Wujud topeng Barongan, simbol kekuatan purba dan mistisisme Jawa.
Seni tradisional Jawa, khususnya yang berakar kuat pada tradisi ritual dan spiritual, memiliki mahakarya yang tak terhitung jumlahnya. Di antara ragam tarian dan pertunjukan, terdapat satu sosok yang selalu menarik perhatian, membawa aura mistik yang pekat, serta mewakili kekuatan purba yang tak tertandingi. Sosok tersebut adalah Barongan, yang sering menjadi inti dari kesenian Jaranan, Reog, maupun pertunjukan rakyat lainnya. Memahami barongan ini bukan sekadar melihat topeng kayu atau rangkaian pertunjukan akrobatik; ini adalah menyelami filosofi hidup, sejarah lisan, dan dialog abadi antara manusia dengan alam spiritual.
Jejak barongan ini telah tertanam dalam memori kolektif masyarakat, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tempat di mana pertunjukan ini masih dihidupkan secara intensif, tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai ritual pemanggil semangat. Kesenian ini memegang peran vital dalam struktur sosial pedesaan, menjadi penyeimbang, penolak bala, sekaligus sarana komunikasi dengan leluhur. Kekuatan yang terpancar dari setiap gerakan dan raungan barongan ini adalah cerminan dari daya hidup komunitas yang melestarikannya.
Secara fisik, topeng Barongan adalah representasi makhluk mitologi, seringkali diinterpretasikan sebagai singa raksasa, atau singo barong, namun dengan adaptasi lokal yang unik. Ukurannya yang masif, dengan mata melotot, taring tajam, dan hiasan rambut yang terbuat dari ijuk atau tali dadung yang lebat, memberinya tampilan yang menakutkan sekaligus sakral. Pengrajin yang membuat barongan ini seringkali harus menjalani ritual khusus, memastikan bahwa topeng yang dihasilkan bukan hanya benda seni, tetapi wadah spiritual yang siap ditempati.
Material utama pembuatan barongan ini adalah kayu, namun bukan sembarang kayu. Biasanya, digunakan kayu yang memiliki aura atau riwayat spiritual tertentu, seperti kayu waru atau dadap, yang dipercaya memiliki energi sejuk dan kuat. Pemilihan kayu adalah langkah krusial. Seorang seniman Barongan sejati percaya bahwa kualitas spiritual topeng sangat bergantung pada dari mana kayu itu berasal dan bagaimana ia dipanen. Proses pemahatan barongan ini pun tidak bisa dilakukan secara sembarangan; harus melalui puasa atau tirakat, menjadikan setiap ukiran dan pahatan sebagai bentuk doa.
Warna yang mendominasi topeng, umumnya merah dan hitam, juga memiliki makna yang dalam. Merah melambangkan keberanian, nafsu, dan kekuatan duniawi, sedangkan hitam melambangkan alam baka, misteri, dan kekuatan spiritual yang tak terbatas. Ketika kedua warna ini bertemu pada barongan ini, ia menciptakan representasi entitas yang menguasai dua alam: dunia kasat mata dan alam gaib. Ijuk atau rambut panjang yang menutupi bagian atas Barongan melambangkan kebuasan, kekuatan alam liar yang belum tersentuh peradaban manusia. Dalam setiap detail kecil, terkandung narasi yang memerlukan waktu yang sangat lama untuk diuraikan, sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya.
Meskipun memiliki akar yang sama, manifestasi barongan ini sangat bervariasi di setiap wilayah. Barongan dari Ponorogo, yang menjadi bagian dari Reog, dikenal sangat besar, berat, dan dipenuhi dengan hiasan merak. Sementara itu, barongan ini yang ditemukan dalam Jaranan di wilayah Kediri atau Blitar mungkin memiliki ukuran yang lebih ramping, namun dengan penekanan pada ekspresi wajah yang lebih dramatis dan siap untuk mengalami ‘ndadi’ (trance). Setiap versi barongan ini menceritakan dialek budaya lokal, menyesuaikan bentuk dan ritualnya dengan kepercayaan adat setempat. Perbedaan-perbedaan minor ini justru memperkaya khazanah Barongan secara keseluruhan, menunjukkan betapa lentur dan adaptifnya seni tradisi ini sepanjang zaman.
Peran utama barongan ini adalah sebagai pemimpin atau penguasa di tengah-tengah pertunjukan Jaranan atau Kuda Lumping. Jika para penari kuda lumping merepresentasikan rakyat jelata atau prajurit, maka Barongan adalah raja, makhluk mitos, atau penjaga yang menguasai medan pertempuran. Pertunjukan Jaranan adalah sebuah narasi dramatis yang mencapai klimaksnya ketika Barongan mulai bergerak, seringkali disertai dengan irama gamelan yang semakin cepat dan memabukkan.
Gamelan, yang terdiri dari kendang, gong, saron, dan demung, adalah jantung dari setiap pertunjukan Barongan. Irama yang dimainkan sangat spesifik; ada ritme untuk menyambut kedatangan barongan ini, irama untuk memancing emosi penonton, dan irama khusus yang digunakan untuk memicu keadaan trance. Tanpa irama yang tepat, kekuatan spiritual barongan ini tidak akan dapat bermanifestasi sepenuhnya. Musik bukan sekadar pengiring; ia adalah mantra, sebuah frekuensi yang menjembatani dunia nyata dan dunia gaib, memungkinkan entitas spiritual untuk turun dan menguasai raga pemain.
Ketika pemain Barongan mulai mengenakan topeng, suasana di sekitar area pertunjukan langsung berubah. Kehangatan dan kegembiraan penonton perlahan digantikan oleh ketegangan dan kekaguman. Pergerakan awal barongan ini mungkin lambat dan berwibawa, namun seiring waktu, gerakannya menjadi semakin liar, agresif, dan tak terduga, mencerminkan transisi dari kesadaran manusiawi menuju dominasi kekuatan yang lebih besar.
Titik puncak yang paling dinanti dalam setiap pertunjukan Jaranan yang melibatkan Barongan adalah fase 'ndadi' atau trance. Di sinilah garis antara seni dan ritual menjadi sangat kabur. Pemain barongan ini, setelah terpapar irama gamelan yang intens dan energi kolektif penonton, seringkali memasuki kondisi kesurupan. Dalam kondisi ini, mereka menunjukkan kemampuan fisik yang luar biasa, mulai dari memakan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau kebal terhadap cambukan. Barongan ini, dalam keadaan ndadi, tidak lagi dipandang sebagai topeng kayu, melainkan manifestasi hidup dari roh yang merasukinya.
Prosesi ini menegaskan bahwa Barongan adalah media, bukan sekadar objek. Ia adalah kapal yang membawa roh-roh purba ke dunia fisik untuk berinteraksi dengan komunitas.
Para penonton yang menyaksikan prosesi trance ini tidak hanya terhibur, tetapi juga didorong untuk refleksi spiritual. Kehadiran entitas yang menempati barongan ini dipercaya membawa pesan, restu, atau bahkan peringatan. Oleh karena itu, ritual penetralisir atau penyembuhan yang dilakukan oleh seorang pawang (disebut ‘penyebar’ atau ‘dhukun’) adalah bagian integral dari pertunjukan. Pawang memiliki tugas penting untuk memandu roh tersebut dan memastikan bahwa pemain Barongan dapat kembali ke kesadaran normal tanpa cedera fisik maupun mental.
Di balik kengerian wujudnya, barongan ini menyimpan filosofi yang sangat mendalam mengenai dualitas kehidupan. Ia sering diinterpretasikan sebagai simbol nafsu (amara) yang harus dikendalikan, atau sebagai penjaga yang melindungi masyarakat dari marabahaya. Dalam konteks Jawa, pertempuran antara Barongan (kekuatan liar/alam) dan penari Jaranan (manusia) adalah metafora abadi mengenai perjuangan manusia untuk menemukan keseimbangan antara insting dan kesadaran spiritual.
Banyak sejarawan budaya percaya bahwa barongan ini adalah representasi dari kekuatan alam yang ganas namun penting. Di masa lampau, sebelum adanya teknologi modern, masyarakat Jawa sangat bergantung pada alam, tetapi juga takut akan kekuatannya yang merusak (banjir, erupsi, kekeringan). Barongan menjadi personifikasi dari kekuatan alam tersebut. Dengan menghadirkan dan mengendalikan barongan ini dalam tarian, masyarakat secara simbolis bernegosiasi dengan alam, memohon perlindungan dan keseimbangan. Ini adalah bentuk kearifan lokal yang mengajarkan manusia untuk menghormati, bukan menaklukkan, lingkungannya.
Dalam konteks modern, barongan ini tetap relevan. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap homogenitas budaya global. Ketika seni-seni tradisional lain mulai tergerus oleh hiburan digital, Barongan hadir sebagai pengingat akan identitas yang unik dan mendalam. Anak-anak muda yang kini mulai tertarik mempelajari Jaranan atau Reog tidak hanya belajar menari; mereka belajar sejarah, etika, dan spiritualitas yang terkandung dalam setiap jengkal kayu barongan ini.
Pelestarian seni Barongan menghadapi tantangan yang kompleks. Salah satu yang paling mendasar adalah kurangnya regenerasi pengrajin topeng. Pembuatan barongan ini adalah proses yang membutuhkan keahlian turun-temurun, ketelitian ritual, dan dedikasi waktu yang sangat besar. Seniman modern seringkali kesulitan menemukan bahan baku yang sesuai, atau kehilangan konteks ritual yang membuat topeng tersebut sakral. Jika konteks ritual hilang, barongan ini hanya akan menjadi pajangan, kehilangan separuh dari jiwanya yang sebenarnya.
Selain itu, terdapat tantangan dalam mempertahankan nuansa mistis pertunjukan di tengah arus modernisasi. Banyak pertunjukan kini disederhanakan atau dikomersialkan, mengurangi intensitas ritual yang memicu trance. Namun, komunitas-komunitas adat di wilayah tertentu, seperti di lereng Gunung Kelud atau sekitar Blora, berjuang keras memastikan bahwa setiap pertunjukan barongan ini tetap otentik, diiringi sesajen (persembahan) yang lengkap, dan penghormatan kepada roh-roh penjaga lokasi.
Upaya pelestarian ini memerlukan dukungan lintas sektor. Pemerintah daerah perlu memfasilitasi regenerasi seniman dan pengrajin. Sekolah-sekolah harus memasukkan materi tentang pentingnya barongan ini dalam kurikulum budaya lokal. Dan yang paling penting, masyarakat harus terus hadir dan menghargai setiap penampilan barongan ini, karena tepuk tangan dan partisipasi kolektif adalah energi yang menjaga warisan ini tetap hidup dan bernafas.
Untuk memahami sepenuhnya aura yang dibawa oleh barongan ini, kita harus meneliti konstruksi detail yang sering terabaikan oleh penonton biasa. Beratnya topeng, yang seringkali mencapai puluhan kilogram, bukanlah kebetulan. Berat ini disengaja, berfungsi sebagai media untuk memfokuskan energi sang penari, memaksa mereka untuk memasuki kondisi fisik dan mental yang berbeda. Pemain barongan ini harus memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, namun kekuatan itu hanyalah gerbang menuju kekuatan spiritual yang lebih besar.
Sebelum barongan ini siap digunakan dalam pertunjukan sakral, ia harus melalui prosesi ‘Ngluku’ atau penyucian. Proses ini melibatkan pemandian topeng dengan air kembang tujuh rupa, pembacaan mantra, dan persembahan sesajen. Tujuannya adalah memanggil roh penjaga yang sesuai untuk mendiami topeng tersebut. Roh yang dipanggil biasanya adalah roh leluhur yang dikenal kuat, atau entitas penjaga daerah (dhanyang). Tanpa ritual Ngluku yang benar, topeng barongan ini dianggap mati, hanya sepotong kayu tanpa nyawa.
Ritual ini menunjukkan betapa dalamnya penghormatan terhadap objek Barongan. Ini adalah pengakuan bahwa topeng ini lebih dari sekadar properti panggung; ia adalah medium komunikasi transendental. Para penari yang akan membawakan barongan ini pun harus menjalani puasa dan pantangan tertentu beberapa hari sebelum pertunjukan, memastikan raga mereka bersih dan siap menjadi wadah bagi kekuatan yang akan datang.
Rumbai ijuk yang lebat pada barongan ini tidak hanya berfungsi sebagai estetika keganasan. Secara simbolis, rumbai ini melindungi sang penari dari pandangan langsung roh-roh lain saat dalam keadaan trance, serta berfungsi sebagai penangkap energi. Semakin lebat dan panjang rumbainya, semakin kuat energi liar yang dapat diwakilinya. Setiap helaian ijuk seolah membawa getaran dari hutan dan gunung, tempat di mana roh-roh purba diyakini masih bersemayam.
Di bagian mahkota, seringkali terdapat ukiran-ukiran kecil atau cermin (kaca). Cermin ini, meskipun terlihat dekoratif, memiliki fungsi metafisik: dipercaya dapat memantulkan kembali energi negatif atau sihir yang mungkin ditujukan kepada barongan ini selama pertunjukan. Cermin juga melambangkan mata ketiga, kemampuan untuk melihat dimensi lain saat kesadaran manusia tertutup. Semua elemen ini bekerja sama untuk menjadikan barongan ini sebuah kesatuan utuh yang sarat makna dan perlindungan.
Di tengah gempuran budaya pop, terdapat kebangkitan minat terhadap Barongan di kalangan generasi muda urban. Media sosial dan platform video telah memungkinkan pertunjukan Barongan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, melintasi batas-batas geografis desa. Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga kedalaman spiritual barongan ini saat ia memasuki panggung digital.
Banyak sanggar modern yang kini mengadaptasi barongan ini dalam koreografi yang lebih dinamis dan teaterikal, tanpa menghilangkan esensi ritualnya. Mereka menggabungkan elemen modern seperti pencahayaan panggung dan efek suara, menciptakan pengalaman yang spektakuler bagi penonton baru. Adaptasi semacam ini penting untuk kelangsungan hidup seni ini. Jika barongan ini hanya bertahan dalam bentuk yang sangat kaku, ia mungkin hanya akan menjadi museum piece. Dengan adanya kreativitas, ia tetap relevan dan menarik, sementara warisan spiritualnya dijaga oleh para sesepuh dan pawang.
Meskipun demikian, selalu ada perdebatan etis: sejauh mana modernisasi dapat dilakukan tanpa mengorbankan sakralitas? Komunitas Barongan tradisional berpegang teguh pada prinsip bahwa kekuatan barongan ini terletak pada keaslian ritualnya. Musik gamelan harus dimainkan secara live, dan trance harus terjadi secara organik, bukan direkayasa untuk tontonan. Keseimbangan ini adalah kunci untuk masa depan barongan ini: ia harus mampu berbicara kepada masa kini, tanpa melupakan bahasa leluhurnya.
Di beberapa daerah seperti Blora, Jawa Tengah, barongan ini bukan hanya seni pertunjukan; ia adalah simbol identitas regional yang kuat. Barongan Blora memiliki ciri khas tersendiri, yaitu ekspresi wajah yang lebih naturalistik dan penggunaan topeng yang lebih ringan, memungkinkan gerakan yang lebih lincah dan berirama cepat. Pemerintah daerah di sana aktif mempromosikan barongan ini sebagai ikon wisata budaya, memastikan bahwa tradisi ini mendapat sorotan dan dukungan finansial yang berkelanjutan.
Melalui festival dan lomba Barongan, generasi muda didorong untuk terlibat. Mereka belajar tidak hanya menari, tetapi juga mengelola sanggar, membuat kostum, dan yang terpenting, menghormati sejarah di balik barongan ini. Ini adalah investasi jangka panjang untuk memastikan bahwa ketika para sesepuh sudah tiada, pengetahuan tentang esensi dan ritual Barongan tidak akan ikut hilang ditelan waktu.
Mengapa barongan ini begitu menakutkan sekaligus dihormati? Jawabannya terletak pada narasi mitologis yang mengitarinya, yang seringkali berbeda-beda tergantung wilayahnya. Namun, benang merahnya selalu mengenai perebutan kekuasaan, pertempuran melawan kejahatan, atau kisah pencarian jati diri yang berujung pada manifestasi kekuatan tertinggi.
Di Jawa Timur, terutama terkait dengan Reog Ponorogo, barongan ini (Singa Barong) erat kaitannya dengan kisah Prabu Klono Sewandono yang ingin meminang Dewi Songgolangit dari Kediri. Singa Barong digambarkan sebagai makhluk buas penunggu hutan yang harus ditaklukkan, atau bahkan dipersatukan, oleh sang Prabu. Ini adalah kisah tentang penaklukan nafsu dan integrasi kekuatan alam liar ke dalam otoritas kerajaan. Kehadiran barongan ini dalam Reog melambangkan kekuatan militer dan spiritual Prabu yang tak tertandingi.
Namun, dalam konteks Jaranan yang lebih murni, barongan ini sering diinterpretasikan sebagai entitas independen—raja hutan, penguasa gaib, yang kehadirannya diundang untuk memberkati atau menguji ketahanan spiritual manusia. Ia adalah entitas yang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh manusia, hanya bisa diajak berdialog melalui ritual dan pengorbanan batin.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wujud barongan ini mungkin dipengaruhi oleh ajaran Kejawen yang mendalam, terutama konsep sedulur papat lima pancer (empat saudara dan pusat). Barongan, dengan kekuatannya yang liar, sering dikaitkan dengan nafsu tertinggi yang ada dalam diri manusia (amara, lobha, moha, krodha). Tarian Barongan adalah proses pembersihan diri, di mana penari dihadapkan langsung dengan nafsu liarnya sendiri, dan harus mampu mengatasinya melalui kesadaran dan kontrol spiritual. Ketika pemain barongan ini mencapai trance, itu adalah momen di mana ‘pusat’ (pancer/kesadaran) sementara waktu dikuasai oleh ‘saudara’ (nafsu atau roh luar).
Memahami narasi ini membantu menjelaskan mengapa pertunjukan Barongan begitu intens dan menuntut. Ia bukan sekadar tarian, melainkan sebuah pertarungan batin yang disaksikan oleh publik, sebuah pelajaran filosofis yang disampaikan melalui medium seni yang memukau dan terkadang menakutkan. Setiap lilitan tali, setiap warna cat pada barongan ini, adalah babak dari kisah panjang ini.
Dalam masyarakat tradisional Jawa, Barongan memiliki fungsi sosial dan spiritual yang melampaui hiburan. Ia sering dipanggil dalam ritual-ritual adat penting, seperti bersih desa (pembersihan desa), tolak bala (penolak bencana), atau upacara ruwatan (pembersihan nasib buruk).
Dalam upacara Bersih Desa, kehadiran barongan ini sangat krusial. Ia dipercaya memiliki kemampuan untuk "menyapu" energi negatif atau roh jahat yang mungkin mengganggu ketentraman desa. Para pemain barongan ini akan diarak mengelilingi batas desa, berhenti di tempat-tempat yang dianggap angker atau memiliki energi kuat. Dengan raungan dan gerakan agresifnya, barongan ini dipercaya mengusir makhluk-makhluk yang tidak diinginkan, memastikan keselamatan dan kesuburan bagi lahan dan penduduk desa selama setahun ke depan.
Di momen-momen sakral seperti ini, penonton menyaksikan Barongan dengan rasa hormat yang mendalam. Tidak ada canda tawa, hanya keheningan dan kekhusyukan. Ini adalah bukti bahwa terlepas dari panggung hiburan, fungsi primordial barongan ini sebagai penjaga spiritual tetap dihormati dan dipelihara oleh masyarakat setempat.
Keberhasilan pertunjukan Barongan, terutama yang melibatkan trance, sangat bergantung pada peran Pawang (atau Dukun). Pawang bertindak sebagai juru bicara antara Barongan yang kerasukan dan dunia manusia. Mereka menyiapkan saji (persembahan) yang spesifik—seperti kembang setaman, kopi pahit, rokok kretek, hingga kepala ayam—yang dipercaya merupakan makanan atau kesukaan dari roh yang menempati barongan ini.
Pawang harus memiliki pengetahuan mendalam mengenai nama-nama roh yang mungkin merasuk, mantra untuk memanggil, dan mantra untuk mengembalikan kesadaran. Hubungan antara Pawang, penari, dan barongan ini adalah sebuah segitiga spiritual yang harus dijaga keseimbangannya. Kesalahan dalam ritual, sekecil apapun, dipercaya dapat menyebabkan konsekuensi serius, mulai dari roh yang tidak mau pergi, hingga cedera parah pada penari.
Oleh karena itu, ketika kita melihat barongan ini menari dengan gagah di tengah panggung, kita sesungguhnya menyaksikan puncak dari ribuan tahun pengetahuan spiritual dan ritual yang teruji. Ini adalah warisan yang kompleks, kaya, dan tak dapat dipisahkan dari identitas budaya Nusantara.
Gamelan memiliki peranan fundamental yang harus dipahami untuk mengapresiasi keagungan barongan ini. Ada beberapa jenis ritme atau 'gending' yang secara spesifik diciptakan untuk mengiringi dan memprovokasi energi Barongan.
Gending pembuka biasanya lembut, berfungsi untuk membersihkan suasana dan mengumpulkan energi. Saat barongan ini mulai bergerak ke tengah panggung, irama kendang akan mulai memanas, diikuti oleh saron yang berdentum cepat. Irama yang paling penting adalah 'Gending Janturan', yang dipercaya sebagai mantra musik untuk memanggil roh. Ketika Gending Janturan dimainkan dengan tempo yang sangat cepat dan repetitif, inilah saat yang paling mungkin bagi penari barongan ini untuk memasuki kondisi trance. Suara instrumen metalofon yang keras dan vibrasi gong yang dalam menciptakan resonansi yang mempengaruhi gelombang otak sang penari.
Kendang (drum) adalah instrumen terpenting. Penabuh kendang bukan hanya musisi, tetapi juga pemandu spiritual. Ia harus peka terhadap kondisi penari barongan ini. Jika penari mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan atau kesulitan mengendalikan roh, penabuh kendang harus mengubah ritme untuk menstabilkan kondisi. Sebaliknya, jika energi dianggap terlalu lemah, ia akan meningkatkan tempo untuk memicu manifestasi kekuatan yang lebih besar. Kendang berfungsi sebagai dialog ritmis antara dunia manusia dan entitas yang menempati barongan ini.
Kekuatan musik inilah yang membedakan pertunjukan Barongan yang otentik dari sekadar tontonan biasa. Irama Gamelan yang mendalam menciptakan medan energi yang kuat, membuat seluruh penonton—dan khususnya pemain barongan ini—terhisap ke dalam pusaran mistis yang sulit dijelaskan dengan logika semata.
Seiring berjalannya waktu, barongan ini terus beradaptasi. Namun, inti dari kekuatannya—kombinasi seni, ritual, dan filosofi—harus terus dijaga. Upaya pelestarian bukan hanya tentang menjaga bentuk luarnya, tetapi juga tentang menjaga pengetahuan yang tersembunyi di balik topeng dan gerakan tarian.
Komitmen untuk melestarikan barongan ini memerlukan pemahaman bahwa ini adalah warisan kolektif yang tak ternilai harganya. Setiap kali sebuah pertunjukan Barongan diadakan, ia adalah pengingat bahwa warisan leluhur kita begitu kaya, kompleks, dan spiritual. Barongan ini, dengan raungan dan keganasannya, adalah cermin bagi jiwa Nusantara yang tak pernah mati, terus menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas.
Mulai dari pemilihan kayu yang dilakukan dengan penuh kesakralan, hingga irama gamelan yang memancing arwah-arwah purba, setiap elemen dalam pertunjukan Barongan adalah manifestasi dari kearifan lokal yang luar biasa. Warisan barongan ini adalah aset budaya yang harus terus dihidupkan, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk generasi mendatang yang berhak menyaksikan keagungan tarian singa raksasa dari tanah Jawa ini.
Setiap goresan pada topeng barongan ini menceritakan sebuah sejarah, setiap hentakan kaki penarinya mewakili kekuatan bumi, dan setiap lambaian rambut ijuknya adalah bisikan dari masa lalu. Inilah kekayaan Barongan: sebuah seni yang merangkum mitologi, spiritualitas, dan kegigihan budaya Indonesia dalam satu pertunjukan yang memukau. Kesenian barongan ini sungguh tak ternilai harganya dan wajib kita jaga kelestariannya.