Barongan Reak, sebuah tarian ritual yang berdenyut kencang di perbatasan kultural antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, merupakan manifestasi seni pertunjukan yang paling eksplosif dan menyimpan misteri mendalam. Seni ini bukan sekadar hiburan visual; ia adalah jembatan spiritual, sebuah praktik di mana batas antara dunia nyata dan gaib menjadi kabur, memungkinkan roh leluhur dan entitas tak kasat mata untuk mengambil alih raga penarinya. Dalam setiap tabuhan kendang yang menggelegar dan raungan Barong yang menakutkan, tersimpan sejarah panjang sinkretisme budaya, perlawanan spiritual, dan filosofi hidup masyarakat agraris pedesaan.
Meskipun sering disamakan dengan kesenian Jaranan, Ebeg, atau Kuda Lumping dari Jawa Tengah, Barongan Reak memiliki karakterisitik unik yang khas, terutama dalam intensitas ritual kerasukan—yang dikenal dengan istilah Ngelu atau Mendem—dan pemilihan instrumen musik pengiring. Ia adalah bentukan akulturasi budaya Sunda (Tatar Pasundan) dengan tradisi Jawa (khususnya wilayah Cirebon, Kuningan, dan Banyumas), menjadikannya cerminan dinamis dari percampuran identitas yang kaya raya. Reak adalah teater kekacauan yang teratur, sebuah festival spiritual yang mengundang decak kagum, ketakutan, dan penghormatan.
Istilah Barongan Reak sendiri terdiri dari dua kata kunci utama. Barongan merujuk pada topeng singa atau macan yang menjadi ikon utama, seringkali dihubungkan dengan figur mitologis pelindung atau manifestasi kekuatan alam. Topeng ini bukan sekadar properti, melainkan representasi kekuatan spiritual yang memimpin jalannya ritual. Sementara itu, Reak (atau kadang dieja Reog dalam konteks tertentu, namun berbeda dengan Reog Ponorogo) mengacu pada kegembiraan, keramaian, atau dalam konteks spesifik ini, merujuk pada tarian yang melibatkan energi tinggi, kekacauan, dan utamanya, fenomena trans atau kerasukan massal.
Seni Reak umumnya berkembang di wilayah Jawa Barat bagian timur dan selatan, seperti Garut, Tasikmalaya, Ciamis, hingga wilayah Bandung Timur. Wilayah ini secara historis merupakan zona pertemuan berbagai pengaruh, mulai dari tradisi Hindu-Buddha Pajajaran, mistisisme Islam, hingga budaya rakyat yang sangat terikat pada kekuatan bumi dan kesuburan. Dalam tradisi Reak, kerasukan bukan dianggap sebagai malapetaka, melainkan sebagai berkah, sebuah sarana komunikasi langsung antara penari dan kekuatan spiritual yang mereka yakini melindungi komunitas.
Meskipun memiliki kemiripan elemen (seperti penggunaan Jathilan atau kuda kepang), Barongan Reak Sunda seringkali menampilkan tingkat intensitas kerasukan yang jauh lebih ekstrem dan durasi pertunjukan trans yang lebih lama. Musik pengiringnya, yang didominasi oleh kendang sunda atau gamelan laras pelog/salendro yang dimainkan dengan ritme cepat dan agresif, menciptakan suasana hipnotik yang mempercepat proses Ngelu. Selain itu, penambahan karakter khas lokal seperti Bocah Angon atau Bujang Ganong versi Sunda memberikan nuansa koreografi dan simbolisme yang spesifik.
Fokus utama Reak sering kali diarahkan pada atraksi kekebalan atau kedigdayaan setelah kerasukan. Penari yang sudah 'mendem' (mabuk spiritual) akan melakukan aksi-aksi luar biasa: memakan beling (pecahan kaca), mengupas kelapa dengan gigi, memakan bara api, atau berjalan di atas serpihan paku. Semua ini adalah demonstrasi fisik dari kekuatan spiritual yang merasuk, meyakinkan penonton akan keberadaan dan keampuhan entitas yang mendampingi tarian tersebut.
Ilustrasi topeng Barong, representasi kekuatan spiritual utama dalam pertunjukan Reak.
Sejarah Barongan Reak seringkali sulit dilacak melalui dokumen tertulis karena sifatnya yang merupakan kesenian rakyat oral yang diwariskan secara turun-temurun melalui garis perguruan (padepokan). Namun, para peneliti budaya meyakini bahwa akarnya sangat tua, berpadu dengan tradisi animisme dan dinamisme pra-Islam yang menghormati arwah leluhur dan penguasa alam, khususnya roh hutan atau gunung (Dewa Hutan/Macan Putih).
Pada masa transisi kekuasaan, terutama setelah runtuhnya Majapahit dan berkembangnya kerajaan Islam di pesisir utara Jawa, Barongan Reak berfungsi sebagai alat dakwah yang efektif dan juga sebagai wadah perlawanan budaya. Unsur-unsur Hindu-Buddha (seperti figur Raja Singa) diserap, dicampur dengan ajaran tasawuf Islam yang menekankan penyatuan diri dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti), dan dipresentasikan dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Kerasukan, yang dulunya mungkin merupakan ritual persembahan, diinterpretasikan ulang sebagai media masuknya khodam atau pelayan spiritual yang membantu menjaga keselamatan desa.
Selama era kolonialisme, kesenian ini bahkan sempat dilarang di beberapa wilayah karena dianggap memicu semangat perlawanan dan dianggap sebagai praktik magis yang tidak rasional oleh pemerintah Hindia Belanda. Larangan ini justru memperkuat sifat rahasia dan sakral Reak, yang kemudian hanya dipentaskan pada upacara-upacara adat yang sangat penting, seperti syukuran panen raya atau ritual bersih desa, menjadikannya semakin dekat dengan identitas spiritual masyarakat setempat.
Elemen kuda kepang atau Jathilan, yang menjadi bagian integral dari Reak, mengandung filosofi kepahlawanan dan kesetiaan. Kuda merupakan simbol kendaraan para ksatria yang gagah berani. Dalam konteks Reak, kuda lumping mewakili pasukan yang siap berperang melawan kejahatan atau mengusir bala. Saat penari Jathilan mengalami trans, gerakan mereka menjadi liar dan penuh tenaga, merefleksikan kekuatan yang tak terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa spiritualitas dapat memberikan kekuatan fisik yang melampaui batas kemampuan manusia biasa.
Kuda kepang yang terbuat dari anyaman bambu sederhana juga menyiratkan filosofi kerendahan hati dan pengingat bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada material yang mewah, melainkan pada semangat yang terkandung di dalamnya. Para penari, meskipun hanya menunggangi kuda imitasi, merasakan diri mereka sebagai ksatria sejati yang sedang dalam perjalanan spiritual yang penuh tantangan. Ritual ini adalah pengingat kolektif bahwa komunitas harus selalu siap menghadapi ujian hidup dengan keberanian dan keyakinan spiritual yang teguh.
Sebuah pementasan Barongan Reak adalah sebuah siklus ritual yang terstruktur rapi, meski terlihat kacau di mata penonton awam. Pertunjukan ini dibagi menjadi beberapa babak penting, dari persiapan spiritual hingga prosesi pemulihan kesadaran.
Sebelum pertunjukan dimulai, langkah paling krusial adalah mempersiapkan Sesajen. Sesajen ini berfungsi sebagai media penghubung, persembahan, dan penolak bala. Isi sesajen sangat bervariasi tetapi umumnya mencakup: kemenyan atau dupa, kembang tujuh rupa, kopi pahit dan manis, jajanan pasar, ingkung ayam (ayam utuh), rokok kretek, dan uang logam. Setiap item memiliki makna simbolis, misalnya, kemenyan untuk mengundang roh, kopi pahit untuk menolak hawa negatif, dan kembang sebagai simbol keindahan dan kesucian.
Pemimpin ritual, yang sering disebut Pawang, Dukun, atau Bapak Jero, akan melakukan ritual pembukaan (tirakat) dengan membacakan mantra-mantra dan doa-doa khusus, memohon izin dan perlindungan dari para leluhur dan penjaga lokasi. Area pentas harus disucikan terlebih dahulu untuk memastikan hanya roh-roh baik yang diundang. Tanpa persiapan spiritual yang matang, pertunjukan dianggap berisiko tinggi dan bisa berakhir fatal.
Ilustrasi Kendang sebagai instrumen kunci yang memicu dan mengontrol proses trans dalam Reak.
Musik (gamelan Reak) bukan sekadar pengiring, melainkan instrumen magis yang memandu ritual. Ritme yang digunakan bersifat repetitif, cepat, dan keras, menghasilkan resonansi yang membius. Instrumen utamanya meliputi: Kendang (memimpin tempo dan energi), Saron, Demung, Bonang, dan Gong. Tempo musik dimulai dengan irama pelan dan ritmis saat penari kuda lumping masuk. Namun, saat Pawang mulai memanggil roh, tempo musik akan dipercepat secara dramatis, mencapai klimaks yang memekakkan telinga, menciptakan frekuensi gelombang suara yang dipercaya membantu penari memasuki kondisi hipnosis kolektif.
Ketika penari mulai merasakan gejala kerasukan—seperti tubuh gemetar, mata melotot, dan napas tersengal—musik akan menjadi semakin agresif. Suara tabuhan kendang yang mendominasi, ditambah dengan teriakan-teriakan Pawang dan penonton, membentuk lingkungan sensorik yang sangat intens, mendorong penari melampaui batas kesadaran normal. Irama musik ini harus dijaga kestabilannya, karena sedikit saja kesalahan tempo dapat mengganggu proses trans atau bahkan menyebabkan penari mengalami kesulitan saat kembali ke kesadaran normal.
Ngelu atau Mendem adalah inti dari Reak. Proses ini biasanya diawali oleh penari-penari Jathilan. Saat mereka menari dengan kuda kepang di bawah pengaruh musik, Pawang akan mendekat dan memberikan sentuhan atau mantra singkat. Seketika, penari tersebut akan jatuh tersungkur atau mulai menunjukkan gerakan tidak terkontrol. Setelah sepenuhnya dikuasai roh, gerakan penari berubah: mereka mungkin menirukan cara makan kuda (menggigit rumput), berjalan seperti macan, atau mengeluarkan suara aneh.
Fenomena ini melibatkan perubahan fisiologis yang signifikan. Penari menunjukkan kekuatan yang jauh melampaui batas normal (misalnya, menahan cambukan keras atau mengangkat beban berat) dan mengalami analgesia (hilangnya rasa sakit) yang memungkinkan mereka melakukan atraksi kekebalan. Kekuatan yang merasuki raga penari dipercaya sebagai dhanyang (roh penjaga lokasi), khodam (pendamping spiritual), atau arwah leluhur yang bersemayam di pusaka yang dibawa oleh Pawang.
Kondisi mendem ini tidak seragam. Ada penari yang kerasukan roh kera (monyet), yang bertingkah lincah dan suka mengganggu penonton; ada yang kerasukan macan (Barongan), yang menunjukkan aura agresif dan membutuhkan makanan ekstrem seperti pecahan kaca; dan ada yang kerasukan babi hutan (Celeng), yang cenderung destruktif dan suka mengacak-acak sesajen. Keragaman ini menambah dinamika visual yang sangat kaya dan tak terduga dalam pertunjukan.
Setiap karakter dalam Barongan Reak memiliki peran simbolis dan ritual yang terdefinisi jelas, meskipun penampilan mereka mungkin terlihat spontan dan kacau saat berada dalam kondisi trans.
Barongan adalah figur sentral yang biasanya diisi oleh penari paling senior atau yang memiliki kekuatan spiritual tertinggi. Ia melambangkan kekuatan tertinggi di alam semesta tersebut, seringkali diinterpretasikan sebagai penjaga teritorial atau manifestasi Raja Singa yang memiliki wibawa besar. Topeng Barong yang besar, berambut lebat, dan bermata melotot memberikan kesan angker dan sakral. Gerakan Barongan cenderung lambat, berwibawa, namun tiba-tiba eksplosif, menunjukkan kekuatan yang tidak dapat diprediksi.
Dalam beberapa tradisi, Barongan mewakili kekuatan pencerahan yang membersihkan desa dari segala bentuk energi negatif. Kehadirannya adalah penanda bahwa ritual telah mencapai puncak spiritualitasnya, dan ia bertugas mengontrol atau mengarahkan energi kerasukan dari penari Jathilan lainnya agar tidak merugikan diri sendiri maupun penonton. Ia adalah simbol kekuasaan yang harus dihormati dan ditakuti.
Pawang adalah sosok terpenting dalam Barongan Reak, yang berfungsi sebagai moderator antara dua dunia. Ia harus memiliki ilmu spiritual yang mumpuni untuk mengundang roh, tetapi yang lebih penting, ia harus mampu mengusir atau menenangkan roh yang merasuki penari jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Pawang adalah penjaga keselamatan kolektif.
Tugas Pawang meliputi: melakukan ritual pembuka, menjaga api kemenyan tetap menyala, menyediakan 'makanan' spiritual (seperti beling atau bunga) untuk roh yang merasuki, dan yang paling krusial, menyadarkan penari dari kondisi trans. Proses penyadaran melibatkan mantra, sentuhan, atau air suci. Jika Pawang gagal dalam tugasnya, penari bisa mengalami kelelahan ekstrem, trauma psikologis, atau bahkan, menurut kepercayaan setempat, terjebak secara permanen dalam kondisi kerasukan.
Fenomena kerasukan dalam Barongan Reak tidak hanya dapat dipandang dari kacamata mistis, tetapi juga memiliki dimensi psikologis dan sosiologis yang mendalam bagi komunitas pendukungnya. Reak adalah sebuah katarsis kolektif.
Dari sudut pandang psikologi, proses trans yang terjadi dalam Reak adalah contoh dari Dissociative Identity State yang diinduksi oleh faktor eksternal: musik repetitif yang intens (driving rhythm), bau kemenyan yang kuat, kondisi fisik yang kelelahan, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Ketika penari memasuki kondisi ini, korteks prefrontal (bagian otak yang bertanggung jawab atas kontrol diri dan pengambilan keputusan rasional) menjadi kurang aktif, sementara bagian limbik (emosi dan naluri) mengambil alih.
Kondisi mendem memberikan kesempatan bagi penari untuk melepaskan diri dari tekanan sosial dan realitas sehari-hari. Penari, yang dalam kehidupan normal mungkin adalah petani sederhana atau buruh, tiba-tiba menjelma menjadi entitas yang kuat, tak tersentuh, dan dihormati. Ini adalah pelepasan energi psikis yang terpendam, sebuah ritual pelampiasan yang diizinkan oleh kerangka budaya.
Secara sosiologis, Barongan Reak memainkan peran penting dalam memperkuat ikatan komunitas. Pertunjukan ini selalu diadakan secara gotong royong, mulai dari pengumpulan dana, persiapan sesajen, hingga menjadi penonton yang aktif. Ritual kerasukan berfungsi sebagai penanda identitas budaya yang kuat, membedakan mereka dari komunitas tetangga yang mungkin memiliki bentuk kesenian yang berbeda.
Selain itu, Reak berfungsi sebagai media penyembuhan spiritual. Masyarakat percaya bahwa roh-roh yang datang saat mendem dapat memberikan nasihat, meramalkan masa depan, atau bahkan menyembuhkan penyakit. Oleh karena itu, Reak adalah pusat pelayanan spiritual, tempat di mana masalah kolektif dan individual dapat dihadapkan dan diatasi melalui intervensi supranatural. Keterlibatan emosional penonton—yang berteriak, bertepuk tangan, dan terkadang ikut terhipnotis—menegaskan kembali kepercayaan bersama dan memperkuat kohesi sosial di tengah dinamika perubahan zaman.
Meskipun Barongan Reak tetap eksis, ia menghadapi berbagai tantangan berat di tengah arus modernisasi, digitalisasi, dan pergeseran nilai generasi muda. Pelestariannya membutuhkan upaya adaptasi tanpa menghilangkan esensi ritualistiknya.
Salah satu dilema terbesar adalah menjaga keseimbangan antara komersialisasi dan kesakralan. Banyak grup Reak kini tampil sebagai hiburan panggung murni dalam acara pernikahan, khitanan, atau festival. Ketika Reak dipentaskan untuk bayaran semata, fokus ritualnya seringkali berkurang. Pawang mungkin ditekan untuk mempercepat proses trans atau memotong bagian-bagian ritual yang dianggap terlalu lama oleh penonton modern.
Komersialisasi yang berlebihan berpotensi mengubah Reak dari ritual sakral menjadi tontonan eksotis yang semata-mata mencari sensasi. Hilangnya rasa hormat terhadap sesajen, mantra, dan leluhur dapat mengikis makna filosofisnya, menjadikannya hanya sekumpulan atraksi kekebalan tanpa ruh. Upaya pelestarian harus berfokus pada pendidikan publik bahwa atraksi kekebalan adalah hasil dari ritual, bukan tujuan utama pertunjukan.
Untuk menarik minat generasi muda, beberapa kelompok Reak mulai memodifikasi musiknya dengan memasukkan unsur-unsur dangdut, pop, atau bahkan musik elektronik (EDM). Mereka juga memodernisasi kostum agar terlihat lebih mencolok dan cerah. Meskipun ini membantu Reak tetap relevan dan menarik audiens yang lebih muda, modifikasi ini juga menimbulkan perdebatan di kalangan puritan tradisi. Kritikus khawatir bahwa percampuran musik modern akan mengganggu resonansi spiritual yang dibutuhkan untuk memicu trans yang otentik, serta menghilangkan keotentikan laras gamelan Sunda/Jawa yang menjadi ciri khas.
Meskipun demikian, adaptasi adalah kunci kelangsungan hidup budaya. Kelompok-kelompok yang sukses mempertahankan Reak adalah mereka yang mampu berinovasi dalam penyajian (estetika panggung, tata cahaya) sambil menjaga inti ritualistiknya tetap utuh, memastikan bahwa Pawang tetap melaksanakan tugas spiritualnya dengan serius, terlepas dari cepatnya tempo musik yang dimainkan.
Atraksi kekuatan fisik yang terjadi saat penari mendem adalah bagian yang paling memukau dan paling sering diingat oleh penonton. Aksi-aksi ini bukan hanya demonstrasi kekebalan, tetapi juga penegasan iman dan kekuatan spiritual yang menaungi penari.
Salah satu atraksi paling ekstrem adalah memakan beling (pecahan kaca) atau memakan bara api yang masih menyala. Secara ilmiah, tindakan ini mustahil dilakukan tanpa cedera serius. Namun, dalam kondisi trans, penari tidak hanya tidak terluka, tetapi juga tampak menikmati prosesnya. Roh yang merasuki dipercaya memberikan perlindungan, menguatkan kulit, dan mengubah persepsi rasa sakit. Kaca dan api melambangkan elemen-elemen ekstrem yang diatasi oleh kekuatan spiritual.
Selain beling dan api, objek lain yang sering dimakan adalah buah kelapa utuh yang dikupas menggunakan gigi, atau memakan ubi jalar mentah yang sangat keras. Tindakan ini menunjukkan bahwa roh yang masuk bersifat alamiah, seringkali membutuhkan 'makanan' yang kasar atau mentah sebagai asupan energi. Pawang harus selalu sigap mengontrol jenis makanan yang diminta oleh roh, memastikan permintaan tersebut masih dalam batas aman ritual.
Penari yang mendem seringkali diuji kekebalannya menggunakan cambuk yang terbuat dari tali tebal atau rotan, yang dihantamkan ke tubuh mereka dengan kekuatan penuh. Suara cambukan yang keras sering terdengar, namun penari tidak menunjukkan ekspresi sakit. Mereka mungkin juga dihadapkan pada benda tajam, seperti keris atau pisau, yang digesekkan ke kulit tanpa melukai.
Ritual ini memiliki dua tujuan. Pertama, membuktikan keampuhan spiritual yang melindungi mereka. Kedua, cambukan dan rasa sakit yang (seharusnya) timbul berfungsi sebagai pemantik tambahan agar trans semakin dalam. Semakin liar dan agresif gerakan penari setelah dicambuk, semakin puas roh yang merasuki, dan semakin meyakinkan pertunjukan bagi penonton.
Fase terakhir dan terpenting dari Barongan Reak adalah prosesi penyadaran, yang dalam beberapa istilah disebut Ngadeg atau Ngluwari. Fase ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan penari kembali ke kondisi sadar sepenuhnya tanpa membawa sisa-sisa energi negatif atau roh yang merasuki.
Setelah atraksi mencapai klimaks dan energi spiritual mulai menurun, Pawang akan mengambil peran utama. Pawang menggunakan mantra khusus (seringkali berupa doa-doa Islam yang dicampur dengan bahasa Sunda kuno), air suci yang telah didoakan (tirta), dan terkadang sentuhan pada ubun-ubun atau punggung penari.
Proses penyadaran seringkali dramatis. Roh yang merasuki mungkin menolak untuk pergi, menyebabkan penari memberontak, berteriak, atau bahkan mencoba menyerang Pawang. Ini adalah pertarungan spiritual yang menegangkan. Pawang harus tegas namun sabar, mengingatkan roh tentang janji mereka untuk kembali ke alam asalnya setelah ritual selesai. Keberhasilan Ngadeg adalah indikator langsung dari kekuatan spiritual Pawang dan keselamatan penari.
Setelah sadar, penari biasanya mengalami kelelahan fisik yang luar biasa, seolah-olah baru saja melakukan aktivitas fisik berat selama berjam-jam. Mereka seringkali tidak mengingat detail spesifik tentang apa yang mereka lakukan saat mendem. Amnesia ini adalah bukti bahwa pikiran sadar mereka memang telah digantikan oleh entitas lain.
Komunitas memastikan penari mendapatkan istirahat dan nutrisi yang cukup setelah Ngadeg. Seringkali, ritual ditutup dengan doa bersama untuk mengucapkan terima kasih kepada roh-roh yang telah hadir dan memohon keselamatan bagi seluruh komunitas. Penutupan ini mengembalikan suasana dari kekacauan spiritual yang liar menjadi kedamaian dan harmoni sosial.
Barongan Reak, dengan segala kekerasan, mistisisme, dan keindahannya yang liar, adalah pilar penting dalam mempertahankan identitas kultural masyarakat di perbatasan Jawa dan Sunda. Ia bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan sebuah praktik hidup yang terus berevolusi.
Di tengah gempuran globalisasi, Barongan Reak menjadi benteng yang mengajarkan generasi muda tentang kearifan lokal, pentingnya penghormatan terhadap alam dan leluhur, serta nilai-nilai spiritual yang tidak dapat diukur dengan materi. Melalui partisipasi dalam Reak, baik sebagai penari, musisi, maupun penonton, anak muda diajak untuk terhubung kembali dengan akar budaya mereka yang kaya akan misteri dan kekuatan batin.
Ritual ini menekankan pentingnya disiplin spiritual. Meskipun terlihat acak saat kerasukan, prosesi untuk mencapai kondisi trans yang aman membutuhkan puasa, tirakat, dan kepatuhan pada ajaran guru. Disiplin spiritual inilah yang menjadi bekal moral bagi individu di tengah masyarakat yang semakin kompleks.
Saat ini, beberapa kelompok Reak mulai mendapatkan perhatian nasional, bahkan internasional, sebagai bentuk seni pertunjukan yang eksotis dan penuh energi. Apabila dikelola dengan baik, Barongan Reak memiliki potensi besar untuk menjadi daya tarik wisata budaya yang unik. Namun, perlu ada kesadaran kolektif untuk memastikan bahwa promosi ke kancah global tidak mengorbankan kedalaman makna ritualnya. Presentasi harus dilakukan dengan narasi yang jujur, menjelaskan bahwa elemen kerasukan adalah manifestasi spiritual, bukan sekadar trik sulap atau akrobat semata.
Pemerintah daerah dan akademisi memegang peran kunci dalam mendokumentasikan, melindungi, dan mempromosikan Barongan Reak. Penelitian yang lebih mendalam mengenai pola musik, variasi mantra, dan perbedaan karakter topeng di berbagai wilayah diperlukan untuk menciptakan peta warisan budaya yang komprehensif. Upaya ini akan memastikan bahwa Barongan Reak tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sebagai warisan tak ternilai yang terus menyala di jantung bumi Pasundan.
Barongan Reak adalah sebuah paradoks yang mempesona: sebuah kekacauan yang teratur, sebuah tontonan yang sakral, dan sebuah kekuatan spiritual yang diekspresikan secara fisik. Ia adalah cermin dari jiwa masyarakat yang percaya bahwa kekuatan terbesar datang dari penyatuan diri dengan alam gaib dan warisan leluhur. Ketika kendang mulai ditabuh dan sang Barong mengaum, kita tidak hanya menyaksikan sebuah tarian, melainkan kita sedang menyaksikan sebuah ritual purba yang menentang logika dan merayakan misteri kehidupan.
***