Sebuah Kajian Mendalam atas Peran Ganda Seni Pertunjukan Klasik Jawa
Barongan Kendang adalah manifestasi seni pertunjukan rakyat yang kaya akan mitologi, spiritualitas, dan dinamika gerak. Lebih dari sekadar tontonan, ia adalah ritual hidup, sebuah jembatan antara dunia kasat mata dan alam gaib yang diwariskan turun-temurun, terutama di wilayah Jawa Tengah bagian utara hingga Jawa Timur bagian barat (seperti Blora, Kudus, Rembang, dan Bojonegoro). Inti dari pertunjukan ini terletak pada dualitas yang tak terpisahkan: sosok Barongan yang gagah, sang perwujudan kekuatan kosmik, dan Kendang yang menjadi denyut nadi ritmis, komandan tak terlihat yang menggerakkan seluruh drama.
Barongan, atau topeng besar yang menyerupai singa mitologi atau Bima, seringkali dipersepsikan sebagai simbol kekuatan maskulin, keberanian, dan penolak bala. Konstruksi Barongan adalah sebuah mahakarya. Ia terdiri dari kepala (topeng) yang terbuat dari kayu yang telah dipilih melalui ritual khusus, seringkali kayu nangka atau randu yang dianggap memiliki daya magis. Topeng ini dihiasi rambut ijuk (doro) atau rumbai-rumbai yang menimbulkan kesan liar dan agung. Bagian badan Barongan ditutupi oleh kain beludru atau karung goni yang dihiasi manik-manik atau payet, menandakan kemegahan dan status suci. Dua penari mengoperasikan Barongan: satu di bagian kepala (pematung nyawa) dan satu di bagian ekor (penggerak energi), menciptakan ilusi seekor makhluk hidup yang bernapas.
Jika Barongan adalah tubuh, maka Kendang adalah jantung yang memompanya. Kendang dalam konteks Barongan Kendang bukan hanya alat musik; ia adalah medium komunikasi spiritual dan instrumen komando. Melalui variasi pola pukulan—disebut *tabuhan* atau *titikan*—sang penabuh Kendang (pengendang) menentukan tempo, mood, dan jenis gerak yang harus dilakukan oleh Barongan dan penari pendukung (biasanya Jaranan atau Gendruwo). Tanpa Kendang, Barongan hanyalah patung kayu; dengan Kendang, ia menjadi hidup, bergerak, dan bahkan kerasukan.
Topeng Barongan Gagah, melambangkan kekuatan mistis dan penjaga spiritual, merupakan fokus utama dalam pertunjukan Barongan Kendang.
Meskipun Barongan menarik perhatian visual, keberhasilan pertunjukan Barongan Kendang sepenuhnya bergantung pada kompleksitas musikalitas, yang diatur oleh Kendang. Musik yang mengiringi Barongan Kendang biasanya adalah seperangkat Gamelan sederhana, sering disebut *Gamelan Pengiring Jaranan* atau *Gamelan Barongan*, yang hanya terdiri dari Kendang, Gong, Kenong, dan kadang Saron. Namun, dari minimalisnya instrumen tersebut, lahir ritme yang maksimal.
Proses pembuatan Kendang seringkali merupakan ritual tersendiri. Kayu yang digunakan, idealnya kayu Nangka (yang dianggap memiliki spiritualitas tinggi dan menghasilkan resonansi terbaik), harus diambil dengan upacara tertentu. Kulit penutup (membran) berasal dari kerbau atau sapi, di mana ketebalan kulit sangat mempengaruhi nada dasar yang dihasilkan. Kendang Barongan memiliki dua sisi: sisi besar (dhong) yang menghasilkan suara berat, dan sisi kecil (thung) yang menghasilkan suara tinggi. Kombinasi pukulan tangan, jari, dan telapak tangan pada kedua sisi inilah yang menciptakan bahasa ritmis Barongan.
Setiap adegan dalam pertunjukan Barongan Kendang dipimpin oleh gending yang berbeda. Pengendang harus menguasai ratusan pola gending yang berfungsi sebagai isyarat gerak:
Kendang tidak hanya mengatur tempo, tetapi juga memberikan aba-aba verbal melalui bunyi. Kata-kata seperti "Dhung-dhong-tek-plak!" yang diucapkan oleh Kendang adalah instruksi tak tertulis. Pengendang harus memiliki rasa (perasaan) yang kuat, mampu membaca energi Barongan, dan tahu kapan harus menaikkan atau menurunkan intensitas agar Barongan tidak kehilangan kendali atau jatuh ke dalam kekosongan energi. Harmoni antara Barongan dan Kendang adalah cerminan keseimbangan kosmik Jawa: kekuatan yang diatur oleh irama.
Pertunjukan Barongan Kendang adalah sintesis sempurna dari Wiraga (gerak), Wirama (irama), dan Wirasa (rasa atau spiritualitas). Gerak Barongan, meskipun terlihat liar dan spontan, sebenarnya memiliki pola dasar yang sangat ketat, yang semuanya disinkronkan dengan Kendang.
Penari Barongan (yang sering disebut pembarong) harus memiliki stamina fisik luar biasa dan kemampuan menghayati karakter purba Barong. Gerak dasar meliputi:
Gerak Barongan juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pendamping. Dalam banyak versi, Barongan ditemani oleh Jaranan (penari kuda lumping), Warok atau Gendruwo. Jaranan bergerak lebih ritmis dan terstruktur, sementara Gendruwo seringkali bertindak sebagai komedi atau pembantu Barongan. Semua gerak ini harus direspons secara instan oleh Kendang; jika Barongan melambat, Kendang harus menahan; jika Barongan mulai kerasukan, Kendang harus mendorong batas ritmisnya.
Trance, atau kerasukan, adalah ciri khas yang membedakan Barongan Kendang dari pertunjukan seni lain. Kerasukan bukanlah sekadar akting, tetapi pengalaman spiritual nyata yang dipicu oleh kombinasi ritme Kendang, mantra, dan energi kolektif penonton. Saat mendem, penari Barongan (dan Jaranan) seringkali kebal terhadap rasa sakit, melakukan tindakan berbahaya seperti mengupas sabut kelapa dengan gigi, memakan pecahan kaca, atau mencambuk diri. Peran Kendang di sini sangat vital; ia bertindak sebagai saluran energi dan sekaligus sebagai penahan. Pengendang memiliki kemampuan untuk 'mengunci' dan 'melepaskan' trance melalui variasi tabuhan. Gending-gending tertentu, seperti Gending Planggang, diyakini secara harfiah membuka portal spiritual.
Ilustrasi Kendang (drum) khas Barongan, menunjukkan dua sisi membran dan posisi tangan pengendang, sebagai penanda bahwa Kendang adalah komandan utama pertunjukan.
Seni Barongan Kendang bukanlah entitas tunggal. Ia beradaptasi dan bertransformasi sesuai dengan lingkungan geografis dan historis tempat ia tumbuh. Meskipun inti Barong dan Kendang tetap ada, dialek budaya (seperti kostum, gending, dan mitologi pendukung) membedakan satu daerah dengan yang lain.
Blora, di Jawa Tengah bagian timur, sering dianggap sebagai salah satu sentra utama Barongan. Barongan Blora dikenal dengan gaya yang sangat keras, maskulin, dan energik. Topengnya cenderung besar, menyerupai singa yang lebih tua dan bijaksana. Kostumnya seringkali menggunakan warna-warna primer yang mencolok (merah, emas, hitam). Gending Barongan Blora memiliki ciri khas kendangan yang sangat cepat, agresif, dan dominan, yang mendorong penari mencapai trance yang dalam dan intens. Pertunjukan di Blora sering dihubungkan dengan mitos Gendruwo atau tokoh spiritual lokal yang bertugas menjaga desa.
Pengendang Blora sangat dihormati karena mereka harus mampu mengendalikan energi spiritual yang dilepaskan. Mereka adalah dalang ritmis yang menentukan narasi emosional. Keunikan lain Barongan Blora adalah peran Pambukaning Kaki (pembuka), sebuah ritual mantra yang harus dilakukan sebelum Gending pertama dibunyikan, memastikan bahwa semua roh yang diundang adalah roh yang baik dan pelindung.
Di daerah pesisir seperti Kudus dan Pati, Barongan Kendang menunjukkan akulturasi dengan budaya pesisir yang lebih terbuka. Meskipun tetap mempertahankan aspek spiritual, pertunjukan di sini cenderung lebih teatrikal dan humoris. Barongan di daerah ini mungkin memiliki ukiran yang lebih halus dan detail. Penggunaan instrumen musik seringkali lebih lengkap, kadang memasukkan alat tiup seperti suling yang memberikan melodi lebih kompleks, bukan hanya dominasi perkusi seperti di Blora. Kendang di Kudus mungkin memainkan pola yang sedikit lebih santai, memungkinkan interaksi yang lebih lama antara Barongan dan penonton tanpa harus langsung memicu trance.
Aspek penting dari varian pesisir adalah penggunaan narasi yang mengaitkannya dengan penyebaran Islam (misalnya, cerita yang dihubungkan dengan Wali Songo atau tokoh-tokoh lokal yang telah diislamkan), meskipun intisari pemanggilan roh pra-Islam tetap dipertahankan dalam Kendang dan gerak inti. Adaptasi ini menunjukkan fleksibilitas budaya Jawa dalam menyerap dan memadukan tradisi lama dengan unsur-unsur baru.
Meskipun Reog Ponorogo memiliki seni Barongannya sendiri (disebut Singo Barong), tradisi Barongan Kendang di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki pengaruh timbal balik. Barongan di daerah ini mungkin lebih fokus pada tarian yang membutuhkan kekuatan fisik ekstrem, terinspirasi dari gerakan Singo Barong yang membawa beban berat. Kendang di sini cenderung memiliki ritme yang sangat menghentak, penuh dengan sinkopasi yang kompleks, mencerminkan semangat kompetisi dan ketangkasan fisik yang dominan dalam budaya Jawa Timur. Pengendang harus memiliki kecepatan dan akurasi yang luar biasa untuk menandingi dinamika gerak yang agresif dan akrobatik.
Barongan Kendang adalah peta mitologi Jawa yang bergerak. Di balik tawa dan kengerian pertunjukan, tersimpan kisah purba tentang keseimbangan kosmik, pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, dan peran manusia di antara keduanya. Kendang bertindak sebagai penutur tak bersuara dari mitos-mitos ini.
Barong dalam tradisi Jawa sering dihubungkan dengan figur penjaga. Beberapa teori menghubungkannya dengan Singa mitologi yang menjadi kendaraan para dewa atau perwujudan Dewa Siwa. Dalam konteks lokal, Barongan diposisikan sebagai Danyang Desa atau roh penjaga leluhur yang bertugas melindungi komunitas dari marabahaya, wabah, dan roh jahat (Leak atau Banaspati).
Ritual pertunjukan sering dimulai dengan Sesaji (persembahan) yang ditujukan kepada Barongan. Sesaji ini harus lengkap, mencakup kopi pahit, kopi manis, rokok kretek, bunga tujuh rupa, dan bahkan ayam atau kambing mentah. Kendang memainkan gending yang sangat pelan dan syahdu selama sesaji, sebuah bentuk komunikasi hormat kepada Barong. Kegagalan melakukan sesaji atau memainkan gending yang salah diyakini dapat menyebabkan bencana atau membuat Barongan menjadi liar tak terkendali.
Dalam pertunjukan Wayang Kulit, dalang menggunakan suluk (nyanyian) untuk mengatur suasana. Dalam Barongan Kendang, fungsi suluk diambil alih oleh Kendang. Setiap pola tabuhan Kendang mewakili emosi tertentu: kesedihan, kemarahan, kegembiraan, atau panggilan spiritual.
Kendang, dengan ritmenya yang konstan, melambangkan siklus hidup yang tak pernah berhenti (Cakra Manggilingan). Suara Kendang yang terus berbunyi di tengah kekacauan gerakan Barongan berfungsi sebagai jangkar, mengingatkan penari dan penonton akan adanya tatanan di balik kekacauan. Ia adalah simbol Irama Kehidupan yang harus terus dijaga. Filosofi ini sangat kental, bahwa kegembiraan dan kengerian Barongan harus senantiasa diikat oleh ritme, sebuah representasi dari hukum karma atau keseimbangan alam.
Satu kali pertunjukan Barongan Kendang, terutama yang bersifat ritual murni (bukan pentas komersial), bisa berlangsung berjam-jam, terkadang dari sore hingga tengah malam. Struktur pertunjukan ini sangat rigid, dan Kendang mengawali serta mengakhiri setiap fase transisi.
Sebelum pertunjukan dimulai, semua penari dan musisi melakukan ritual penyelarasan. Kendang dan Barongan diolesi minyak wangi atau dibakar dupa. Pengendang, sebagai pemegang kunci ritme, adalah yang paling intensif melakukan ritual ini. Ia harus memastikan Kendangnya ‘berbicara’ dengan baik. Di sinilah Kendang mulai dipukul pelan, menghasilkan Titikan Awal yang berfungsi sebagai pemanasan spiritual. Fase ini memastikan bahwa penari dan instrumen berada dalam rasa yang sama.
Pertunjukan resmi dimulai dengan Gending Buka yang lambat dan sakral. Kendang mendominasi dengan pukulan dhong yang dalam dan resonan. Selama fase ini, tokoh-tokoh pendamping (Jaranan) mungkin masuk terlebih dahulu, melakukan gerakan sembah. Barongan kemudian muncul dengan gerak yang agung dan tenang. Kendang membangun atmosfer ketegangan spiritual, bukan ketegangan fisik. Jika ritual ini dilakukan untuk ruwatan (pembersihan), Kendang akan memainkan pola yang sangat spesifik yang diyakini membersihkan energi negatif dari lokasi pertunjukan.
Ini adalah inti drama dan energi. Kendang beralih ke Gending Sampak dan Planggang. Intensitas Kendang meningkat secara dramatis, mendorong Barongan dan Jaranan mencapai trance. Pengendang menjadi pahlawan tak terlihat di sini; ia harus menjaga agar trance tetap berada dalam batas kendali, karena trance yang terlalu liar bisa berbahaya bagi penari. Ia menggunakan variasi ceblakan (pukulan keras yang memotong ritme) untuk menyentak penari agar sadar atau untuk mendorong mereka lebih dalam ke dalam ekstase.
Durasi klimaks ini seringkali sangat panjang, bisa mencapai satu atau dua jam tanpa henti, memerlukan Kendang yang dimainkan dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa. Kendang saat itu bukan lagi ritme, melainkan suara auman yang mendesak.
Setelah energi dilepaskan, Kendang memainkan Gending Tutup yang kembali ke tempo lambat dan menenangkan. Ini adalah sinyal bagi Bopo (dukun atau pawang) untuk mengembalikan kesadaran penari dari trance. Kendang berperan dalam ‘mengunci’ roh yang telah dipanggil, mengirim mereka kembali ke alamnya. Tanpa pola Kendang penutup yang benar, penari dipercaya bisa tetap dalam kondisi kerasukan, sebuah konsekuensi yang sangat dihindari. Ritme Kendang dalam tahap ini haruslah meneduhkan, mencerminkan kembali harmoni yang telah dicapai.
Kualitas permainan Kendang dalam Barongan Kendang diukur dari kemampuannya untuk memimpin penari melalui kurva emosi ini: dari ketenangan, ke kegembiraan, ke kegilaan spiritual, dan kembali ke ketenangan absolut.
Sebagai seni tradisi yang sangat bergantung pada ritual dan spiritualitas, Barongan Kendang menghadapi tantangan besar di era modern, terutama terkait dengan pelestarian gending, keahlian pengendang, dan minat generasi muda.
Kendang adalah keahlian yang diturunkan secara lisan dan melalui pengalaman langsung (ngenger atau magang). Tidak ada notasi baku untuk Gending Barongan. Pengendang harus menghafal ratusan pola dan, yang lebih penting, mengembangkan rasa untuk memimpin pertunjukan spiritual. Di era digital, banyak generasi muda yang lebih tertarik pada seni yang menawarkan kepastian notasi atau keuntungan finansial yang lebih cepat.
Pelestarian Kendang Barongan harus dilakukan tidak hanya dengan merekam gending, tetapi dengan menciptakan ruang bagi calon pengendang untuk merasakan energi pertunjukan, memahami bagaimana sebuah pukulan Kendang dapat secara fisik memindahkan Barongan, dan bagaimana variasi kecil pada tempo (wirama) bisa mengubah seluruh narasi. Ini adalah ilmu rasa yang sulit diwariskan melalui buku teks.
Dalam konteks pentas komersial atau festival budaya, durasi pertunjukan harus dipersingkat, dari enam jam menjadi hanya satu atau dua jam. Hal ini memaksa pengendang untuk memadatkan Gending, mempercepat transisi antar adegan, dan mengurangi waktu untuk ritual trance. Kendang harus tetap mempertahankan esensi spiritualnya sambil beradaptasi dengan kecepatan tontonan modern.
Beberapa kelompok Barongan modern mulai mengintegrasikan alat musik non-tradisional (seperti drum set atau keyboard) untuk memberikan resonansi yang lebih besar saat pementasan di panggung besar. Namun, kelompok purist berpendapat bahwa penambahan instrumen modern dapat merusak aura dan daya magis Kendang tradisional, karena Kendang harus tetap menjadi satu-satunya komandan yang mengeluarkan "sabda suara" murni.
Upaya pelestarian Barongan Kendang kini semakin digencarkan melalui inventarisasi pola Gending. Komunitas lokal bekerja sama dengan akademisi untuk mendokumentasikan setiap titikan Kendang yang berbeda di setiap desa, mencegah hilangnya warisan ritmis yang unik. Program pelatihan formal dan informal juga didirikan, memastikan bahwa keahlian Kendang tidak hilang ketika para maestro tua telah tiada.
Pentingnya Kendang harus terus diangkat. Kendang bukan hanya instrumen pendukung; ia adalah kunci untuk membuka pintu mitologi Barongan. Tanpa ritme yang tepat, Barongan Kendang kehilangan identitasnya, merosot menjadi sekadar tarian topeng biasa.
Untuk memahami kedalaman Barongan Kendang, kita harus benar-benar mengupas tuntas Kendang itu sendiri. Alat ini adalah inti akustik dari segala yang spiritual dan emosional dalam pertunjukan.
Kualitas suara Kendang sangat dipengaruhi oleh kulit yang digunakan. Sisi Dhondhongan (sisi berat) biasanya menggunakan kulit kerbau karena tebal dan mampu menghasilkan nada bass yang dalam dan resonan, yang melambangkan kekuatan bumi. Sisi Thungan (sisi kecil/tinggi) menggunakan kulit kambing yang lebih tipis, menghasilkan nada tinggi dan tajam, yang melambangkan spiritualitas atau suara langit.
Ritual penalaan Kendang (nambal) adalah proses yang membutuhkan kepekaan tinggi. Penalaan dilakukan dengan memanaskan membran di atas api atau dengan menggunakan pasak (placing) yang diselipkan di antara tali pengikat. Ketepatan nada Kendang (antara Dhong dan Thung) harus selaras dengan nada dasar Gamelan, menciptakan resonansi yang sempurna. Resonansi ini yang diyakini mampu menarik roh atau indang untuk merasuki Barongan.
Meskipun terdapat ribuan variasi gending, semua Kendang Barongan berakar pada tujuh teknik pukulan dasar yang harus dikuasai pengendang:
Pengendang Barongan menggabungkan ketujuh pukulan ini dengan kecepatan dan presisi yang memusingkan, mengubah instrumen kayu dan kulit menjadi sebuah orkestra perkusi tunggal yang mengatur seluruh panggung. Kecepatan Kendang saat Planggang dapat mencapai hingga 200 ketukan per menit, menantang batas kemampuan fisik manusia.
Di luar fungsi ritualnya, Barongan Kendang memegang peran penting sebagai media komunikasi sosial, pemersatu komunitas, dan penanda identitas budaya. Kendang adalah suaranya masyarakat.
Trance dalam Barongan Kendang sering dianggap sebagai bentuk katarsis kolektif. Penari yang kerasukan melepaskan energi terpendam, baik fisik maupun emosional. Namun, efek terapeutik ini meluas kepada penonton. Getaran suara Kendang yang kuat dan resonan, apalagi jika dimainkan dalam volume maksimal, diyakini dapat membersihkan energi negatif dari lingkungan sekitar dan bahkan dari tubuh penonton.
Ketika masyarakat mengalami ketegangan sosial atau musibah, pertunjukan Barongan Kendang sering dipentaskan sebagai upaya penyembuhan komunal. Ritme Kendang yang terstruktur dan spiritual memberikan jaminan bahwa meskipun hidup penuh kekacauan (diwakili oleh Barongan yang liar), akan selalu ada irama (diwakili oleh Kendang) yang mengembalikan tatanan.
Setiap kelompok Barongan Kendang mewakili desa atau wilayahnya. Perbedaan dalam gending, kostum, dan cerita adalah sumber kebanggaan lokal. Kendang dari kelompok tertentu dikenal memiliki 'warna' atau 'rasa' suara yang khas. Ketika seseorang mendengar pola Kendang tertentu, ia segera tahu dari kelompok mana musik itu berasal—sebuah penanda identitas yang lebih kuat daripada bahasa lisan.
Pengakuan terhadap pengendang (sebagai maestro) adalah pengakuan terhadap warisan budaya kolektif. Mereka bukan sekadar musisi, tetapi penjaga kode ritmis yang menyimpan sejarah lisan dan spiritual komunitas. Seni ini mengajarkan generasi muda tentang akar mereka, melalui kombinasi gerak yang diikat oleh irama purba.
Barongan Kendang adalah sumbu budaya yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan Jawa. Ia adalah seni yang menuntut totalitas—totalitas fisik dari pembarong, totalitas spiritual dari seluruh pemain, dan totalitas teknis dari pengendang. Barongan adalah kekuatan, namun Kendang adalah kebijaksanaan yang mengarahkan kekuatan tersebut.
Dalam setiap hentakan Dhung yang berat dan setiap Thung yang tajam, tersimpan janji bahwa tradisi akan terus bernapas. Selama ada tangan yang mau memukul kulit Kendang, dan selama ada roh yang mau diundang untuk menari dalam topeng Barong, maka Barongan Kendang akan terus berdiri tegak, menjadi simbol abadi dari keharmonisan yang dramatis antara manusia, alam, dan roh. Ia adalah peninggalan yang tak ternilai, sebuah tarian abadi yang ditarikan oleh irama, dipimpin oleh denyut nadi Kendang.
Barongan Kendang mengajarkan bahwa spiritualitas tak harus selalu hening; ia bisa ditemukan dalam keriuhan pukulan Kendang, dalam auman Barong, dan dalam kekacauan gerakan trance yang akhirnya kembali pada keselarasan. Inilah warisan ritmis, warisan spiritual, warisan Barongan Kendang.
Walaupun Kendang adalah komandan, ia tidak bekerja sendiri. Interaksi antara Kendang, Gong, dan Kenong menciptakan arsitektur musik Gamelan Barongan yang utuh. Gong berfungsi sebagai penanda siklus (gongan), yang menandai berakhirnya satu putaran melodi. Suara Gong yang dalam dan jarang memberikan rasa kepastian dan waktu. Kendang bermain bebas dalam kerangka waktu yang ditentukan oleh Gong. Kenong, dengan nada yang lebih pendek dan sering, bertindak sebagai penengah antara Kendang dan Gong.
Pola Kendang harus dihitung secara matematis agar selalu jatuh tepat sebelum Gong dibunyikan. Kesalahan sepersekian detik dalam penabuhan Kendang sebelum Gong akan merusak wirama, dan ini dianggap sebagai kesalahan fatal dalam konteks ritual. Oleh karena itu, pengendang bukan hanya seniman, tetapi juga matematikawan ritmis yang harus selalu waspada terhadap struktur waktu yang mereka ciptakan.
Salah satu kemampuan magis pengendang adalah teknik Ngenceng (mempercepat) dan Nglengut (melambatkan). Ngenceng digunakan untuk memompa adrenalin, baik pada penari maupun penonton, seringkali memicu histeria massal. Nglengut, sebaliknya, digunakan untuk meredam, membawa Barongan dari tepi kekacauan kembali ke ritme yang dapat diatur.
Dalam pertunjukan, pengendang harus merasakan energi kolektif. Jika penonton terlalu ramai dan mengganggu jalannya ritual, Kendang bisa tiba-tiba melakukan ceblakan (pukulan keras yang mengagetkan) diikuti Nglengut yang lambat untuk mendisiplinkan energi. Ini menunjukkan bahwa Kendang memegang kendali atas ruang spiritual dan fisik di sekitar panggung. Kekuatan supranatural Kendang berasal dari pemahaman pengendang bahwa ia tidak hanya memainkan kulit, tetapi juga menggetarkan jiwa-jiwa di sekitarnya.
Setiap pukulan Kendang adalah sebuah kalimat, setiap Gending adalah sebuah bab. Barongan Kendang adalah literatur hidup Jawa yang harus terus dibaca dan dimainkan dengan penuh penghormatan.
***
Pengendang senior sering mengajarkan bahwa Kendang yang baik tidak berbunyi, tetapi bernyanyi. Nyanyian itu adalah suara para leluhur, pesan dari hutan dan pegunungan, yang diikat dalam ritme yang sempurna. Untuk memahami Barongan, kita harus mendengarkan Kendang. Untuk memahami Jawa, kita harus merasakan getaran ritme purba yang ia hasilkan.
Kedalaman filosofis ini memastikan bahwa Barongan Kendang akan terus relevan, bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai pelajaran tentang bagaimana kekuatan (Barong) harus tunduk pada irama dan tatanan (Kendang) untuk mencapai keselarasan spiritual sejati. Seni pertunjukan ini adalah doa yang dimainkan, mantra yang digerakkan, dan filosofi yang ditarikan.
Peran Kendang dalam ritual penolak bala (tolak balak) juga sangat dominan. Di banyak desa, Barongan Kendang dipentaskan secara rutin sebagai bagian dari bersih desa. Dalam konteks ini, Kendang memainkan Gending yang diyakini secara khusus ‘menyegel’ batas desa dari gangguan roh jahat. Ritme yang dimainkan diyakini membentuk perisai gaib, dan hanya pengendang yang diakui memiliki kekuatan spiritual yang dapat memimpin Gending ini. Dengan demikian, Kendang bukan hanya alat musik, tetapi relik suci yang menjaga kesejahteraan komunal.
Setiap varian Kendang, dari Kendang Cilik (kecil) hingga Kendang Gendhing (besar), memiliki dialog unik. Dalam beberapa format Barongan, dua atau tiga Kendang dimainkan secara simultan, menciptakan poliritme yang kompleks. Kendang utama (Kendang Gendhing) mempertahankan Gending inti, sementara Kendang pendamping (Kendang Penunthung) memberikan variasi dan improvisasi ritmis. Kemampuan untuk berimprovisasi sambil tetap menjaga wirama adalah puncak keahlian seorang pengendang, menunjukkan penguasaan mutlak atas seni dan spiritualitas Barongan Kendang.
Karya seni ini adalah pelajaran tentang pengorbanan dan dedikasi. Para penari dan musisi Barongan Kendang mendedikasikan hidup mereka untuk menjaga nyala api spiritual ini, memastikan bahwa auman Barong dan denyut nadi Kendang tidak pernah berhenti bergema di tanah Jawa.