Di antara berbagai rupa kesenian Barongan yang tersebar di Pulau Jawa, Barongan Nogo Jowo memiliki tempat yang sangat istimewa. Bukan sekadar pertunjukan rakyat yang menghibur, ia adalah perwujudan purba dari kosmologi Jawa, sebuah tarian yang menjembatani dunia nyata dan alam spiritual. Ia membawa serta mitologi mendalam tentang naga, kekuatan bumi, dan warisan leluhur yang tak terputus. Nogo Jowo, atau Naga Jawa, bukanlah sekadar fantasi; ia adalah penjaga keseimbangan, simbol kemakmuran, sekaligus manifestasi kekuatan yang terpendam di dalam tanah Nusantara.
Kesenian ini sering kali dijumpai di kawasan-kawasan yang kental dengan tradisi Mataram Kuno, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, meskipun variannya menyebar luas hingga pesisir. Kehadirannya selalu dibarengi dengan aura sakral, di mana setiap gerakan dan setiap irama Gamelan mengandung makna filosofis yang mendalam. Artikel ini akan menelusuri akar sejarah, detail filosofis, elemen pertunjukan, hingga upaya pelestarian Barongan Nogo Jowo, memastikan bahwa pusaka budaya ini tetap bernyawa di tengah arus modernitas yang semakin deras.
Untuk memahami Barongan Nogo Jowo, kita harus terlebih dahulu menyelami konsep naga dalam pandangan dunia Jawa. Berbeda dengan naga Barat yang sering digambarkan sebagai makhluk jahat dan perusak, naga dalam kebudayaan Asia, termasuk Jawa, adalah simbol kekuatan alam, air, kesuburan, dan penjaga harta karun. Ia adalah manifestasi dari Dewa Wisnu, atau sering dikaitkan dengan Naga Basuki, naga raksasa yang menopang dunia.
Mitologi naga di Jawa sangat erat kaitannya dengan kisah penciptaan dan keseimbangan bumi. Dalam beberapa versi mitos Jawa kuno, Naga Basuki dipercaya sebagai tali kosmik yang melilit gunung-gunung dan menjaga agar Pulau Jawa tetap stabil. Barongan Nogo Jowo, dengan wujudnya yang panjang, berlekuk, dan dominan, mereplikasi citra naga tersebut. Ia bukan representasi naga api, melainkan naga air (naga tirta) atau naga bumi (naga pratala), yang mewakili sumber kehidupan dan kemakmuran pertanian.
Asal-usul pertunjukan Barongan sendiri diperkirakan telah ada sejak masa Kerajaan Kediri atau Majapahit. Barongan (yang secara harfiah berarti 'singa' atau 'makhluk buas' dalam beberapa dialek, namun dalam konteks Nogo Jowo merujuk pada wujud kepala besar yang disakralkan) dulunya berfungsi sebagai media ritual untuk tolak bala (menghilangkan bahaya), meminta hujan, atau merayakan panen. Dalam konteks Nogo Jowo, pertunjukan ini adalah ritual pemujaan terhadap kekuatan elemental yang dipercaya bersemayam di dalam bumi.
Transisi dari ritual murni ke seni pertunjukan terjadi seiring masuknya pengaruh Islam yang akulturatif. Para Wali Sanga menggunakan kesenian rakyat sebagai medium dakwah. Mereka tidak menghilangkan unsur naga, tetapi menyerapnya ke dalam narasi baru, menjadikannya simbol kekuasaan ilahi dan kearifan lokal. Oleh karena itu, Barongan Nogo Jowo sering kali membawa unsur-unsur sinkretis, menggabungkan animisme, Hindu-Buddha, dan ajaran Islam yang halus.
Penelusuran historis menunjukkan bahwa Nogo Jowo sering dihubungkan dengan figur-figur sakti atau raja-raja yang dianggap memiliki kesaktian layaknya naga. Wujudnya yang gagah dan karismatik adalah proyeksi dari kekuatan seorang pemimpin yang bijaksana dan mampu menjaga rakyatnya dari segala marabahaya, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Keterkaitan naga dengan air, kemakmuran sungai, dan lumbung padi memperkuat statusnya sebagai simbol kesejahteraan agraris masyarakat Jawa.
Nama "Nogo Jowo" memuat dua kata kunci yang memiliki makna filosofis yang sangat padat. Memahami Barongan ini adalah memahami esensi dari identitas dan pandangan hidup orang Jawa itu sendiri.
Naga, sebagai entitas mistis, mewakili beberapa lapisan filosofi:
Warna dominan pada Barongan Nogo Jowo – seperti hijau, emas, dan merah tua – juga membawa makna. Hijau melambangkan kesuburan dan alam; Emas melambangkan keagungan dan kekayaan; sementara Merah tua sering kali melambangkan kekuatan mistis dan keberanian (wanita). Kontras warna ini menciptakan harmoni visual yang mencerminkan dualitas jagad raya.
Kata "Jowo" atau Jawa tidak hanya merujuk pada geografis. Ia melambangkan kebudayaan luhur, etika, dan tata krama yang telah mengakar selama ribuan tahun. "Jowo" menggarisbawahi bahwa naga ini adalah naga yang telah diinkulturasi, yang perilakunya dan gerakannya disesuaikan dengan estetika Jawa yang halus namun penuh tenaga tersembunyi.
Filosofi Nogo Jowo mengajarkan tentang pentingnya harmoni antara manusia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Gerakan tarian yang bergelombang dan dinamis adalah representasi visual dari aliran air, gelombang bumi, dan angin, yang semuanya harus dihormati dan diselaraskan agar tercipta kedamaian. Kepatuhan pada ritme Gamelan adalah simbol kepatuhan pada hukum alam.
Dalam pertunjukan ini, Nogo Jowo sering muncul sebagai sosok yang agung dan tenang, namun mampu meledakkan kekuatan dahsyat (saat gerakan sabetan atau saat mengalami trance). Dualitas ini mencerminkan karakter Jawa yang terkenal alus (halus) di permukaan, namun menyimpan kekuatan spiritual (batin) yang luar biasa di dalamnya. Hal ini adalah inti dari ajaran Kawruh Kejawen.
Topeng Barongan Nogo Jowo adalah mahakarya seni ukir yang membutuhkan ketelitian dan penghayatan spiritual. Pembuatan topeng ini bukan sekadar proses kerajinan, melainkan ritual penciptaan pusaka, seringkali dilakukan oleh seorang undagi (maestro perajin) yang berpuasa dan melakukan tirakat.
Kayu yang digunakan umumnya adalah kayu yang dianggap memiliki tuah, seperti kayu Jati, kayu Beringin, atau kayu Pule. Pemilihan kayu ini didasarkan pada keyakinan bahwa pohon tersebut adalah tempat bersemayamnya roh atau energi alam. Sebelum dipotong, seringkali dilakukan upacara permohonan izin kepada penjaga pohon tersebut.
Struktur fisik Nogo Jowo berbeda dengan Barongan Singo Barong atau Ganongan. Ia memiliki ciri khas:
Detail ukiran adalah kunci utama. Setiap garis, lekukan, dan motif patra (ukiran hiasan) memiliki arti. Misalnya, motif ceplok manggis (bunga manggis) pada mahkota melambangkan kesempurnaan. Sentuhan terakhir yang paling krusial adalah upacara perawatan atau penyatuan roh pada topeng, yang menjadikan Barongan tersebut bukan lagi sekadar benda mati, melainkan pusaka yang berjiwa (bertuah).
Pertunjukan Barongan Nogo Jowo adalah gabungan komprehensif dari musik, tari, drama, dan ritual spiritual. Keseluruhan prosesi ini dirancang untuk menciptakan atmosfer yang memungkinkan komunikasi dengan alam gaib.
Iringan musik memainkan peran fundamental, sering disebut Gending Barongan atau Gending Nogo Limo. Instrumen yang dominan adalah Kendang (gendang) yang memimpin irama dengan tempo yang cepat dan mengentak, diikuti oleh Saron, Demung, Gong, dan Kenong. Ritme Gamelan untuk Nogo Jowo memiliki karakteristik yang lebih berat dan mistis dibandingkan irama tari umum, karena ia berfungsi sebagai pemanggil roh.
Ketika irama semakin cepat dan memuncak (disebut Srambahan), energi pertunjukan mencapai puncaknya. Musik ini bukan hanya latar, tetapi katalisator yang memicu janturan atau kerasukan—salah satu elemen paling mistis dari pertunjukan ini.
Sebelum pertunjukan dimulai, serangkaian ritual ketat harus dilaksanakan. Ini termasuk:
Koreografi Nogo Jowo fokus pada gerakan yang menggambarkan karakteristik naga:
Setiap gerak tarian Nogo Jowo mengandung makna perlindungan. Gerakan mengelilingi arena pertunjukan (dikenal sebagai Tawur Lingga) adalah simbol dari perlindungan magis yang ditebarkan oleh naga untuk membersihkan area tersebut dari energi negatif atau roh jahat.
Meskipun inti filosofis Nogo Jowo tetap sama, interpretasi artistik dan praktik ritualnya dapat bervariasi secara signifikan dari satu daerah ke daerah lain. Variasi ini membuktikan betapa dinamisnya kesenian Barongan dalam menyerap kearifan lokal.
Di wilayah Jawa Timur yang kental dengan warisan Majapahit, Nogo Jowo sering digambarkan lebih dramatis dan memiliki hubungan langsung dengan tokoh-tokoh Panji. Di sini, naga seringkali diposisikan sebagai figur penolong atau ksatria sakti. Wujud Barongan di area ini cenderung memiliki warna yang lebih berani dan hiasan yang lebih meriah, mencerminkan gaya seni rupa Jawa Timuran yang ekspresif. Musik pengiringnya, meskipun masih menggunakan Gamelan, mungkin memiliki sentuhan jula-juli atau irama khas ludruk.
Kesenian di sini lebih sering dipentaskan dalam konteks wayang wong atau drama tari yang memiliki alur cerita. Naga Jowo tidak hanya menari secara tunggal tetapi berinteraksi dengan karakter lain seperti prajurit, putri, atau punakawan (badut), menjadikannya lebih mendekati bentuk seni pertunjukan rakyat yang komersial dan menghibur, tanpa mengurangi unsur kesakralannya.
Di Jawa Tengah, khususnya daerah pesisir yang dipengaruhi oleh budaya Islam Mataraman, Nogo Jowo memiliki dimensi spiritualitas yang lebih kental dan cenderung lebih konservatif dalam bentuknya. Fokusnya lebih kepada ritual bersih desa dan sedekah bumi.
Wujud topeng Barongan di sini seringkali lebih didominasi oleh warna hijau tua dan cokelat (warna tanah), dengan ukiran yang lebih simpel namun menonjolkan aura mistis yang kuat. Tarian yang dipentaskan seringkali lebih fokus pada gerakan meditatif dan gerak kepala yang patah-patah, merepresentasikan kekuatan yang tertahan dan penuh pengendalian diri (prinsip Nrimo). Aspek kerasukan (janturan) di daerah ini seringkali dianggap sebagai manifestasi paling murni dari restu leluhur.
Sangat penting untuk membedakan Nogo Jowo dari Barongan lain, terutama Singo Barong (Barong Singa) yang terkenal di Reog Ponorogo atau Barongan Blora. Singo Barong merepresentasikan singa, simbol Raja Hutan, yang menekankan pada kekuatan fisik, kegarangan, dan arogansi kekuasaan (kearifan militer atau politik).
Sebaliknya, Nogo Jowo merepresentasikan Naga, simbol air, bumi, dan kebijaksanaan. Kekuatannya adalah kekuatan spiritual dan alamiah, bukan kekuatan yang agresif. Singo Barong bergerak cepat dan menghentak; Nogo Jowo bergerak meliuk, tenang, dan memiliki kekuatan batin yang tersembunyi. Kedua-duanya adalah Barongan, tetapi mereka mewakili dua kutub kekuatan yang berbeda dalam kosmologi Jawa: kekuatan atas (Singo) dan kekuatan bawah (Nogo).
Topeng Barongan Nogo Jowo tidak lahir dari pabrik, tetapi melalui serangkaian ritual dan penempaan yang panjang. Proses ini membutuhkan ketekunan spiritual dan fisik dari sang undagi (perajin).
Pemilihan bahan baku adalah tahap paling krusial. Kayu yang dipilih harus memenuhi kriteria tertentu, tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga secara spiritual. Seringkali, undagi melakukan puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air) selama beberapa hari sebelum menebang pohon. Tujuannya adalah menyucikan diri dan memohon restu agar kayu yang digunakan membawa energi positif.
Proses penebangan pun tidak sembarangan; ia dilakukan pada hari baik menurut perhitungan primbon Jawa, disertai dengan persembahan sesaji di bawah pohon, sebagai bentuk permisi kepada Dewa Pohon atau roh penunggu. Keyakinan ini memastikan bahwa Barongan yang terbentuk akan memiliki ‘isi’ atau energi spiritual.
Selama proses mengukir, undagi harus menjaga fokus dan ketenangan batin. Setiap pahatan dilakukan dengan penuh penghayatan, karena ia sedang 'menghidupkan' karakter Nogo Jowo. Detail pada mata, sisik, dan bentuk mahkota adalah penentu karakter naga—apakah ia akan menjadi naga yang garang, bijaksana, atau protektif.
Ukiran dilakukan secara bertahap, seringkali diiringi dengan pembacaan mantra-mantra tertentu untuk memasukkan roh atau khodam ke dalam topeng. Di tahap ini, Nogo Jowo mulai mendapatkan identitas spiritualnya. Ukiran yang paling sulit dan paling sakral adalah area mata, yang dipercaya sebagai jendela roh.
Setelah ukiran selesai, dilakukan pewarnaan. Warna emas (prada) diaplikasikan pada mahkota dan detail sisik untuk menonjolkan keagungan. Warna hijau, cokelat, atau hitam digunakan sebagai warna dasar, melambangkan elemen bumi dan air.
Penyempurnaan mencakup pemasangan ornamen, rambut (sering disebut gimbal) yang terbuat dari tali rami atau ijuk yang diwarnai, dan pemasangan mekanisme mulut yang dapat membuka dan menutup (caklek). Mekanisme ini penting untuk menciptakan suara yang menggelegar saat pertunjukan, meniru raungan naga.
Tahap akhir adalah jamasan atau ritual pensucian, sering dilakukan pada malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Topeng dimandikan dengan air kembang tujuh rupa dan diasapi dengan kemenyan. Ini adalah upacara penyerahan dan penerimaan, di mana roh Barongan secara resmi 'diundang' untuk bersemayam dalam topeng tersebut.
Hanya setelah prosesi jamasan dan doa panjang ini, Barongan Nogo Jowo dianggap siap untuk dipentaskan. Ia kini telah menjadi pusaka yang dihormati dan ditakuti, membawa tanggung jawab besar bagi kelompok kesenian yang memilikinya.
Dalam konteks kontemporer, kesenian Barongan Nogo Jowo menghadapi tantangan besar. Meskipun demikian, ia juga menemukan ruang baru untuk eksistensi dan pelestarian. Transformasi ini perlu dipahami agar warisan ini tidak hilang ditelan zaman.
Salah satu tantangan terbesar adalah regenerasi. Pembarong (penari) harus memiliki bukan hanya kemampuan fisik untuk menahan beban topeng yang berat dan menari secara intens, tetapi juga kematangan spiritual. Tidak semua orang bersedia menjalani ritual ketat, puasa, dan tirakat yang diperlukan untuk menjadi pembarong sejati Nogo Jowo.
Selain itu, aspek mistis dari Janturan seringkali disalahartikan atau dicap sebagai 'primitif' oleh masyarakat urban yang cenderung rasional. Hal ini menyebabkan beberapa kelompok mencoba mengurangi unsur kerasukan, yang ironisnya, menghilangkan inti sakral dari pertunjukan tersebut.
Masalah pendanaan dan apresiasi juga menjadi kendala. Pertunjukan Nogo Jowo yang sejati membutuhkan banyak persiapan, kru, dan waktu, namun apresiasi finansial dari masyarakat seringkali rendah, memaksa beberapa kelompok untuk beradaptasi menjadi pertunjukan yang lebih komersial dan kurang ritualistik.
Meskipun menghadapi tantangan, Nogo Jowo menemukan peluang di panggung nasional dan internasional. Ketika ditampilkan sebagai bagian dari festival budaya atau promosi pariwisata, Barongan ini berfungsi sebagai duta budaya yang memperkenalkan keunikan mistisisme Jawa.
Banyak seniman muda kini mencoba menginterpretasikan Nogo Jowo melalui media baru, seperti film pendek, seni instalasi, atau musik kontemporer, yang membantu memperkenalkan filosofi naga kepada generasi Z. Adaptasi ini penting, asalkan esensi filosofis dan sakral dari Nogo Jowo tidak tergerus. Penggunaan media sosial dan platform digital juga membantu mendokumentasikan dan menyebarkan keindahan gerak dan rupa Nogo Jowo ke khalayak global.
Inilah inti dari pelestarian: menjaga ritualnya di lingkungan asalnya (desa) sambil memperkenalkan estetikanya di panggung global. Ini memastikan bahwa Nogo Jowo tetap relevan sebagai sumber kearifan lokal sekaligus sebagai warisan seni rupa dunia yang tiada duanya.
Salah satu aspek yang paling memukau dan paling misterius dari Barongan Nogo Jowo adalah fenomena janturan atau kerasukan. Bagi orang Jawa yang memahami tradisi ini, janturan bukanlah sekadar akting atau hipnotis, melainkan manifestasi nyata dari energi spiritual yang masuk ke dalam tubuh penari.
Kerasukan terjadi ketika pembarong, melalui iringan Gamelan yang intens, irama Kendang yang memicu, dan penghayatan ritual yang mendalam, membuka diri terhadap energi dari Barongan Nogo Jowo itu sendiri. Dalam pandangan Kejawen, naga yang bersemayam dalam pusaka tersebut 'turun' dan mengambil alih raga penari untuk sementara waktu.
Tujuan utama dari janturan adalah:
Kerasukan bukanlah proses yang dibiarkan tanpa kendali. Setiap kelompok Barongan Nogo Jowo memiliki Pawang (Dukun atau sesepuh) dan beberapa pendamping yang bertugas menjaga keselamatan pembarong. Pawang bertindak sebagai jembatan komunikasi antara roh yang merasuki dan dunia nyata.
Tugas Pawang sangat vital:
Kesenian Barongan Nogo Jowo berfungsi sebagai model miniatur kosmos Jawa. Semua elemen yang ada di dalamnya, mulai dari gerakan, musik, hingga warna, memiliki korespondensi dengan dimensi alam gaib.
Dalam kosmologi Jawa-Hindu, alam semesta terbagi menjadi tiga tingkatan (Triloka): Bhur Loka (dunia manusia dan keinginan), Bwah Loka (dunia transisi, roh halus), dan Swar Loka (dunia dewa atau dimensi tertinggi). Nogo Jowo secara unik menempati batas antara Bhur Loka dan Bwah Loka. Sebagai Naga Bumi, ia berkuasa di alam bawah tanah (Pratala), yang merupakan gerbang ke dimensi yang lebih dalam.
Pertunjukan Nogo Jowo, khususnya saat janturan, adalah upaya untuk menembus batas-batas ini, membawa energi dari Bwah Loka ke dalam Bhur Loka, guna membersihkan dan menyuburkan dunia manusia. Ketika Nogo Jowo 'mengamuk', ia sedang membersihkan energi jahat yang berasal dari dunia manusia itu sendiri, mengembalikan tatanan alam.
Pemilihan waktu pertunjukan sangat diperhatikan. Pementasan Nogo Jowo seringkali dilakukan pada malam hari atau saat bulan purnama, waktu-waktu yang dipercaya memiliki energi magis paling kuat. Lokasi pun dipilih secara hati-hati; seringkali di tengah lapangan desa (alun-alun mini) atau di dekat makam keramat (punden). Ruang tersebut diubah menjadi ruang sakral temporer melalui ritual sesaji dan pemasangan pagar gaib.
Kepala Barongan, sebagai representasi Nogo, selalu dihadapkan ke arah yang dianggap memiliki kekuatan tertinggi, seringkali ke arah gunung (simbol dewa) atau ke arah makam leluhur. Pengaturan ruang dan waktu ini memastikan bahwa pertunjukan tersebut tidak hanya menghibur, tetapi benar-benar berfungsi sebagai jembatan spiritual yang efektif.
Pengulangan irama dan gerakan selama pertunjukan adalah bentuk dari pemanggilan energi. Setiap gerakan memutar Barongan adalah upaya untuk mengikat energi di tempat tersebut, menjadikannya pusaran kekuatan yang memengaruhi kesejahteraan seluruh masyarakat yang menyaksikan.
Di balik kemegahan dan kengeriannya, Barongan Nogo Jowo menyimpan nilai-nilai pendidikan karakter yang sangat luhur dan relevan hingga masa kini.
Naga adalah simbol otoritas dan kepemimpinan yang bijaksana. Barongan Nogo Jowo mengajarkan bahwa kekuasaan sejati datang dari pengendalian diri dan kearifan, bukan dari kekuatan brutal. Gerakan yang tenang dan berwibawa mengajarkan tentang mikul dhuwur mendhem jero (mengangkat tinggi kehormatan leluhur dan mengubur dalam-dalam aib). Seorang pemimpin harus mampu melindungi rakyatnya seperti naga menjaga harta karunnya.
Nogo Jowo adalah pelajaran tentang keseimbangan. Penari harus mampu beralih dari gerakan yang sangat halus ke gerakan yang eksplosif (janturan). Ini adalah metafora untuk kehidupan manusia: kita harus mampu menahan emosi (tenang seperti naga di bawah air) tetapi juga harus mampu meledakkan kekuatan saat menghadapi ketidakadilan atau bahaya. Penguasaan emosi (konsep triman) adalah kunci agar kekuatan yang kita miliki tidak merusak diri sendiri atau lingkungan.
Karena Nogo adalah representasi elemen bumi dan air, pertunjukan ini secara intrinsik menuntut penghormatan tinggi terhadap alam. Kesenian ini mengingatkan bahwa kemakmuran masyarakat sangat bergantung pada keseimbangan ekosistem. Merusak alam berarti membangunkan amarah naga, yang dapat berujung pada bencana. Ritual sedekah bumi yang menyertai Nogo Jowo adalah wujud terima kasih manusia kepada alam atas segala karunia yang telah diberikan.
Filosofi ini sangat kuat dalam tradisi petani di Jawa, di mana setiap musim tanam dan panen selalu disertai dengan doa restu dari kekuatan-kekuatan elemental yang diwakili oleh Nogo Jowo. Bahkan saat ini, bagi banyak komunitas, Barongan Nogo Jowo tetap menjadi penanda spiritual yang menjaga moral dan etika komunitas dari kerusakan.
Upaya konservasi Barongan Nogo Jowo tidak hanya terpaku pada menjaga bentuk topeng atau irama Gamelannya, tetapi juga pada pelestarian tradisi lisan dan pemahaman filosofis yang menyertainya.
Di banyak daerah, kesenian Nogo Jowo dilindungi oleh lembaga adat desa atau yayasan kesenian yang bertindak sebagai pewaris sah tradisi. Lembaga-lembaga ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa topeng-topeng pusaka dirawat melalui jamasan rutin dan bahwa ritual yang menyertainya dilaksanakan dengan benar. Mereka juga menjadi garda terdepan dalam proses edukasi kepada generasi muda, mengajarkan bahwa Barongan Nogo Jowo adalah aji piwulang (ajaran moral) yang harus diinternalisasi.
Pelestarian mencakup dokumentasi mantra, gerak tari yang spesifik, dan sejarah lisan yang sering kali berbeda antar kelompok. Tanpa dokumentasi yang memadai, detail-detail halus yang membuat Nogo Jowo begitu unik berisiko hilang ketika sesepuh desa wafat.
Masa depan Barongan Nogo Jowo terletak pada integrasinya ke dalam kurikulum pendidikan lokal. Dengan mengajarkan filosofi naga sejak dini, anak-anak Jawa dapat tumbuh dengan pemahaman mendalam tentang identitas budaya mereka. Kelas-kelas tari Barongan yang mengajarkan disiplin fisik dan spiritual dapat menjadi alternatif yang kuat terhadap budaya populer yang cenderung konsumtif.
Selain itu, promosi Barongan Nogo Jowo sebagai aset budaya yang bernilai ekonomi dapat mendorong masyarakat lokal untuk bangga dan secara aktif berpartisipasi dalam pelestariannya. Ketika pertunjukan ritual dapat menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan, maka keberlangsungannya akan terjamin secara alami.
Barongan Nogo Jowo adalah cermin dari jiwa Jawa yang tidak pernah lelah mencari keseimbangan antara yang material dan yang spiritual. Ia adalah simbol keabadian yang bergelombang, yang terus mengingatkan kita akan kekuatan bumi yang senantiasa menopang kehidupan kita semua. Ia akan terus menari, selama bumi masih dipijak dan air masih mengalir di sungai-sungai Nusantara. Pelestarian ini adalah sebuah janji, sebuah dharma, untuk menjaga warisan yang tak ternilai harganya.
Barongan Nogo Jowo adalah lebih dari sekadar sebuah pertunjukan; ia adalah narasi hidup tentang sejarah, kepercayaan, dan filsafat Jawa. Dari ukiran topeng yang sarat makna hingga irama Gamelan yang memanggil roh, setiap elemen dalam kesenian ini berfungsi sebagai teks purba yang mengajarkan kita tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam semesta. Nogo Jowo mewakili inti dari kearifan lokal yang menganggap dunia ini adalah tempat yang sakral, di mana kekuatan magis dan kehidupan sehari-hari saling terkait erat.
Kekuatan Barongan Nogo Jowo terletak pada kemampuannya untuk bertahan melintasi zaman, menyerap pengaruh baru tanpa kehilangan identitas aslinya sebagai Naga Bumi yang agung. Kesenian ini akan terus menjadi pusaka budaya yang memancarkan energi mistis, mengajarkan generasi mendatang tentang pentingnya keseimbangan, kewibawaan, dan penghormatan kepada leluhur. Memahami Nogo Jowo berarti menyelami kedalaman jiwa Nusantara itu sendiri, sebuah jiwa yang berakar kuat di dalam tanah dan menjulang tinggi dalam spiritualitas yang tak terbatas.