan garang dan dominan. Merah yang digunakan pada permukaan kayu adalah merah jaya, merah yang paling intens, untuk memastikan aura kekuasaan terpancar jelas bahkan dari jarak jauh.
Mahkota dan Aksesoris Pembeda
Sebagai 'Raja', Barongan Rojo dihiasi mahkota atau hiasan kepala yang rumit, seringkali menggunakan ornamen emas atau perak imitasi yang dipadukan dengan bulu merak atau bulu burung eksotis lainnya. Namun, elemen paling penting adalah penggunaan kain ulas (kain penutup) yang menutupi tubuh penari. Dalam varian Rojo, kain ini didominasi motif geometris berwarna merah, emas, dan hitam. Kain ini berfungsi bukan hanya sebagai kostum, tetapi juga sebagai penyalur energi saat penari memasuki kondisi trance.
Selain Dhadhak, elemen visual pendukung yang sangat penting adalah penggunaan cermin-cermin kecil atau manik-manik yang ditempelkan pada permukaan Barongan. Refleksi cahaya dari cermin ini dipercaya dapat menangkal pandangan jahat dan menambah efek 'berkilauan' yang mempesona sekaligus menakutkan, memperkuat citra dewa atau raja yang ditakuti dan disegani. Pengrajin Barongan Rojo seringkali menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya untuk menyelaraskan energi pahatan dengan harapan spiritual yang diembannya, menjadikannya sebuah pusaka hidup.
Detail pada gigi taring, misalnya, tidak sekadar dekorasi. Taring yang runcing melambangkan kemampuan untuk menembus ilusi dan menaklukkan musuh, baik musuh fisik maupun musuh batin (seperti keraguan atau ketakutan). Kadang, taring ini dicat dengan warna keemasan, menunjukkan bahwa kekuatan yang dimiliki oleh Sang Raja adalah kekuatan yang suci dan berdaulat. Keseluruhan penampilan Barongan Rojo adalah sintesis dari keindahan, ketakutan, dan kedaulatan.
III. Filosofi Warna Merah dan Kekuatan Mistik (Rojo)
Inti spiritual Barongan Rojo terletak pada pemaknaan mendalam terhadap warna merah dan bagaimana warna tersebut memengaruhi interaksi antara penari, alat musik, dan penonton. Merah dalam budaya Jawa Timur bukan hanya pigmen, melainkan sebuah frekuensi energi kosmik yang berhubungan langsung dengan Pusaka Papat Kalima Pancer (Empat Saudara Spiritual dan Pusat Diri).
Manifestasi Nafsu Amarah yang Terkendali
Dalam ajaran spiritual Jawa, manusia memiliki empat nafsu utama. Merah melambangkan Nafsu Amarah, yaitu hasrat untuk bertindak, marah, dan melakukan perubahan. Barongan Rojo tidak berusaha menekan amarah ini, melainkan memanifestasikannya dalam bentuk seni yang konstruktif. Penari Barongan Rojo belajar untuk menyalurkan energi yang membara (amarah) menjadi kekuatan fisik yang luar biasa, sehingga gerakan tari mereka tampak sangat bertenaga, cepat, dan penuh determinasi.
Filosofi ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati seorang Raja atau pemimpin bukan terletak pada ketiadaan emosi, melainkan pada kemampuan mengarahkan emosi paling kuat (kemarahan) untuk tujuan yang benar. Ketika Barongan Rojo bergerak, ia mewakili Raja yang sedang murka terhadap ketidakadilan atau kejahatan, sebuah murka yang murni dan berwibawa.
Fenomena Janturan (Trance) dan Kesatuan Roh
Puncak dari pertunjukan Barongan Rojo sering kali adalah fase janturan atau kerasukan. Dalam kondisi ini, penari dipercaya telah melepaskan kesadaran ego mereka dan menjadi medium bagi roh pelindung Barong, atau bahkan roh dari Prabu Klana Sewandana itu sendiri. Warna merah yang membalut tubuh Barongan berfungsi sebagai magnet energi, menarik kekuatan spiritual dari alam sekitar.
Proses janturan ini sangat diatur oleh pemimpin ritual (Pawang atau Dhukun Seni). Sebelum dan saat trance, pawang melafalkan mantra-mantra tertentu (aji) untuk memastikan roh yang masuk adalah roh yang baik dan pelindung, bukan roh pengganggu. Kondisi janturan Barongan Rojo biasanya ditandai dengan gerakan yang sangat ekstrem, seperti membenturkan kepala ke tanah, menggaruk tubuh dengan kuku, atau bahkan memakan pecahan kaca atau benda tajam (ndadi). Ini adalah demonstrasi visual bahwa kekuatan spiritual yang merasukinya adalah kekuatan yang kebal terhadap batas-batas fisik manusia biasa.
Penari yang berhasil mencapai tingkat janturan yang sempurna dianggap telah mencapai keselarasan spiritual dengan pusaka yang mereka kenakan. Kekuatan mistik Barongan Rojo juga sering digunakan dalam konteks komunal, misalnya, untuk membersihkan desa dari bala atau penyakit, atau untuk memohon hujan saat kemarau panjang. Barongan Rojo, dalam esensi ini, adalah media komunikasi langsung antara manusia dan kekuatan kosmik yang bersemayam dalam pusaka budaya.
Pengaruh Kosmologi Tri-Loka
Dalam tradisi Jawa, terdapat konsep Tri-Loka (tiga dunia): dunia atas (kedewataan), dunia tengah (manusia), dan dunia bawah (roh jahat/pertahanan). Barongan Rojo berperan sebagai penghubung dan pelindung di dunia tengah. Kepala Barongan yang menjulang tinggi dengan hiasan mahkota menunjuk ke dunia atas, sementara gerakan kakinya yang menghentak tanah menghubungkannya dengan dunia bawah. Warna merah yang dominan adalah titik fokus, energi yang menjaga agar penari dan penonton tetap berada dalam dimensi yang aman saat berinteraksi dengan kekuatan supernatural.
Keagungan Barongan Rojo juga terletak pada pemahaman bahwa kekuasaan (Rojo) selalu memiliki dua sisi: keindahan yang mempesona dan bahaya yang mengancam. Penari, dengan latihan spiritual yang ketat, harus menguasai dualitas ini, memastikan bahwa Barongan yang mereka hidupkan menjadi simbol otoritas yang adil dan bukan tirani yang brutal. Ini adalah pelajaran filosofis yang disampaikan melalui gerakan tari yang intens dan penuh gairah.
IV. Struktur Pertunjukan dan Elemen Musikal Pengiring
Pertunjukan Barongan Rojo adalah sebuah simfoni yang terstruktur, menggabungkan tarian, drama, ritual, dan musik. Durasi pertunjukan bisa berlangsung berjam-jam, dibagi menjadi babak-babak yang secara progresif meningkatkan intensitas spiritual dan musikal. Musik pengiring (Gamelan) memainkan peran krusial dalam memandu emosi penonton dan, yang lebih penting, dalam memanggil energi spiritual untuk Barongan.
Gamelan sebagai Pemandu Roh
Gamelan yang mengiringi Barongan Rojo biasanya terdiri dari instrumen tradisional seperti Kendang (gendang), Gong, Saron, Demung, dan Kenong. Namun, ritme yang dimainkan untuk Barongan Rojo memiliki kekhasan: ia lebih cepat, lebih keras, dan lebih monoton dalam pengulangan tertentu, dirancang untuk menciptakan gelombang energi yang hipnotis.
Pukulan Kendang adalah jantung dari pertunjukan. Untuk Barongan Rojo, ritme kendang sering disebut Jejogedan atau Gending Rojo Manggolo, yang artinya 'lagu untuk memanggil Raja'. Irama ini ditandai dengan aksen yang tajam dan tempo yang terus meningkat. Ketika Barongan mulai memasuki fase trance, penabuh kendang harus sangat peka, menyesuaikan tempo agar selaras dengan frekuensi spiritual penari, membantu mereka mencapai kedalaman janturan yang diinginkan.
Urutan Tari dan Peningkatan Intensitas
Pertunjukan Barongan Rojo biasanya mengikuti urutan berikut, meskipun variasi regional mungkin terjadi:
- Sesi Pembukaan (Gending Lirih): Dimulai dengan musik gamelan yang lembut dan sakral. Ini adalah babak Sembah, di mana para penari (termasuk karakter pendukung seperti Jathil dan Bujang Ganong) melakukan penghormatan kepada Barong dan arwah leluhur. Fokusnya adalah pada gerakan yang anggun, kontras dengan kegarangan Barongan nanti.
- Munculnya Barongan Rojo (Gending Manggala): Tempo musik dipercepat drastis. Barongan Rojo memasuki arena dengan gerakan yang eksplosif, menghentak-hentakkan kaki, dan menyapu pandangan, menegaskan kehadirannya sebagai pemimpin. Gerakan di fase ini melambangkan keberanian dan persiapan tempur.
- Fase Inti dan Rojopati (Puncak Kemarahan Raja): Ini adalah babak klimaks. Musik mencapai tempo tertinggi. Penari Barongan Rojo menunjukkan gerakan paling ekstrem dan berbahaya. Jika pertunjukan ini melibatkan unsur mistis, janturan akan terjadi di babak ini. Penari dapat melakukan atraksi kekebalan, seperti memecahkan botol di kepala atau mengunyah bara api. Gerakan tari pada fase ini adalah murni ekspresi energi tanpa filter, mencerminkan kekuatan tak terbatas Sang Raja.
- Penutup dan Penyembuhan (Gending Penenang): Setelah trance berakhir, pawang akan membantu menari kembali ke kesadaran normal. Musik kembali melambat menjadi Gending Ketawang yang menenangkan. Penutup ini menekankan bahwa meskipun kekuatan Raja itu besar, ia selalu kembali pada harmoni dan ketenangan spiritual.
Peran Karakter Pendukung
Barongan Rojo tidak pernah tampil sendirian. Ia selalu didampingi oleh karakter-karakter pendukung yang secara filosofis melengkapi dualitasnya. Bujang Ganong (topeng berhidung panjang dan berenergi tinggi) melambangkan patih (perdana menteri) yang setia dan cerdik, berfungsi sebagai mediator antara kemarahan Raja dan kebutuhan rakyat. Sementara itu, Jathil (penari kuda lumping wanita/pria berkostum wanita) melambangkan keindahan dan kesuburan, elemen yang menyeimbangkan kegarangan Barongan Rojo.
Tanpa karakter pendukung ini, Barongan Rojo akan menjadi energi yang tak terkendali. Mereka adalah simbol dari struktur kerajaan yang sempurna: Sang Raja (Rojo) yang kuat, Sang Patih (Ganong) yang cerdas, dan Rakyat (Jathil) yang harus dilindungi. Interaksi antara ketiga karakter ini dalam koreografi adalah esensi dari drama yang ditampilkan, mencerminkan dinamika kekuasaan dan kasih sayang dalam sebuah peradaban.
V. Varian Regional dan Transformasi Kontemporer
Meskipun konsep 'Barongan Rojo' universal di Jawa Timur, manifestasi fisik, ritual, dan koreografinya berbeda tergantung pada kabupaten atau kota asalnya. Perbedaan ini mencerminkan sejarah lokal, mitologi spesifik wilayah, dan pengaruh sosial ekonomi komunitas seniman.
Barongan Rojo Ponorogo: Simbol Supremasi
Di Ponorogo, Barongan Rojo sering dianggap identik dengan Barongan Singo Barong yang mengangkut Dhadhak Merak, menjadikannya bagian integral dari Reog Ponorogo. Barongan Rojo versi Ponorogo sangat menekankan pada unsur keagungan dan ukuran yang masif. Warna merahnya sangat dominan, sering dipadukan dengan aksen emas yang melambangkan kekayaan kerajaan. Fokus utama pertunjukan di sini adalah Daya Sewu (Seribu Kekuatan), di mana Barongan harus terlihat mampu menanggung beban Dhadhak Merak yang berat sambil menari dengan dinamis. Rojo di Ponorogo adalah simbol Raja yang menanggung beban rakyat dan mahkotanya.
Barongan Rojo Kediren (Kediri): Sentuhan Agraris dan Mistis
Di wilayah Kediri, Barongan Rojo memiliki nuansa yang sedikit berbeda, lebih kental dengan mitologi lokal yang berhubungan dengan pertanian dan Gunung Kelud. Barongan Kediri, yang sering menjadi bagian dari kesenian Jaranan, menampilkan topeng yang lebih kecil namun dengan ekspresi yang jauh lebih intens dan mistis. Merah yang digunakan cenderung lebih gelap (merah darah), dan ritual pensucian sebelum pertunjukan lebih ketat, karena fokusnya adalah memanggil roh penjaga lahan atau gunung. Rojo di Kediri adalah Raja yang melindungi kesuburan tanah dan masyarakat petani.
Gerakan tari Barongan Kediri lebih menekankan pada lincah (cekatan) dan gerakan kepala yang mematuk, menirukan pergerakan energi mistik yang bersembunyi di balik semak atau batu. Kerasukan (janturan) di Kediri seringkali menghasilkan atraksi yang berkaitan dengan ketahanan fisik, seperti mengupas kulit kelapa dengan gigi atau mematahkan besi dengan tangan kosong, menunjukkan kekuatan alam yang dipinjamkan oleh Sang Barong.
Adaptasi Kontemporer dan Barongan Masa Depan
Dalam era kontemporer, Barongan Rojo menghadapi dilema antara pelestarian tradisi murni dan tuntutan panggung modern. Banyak sanggar mulai melakukan modifikasi: mengurangi durasi trance (janturan) demi keamanan dan kenyamanan penonton modern, serta menambahkan sentuhan koreografi yang lebih dinamis dan teaterikal. Desain kostum juga berevolusi, menggunakan material modern yang lebih ringan namun tetap mempertahankan warna merah dan aura keramatnya.
Transformasi ini sangat penting untuk kelangsungan hidup Barongan Rojo. Seniman muda melihat Barongan bukan hanya sebagai ritual, tetapi sebagai seni pertunjukan berkelas dunia yang mampu bersaing dengan tarian modern lainnya. Meskipun demikian, mereka tetap teguh pada prinsip bahwa ruh 'Rojo'—kekuatan, keberanian, dan kesakralan—tidak boleh hilang demi popularitas semata. Rojo kontemporer adalah Raja yang berani menghadapi zaman baru tanpa melupakan akarnya.
VI. Proses Ritual dan Penciptaan Barongan Rojo yang Sakral
Barongan Rojo bukan diproduksi; ia dilahirkan melalui serangkaian proses ritual yang ketat, dari pemilihan bahan mentah hingga upacara pemberian 'nyawa' pada topeng. Proses ini menjamin bahwa setiap Barongan yang dibuat memiliki bobot spiritual yang sah dan mampu menjadi medium bagi roh pelindung.
Pemilihan Kayu dan Waktu Pengerjaan
Seperti disebutkan sebelumnya, pemilihan kayu sangat krusial. Kayu tidak boleh diambil sembarangan. Idealnya, ia diambil dari pohon yang tumbuh di tempat keramat atau yang diyakini memiliki energi positif. Pemahat (Undhagi) harus melakukan ritual Njawil (meminta izin) kepada penjaga pohon sebelum memotongnya. Pengerjaan topeng juga harus dilakukan pada hari-hari tertentu dalam kalender Jawa, seringkali menghindari hari-hari buruk dan memilih hari yang dianggap membawa keberuntungan atau kekuatan spiritual, seperti malam Jumat Kliwon.
Selama proses memahat, Undhagi seringkali harus berpuasa mutih (hanya makan nasi putih dan air) atau ngrowot (hanya makan umbi-umbian), sebagai bentuk penyucian diri agar energi yang ditanamkan pada kayu murni. Ini adalah masa di mana Barongan mulai diisi dengan niat dan doa-doa, mengubahnya dari sekadar potongan kayu menjadi benda hidup.
Upacara Mendem Jero dan Pengisian Energi
Setelah Barongan selesai diukir dan dicat (semua detail merah, taring, dan mata dipasang), ia belum dapat digunakan. Barongan harus menjalani upacara pengisian energi, atau yang sering disebut Mendem Jero (mengubur dalam-dalam) secara simbolis. Barongan akan diletakkan di tempat keramat atau di bawah tanah selama beberapa hari, ditemani oleh sesajen dan doa-doa yang dipimpin oleh Pawang. Tujuan dari ritual ini adalah untuk menanamkan energi bumi dan meminta restu dari arwah leluhur agar Barongan tersebut memiliki kekuatan Rojo yang sesungguhnya.
Ritual pamungkas adalah saat Barongan 'diberi makan' atau Diberkahi dengan sesajen berupa kembang tujuh rupa, darah ayam hitam (simbol pengorbanan), dan dupa. Pada momen inilah Barongan dianggap resmi memiliki dhanyang atau roh penjaga. Barongan Rojo yang sudah disucikan dan diisi energi harus diperlakukan dengan sangat hormat, tidak boleh diletakkan sembarangan, dan harus selalu dijaga kebersihannya, karena ia adalah manifestasi fisik dari kekuatan Raja yang sakral.
VII. Barongan Rojo dalam Lingkaran Komunitas dan Ekonomi Kreatif
Kesenian Barongan Rojo tidak hanya bertahan karena nilai ritualnya, tetapi juga karena perannya yang vital dalam struktur sosial dan ekonomi komunitas seniman di Jawa Timur. Pertunjukan ini adalah katalisator sosial, titik temu bagi berbagai elemen masyarakat.
Peran Sosial sebagai Media Komunikasi
Di pedesaan, Barongan Rojo sering menjadi hiburan utama dalam acara-acara besar seperti pernikahan, sunatan, atau bersih desa (upacara tolak bala). Dalam konteks ini, pertunjukan Barongan bukan hanya tontonan, tetapi juga ritual penguatan solidaritas. Ketika Barongan Rojo bergerak dan melakukan atraksi mistis, seluruh desa merasa terhubung dalam satu pengalaman spiritual komunal. Energi Raja yang hadir melalui Barongan dipercaya membawa berkah dan perlindungan bagi seluruh wilayah.
Ekonomi Kreatif dan Peluang Masa Depan
Kelompok-kelompok Barongan, yang sering disebut Grup Kesenian Jaranan atau Paguyuban Reog, adalah unit ekonomi mikro yang penting. Mereka mengandalkan dana dari pertunjukan dan sumbangan komunitas. Semakin tinggi kualitas ritual dan semakin garang performa Barongan Rojo, semakin tinggi pula permintaan tampil.
Saat ini, terjadi pergeseran fokus dari pertunjukan hanya untuk ritual menjadi pertunjukan untuk pariwisata budaya. Peluang ini mendorong seniman untuk lebih profesional dalam manajemen, pemasaran, dan peningkatan kualitas produksi tanpa mengorbankan nilai sakralnya. Peningkatan ini termasuk menciptakan bengkel kerja (workshop) untuk mempelajari teknik memahat Dhadhak Rojo dan kursus tari bagi generasi muda, memastikan bahwa keterampilan ini terus diwariskan.
VIII. Tantangan Pelestarian di Tengah Arus Globalisasi
Untuk memastikan Barongan Rojo tetap menyala di masa depan, komunitas seniman harus menghadapi tantangan besar yang dibawa oleh modernisasi, terutama dalam hal pemahaman dan apresiasi nilai-nilai mistisnya.
Erosi Pemahaman Ritual
Salah satu tantangan terbesar adalah erosi pemahaman ritual. Generasi muda mungkin hanya melihat Barongan Rojo sebagai hiburan semata, mengabaikan proses sakral di baliknya, termasuk puasa, mantra, dan penghormatan terhadap pusaka. Jika nilai-nilai ini hilang, Barongan Rojo berisiko tereduksi menjadi pertunjukan teater biasa, kehilangan kekuatan spiritual yang menjadi esensinya.
Oleh karena itu, upaya pelestarian harus mencakup pendidikan yang komprehensif. Seniman senior dan Pawang harus bertindak sebagai mentor, mengajarkan tidak hanya teknik menari atau menabuh Gamelan, tetapi juga filosofi di balik setiap gerakan dan warna merah yang mendominasi. Mereka harus menjelaskan bahwa menjadi penari Barongan Rojo adalah tanggung jawab spiritual, bukan sekadar keterampilan fisik.
Ancaman Komersialisasi Berlebihan
Tekanan komersial kadang memaksa grup kesenian untuk menyesuaikan diri dengan selera pasar yang lebih dangkal. Misalnya, permintaan untuk menghilangkan fase janturan yang terlalu ekstrem atau mempercepat proses pembuatan Dhadhak yang seharusnya memakan waktu berbulan-bulan. Komersialisasi yang tidak bijak dapat menghasilkan Barongan 'palsu' yang secara visual mirip, tetapi hampa dari ruh 'Rojo' yang sakral.
Solusinya terletak pada penguatan komunitas dan standardisasi kualitas. Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan perlu memberikan dukungan finansial yang memungkinkan grup kesenian mempertahankan integritas ritual mereka, sekaligus mempromosikan Barongan Rojo sebagai warisan budaya tak benda yang bernilai tinggi, yang tidak dapat dihargai dengan uang semata.
Keberanian Barongan Rojo—yang disimbolkan oleh warna merahnya—kini harus termanifestasi dalam keberanian seniman untuk mempertahankan kemurnian tradisi di tengah gempuran modernitas. Mereka harus menjadi 'Raja' bagi warisan mereka sendiri.
Gamelan dengan ritme cepat (Gending Rojo Manggolo) sebagai pemandu energi spiritual.
IX. Ekspansi Filosofis: Merah, Api, dan Daya Hidup (Agni)
Untuk memahami kedalaman Barongan Rojo, kita harus merujuk pada konsep Hindu-Jawa mengenai Agni (Api) dan kaitannya dengan daya hidup kosmik. Merah (Rojo) adalah representasi visual dari Agni, yang memiliki dua fungsi utama: menghancurkan dan memurnikan. Barongan Rojo adalah wujud dari kedua fungsi ini.
Api Purifikasi dan Transformasi
Api yang dibawa Barongan Rojo berfungsi sebagai pemurni (purifikasi). Dalam ritual desa, ketika Barongan tampil, ia dipercaya membakar energi negatif, penyakit, dan kesialan yang menempel pada komunitas. Gerakan tarinya yang mengentak-entak dan berputar-putar menciptakan pusaran energi api yang membersihkan ruang pertunjukan. Ini adalah aspek positif dari kemarahan Sang Raja—kemarahan terhadap ketidakmurnian dan kejahatan.
Dalam konteks individu, Barongan Rojo mendorong transformasi. Penari yang berinteraksi dengan Barongan diharapkan mengambil inspirasi dari kekuatan merah tersebut untuk mengatasi kelemahan pribadi mereka. Merah adalah simbol keberanian untuk menghadapi masalah tanpa melarikan diri, sebuah prinsip yang sangat dihargai dalam etika kepemimpinan Jawa.
Kekuatan Agni ini juga terkait erat dengan elemen Timur dan Selatan dalam Nawa Sanga (sembilan penjuru mata angin). Barongan Rojo sering dianggap membawa energi dari dua arah ini secara simultan: Timur (Harapan dan permulaan) dan Selatan (Kekuasaan dan kemarahan). Sintesis energi ini menciptakan entitas yang mampu membawa awal baru melalui pertarungan keras. Barongan Rojo adalah Raja yang siap berperang demi kebaikan rakyatnya, sebuah simbol pengorbanan yang dibalut keagungan.
Barongan Rojo, oleh karenanya, adalah karya seni yang multi-dimensi. Ia adalah penjelajah waktu yang membawa kita kembali ke era kerajaan, seorang pawang spiritual yang memandu komunitas melewati masa sulit, dan seorang guru filosofis yang mengajarkan pentingnya mengelola kekuatan terliar dalam diri—kemarahan—menjadi sebuah otoritas yang bijaksana dan melayani. Warisannya, dibalut warna merah yang tak pernah padam, akan terus menyala dalam denyut nadi kebudayaan Jawa Timur.