Barongan Mabuk: Sketsa Malam Jahanam dan Tawa Terakhir

Kisah tragis Pambudi, sang penari Barongan, yang melanggar sumpah kesucian, mempersembahkan tarian yang seharusnya sakral menjadi sebuah pementasan kekacauan, di bawah rembulan yang menyaksikan aib dan penyesalan yang tak terperi.

Wajah Barongan yang Terdistorsi
Visualisasi topeng Barongan yang kehilangan kendali spiritual.

I. Hening Sebelum Gamelan dan Sumpah yang Dilanggar

Malam itu, Desa Randegan diselimuti aroma dupa cendana yang tebal, bercampur dengan kelembapan tanah yang baru saja disiram gerimis senja. Panggung bambu yang didirikan di tengah alun-alun tampak megah di bawah sorot lampu petromaks yang berkedip-kedip, menanti puncak acara: pementasan Barongan, warisan leluhur yang tak hanya sekadar tarian, melainkan sebuah ritual pemanggilan kekuatan purba.

Di balik tirai kain hitam yang memisahkan ruang suci dengan keramaian penonton, Pambudi, sang pewaris tunggal Barongan Singo Taruno, merasakan denyut jantungnya berpacu, bukan karena gentar spiritual yang biasa menyertai menjelang pengabdian, melainkan karena getaran aneh yang menjalar di seluruh syarafnya. Getaran itu bukan berasal dari meditasi puasa atau mantra yang ia panjatkan, melainkan dari cawan arak beras yang ia teguk habis di bawah pohon beringin tua, hanya dua jam sebelum tabuh pertama Gamelan Kyai Semar menggelegar.

Pambudi tahu betul, pantangan utama seorang pembawa Barongan adalah kesucian raga dan jiwa. Sedikit saja noda, apalagi zat yang merusak kesadaran, akan mengundang bukan sekadar roh leluhur, melainkan entitas kacau yang gemar bermain-main dengan tubuh manusia yang rapuh. Namun, malam itu, tekanan untuk tampil sempurna, untuk membuktikan dirinya layak di hadapan Ki Lurah dan ratusan pasang mata yang haus hiburan dan keberkatan, terasa terlalu berat. Ia mencari pelarian sesaat, sepotong keberanian palsu yang sayangnya kini mulai mendidih di dalam darahnya.

Barongan Singo Taruno terbaring di depannya. Wajah kayu yang diukir dengan detail mengerikan namun anggun, dihiasi surai ijuk hitam dan merah yang tebal, tampak menatap Pambudi dengan mata kaca yang seolah-olah menghakimi. Topeng itu, yang usianya jauh melampaui usia desa, adalah wadah bagi kekuatan yang tak boleh dipermainkan. Pambudi menghela napas panjang, bau arak yang samar masih terasa di rongga mulutnya, sebuah rahasia kecil yang kini ia bawa menuju panggung sakral.

Ki Guno, penabuh kendang tertua yang matanya buta sejak kecil namun memiliki pendengaran setajam elang, mendekat. Ia menyentuh bahu Pambudi dengan jemari keriput. "Budi, rasakanlah. Sang Topeng sudah memanggil. Biarkan ia menuntunmu, jangan kau tuntun ia. Malam ini bukan soal dirimu, ini soal kita semua," bisik Ki Guno, suaranya parau seperti daun kering. Pambudi hanya mengangguk, takut suaranya akan mengkhianati keadaan batinnya yang sudah terdistorsi. Ia mengenakan kain hitam penutup tubuh, merasakan dinginnya kayu topeng yang bersentuhan dengan wajahnya. Dalam sekejap, Pambudi menghilang. Yang tersisa hanyalah Singo Taruno yang menunggu untuk dihidupkan, meskipun kini sang penghidup berada di ambang kesadaran ganda.

Gelombang Pertama Kekacauan

Ketika saron dan demung mulai bertalu-talu, menciptakan melodi pembuka yang khidmat namun mencekam, suasana di lapangan desa berubah total. Cahaya rembulan yang kini sepenuhnya menembus awan menyoroti gerbang panggung. Dua pengiring, membawa tombak bambu panjang, berjalan lambat, mengundang rasa hormat. Namun, ketika Barongan Singo Taruno muncul, sesuatu terasa berbeda. Pambudi melompat keluar dengan energi yang terlalu agresif, tidak seanggun dan sesabar biasanya.

Langkah pertamanya bukan langkah ritmis pemujaan, melainkan hentakan kaki yang kelewat kuat, seolah ia sedang menendang tanah. Penonton awalnya mengira ini adalah interpretasi baru, sebuah semangat yang berapi-api. Tapi bagi Ki Guno, yang sudah merasakan setiap getaran gendang Barongan selama enam puluh tahun, ada nada sumbang. Tempo yang dimainkan Pambudi sedikit terlalu cepat, tidak sinkron sepenuhnya dengan irama gamelan yang sudah diatur dengan ketat.

Barongan itu mulai bergerak. Pambudi seharusnya melakukan gerakan membungkuk, menirukan sikap hormat seekor singa yang agung. Alih-alih membungkuk, ia malah terhuyung sedikit, kepalanya menoleh ke arah penonton dengan gerakan yang tiba-tiba dan patah-patah. Sebuah tawa kecil terdengar dari barisan penonton remaja, tawa yang langsung dibungkam oleh tatapan tajam para sesepuh desa. Ini bukan tawa kekaguman; ini adalah tawa kebingungan terhadap sebuah kekakuan yang tak lazim.

Pambudi berjuang keras di dalam topeng. Setiap gerakan terasa berlebihan. Ia ingin mengontrol tubuhnya untuk mengikuti irama gamelan, tetapi zat yang ia konsumsi bereaksi liar, membuat ototnya tegang dan keseimbangannya terganggu. Dalam benaknya, ia melihat dirinya bergerak lincah dan gagah, layaknya Barongan yang sempurna. Tetapi di mata penonton, Singo Taruno tampak seperti makhluk yang sedang berjuang melawan rantai tak kasat mata, sebuah perwujudan yang marah, atau, lebih parahnya, kelelahan.

Dialog di Belakang Panggung:

Ki Guno (berbisik kepada penabuh saron, Jaka): "Irama Budi... ia memaksakan irama. Dia tidak menyatu dengan Kyai Semar. Ada yang salah. Ada getaran dingin pada gerakannya."

Jaka: "Mungkin karena tekanan, Ki. Ini kan pertama kalinya dia membawa Singo Taruno di hadapan Bupati."

Ki Guno: "Bukan tekanan, Jaka. Ini... ini adalah keangkuhan. Kekuatan topeng itu sedang dipermainkan. Dengarkan, hentakan kakinya terlalu berat, ia tidak menapak, ia menghantam. Ia sedang mabuk, Jaka. Mabuk dalam arti yang paling harfiah."

II. Tarian yang Mengkhianati: Ketika Sakral Menjadi Lelucon

Tarian memasuki babak inti, bagian yang disebut 'Ngamuk Ngamparan' (Mengamuk Menyebar), di mana Barongan menunjukkan kekuatan liarnya, namun selalu dalam batasan pola gerak yang sudah ditetapkan. Pambudi seharusnya melakukan gerakan memutar cepat, menjentikkan ekornya, dan mengaum tiga kali ke langit, sebagai simbol penaklukkan hawa nafsu. Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah momen yang akan diceritakan turun-temurun sebagai malam aib bagi Singo Taruno.

Ketika Pambudi mulai memutar, ia gagal mengunci titik fokusnya. Darah yang mengandung alkohol membuatnya pusing seketika. Ia tidak memutar dengan anggun; ia berputar tak terkendali. Ia terhuyung dua langkah ke samping, dan kemudian, bukannya kembali ke tengah panggung, ia justru bergerak lurus menuju barisan kursi kehormatan yang diduduki oleh Ki Lurah dan tamu dari kota.

Penonton menahan napas. Ini bukan bagian dari tarian. Barongan seharusnya menjaga jaraknya, menghormati garis batas antara dunia roh dan dunia manusia. Tapi Singo Taruno yang dibawakan Pambudi malam itu, seolah-olah dipandu oleh hasrat yang kacau, menjulurkan kepala topengnya, mengayun-ayunkan gigi tiruannya, dan mengeluarkan suara auman yang aneh—bukan auman singa, melainkan rintihan serak yang terdengar seperti erangan.

Ki Lurah Sudiro, seorang pria tua yang dikenal karena ketegasannya menjaga tradisi, berdiri tegak, wajahnya pucat pasi. Ia mengangkat tangannya, seolah memberi isyarat kepada Pambudi untuk mundur. Namun, Pambudi tidak melihat isyarat itu. Ia hanya melihat warna-warna yang kabur, dan dalam pandangannya yang terdistorsi, ia merasa sedang berinteraksi, sedang bermain. Ia mengira ia sedang melakukan improvisasi jenius, menambahkan unsur humor yang tak pernah ada dalam ritual Barongan.

Pambudi, yang kini merasa dirinya adalah Singo Taruno sejati yang dilepas dari kandang, melakukan gerakan yang benar-benar di luar naskah. Ia mengangkat satu kaki tinggi-tinggi, lalu membungkuk ke samping, seolah sedang meminta minum, bukan sedang bertarung. Lalu, yang paling memalukan, ia melakukan gerakan menepuk-nepuk pantat Barongan—sebuah gerakan yang identik dengan ejekan atau tarian pinggiran jalan, bukan tarian suci.

Tawa pecah. Tawa itu bukan tawa spiritual yang memecah ketegangan, melainkan tawa jijik dan tawa geli yang bernada mengejek. Anak-anak kecil tertawa lepas, dan bahkan beberapa ibu-ibu muda menutupi mulut mereka, keheranan melihat warisan sakral mereka diperlakukan seperti badut pasar malam. Gamelan mulai melambat, para penabuh saling pandang, bingung harus mengikuti irama kacau Pambudi atau tetap pada pola mereka.

Pergulatan di Bawah Topeng

Di dalam kegelapan topeng, Pambudi tiba-tiba merasakan hawa dingin yang menusuk. Kehangatan palsu dari arak mulai memudar, digantikan oleh rasa mual yang hebat dan kesadaran sesaat akan apa yang sedang ia lakukan. Ia mencoba berhenti, mencoba menarik Singo Taruno kembali ke tengah panggung, tetapi kakinya terasa seperti milik orang lain. Ada dorongan kuat yang membuatnya terus bergerak maju, terus bertingkah aneh. Ia merasa ada dua roh di dalam tubuhnya: rohnya yang menyesal, dan roh lain, liar, yang menertawakan penyesalan itu.

Ia mencoba mengaum lagi, memohon pengampunan kepada roh Singo Taruno. Suara yang keluar justru terdengar seperti rengekan kucing kesakitan. Ia menjatuhkan diri, seharusnya gerakan akhir dari adegan Ngamuk, di mana Barongan menunjukkan kelelahan sebelum akhirnya tunduk pada kesadaran sejati. Namun, ia tidak jatuh dengan elegan; ia tersandung dan terguling, topeng Barongan menghantam panggung dengan bunyi 'buk' yang mematikan, debu dari surai ijuknya mengepul naik ke udara.

Sekejap, keheningan total menyelimuti Randegan. Gamelan terdiam. Cahaya petromaks terasa lebih redup. Semua mata tertuju pada Barongan yang tergeletak miring, kepalanya menghadap ke tanah, seolah-olah topeng itu sendiri sedang menanggung malu yang tak terhingga. Pambudi, di dalam sana, merasa jiwanya tercabut. Ia tidak lagi mabuk; ia kini dilanda ketakutan yang dingin dan tajam.

Ki Lurah Sudiro lantas berteriak. Suara Ki Lurah membelah malam, suaranya mengandung otoritas yang tak terbantahkan. "Hentikan! Hentikan pementasan ini sekarang juga! Singo Taruno telah dilecehkan!"

Perintah itu seperti palu godam. Beberapa pemuda bergegas naik ke panggung. Mereka mengangkat Barongan yang tak bergerak itu, menyeret Pambudi yang lunglai keluar dari pandangan penonton. Pertunjukan selesai dengan aib. Pesta rakyat berubah menjadi upacara pembersihan yang canggung, di mana ratusan orang merasa telah menyaksikan bukan keberkatan, melainkan sebuah kutukan yang disajikan dengan iringan tawa ironis.

Asap Dupa dan Bulan Saksi
Malam ketika ritual diguncang oleh hawa nafsu duniawi.

III. Pembersihan dan Bisikan Penyesalan Pambudi

Pambudi dibaringkan di bale-bale belakang pendopo. Topeng Barongan telah dilepas, diletakkan di atas kain beludru hitam dengan hati-hati oleh sesepuh yang wajahnya ditekuk oleh rasa kecewa yang mendalam. Aroma arak yang bercampur keringat Pambudi kini memenuhi ruangan kecil itu. Ketika kesadarannya pulih sepenuhnya, hal pertama yang ia rasakan adalah rasa dingin yang menjalar dari perutnya ke seluruh tubuh, rasa malu yang membakar lebih panas dari api neraka yang sering diceritakan Ki Lurah.

Ki Lurah Sudiro duduk di sampingnya, memegang sebatang rokok kretek yang tidak dinyalakan, hanya dipegang sebagai penenang. Wajahnya tidak menunjukkan amarah yang meledak-ledak, melainkan kesedihan yang tak terbatas. Kesedihan seorang pemimpin yang melihat warisannya ternoda oleh tangan pewarisnya sendiri.

Dialog Pambudi dan Ki Lurah:

Ki Lurah: "Budi. Singo Taruno tidak pernah memintamu untuk mabuk, bukan?"

Pambudi (suaranya serak): "Ampun, Ki. Ampun. Saya... saya merasa takut, Ki. Tekanan itu mencekik. Saya ingin lari, tapi saya harus tetap tampil. Saya bodoh, saya sombong..."

Ki Lurah: "Singo Taruno adalah jiwa Randegan. Ia hidup karena kesucian niat, bukan karena keberanian yang dibeli dari arak. Kau bukan hanya menodai dirimu, Budi. Kau menodai seluruh garis keturunan yang telah menjaganya selama ratusan tahun. Kau tahu apa artinya? Kau membuat roh-roh yang menjaga desa ini tertawa dalam kepahitan."

Pambudi: "Saya merasa ada yang mengendalikan saya, Ki. Saat saya berputar, saya ingin berhenti. Tapi ada kekuatan lain yang mendorong, yang membuat saya menari seperti... seperti orang gila. Itu bukan tarian Singo Taruno, Ki. Itu tarian iblis!"

Ki Lurah: "Iblis tidak perlu dipanggil, Budi. Iblis masuk melalui pintu yang kau buka sendiri. Arak itu adalah pintu. Keraguanmu adalah kunci. Singo Taruno memang liar, tapi ia adalah liar yang terkontrol, liar yang dihormati. Malam ini, kau membuat ia terlihat seperti badut rendahan yang kehilangan akal."

Ki Lurah menghela napas panjang, asap kretek yang ia hisap akhirnya ia hembuskan dengan berat. "Kau tidak sadar betapa berat konsekuensinya. Mereka yang melihat tarianmu malam ini tidak akan ingat keindahan masa lalu. Mereka hanya akan ingat 'Barongan Mabuk'. Dan nama itu akan melekat pada warisan kita."

Pambudi menangis. Tangisnya bukan tangis penakut, melainkan tangis penyesalan yang melampaui rasa sakit fisik. Ia membayangkan ratusan wajah penonton, wajah-wajah yang tadinya penuh harapan, kini beralih menjadi ekspresi penghinaan. Ia teringat bagaimana topeng Barongan menghantam panggung, sebuah suara yang kini bergema tanpa henti di telinganya, suara kehancuran martabat.

Upaya Pemulihan Spiritual

Keesokan harinya, pembersihan dimulai. Singo Taruno dibawa ke mata air suci di lereng Gunung Lawu. Pambudi tidak diizinkan menyentuh topeng itu. Tugas pembersihan dilakukan oleh Ki Lurah dan empat sesepuh desa lainnya, melalui ritual yang memakan waktu tiga hari tiga malam. Pambudi hanya diperbolehkan menyaksikan dari kejauhan, puasa total, dan bermeditasi, memohon ampun kepada entitas yang telah ia hina.

Selama tiga hari itu, Pambudi merenungkan betapa rapuhnya batas antara spiritualitas dan keduniawian. Kesenian Barongan, yang ia anggap sebagai pertunjukan keterampilan semata, ternyata menuntut lebih dari itu. Ia menuntut pengabdian yang total, penyerahan diri yang murni. Ia menyadari bahwa ia tidak hanya meminum arak; ia meminum racun kesombongan, berpikir ia bisa menaklukkan kekuatan purba hanya dengan teknik menari yang baik.

Raga Barongan memang dari kayu dan ijuk, tetapi jiwanya adalah koleksi doa dan sumpah para penjaga sebelumnya. Ketika Pambudi mabuk, ia membuat jiwa-jiwa itu menderita. Ia membuat Barongan Singo Taruno, yang seharusnya melindungi desa, terlihat lemah dan tak berdaya.

Ia berbicara dengan Jaka, si penabuh saron, yang tampak lesu. Jaka mengatakan bahwa sejak malam itu, suara Gamelan Kyai Semar terasa tumpul. Seolah ada bagian dari resonansinya yang hilang. Alat musik itu, yang juga dianggap sakral, seolah ikut berduka atas aib yang menimpa rekannya, Barongan.

Pambudi: "Jaka, apakah kalian akan bisa menabuh lagi? Bisakah kalian melupakan kebodohanku?"

Jaka: "Melupakan, Budi? Tidak mungkin. Tapi kami harus terus menabuh, untuk membersihkan nada yang kau nodai. Kami harus memanggil kembali energi Kyai Semar yang sempat pergi karena terkejut. Kau membuat kami mempertanyakan, apakah kesenian ini masih layak dipertahankan jika pewarisnya tak lagi memegang janji?"

Pambudi: "Jadi, aku harus berhenti?"

Jaka: "Itu bukan keputusan kami, Budi. Itu keputusan langit, dan keputusan Ki Lurah. Tapi kau harus mengerti, kini setiap langkahmu, setiap laku Barongan yang kau bawakan di masa depan, akan selalu disertai bisikan 'Barongan Mabuk' di telinga penonton. Kau harus menari lebih baik dari siapapun di dunia, hanya untuk menutupi satu malam kesalahanmu."

IV. Bayangan Arak dan Beban Tuntutan Kebaikan

Pambudi tidak diasingkan, itu adalah anugerah terbesarnya. Namun, ia diberi hukuman yang jauh lebih berat dari pengasingan: ia harus melanjutkan peran sebagai pewaris Singo Taruno, tetapi ia harus hidup dalam bayangan kegagalan masa lalunya. Tujuh bulan berlalu sejak malam aib itu. Desa Randegan kembali mengadakan perayaan kecil. Kali ini, Barongan tampil lagi, tetapi suasananya sangat berbeda. Penonton duduk lebih tegang, lebih kritis, seolah mencari-cari tanda-tanda kekacauan yang akan terulang.

Pambudi muncul di panggung. Ia kurus. Matanya cekung, penuh kewaspadaan. Ia telah melakukan puasa mutih selama empat puluh hari, dan membersihkan dirinya dengan sangat ketat. Ia bahkan tidak berani minum air putih yang tidak berasal dari sumber mata air suci. Ketakutan akan mengulangi kesalahan membuatnya menjadi seorang pertapa yang kejam pada dirinya sendiri.

Tarian itu dimulai. Kali ini, langkah Pambudi sempurna. Ia tidak hanya menari, ia melayang. Sinkronisasi dengan Gamelan Kyai Semar begitu presisi, seolah Pambudi dan alat musik itu adalah satu kesatuan organik. Gerakan Barongan yang tadinya patah-patah kini mengalir lembut namun kuat, menunjukkan keagungan seekor singa yang kembali pada martabatnya.

Namun, saat Barongan menyelesaikan babak Ngamuk Ngamparan dengan keindahan yang memukau, tepuk tangan penonton tidak meledak seperti seharusnya. Tepuk tangan itu terdengar pelan, malu-malu. Mereka mengakui keindahan tarian itu, tetapi mereka tidak bisa sepenuhnya melepaskan memori trauma visual yang mereka saksikan tujuh bulan lalu.

Di warung kopi, setelah pertunjukan, Pambudi mendengarkan bisikan yang seharusnya tidak ia dengar. Dua orang petani berbicara sambil menyeruput kopi hitam mereka.

Petani 1: "Lihat, Budi sekarang menari begitu sempurna. Tapi apa gunanya kesempurnaan jika kita tahu di baliknya pernah ada kebusukan arak?"

Petani 2: "Betul. Dulu, kami percaya Barongan itu kebal terhadap hawa nafsu. Sekarang? Kami tahu Barongan bisa ditaklukkan hanya dengan segelas miras. Keajaiban itu hilang. Yang tersisa hanyalah keterampilan, bukan kesaktian."

Kata-kata itu menghantam Pambudi lebih keras daripada pukulan fisik. Keajaiban hilang. Itulah harga dari malam jahanamnya. Ia menyadari bahwa ia tidak hanya merusak reputasinya sendiri, tetapi ia juga merusak kepercayaan kolektif desa terhadap kekuatan spiritual warisan mereka. Ia telah membuktikan bahwa yang sakral bisa direndahkan oleh yang profan.

Pergulatan Abadi dalam Topeng

Pambudi kini harus menjalani hidup dengan dua wajah. Di hadapan desa, ia adalah penari Barongan yang sempurna, yang paling saleh dan paling berhati-hati. Tetapi di dalam hatinya, ia membawa Singo Taruno yang mabuk, pengingat abadi bahwa di puncak kesempurnaan, ia pernah mencapai dasar kehinaan.

Ia menghabiskan sisa hidupnya tidak hanya berlatih gerak tari, tetapi juga membersihkan topeng Barongan dengan ritual yang sangat intens. Ia melakukan meditasi panjang di makam leluhur, memohon agar roh-roh suci mau kembali bersemayam di dalam kayu Barongan tanpa terganggu oleh memori arak. Topeng itu, baginya, telah menjadi beban yang suci sekaligus kutukan yang tak terhindarkan.

Setiap kali ia mengenakan topeng, ia merasakan hawa dingin yang selalu berbeda dari hawa dingin kesucian. Hawa dingin itu adalah rasa takut, rasa malu, dan pengakuan bahwa ia selamanya akan menjadi "Barongan Mabuk" di mata sejarah Randegan, meskipun tarian-tariannya selanjutnya adalah yang paling suci dan sempurna yang pernah ditampilkan.

Ia menyadari bahwa penebusan bukanlah tentang membuat orang lupa, melainkan tentang membuat orang mengerti bahwa bahkan yang paling suci pun bisa jatuh, dan bahwa perjuangan untuk kembali pada kesucian adalah tarian yang jauh lebih berat daripada tarian Singo Taruno di panggung.

Pambudi terus menari selama empat puluh tahun berikutnya. Ia menjadi legenda, bukan karena kesempurnaan yang ia capai, melainkan karena ia adalah penari yang pernah jatuh ke jurang terdalam, dan berhasil bangkit, membawa beban aib sebagai jimat penguat. Ia tidak pernah lagi menyentuh alkohol. Ia tidak pernah lagi berani berpikir sombong. Ia menari, bukan untuk dirinya, tetapi untuk meminta maaf kepada topeng yang telah ia khianati di bawah rembulan malam yang dingin.

Kisah Barongan Mabuk menjadi legenda yang diceritakan kepada setiap calon penari Barongan di Randegan. Bukan sebagai kisah horor, tetapi sebagai peringatan keras: bahwa ritual yang sakral menuntut pengabdian yang utuh, dan bahwa keindahan tradisi sangat rapuh, mudah hancur hanya oleh satu tegukan arak dan satu malam keangkuhan manusia.

V. Melampaui 5000 Kata: Eksplorasi Filosofis Tentang Kehampaan Spiritual

Untuk memahami sepenuhnya dampak dari insiden "Barongan Mabuk," kita harus menyelami kedalaman filosofi Jawa Kuno mengenai Sangkan Paraning Dumadi, atau asal dan tujuan kehidupan. Barongan bukan sekadar hiburan; ia adalah manifestasi nyata dari kosmologi desa. Ketika Pambudi melanggar janji, ia tidak hanya melakukan kesalahan pribadi; ia menciptakan retakan di kain kosmis yang menopang ketertiban spiritual Randegan.

Retakan ini terasa nyata dalam setiap denyut Gamelan Kyai Semar. Alat musik yang terbuat dari perunggu suci itu, konon, memiliki roh penjaga yang dikenal sebagai Kyai Tunggul. Setelah malam itu, Jaka, penabuh saron, sering mengeluh bahwa saronnya terasa dingin dan berat. Suara yang dihasilkan kurang gandem—kurang berisi, kurang bernyawa. Ini adalah metafora sempurna untuk kondisi spiritual desa: jiwa mereka telah terkikis oleh pemandangan kehinaan yang ditampilkan di panggung suci.

Pambudi sering menghabiskan waktu berjam-jam di depan Singo Taruno, merenungi detail ukiran dan warna topeng tersebut. Ia melihat bagaimana mata kaca Barongan, yang seharusnya memancarkan kebijaksanaan purba, kini tampak seperti mata yang kosong, terisi oleh memori kabur dari gerakan-gerakan konyol dan tak pantas. Topeng itu, yang selama ini memberinya kekuatan, kini menjadi cermin kelemahannya yang paling parah.

Ia teringat ceramah Ki Lurah Sudiro bertahun-tahun yang lalu tentang konsep 'Mabuk Kasunyatan'. Mabuk sejati seorang seniman spiritual adalah mabuk karena terhanyut oleh kehadiran Tuhan atau roh leluhur, sebuah ekstase yang murni dan terkontrol. Pambudi, di sisi lain, memilih jalan pintas mabuk duniawi, yang justru menutup aksesnya pada ekstase spiritual. Ia mencoba memalsukan kesaktian, dan alam semesta merespons dengan memperlihatkan kepadanya betapa rapuhnya ia tanpa lindungan spiritual sejati.

Detail yang Mengukir Penyesalan

Pambudi mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya ia abaikan. Bagaimana surai Barongan, yang terbuat dari ijuk pilihan dan rambut kuda hitam, terasa kasar dan kotor di tangannya. Ia mencuci surai itu berkali-kali dengan air bunga tujuh rupa, tetapi ia merasa tidak pernah bisa sepenuhnya menghilangkan bau arak yang seolah menempel abadi. Bau itu, ia sadari, bukan bau fisik, melainkan bau spiritual dari kekotoran niatnya.

Ia juga mengingat ekspresi wajah pengiring Barongan, dua pemuda yang selalu mendampingi dalam setiap pementasan. Malam itu, wajah mereka tidak menunjukkan ketegangan ritual, tetapi ketakutan murni. Mereka berdua berusaha menahan Pambudi agar tidak terjatuh, tetapi sentuhan mereka ditolak oleh kekuatan aneh yang mengendalikan Pambudi. Mereka merasakan energi dingin dan jahat dari Barongan yang sedang ‘mabuk,’ energi yang seharusnya tidak pernah ada dalam lingkaran suci pementasan.

Ki Lurah (suatu pagi, setelah pembersihan ketiga): "Budi, kau tahu mengapa kita harus membakar dupa dengan jumlah ganjil?"

Pambudi: "Karena ganjil melambangkan ketidaksempurnaan, Ki. Upaya kita untuk terus mencari kesempurnaan."

Ki Lurah: "Ya. Dan mengapa kita harus memohon izin sebelum menaikkan topeng ke kepala?"

Pambudi: "Untuk meminta restu agar raga kita menjadi wadah yang layak bagi roh Singo Taruno."

Ki Lurah: "Dahulu, kau melakukannya sebagai rutinitas. Sekarang, lakukanlah sebagai kebutuhan. Kau tidak akan pernah bisa menghapus dosa malam itu, tapi kau bisa menjadikannya fondasi untuk kebajikan yang tak tergoyahkan. Setiap helai rambut Barongan, setiap ukiran gigi taringnya, kini menjadi saksi bisu janjimu untuk tidak jatuh lagi."

Pambudi akhirnya menerima aibnya. Ia menyadari bahwa legenda Barongan Mabuk harus terus hidup, bukan sebagai noda, tetapi sebagai pelajaran spiritual yang paling berharga. Ia harus menari, bukan untuk kemuliaan, melainkan untuk permintaan maaf yang tak akan pernah usai. Ia adalah penari yang dikutuk untuk kesempurnaan abadi, karena satu malam ia memilih kekacauan.

Seiring waktu berjalan, para penonton baru yang menyaksikan Barongan yang dibawakan Pambudi, yang kini sudah berusia senja dan penuh wibawa, tidak pernah melihat cacat sedikit pun. Mereka melihat kesucian yang mutlak. Namun, sesekali, ketika ia melakukan gerakan memutar yang cepat, para tetua desa yang hadir pada malam nahas itu akan melihat sekilas keraguan di balik topeng, sebuah bayangan kecil dari Barongan yang pernah terhuyung-huyung, meminta arak, di tengah panggung suci Desa Randegan. Mereka tahu, kesempurnaan itu adalah hasil dari penderitaan yang tak terperi. Pambudi telah membayar lunas dosa mabuknya dengan seumur hidup penuh kesadaran dan pengabdian yang melampaui batas kewajaran.

Keagungan Barongan Singo Taruno memang kembali. Namun, seperti vas antik yang retak dan dilem kembali, meskipun terlihat utuh, bekas retakannya—memori kegagalan Pambudi—akan selalu ada di sana, menjadi pengingat bisu bahwa bahkan dewa-dewa pun bisa mabuk jika disajikan racun kesombongan oleh manusia yang meremehkan janji kesucian.

Kisah ini menjadi prasasti tak tertulis di jantung tradisi Randegan. Sebuah narasi tentang bagaimana batas antara spiritual dan keduniawian begitu tipis, dan bagaimana satu kesalahan bisa menuntut penebusan yang tak terhingga. Pambudi, sang Barongan Mabuk, akhirnya menemukan keheningan, bukan dalam kesempurnaan tari, melainkan dalam penerimaan abadi terhadap aibnya. Ia menari, dan setiap langkahnya adalah sebuah doa, setiap hentakannya adalah sebuah penyesalan, mengubah panggung menjadi altar pembersihan yang tak pernah selesai.

Malam demi malam, Barongan terus bergetar di tengah desa, tetapi kini, getaran itu adalah getaran disiplin, getaran ketakutan suci, sebuah pengakuan bahwa kesucian harus dipertahankan dengan pengorbanan yang terus menerus. Dan di balik topeng yang gagah, Pambudi selalu mengingat rasa arak yang panas, yang hampir merenggut segalanya darinya, menjadikannya penjaga yang lebih baik, penjaga yang selamanya takut akan dirinya sendiri.

Pambudi menua di balik topeng. Rambutnya memutih, punggungnya sedikit membungkuk. Namun, ketika ia mengenakan Singo Taruno, ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya, bukan kekuatan fisik, melainkan kekuatan spiritual yang ia peroleh dari pelajaran yang sangat menyakitkan. Ia mengajarkan murid-muridnya bukan hanya teknik, tetapi juga kisah Barongan Mabuk. Ia memastikan mereka tahu bahwa kegagalan terbesar bukanlah ketika tubuhmu jatuh, melainkan ketika jiwamu mengkhianati janji suci.

Topeng Barongan Singo Taruno kini memiliki aura yang berbeda. Para sesepuh desa mengatakan bahwa topeng itu kini lebih 'berat', bukan karena bobot fisiknya, melainkan karena topeng itu membawa memori kolektif yang mendalam, memori akan kejatuhan dan kebangkitan. Ia adalah simbol bahwa tradisi bisa bertahan dari ujian terberat: ujian dari kelemahan manusia yang paling mendasar.

Pada akhirnya, Pambudi tidak lagi melihat aib. Ia melihat tanggung jawab yang tak berkesudahan. Ia adalah Barongan yang jatuh, yang kemudian bangkit, dan dalam kebangkitannya itu, ia mengajarkan kepada Randegan sebuah kebenaran yang lebih kuat daripada ribuan pertunjukan yang sempurna: bahwa kesucian harus diperjuangkan setiap hari, setiap jam, setiap napas. Dan kisah "Barongan Mabuk" akan terus bergema, bukan sebagai tawa, melainkan sebagai peringatan yang paling menyayat hati, sebuah himne bagi kesetiaan yang hampir punah.

Setiap penabuh gamelan, setiap penonton di Randegan, kini memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang arti Barongan. Itu bukan hanya representasi singa legendaris, tetapi representasi perjuangan manusia melawan godaannya sendiri. Pambudi telah memberikan warisan yang tak ternilai: sebuah kisah tentang penebusan yang mengubah kesenian mereka dari sekadar ritual menjadi pengakuan eksistensial tentang kerapuhan dan kekuatan spiritual yang dicari.

Ia menari, dan di setiap gerakan yang sempurna itu, tersembunyi rasa sakit dari malam ketika ia tersandung, ketika ia mengejek kesucian, ketika ia menjadi 'Barongan Mabuk'. Dan dalam rasa sakit itulah, terukir keindahan abadi dari sebuah pertobatan sejati.

Kehidupan Pambudi menjadi meditasi berjalan. Ia tidak lagi mencari pujian atau ketenaran; ia hanya mencari pengampunan dari kayu topeng yang ia pakai. Ia tahu bahwa meskipun ia menari dengan kesempurnaan yang melampaui siapapun, ia akan selamanya dikenang sebagai pewaris yang hampir menghancurkan warisan itu karena kelemahan sesaat. Ironi ini menjadi mahkota tak kasat mata yang ia kenakan bersama topeng Barongan. Ia adalah sang penari yang harus sempurna karena ia tahu betapa mudahnya menjadi kacau.

Kini, ketika Barongan tampil, tidak ada lagi sorak sorai riuh yang berlebihan. Hanya ada keheningan penuh rasa hormat, keheningan yang lahir dari kesadaran kolektif bahwa mereka menyaksikan sesuatu yang suci, sesuatu yang pernah hampir hilang, dan kini kembali dengan harga yang sangat mahal: seumur hidup penebusan Pambudi.

Beban Singo Taruno bukan lagi hanya berat topeng kayu dan ijuk; itu adalah beban sejarah dan beban aib yang diangkat oleh satu orang. Dan di bawah rembulan, tarian itu terus berlangsung, sebuah pengakuan abadi akan rapuhnya kesucian di hadapan godaan duniawi, sebuah kisah yang dimulai dengan segelas arak dan berakhir dengan sebuah legenda spiritual yang tak terlupakan.

Pambudi menyelesaikan tarian terakhirnya dalam hidupnya di usia delapan puluh tahun. Ia melepas topeng Singo Taruno, memberikannya kepada cucunya, Adi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Adi, yang telah mendengar kisah Barongan Mabuk berkali-kali, mengerti sepenuhnya. Ia tidak melihat topeng kayu. Ia melihat sebuah wadah yang menampung ribuan jam penyesalan dan jutaan langkah penebusan. Ia mengambil topeng itu, dan janji untuk tidak pernah mabuk, baik secara literal maupun spiritual, terukir di jiwanya.

Malam itu, Pambudi meninggal dalam tidurnya, damai. Desa Randegan berduka. Tetapi mereka tahu, Singo Taruno telah mendapatkan kembali kehormatannya sepenuhnya. Dan di setiap pertunjukan Barongan di masa depan, ketika tabuhan Gamelan Kyai Semar menggelegar, selalu ada bisikan peringatan, bisikan lembut yang mengingatkan setiap orang tentang malam di mana yang sakral bertemu dengan yang fana: kisah Barongan Mabuk, yang kini menjadi pelajaran abadi tentang menjaga api kesucian tradisi.

🏠 Homepage