Kepala Barongan Lawas. Simbol keagungan dan usia.
Barongan lawas adalah sebuah entitas seni pertunjukan yang melampaui sekadar topeng dan gerakan. Ia adalah cermin dari kedalaman spiritualitas masyarakat Jawa terdahulu, sebuah artefak budaya yang membawa bobot sejarah, ritual, dan kepercayaan yang kental. Istilah lawas sendiri, yang merujuk pada sesuatu yang tua, klasik, atau otentik, tidak hanya mendeskripsikan usia fisik dari topeng atau properti, tetapi lebih jauh, ia merangkum cara pandang, etika pertunjukan, dan filosofi pembuatan yang kini mulai terkikis oleh modernitas dan komersialisasi. Memahami barongan dalam konteks lawas berarti menyelami akar dari pertunjukan rakyat yang dahulu kala sering kali berfungsi sebagai ritual penolak bala atau media komunikasi dengan alam gaib, jauh sebelum ia menjadi komoditas hiburan semata.
Kekuatan Barongan Lawas terletak pada kesederhanaan materialnya dan intensitas spiritual yang melingkupinya. Topeng-topeng kuno ini, sering kali terbuat dari kayu yang diambil melalui proses ritualistik dan dirangkai dengan rumbai ijuk atau rambut kuda yang dipilih secara khusus, memancarkan aura sakral yang berbeda dengan replika modern. Setiap guratan pada kayu, setiap penuaan pada cat, adalah catatan hening dari perjalanan sejarah yang telah dilalui topeng itu, menyaksikan pergantian musim, perubahan rezim, dan evolusi kepercayaan masyarakat yang memilikinya. Inilah yang membuat Barongan Lawas menjadi objek studi yang tak terbatas, sebuah warisan yang wajib dijaga keasliannya.
Dalam tradisi Jawa kuno, seni pertunjukan tidak pernah dipisahkan dari fungsi spiritual. Barongan Lawas, khususnya, adalah manifestasi dari semangat bumi dan energi penjaga wilayah. Narasi utama yang melingkupi pertunjukan ini seringkali berkisah tentang perebutan kekuasaan, pertempuran mitologis, atau usaha menyeimbangkan harmoni alam. Barongan, yang sering diasosiasikan dengan Singo Barong—sebuah entitas berkepala singa yang kuat—merupakan simbol dualitas: kekuatan destruktif yang harus dikendalikan dan energi perlindungan yang menjaga desa dari marabahaya tak kasat mata.
Pembuatan kepala Barongan Lawas adalah proses yang sarat makna. Kayu yang dipilih bukanlah sembarang kayu, melainkan kayu jati, dadap, atau jenis kayu keras lain yang diyakini memiliki ‘isi’ atau energi spiritual tertentu. Proses pemahatan seringkali dilakukan dalam kondisi puasa atau diiringi mantra, memastikan bahwa topeng yang dihasilkan tidak hanya indah secara visual, tetapi juga mengandung roh atau semangat yang diyakili akan merasuki penarinya. Ini menjelaskan mengapa Barongan Lawas seringkali memiliki energi yang sangat kuat, bahkan terasa ‘hidup’ ketika dipajang atau disimpan di tempat khusus.
Filosofi ini mencakup tiga aspek utama: Kawicaksanan (Kebijaksanaan), Kekuatan (Daya Gedor), dan Kesakralan (Kekudusan). Barongan Lawas menuntut penarinya tidak hanya memiliki keterampilan fisik, tetapi juga kematangan spiritual. Tarian Barongan yang otentik adalah dialog antara penari dan roh yang bersemayam dalam topeng. Gerakan-gerakan yang keras, menghentak, dan tiba-tiba bukanlah improvisasi semata, melainkan wujud ekspresi dari energi yang sedang meluap, seringkali berujung pada kondisi trance atau ndadi.
Kondisi ndadi atau kesurupan dalam pertunjukan lawas adalah indikator keberhasilan ritual. Itu menandakan bahwa roh atau entitas yang diundang telah hadir dan mengambil alih raga penari. Dalam setting lawas, momen ini dihormati dan ditangani dengan prosedur ritual yang ketat, melibatkan sesaji, dupa, dan penanganan oleh sesepuh atau pawang khusus. Kontras dengan pertunjukan modern yang mungkin memodifikasi elemen ini demi hiburan, Barongan Lawas mempertahankan kekakuan dan keaslian prosesi ini, menjadikannya tontonan yang mendebarkan sekaligus penuh makna spiritual.
Membedakan Barongan Lawas dari Barongan kontemporer membutuhkan pemahaman mendalam tentang material dan estetika yang digunakan. Estetika lawas cenderung menampilkan kejujuran material, kesederhanaan dekorasi yang berfokus pada esensi, dan tanda-tanda penuaan yang dihormati, bukan ditutupi.
Kepala Barongan Lawas, atau sering disebut dhahar, umumnya terbuat dari kayu yang keras dan padat, seperti jati yang telah berusia ratusan tahun atau kayu dadap yang ringan namun spiritual. Ukuran kepala Barongan Lawas cenderung lebih besar dan proporsional terhadap tubuh penari dibandingkan dengan beberapa varian modern yang mungkin lebih fokus pada ringan agar mudah digerakkan.
Salah satu penentu utama keaslian Barongan Lawas adalah material rumbai yang membentuk ‘rambut’ singa. Rumbai ini disebut gembong. Secara tradisional, rumbai lawas menggunakan ijuk (serat hitam pohon aren) yang tebal dan kasar, atau rambut ekor kuda (sekarang sangat langka).
Ijuk yang digunakan pada Barongan Lawas tidak hanya sekadar hiasan; ijuk tersebut memberikan kesan volume dan kebuasan yang otentik. Proses pemasangan rumbai ini sangat teliti, dilakukan secara berlapis, sehingga ketika digerakkan, rumbai tersebut menimbulkan efek gerak yang dramatis, seolah-olah singa itu benar-benar hidup dan mengamuk. Warna ijuk yang hitam pekat, kontras dengan warna merah dan emas pada topeng, menambah kesan misterius dan kuno.
Dalam Barongan Lawas yang sangat otentik, ditemukan pula penggunaan serat dari kulit hewan tertentu, yang meskipun kini dilarang, dahulu kala menjadi bagian dari ritual penguatan topeng. Pembeda visual antara ijuk lawas dan material sintetis modern sangat jelas: ijuk lawas akan terasa lebih kaku, memiliki bau khas serat alami, dan seringkali menunjukkan degradasi alami yang artistik.
Kain penutup Barongan (bagian yang menutupi tubuh penari) umumnya terbuat dari kain blacu atau beludru berwarna gelap. Barongan Lawas menghindari kain yang terlalu berkilauan atau sintetik. Fokusnya adalah pada kenyamanan penari selama kondisi trance dan kemampuan kain untuk menyerap keringat. Hiasan pada kain lawas cenderung minim, mungkin hanya berupa sulaman sederhana atau aksen warna merah/emas tua di bagian tepinya, tidak serumit bordir modern yang padat.
Detail kecil lainnya pada Barongan Lawas adalah klintingan atau lonceng kecil yang dipasang pada topeng atau bagian leher. Klintingan lawas seringkali terbuat dari kuningan atau perunggu yang telah menua, suaranya lebih berat dan beresonansi rendah, menambah suasana mistis saat Barongan bergerak. Suara ini adalah penanda akustik yang membedakan pertunjukan klasik dari pertunjukan yang lebih baru.
Pertunjukan Barongan Lawas tidak hanya dinilai dari koreografi, tetapi juga dari rangkaian ritual sebelum, selama, dan sesudah pementasan. Etika pertunjukan lawas sangat mengedepankan penghormatan terhadap entitas spiritual topeng dan alat musik.
Sebelum Barongan Lawas ditarikan, wajib dilakukan upacara sajen (sesaji). Sajen ini berfungsi sebagai izin, persembahan, dan penyeimbang energi. Sajen Barongan Lawas biasanya terdiri dari bunga tujuh rupa, dupa/kemenyan, kopi pahit, kopi manis, teh, jajan pasar tradisional, dan kepala ayam atau kambing. Ritual ini dipimpin oleh seorang sesepuh atau pawang (disebut juga pembarong atau dhanyang) yang bertugas menjaga keselamatan penari dan memastikan pertunjukan berjalan lancar tanpa gangguan spiritual. Tanpa sajen yang lengkap dan niat yang tulus, Barongan Lawas diyakini tidak akan mau menari, atau bahkan dapat membahayakan penarinya.
Gerakan pada Barongan Lawas memiliki intensitas yang berbeda dari tarian modern. Gerakan lawas lebih spontan, kasar, dan fokus pada pelepasan energi. Tidak ada standar koreografi yang kaku seperti tarian istana; yang ada adalah rangkaian gerakan yang terinspirasi dari perilaku singa yang sedang marah, berburu, atau bertarung.
Penari Barongan Lawas harus memiliki stamina fisik luar biasa, mengingat berat topeng lawas dan intensitas gerakan yang dibutuhkan, terutama ketika memasuki fase trance. Transisi antara gerakan yang terkontrol dan gerakan liar saat ndadi adalah momen paling klimaks dalam pertunjukan lawas. Saat ndadi, penari Barongan sering melakukan aksi-aksi ekstrem seperti memakan beling, mengupas kelapa dengan gigi, atau berguling-guling di tanah, yang semuanya diyakini sebagai demonstrasi kekuatan spiritual yang merasukinya.
Keterlibatan penonton dalam pertunjukan lawas juga sangat intens. Penonton dahulu tidak hanya sekadar melihat, tetapi berinteraksi secara emosional dan spiritual. Mereka percaya bahwa energi yang dilepaskan oleh Barongan dapat membawa berkah atau mengusir penyakit. Kepercayaan kolektif inilah yang menjadi bahan bakar spiritual bagi pertunjukan Barongan Lawas, membedakannya dari pementasan yang murni bersifat hiburan panggung.
Musik adalah jantung dari Barongan Lawas. Instrumen yang digunakan adalah Gamelan Lawas, yang mungkin hanya terdiri dari beberapa instrumen inti namun dimainkan dengan ritme yang sangat spesifik dan repetitif untuk memanggil roh.
Instrumen Kunci Gamelan Lawas Barongan:
Suara Gamelan Lawas cenderung lebih ‘mentah’ dan kuat, tidak sehalus gamelan keraton. Kekuatan suara ini diperlukan untuk menandingi raungan topeng Barongan dan memfasilitasi pelepasan emosi yang intensif dari penari.
Meskipun Barongan Lawas memiliki inti filosofis yang sama, terdapat variasi regional yang signifikan, terutama antara Barongan dari Jawa Tengah (misalnya Blora) dan beberapa wilayah di Jawa Timur. Perbedaan ini terletak pada detail ukiran, dominasi warna, dan gaya tarian yang diwariskan.
Barongan Lawas dari Blora dikenal memiliki karakter yang sangat kuat, sering diasosiasikan dengan cerita Singo Barong yang gagah dan berani. Topeng Blora cenderung memiliki taring yang panjang, mata yang sangat melotot, dan penggunaan ijuk yang sangat lebat dan panjang. Gaya tarian Blora Lawas lebih menekankan pada gerakan akrobatik dan demonstrasi kekuatan fisik yang eksplosif, mencerminkan lingkungan sosial yang keras dan tradisi rakyat yang erat dengan alam.
Dalam tradisi Blora, Barongan Lawas tidak hanya menjadi seni pertunjukan, tetapi juga simbol identitas wilayah. Para pembuat topeng di sana menjaga kerahasiaan teknik pemahatan tertentu, meyakini bahwa metode lawas mereka adalah kunci untuk ‘menghidupkan’ topeng tersebut. Prosesi perayaan atau arak-arakan yang melibatkan Barongan Lawas di Blora seringkali menjadi peristiwa besar yang melibatkan seluruh komunitas, di mana topeng yang paling tua dihormati sebagai pusaka.
Meskipun Reog Ponorogo lebih dominan, Barongan Lawas dalam konteks Jawa Timur (di luar Reog) juga memiliki gayanya sendiri. Barongan Lawas dari daerah perbatasan Jawa Tengah-Timur mungkin menunjukkan pengaruh percampuran. Ukiran di Jawa Timur cenderung sedikit lebih dekoratif atau halus, tetapi tetap mempertahankan aura keangkeran. Perbedaan signifikan terletak pada komposisi grup musik pengiring dan cerita yang dibawakan. Barongan Lawas di Jawa Timur kadang lebih terintegrasi dengan pertunjukan kesenian lain, meskipun ia tetap mempertahankan statusnya sebagai entitas spiritual utama.
Intinya, gaya lawas di mana pun ia berada selalu berpegang teguh pada prinsip bahwa topeng adalah wadah spiritual, bukan sekadar kostum. Ini terwujud dalam pemeliharaan yang cermat: Barongan Lawas yang asli selalu disimpan di tempat yang tinggi dan khusus, seringkali di kamar sesepuh, dan tidak boleh dilangkahi atau diperlakukan sembarangan.
Memasuki era modern, Barongan Lawas menghadapi dilema pelestarian yang kompleks. Generasi baru seniman seringkali kesulitan mengakses material otentik dan proses spiritual yang ketat, yang pada akhirnya mengancam keaslian Barongan Lawas.
Ketersediaan material lawas seperti kayu jati tua dan ijuk alami semakin terbatas. Banyak seniman kontemporer beralih menggunakan material sintetis atau cat pabrikan yang lebih murah dan mudah didapatkan. Selain itu, keterampilan memahat dengan teknik lawas—yang membutuhkan ketelitian spiritual dan pemahaman mendalam tentang karakter kayu—juga mulai langka. Teknik pahatan lawas ini bukan hanya soal bentuk, tetapi juga soal ‘memberi nyawa’ pada kayu.
Banyak Barongan Lawas yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun kini disimpan di museum atau koleksi pribadi, terpisah dari konteks pertunjukan aslinya. Meskipun penyimpanan ini penting untuk konservasi fisik, ia juga menghilangkan fungsi Barongan sebagai media ritual dan seni pertunjukan yang hidup. Reproduksi yang dilakukan saat ini seringkali hanya meniru bentuk fisik Barongan Lawas tanpa mampu menangkap intensitas dan kesakralan yang melingkupi proses pembuatannya.
Ketika Barongan Lawas diangkat sebagai komoditas pariwisata, unsur-unsur ritualistik yang lambat dan sakral seringkali dipersingkat atau dihilangkan demi efisiensi pertunjukan. Momen ndadi, yang seharusnya merupakan puncak spiritual, kadang dimanipulasi atau direkayasa demi tontonan yang lebih sensasional. Fenomena ini menyebabkan hilangnya kedalaman spiritual yang menjadi inti dari Barongan Lawas. Para penari modern mungkin mahir dalam koreografi fisik, tetapi belum tentu memahami atau menghayati tanggung jawab spiritual yang melekat pada topeng lawas yang mereka kenakan.
Otentisitas Barongan Lawas bukan hanya terletak pada tampilan fisiknya yang usang, melainkan pada jiwa pertunjukannya—keselarasan antara penari, musik, ritual, dan kepercayaan kolektif masyarakat. Upaya pelestarian harus berfokus pada revitalisasi etika pertunjukan lawas, pendidikan tentang Gamelan Lawas, dan transfer pengetahuan spiritual dari sesepuh kepada generasi muda, bukan sekadar pelatihan tari.
Untuk benar-benar mengapresiasi Barongan Lawas, kita perlu melihatnya bukan sebagai hiburan, tetapi sebagai teks sejarah yang diukir pada kayu. Setiap retakan, setiap noda, menceritakan kisah. Barongan Lawas adalah simbol ketahanan budaya Jawa terhadap perubahan zaman yang terus-menerus. Ia mengajarkan tentang penghormatan terhadap leluhur dan kekuatan alam yang tak terlihat.
Aspek penting dari Barongan Lawas adalah manifestasi dari energi primal. Barongan mewakili sisi liar manusia yang harus diakui dan dikendalikan. Dalam pertunjukan lawas, Barongan tidak berinteraksi layaknya tokoh drama, tetapi bertindak berdasarkan insting murni. Inilah yang menciptakan ketegangan dramatis: pertarungan abadi antara keteraturan (diwakili oleh penari lain, seperti jathilan atau warok) dan kekacauan (Barongan).
Penghayatan terhadap musik Gamelan Lawas juga esensial. Ritme yang berulang dan mendalam seringkali disebut sebagai ‘panggilan’ (panyeluk). Gending Barongan Lawas memiliki frekuensi tertentu yang secara psikologis mampu mengubah kesadaran penari. Kecepatan dan dinamika suara instrumen perunggu dan kendang kulit tua menciptakan suasana sakral yang tidak bisa ditiru oleh rekaman digital atau instrumen modern yang steril.
Warna pada Barongan Lawas adalah kode visual yang kuat:
Deskripsi mendalam ini menuntun kita pada kesimpulan bahwa Barongan Lawas adalah warisan total yang mencakup ukiran, ritual, musik, dan psikologi penarinya. Ia bukan hanya peninggalan masa lalu, tetapi panduan bagaimana seni dan spiritualitas dapat berinteraksi secara harmonis dalam sebuah kebudayaan. Memelihara Barongan Lawas berarti memelihara ingatan kolektif masyarakat Jawa tentang asal-usul, keberanian, dan hubungan mereka dengan dunia spiritual.
Dalam konteks seni rupa, Barongan Lawas menawarkan keunikan yang jauh lebih mendalam daripada yang terlihat. Perhatian terhadap detail konstruksi lawas mengungkapkan kecerdasan teknis para seniman masa lampau. Misalnya, sistem pengait dan engsel pada rahang Barongan Lawas seringkali dibuat dari kulit tebal atau serat alami yang diikat secara presisi, memungkinkan gerakan rahang yang menghentak dan otentik tanpa menggunakan mekanisme pegas modern.
Konstruksi topeng Lawas seringkali lebih berat karena menggunakan kayu utuh dengan ketebalan maksimal untuk memastikan durabilitas topeng tersebut dapat bertahan selama ratusan tahun pertunjukan. Berat ini memaksa penari Lawas untuk mengembangkan teknik menari yang berbeda, yang lebih didominasi oleh kekuatan otot leher dan bahu, menghasilkan gerakan kepala yang lebih mengayun dan bertenaga daripada gerakan lincah yang mengandalkan topeng ringan. Bobot ini, bagi para pembarong Lawas, bukanlah beban, melainkan bagian dari ‘laku’ (tirakat) spiritual.
Salah satu hal yang paling dihargai dari Barongan Lawas adalah patina—lapisan penuaan yang terbentuk dari keringat penari, debu, asap kemenyan, dan minyak perawatan tradisional. Patina ini memberikan tekstur yang kaya dan kedalaman warna yang tidak dapat ditiru. Pada topeng Lawas yang autentik, patina bukan hanya kosmetik, tetapi bukti dari sejarah ritual yang panjang. Mencoba menghilangkan atau menutupi patina pada Barongan Lawas dianggap mengurangi kekuatan spiritualnya. Para kolektor dan pelestari sejati sangat menghargai artefak yang menunjukkan tanda-tanda penggunaan yang intensif dan penuaan alami.
Patina ini juga membantu dalam identifikasi usia topeng. Barongan yang sering ditarikan dalam ritual pasti menunjukkan penipisan cat di area yang sering disentuh, sementara area ukiran yang dalam masih menyimpan sisa-sisa cat pigmen alami yang tebal. Kombinasi antara penipisan dan penebalan material ini menciptakan kontras visual yang menakjubkan dan menjadi ciri khas seni pertunjukan tua.
Kain penutup pada Barongan Lawas, selain dari bahan dasarnya, seringkali dirawat dengan minyak tradisional, yang membuatnya terasa berat dan sedikit kaku. Kain Lawas ini berfungsi ganda: sebagai penutup tubuh dan sebagai peredam visual. Dalam beberapa tradisi Barongan Lawas, kain penutup ini memiliki lapisan khusus di bagian dalamnya yang diyakini dapat membantu penari yang sedang ndadi untuk kembali sadar, berfungsi sebagai semacam ‘perisai’ antara dunia nyata dan dunia roh yang dimasuki saat trance.
Penggunaan tali dan ikatan pada Barongan Lawas juga sangat khas. Tidak seperti Barongan modern yang mungkin menggunakan kawat atau sekrup, Barongan Lawas seringkali diikat dengan tali serat atau kulit yang kuat. Simpul-simpul ini bukan hanya teknis, tetapi juga memiliki makna ritual, di mana setiap ikatan adalah representasi dari pengunci energi agar roh Barongan tidak lepas kendali sepenuhnya di luar konteks pertunjukan yang terkendali. Ini adalah sistem pengaman spiritual yang sangat mendalam.
Secara keseluruhan, pemahaman terhadap Barongan Lawas membutuhkan penghormatan terhadap integritas material dan proses. Ia bukan hanya topeng singa; ia adalah sebuah pusaka bergerak, sebuah kuil kecil yang diusung oleh seorang penari, yang mendedikasikan dirinya untuk menjaga nyala api tradisi dan spiritualitas klasik Jawa agar tidak pernah padam ditelan kemajuan dunia yang semakin cepat melaju. Nilai abadi dari Barongan Lawas terletak pada kemampuannya menghubungkan kita kembali dengan masa lalu yang penuh makna, kekuatan, dan kearifan lokal.
Melanjutkan eksplorasi mengenai Barongan Lawas, kita tidak bisa mengabaikan perannya dalam struktur sosial masyarakat pedesaan Jawa. Dahulu, pertunjukan Barongan Lawas seringkali menjadi medium untuk menyampaikan kritik sosial atau menanamkan nilai-nilai moral. Meskipun Barongan itu sendiri adalah makhluk buas, interaksinya dengan tokoh lain dalam pertunjukan—seperti Bujang Ganong atau Jathilan—seringkali membentuk narasi yang mengajarkan tentang pengendalian diri, kerjasama, dan kemenangan kebaikan atas keburukan. Barongan Lawas dengan segala kegarangannya, pada akhirnya, adalah penjaga moralitas komunal.
Pengkajian historis menunjukkan bahwa beberapa Barongan Lawas tertua memiliki ukiran yang sangat primitif, jauh dari kemewahan ukiran keraton, yang mengindikasikan bahwa seni ini memang berakar kuat dari tradisi rakyat jelata (wong cilik). Ini adalah seni yang tumbuh subur di tengah lapangan desa, di bawah penerangan obor, dengan penonton yang berdesakan dan merasakan langsung getaran energi mistisnya. Keaslian suasana inilah yang membuat pengalaman menyaksikan Barongan Lawas jauh lebih otentik dan tak terlupakan dibandingkan pertunjukan panggung yang formal. Kesederhanaan dalam penampilan luarnya adalah keagungan spiritual di dalamnya.
Pentingnya peran Barongan Lawas dalam siklus panen dan ritual kesuburan juga merupakan bagian tak terpisahkan dari identitasnya. Di beberapa daerah, Barongan ditarikan khusus setelah panen raya sebagai wujud syukur (slametan) dan doa agar hasil panen berikutnya melimpah. Gerakan Barongan yang menghentak-hentak di sawah yang baru dipanen diyakini dapat ‘menyuburkan’ kembali tanah secara magis. Konteks agraris ini menambah lapisan interpretasi baru pada Barongan Lawas, menunjukkan bahwa seni ini terkait erat dengan mata pencaharian dan harapan hidup masyarakat.
Barongan Lawas adalah monumen yang berdiri tegak melawan arus perubahan, sebuah pengingat bahwa keindahan sejati seringkali ditemukan dalam keaslian dan kesakralan yang diwariskan melalui proses yang panjang dan penuh dedikasi. Perawatan Barongan Lawas, yang sering melibatkan pengolesan minyak khusus (minyak cendana atau minyak kelapa yang sudah melalui ritual) dan pembakaran kemenyan secara berkala, adalah wujud dialog tanpa kata antara pemilik dan pusaka yang dihidupinya. Hal ini memastikan bahwa roh di dalam topeng tetap tenang dan bersedia melanjutkan perannya sebagai pelindung desa dan pemanggul tradisi.