Barongan Kayu Jati: Filosofi, Seni Pahat, dan Warisan Nusantara
Pendahuluan: Memahami Spiritualitas dalam Ukiran Kayu Jati
Barongan, sebagai salah satu manifestasi seni pertunjukan rakyat yang paling ikonik di Nusantara, bukan sekadar topeng atau properti pentas biasa. Ia adalah wadah spiritual, perwujudan mitos, dan simbol kekuatan alam yang tak tertandingi. Dari sekian banyak material yang digunakan, Barongan yang dipahat dari Kayu Jati (Tectona grandis) menduduki kasta tertinggi, tidak hanya karena kemewahan estetiknya, tetapi juga karena durabilitas dan resonansi mistis yang dipercaya terkandung di dalamnya. Pemilihan Kayu Jati, material yang secara tradisional lekat dengan kerajaan, arsitektur suci, dan ketahanan, memberikan dimensi filosofis yang sangat mendalam pada Barongan itu sendiri.
Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif mengapa Kayu Jati menjadi pilihan esensial dalam pembuatan Barongan. Kita akan mengupas tuntas mulai dari sifat geologis dan anatomis kayu tersebut, tantangan rumit yang dihadapi para pengukir dalam membentuk Kayu Jati yang keras, hingga implikasi spiritual dan sosiologis Barongan Kayu Jati dalam konteks pelestarian budaya. Ini adalah sebuah perjalanan eksplorasi ke dalam persimpangan antara material abadi, ketrampilan seni pahat yang diwariskan lintas generasi, dan kekayaan mitologi Jawa yang dihidupkan melalui sepasang mata Barongan yang tajam.
Kayu Jati memiliki sejarah panjang yang terjalin erat dengan peradaban di Pulau Jawa, khususnya sejak era kerajaan Majapahit hingga Kesultanan Mataram. Pohon ini dianggap sebagai pohon yang memiliki ‘darah biru’ karena pertumbuhannya yang lambat dan batangnya yang lurus, melambangkan keanggunan dan keadilan. Ketika Barongan dipahat dari material suci ini, ia seolah-olah mewarisi karakter abadi pohon jati—kekuatan untuk bertahan melintasi zaman, menolak lapuk, dan tetap tegak dalam menghadapi perubahan. Oleh karena itu, sebuah Barongan Kayu Jati tidak hanya dipandang sebagai alat pertunjukan, melainkan sebagai pusaka yang menyimpan memori kolektif dan energi pelindung.
Kekuatan Abadi Kayu Jati: Dari Hutan ke Panggung
Untuk memahami mengapa Barongan Jati begitu istimewa, kita harus terlebih dahulu memahami anatomi dan karakteristik teknis dari Kayu Jati. Jati dikenal luas sebagai salah satu kayu keras terbaik di dunia, sebuah reputasi yang tidak muncul tanpa alasan. Sifat-sifat unik ini berkontribusi langsung pada kualitas, keawetan, dan kemampuan artistik Barongan.
Anatomi dan Keunggulan Teknis
Kayu Jati mengandung kadar minyak alami (tectoquinone) yang sangat tinggi. Minyak ini bertindak sebagai pengawet internal yang luar biasa. Zat ini tidak hanya memberikan aroma khas yang lembut dan menenangkan, tetapi yang paling penting, ia memberikan resistensi superior terhadap serangan hama perusak kayu, seperti rayap dan kumbang bubuk, serta ketahanan terhadap jamur pembusuk. Inilah sebabnya mengapa Barongan Jati dapat diwariskan hingga ratusan tahun tanpa mengalami kerusakan struktural yang signifikan, menjadikannya investasi budaya yang tak ternilai harganya.
Selain minyak alaminya, Kayu Jati memiliki struktur serat yang padat dan interkoneksi yang kuat. Densitasnya yang tinggi memastikan bahwa ukiran yang sangat detail sekalipun tidak akan mudah pecah atau retak selama proses pahat maupun dalam penggunaan intensif di panggung. Ketika Barongan menari atau melakukan gerakan ekstrem, tekanan fisik yang terjadi pada bagian-bagian tipis seperti taring, tanduk, atau ukiran mahkota, membutuhkan material yang mampu menahan tegangan tanpa patah. Kayu Jati menyediakan kekuatan tarik dan tekan yang diperlukan ini.
Kualitas Akustik dan Vibrasi
Salah satu aspek yang sering terabaikan, namun sangat krusial dalam pertunjukan, adalah resonansi atau kualitas akustik dari Barongan. Meskipun Barongan didominasi oleh gerakan visual, struktur kayu memengaruhi bagaimana suara dentuman gamelan dan teriakan penari (warok atau pengiring) merambat melalui medium topeng. Kayu Jati, dengan kepadatan idealnya, mampu menyerap vibrasi yang tidak diinginkan namun memancarkan resonansi yang dalam dan ‘berat’, yang secara psikologis menambah kesan angker dan berwibawa pada penampilan Barongan. Barongan yang terbuat dari kayu yang lebih ringan seringkali terasa ‘kosong’ atau kurang memiliki bobot spiritual.
Nilai Historis dan Warna
Warna alami Kayu Jati yang berkisar dari cokelat keemasan hingga cokelat tua kemerahan menjadi kanvas yang sempurna bagi para seniman sungging (pelukis topeng). Semakin tua kayu jati, semakin dalam dan kaya warnanya, memberikan kedalaman visual yang sulit dicapai oleh kayu lain. Dalam konteks historis, Kayu Jati selalu diasosiasikan dengan kelas sosial tinggi dan ritual sakral. Menggunakan Kayu Jati berarti Barongan tersebut diangkat ke derajat yang lebih mulia, sebuah persembahan terbaik untuk seni dan leluhur.
Keseluruhan sifat ini menjadikan Jati tidak hanya sekadar bahan baku, tetapi sebuah fondasi yang memastikan Barongan tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu mempertahankan integritas estetik dan spiritualnya, bahkan ketika melalui proses restorasi atau perbaikan. Kekuatan Jati adalah janji keabadian terhadap seni pertunjukan yang diwakilinya.
Seni Pahat Barongan: Menaklukkan Kekerasan Jati
Proses pembuatan Barongan dari Kayu Jati adalah sebuah ritual ketrampilan yang membutuhkan kesabaran, keahlian tinggi, dan pemahaman mendalam tentang karakter kayu. Kayu Jati bukanlah material yang mudah diolah. Kekerasan dan kepadatan seratnya menghadirkan tantangan teknis yang unik, memaksa para perajin untuk mengembangkan teknik pahat yang presisi dan spesifik, berbeda dengan teknik pahat yang digunakan untuk kayu lunak seperti sengon atau nangka.
Pemilihan Blok Kayu dan Pengeringan
Langkah pertama dan paling krusial adalah pemilihan blok kayu. Pengrajin Barongan sejati akan mencari Jati yang sudah tua, idealnya Jati yang berasal dari pohon yang berusia minimal 50 hingga 80 tahun. Blok kayu harus dipotong sesuai pola dasar Barongan dan kemudian menjalani proses pengeringan yang panjang, seringkali alami, memakan waktu berbulan-bulan, bahkan setahun, untuk mengurangi kadar air hingga di bawah 12%. Pengeringan yang tidak sempurna akan menyebabkan Barongan retak atau berubah bentuk setelah selesai diukir dan diwarnai. Kepadatan Jati membutuhkan proses pengeringan yang lebih teliti dibandingkan kayu jenis lain.
Teknik Pahat yang Intensif
Memahat Jati membutuhkan tenaga yang lebih besar dan mata pahat yang harus dijaga ketajamannya secara konstan. Serat Jati yang rapat cenderung menyebabkan pahat memantul jika tidak diarahkan dengan sudut yang tepat. Kesalahan pahatan pada Jati sulit diperbaiki karena kerapatan materialnya tidak memungkinkan penambahan atau penambalan yang mulus seperti pada kayu yang lebih berserat terbuka. Oleh karena itu, setiap gerakan pahat adalah keputusan final, sebuah manifestasi dari keahlian yang terasah selama puluhan tahun.
Secara tradisional, pahat yang digunakan adalah pahat baja kualitas tinggi, seringkali dibuat secara khusus oleh pandai besi lokal. Teknik ‘ngrowot’ (mengeluarkan bagian dalam) harus dilakukan dengan hati-hati untuk mendapatkan bobot Barongan yang ideal. Barongan yang terlalu berat akan membebani penari, sementara yang terlalu ringan akan mengurangi aura mistisnya. Keseimbangan ini hanya bisa dicapai oleh pengrajin yang benar-benar memahami densitas spesifik dari blok Jati yang sedang mereka kerjakan.
Tahapan Utama dalam Pengukiran Kayu Jati:
- Pembentukan Kasar (Gelondongan): Pemotongan balok Jati sesuai dimensi Barongan (biasanya membutuhkan balok yang cukup besar untuk kepala dan tanduk).
- Penggambaran Pola (Sketsa): Pola Barongan digambar langsung di atas kayu, mendefinisikan batas mata, hidung, dan mulut.
- Pengukiran Detail Wajah (Raut): Bagian tersulit, di mana ekspresi (marah, berwibawa, atau lucu) dibentuk. Ukiran harus mengikuti arah serat Jati untuk mencegah pecahan.
- Pengukiran Mahkota dan Ornamen: Ukiran pada mahkota (disebut juga ‘mahkota singa’ atau ‘jamang’) seringkali tipis dan rumit. Pada Jati, ini membutuhkan ketelitian tertinggi.
- Penghalusan (Amplasan): Karena Jati memiliki pori-pori yang halus, proses penghalusan harus sangat detail. Penghalusan pada Jati memungkinkan permukaan yang sangat licin dan mengkilap, yang menjadi dasar sempurna untuk proses sungging (pewarnaan).
Ketahanan Jati juga berarti bahwa para perajin dapat menciptakan Barongan dengan profil yang lebih ramping dan detail ukiran yang lebih halus dibandingkan kayu lain, karena materialnya tidak akan mudah aus atau patah dalam jangka waktu yang panjang. Hasil akhir adalah topeng yang memiliki karakter visual yang kuat, yang seolah-olah memiliki nyawa sendiri sejak pertama kali disentuh pahat.
Filosofi dan Simbolisme: Jiwa Barongan Kayu Jati
Barongan, khususnya dalam konteks Reog Ponorogo, Leak Bali (meski memiliki perbedaan gaya), atau kesenian Barong Jawa lainnya, adalah perwujudan kekuatan kosmik dan spiritual. Ketika perwujudan ini dibungkus oleh Kayu Jati, simbolisme yang terkandung di dalamnya semakin diperkuat. Kayu Jati tidak hanya mewakili durabilitas, tetapi juga kemapanan, kebijaksanaan, dan koneksi dengan kekuatan alam yang mendasar.
Jati sebagai Representasi Keagungan
Dalam kosmologi Jawa, Jati sering dikaitkan dengan raja-raja dan tempat-tempat suci (petilasan). Pemilihan Jati untuk Barongan menyiratkan bahwa sosok yang diwakilinya—seringkali singa mistis, raksasa, atau dewa pelindung—adalah entitas yang agung dan berkuasa. Barongan Jati membawa bobot sejarah yang membuatnya otomatis dipandang lebih sakral dan berwibawa di mata masyarakat penonton dan pelaku seni.
Sunggingan dan Warna di Atas Jati
Setelah proses pahat selesai, proses sungging (pewarnaan) dimulai. Jati memiliki keunggulan karena minyak alaminya mencegah pigmen warna meresap terlalu dalam atau menyebar secara tidak merata, memungkinkan warna yang diterapkan tampak lebih ‘hidup’ dan kontras. Pewarnaan pada Barongan Jati umumnya didominasi oleh warna merah, hitam, emas, dan putih—masing-masing melambangkan elemen filosofis:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, nafsu, dan kekuatan primal (Amara/Kamajaya).
- Hitam (Ireng): Melambangkan keabadian, misteri, dan kesatuan dengan alam semesta.
- Emas (Kuningan): Melambangkan kemewahan, keagungan, dan kekuasaan tertinggi.
- Putih (Pethak): Melambangkan kesucian, kejujuran, dan kesempurnaan batin.
Kombinasi warna-warna ini di atas latar cokelat alami Jati menghasilkan efek visual yang sangat dramatis dan memperkuat narasi bahwa Barongan adalah penyeimbang antara kekuatan baik dan buruk, dunia manusia dan dunia roh.
Rambut/Gimbal dan Keseimbangan Berat
Barongan Kayu Jati, meskipun berat, harus dipasangi rambut (gimbal) yang sangat tebal, seringkali terbuat dari serat tanaman atau bulu ekor kuda. Rambut ini menambah berat total yang harus ditopang oleh penari. Namun, berat tambahan dari Jati justru membantu penari mengontrol momentum putaran kepala Barongan selama gerakan-gerakan akrobatik yang disebut “Jathilan” atau “Ngibing.” Bobot Barongan Jati yang stabil memungkinkan gerakan dramatis yang lambat dan berwibawa, atau putaran cepat yang memukau tanpa kehilangan kendali sepenuhnya. Berat ini secara simbolis juga mewakili beban tanggung jawab spiritual yang diemban oleh penari.
Barongan Kayu Jati dalam Praktik Ritual dan Pelestarian
Barongan Jati seringkali tidak hanya digunakan untuk hiburan semata, tetapi juga memegang peran sentral dalam ritual adat dan pertunjukan yang berhubungan dengan siklus kehidupan masyarakat, seperti tolak bala, upacara bersih desa, atau menyambut musim panen. Nilai magis yang melekat pada Jati menjadikan Barongan ini sebuah artefak yang dihormati.
Menjaga Pusaka Barongan Jati
Perawatan Barongan Kayu Jati adalah sebuah proses yang membutuhkan pemahaman akan sifat kayu tersebut. Karena Jati sangat stabil, perawatannya berfokus pada pelestarian lapisan sunggingan dan menjaga kelembaban agar kayu tidak terlalu kering. Minyak Jati alami yang dikandungnya harus dipertahankan. Secara berkala, Barongan harus dibersihkan dari debu dan, dalam beberapa tradisi, diolesi dengan minyak khusus (seperti minyak cendana atau minyak kelapa yang telah dimantrai) pada malam tertentu (misalnya, malam 1 Suro) untuk menjaga kekuatan spiritualnya.
Pengarsipan dan dokumentasi Barongan Jati tua menjadi sangat penting. Setiap ukiran, setiap goresan sunggingan, adalah rekaman sejarah yang tak terulang. Komunitas seni dan pelestari budaya secara aktif mendokumentasikan Barongan Jati, mencatat asal-usul kayu, nama perajin, dan sejarah pementasan, menjadikannya warisan tak benda yang hidup dan bernapas.
Kontras dengan Material Lain
Meskipun saat ini banyak Barongan dibuat dari material yang lebih ringan dan murah, seperti kayu suar atau fiberglass, Barongan Kayu Jati tetap menjadi standar emas. Material modern mungkin menawarkan kemudahan pembuatan dan keringanan bagi penari, namun mereka gagal menangkap kedalaman tekstur, resonansi, dan yang paling penting, nilai spiritual yang diyakini terkandung dalam Kayu Jati. Jati menawarkan palet yang dalam, yang semakin indah seiring bertambahnya usia, menghasilkan patina yang menceritakan perjalanan waktu. Barongan Jati yang tua memiliki aura yang tak bisa ditiru oleh replika modern.
Aspek Ekonomi dan Pembedaan Harga
Harga sebuah Barongan Kayu Jati jauh melampaui Barongan yang terbuat dari material lain. Perbedaan harga ini bukan sekadar margin profit, melainkan refleksi langsung dari biaya material (jati yang sudah tua sangat mahal), waktu pengerjaan (bisa memakan waktu 3 bulan hingga 1 tahun untuk ukiran detail), dan nilai keahlian perajin. Barongan Jati yang dibuat oleh Maestro (pengrajin ahli) dapat dianggap sebagai karya seni murni dan bahkan sebagai instrumen investasi budaya. Kepemilikan Barongan Jati menunjukkan dedikasi dan komitmen finansial terhadap pelestarian tradisi, sekaligus menjamin bahwa benda tersebut akan bertahan untuk generasi mendatang.
Tantangan Kontemporer dan Masa Depan Barongan Jati
Di era modern, pelestarian Barongan Kayu Jati menghadapi sejumlah tantangan signifikan, mulai dari ketersediaan bahan baku hingga regenerasi seniman ukir. Keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan beradaptasi dengan kebutuhan panggung kontemporer adalah kunci kelangsungan hidup warisan budaya ini.
Krisis Bahan Baku Jati Tua
Tantangan terbesar adalah semakin langkanya Kayu Jati yang berkualitas tinggi (Jati TPK atau Jati Perhutani yang berusia matang). Budidaya Jati modern cenderung menghasilkan kayu yang dipanen lebih cepat (Jati emas atau sejenisnya), yang meskipun cepat tumbuh, memiliki densitas dan kadar minyak yang lebih rendah dibandingkan Jati berusia 80 tahun ke atas. Kualitas bahan baku ini sangat mempengaruhi durabilitas Barongan. Para perajin kini harus bersaing ketat untuk mendapatkan sisa-sisa Kayu Jati tua yang ideal untuk diukir, seringkali mengambil dari bongkaran bangunan tua atau sisa industri mebel, yang semakin menaikkan harga produksi.
Regenerasi Seniman Ukir Jati
Keahlian memahat Jati adalah keahlian yang membutuhkan dedikasi bertahun-tahun. Generasi muda saat ini seringkali enggan mempelajari teknik pahat Jati yang berat dan lambat, lebih memilih material yang lebih mudah diolah. Ada kekhawatiran bahwa pengetahuan esensial tentang bagaimana ‘membaca’ serat Jati, bagaimana mengeringkannya secara sempurna, dan teknik sungging yang khas Barongan Kayu Jati, mungkin akan tergerus. Diperlukan intervensi serius dari pemerintah daerah dan lembaga seni untuk mensubsidi dan memfasilitasi pelatihan intensif bagi calon perajin Barongan Jati.
Inovasi dalam Pelestarian
Meskipun Barongan Jati harus mempertahankan bentuk tradisionalnya, inovasi diperlukan dalam hal pelestarian dan teknik pewarnaan. Penggunaan cat dan finishing modern yang lebih tahan lama, namun tetap mempertahankan estetika tradisional, kini mulai diujicobakan. Selain itu, digitalisasi (pembuatan model 3D dan pemindaian resolusi tinggi) Barongan Jati pusaka menjadi cara baru untuk memastikan bahwa detail ukiran dan filosofi desainnya tetap lestari, bahkan jika artefak aslinya suatu saat mengalami kerusakan tak terhindarkan.
Barongan Kayu Jati bukan sekadar produk seni, ia adalah sebuah entitas budaya yang hidup. Keberlanjutan produksinya memastikan bahwa mitos, ritual, dan filosofi yang diwakilinya terus berdenyut di jantung masyarakat Nusantara. Melestarikan Barongan Jati berarti melestarikan kesabaran, ketekunan, dan keindahan abadi yang diwariskan oleh leluhur kita.
Pendalaman Spiritualitas: Jati dan Kekuatan Kosmik Barongan
Di luar aspek teknis dan estetik, dimensi spiritual adalah alasan utama mengapa Kayu Jati dipilih. Dalam tradisi kejawen dan kepercayaan lokal, Kayu Jati memiliki aura mistis atau energi tertentu yang disebut yoni. Pohon Jati yang tumbuh lurus dan kokoh, dengan akar yang menjangkau kedalaman bumi, sering dianggap sebagai sumbu kosmik kecil (axis mundi), penghubung antara dunia atas (langit) dan dunia bawah (bumi).
Proses Pemanenan yang Sakral
Sebelum sebuah pohon Jati ditebang untuk dijadikan Barongan pusaka, seringkali dilakukan serangkaian ritual. Ritual ini melibatkan permohonan izin kepada penjaga hutan dan roh pohon (dewa-dewa hutan). Tujuannya adalah untuk memindahkan ‘jiwa’ pohon ke dalam ukiran yang akan dibuat, memastikan bahwa Barongan tersebut memiliki kekuatan protektif dan daya magis yang inheren. Pemilihan hari baik, bahkan jam pemotongan, diyakini sangat mempengaruhi kekuatan Barongan yang dihasilkan. Kayu Jati yang diambil secara sembarangan dianggap tidak memiliki daya hidup atau kekuatan spiritual yang memadai.
Kayu Jati sebagai Wadah Energi
Barongan Jati yang sudah selesai diukir dan disungging kemudian seringkali menjalani ritual pengisian atau 'pengisian roh' (di beberapa tempat disebut ‘diruwat’ atau ‘disepuh’ secara spiritual). Para sesepuh atau dukun desa akan melakukan doa dan mantra khusus. Kayu Jati yang padat dipercaya memiliki kemampuan unik untuk menampung dan menyimpan energi spiritual atau khodam (roh penjaga) lebih baik dan lebih lama daripada kayu jenis lain yang pori-porinya terbuka. Oleh karena itu, Barongan Jati tua yang telah digunakan dalam banyak ritual seringkali diperlakukan layaknya manusia, diberikan sesajen, dan dihormati sebagai entitas hidup dalam sanggar seni.
Kepadatan spiritual ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang peran Barongan dalam masyarakat. Ia bukan hanya karakter mitologis yang dimainkan, melainkan pelindung nyata dari desa, yang kehadirannya diyakini mampu menangkal bencana, penyakit, atau gangguan roh jahat. Bobot Kayu Jati yang sebenarnya (berat fisik) secara metaforis menyimbolkan bobot spiritual yang dibawanya.
Kontribusi Budaya dan Identitas Regional
Barongan Kayu Jati, meskipun secara umum merujuk pada topeng singa/macan atau raksasa, memiliki variasi regional yang sangat kaya, masing-masing membawa identitas lokal yang unik. Di berbagai wilayah Jawa, Barongan Jati menjadi penanda identitas yang membedakan satu kelompok seni dengan kelompok seni lainnya.
Barongan Ponorogo dan Jati
Dalam konteks Reog Ponorogo, Kayu Jati menjadi tulang punggung dari ‘Kucingan’ (topeng macan) dan ‘Dadak Merak’ (topeng merak besar yang dipanggul). Untuk ‘Kucingan’ yang berfungsi sebagai topeng utama, Jati menjamin keawetan detail wajah yang ekspresif. Sementara untuk ‘Dadak Merak’ yang sangat besar dan menantang secara struktural, hanya Kayu Jati atau kayu keras lain dengan kualitas sebanding yang dapat menahan beban ukiran dan ratusan helai bulu merak tanpa patah di bagian penyangga kepala.
Gaya Ukir yang Berbeda
Gaya ukir Barongan Jati bervariasi. Barongan Jati dari kawasan pesisir (seperti Tuban atau Rembang) mungkin menunjukkan detail yang lebih kaku dan terpengaruh oleh gaya ukir pesisir yang lebih geometris. Sementara Barongan Jati dari pedalaman (seperti Solo atau Yogyakarta, yang digunakan dalam pertunjukan Keraton) seringkali memiliki pahatan yang lebih halus, detail wajah yang lebih simetris, dan sunggingan dengan warna-warna yang lebih lembut, mencerminkan estetika Mataram yang anggun. Semua variasi ini, meskipun berbeda, bersatu dalam penggunaan Kayu Jati sebagai simbol ketahanan warisan.
Kayu Jati memastikan bahwa seni ukir lokal, yang merupakan warisan turunan dari masa kerajaan, dapat terekam secara fisik dan bertahan dari generasi ke generasi. Setiap Barongan Jati adalah sebuah manuskrip kayu, merekam gaya seni pahat suatu era, teknik sunggingan tertentu, dan filosofi regional pada saat ia diciptakan.
Kesimpulan: Monumen Kayu Jati yang Bernyawa
Barongan Kayu Jati adalah sintesis sempurna antara alam, seni, dan spiritualitas. Ia melampaui definisinya sebagai topeng pertunjukan, bertransformasi menjadi monumen bergerak yang membawa warisan abadi Nusantara. Kekuatan struktural Kayu Jati memberikan Barongan kemampuan untuk menahan ujian waktu, cuaca, dan tekanan fisik panggung, sementara kepadatan spiritualnya menjadikannya pusaka yang dihormati.
Proses pembuatan yang intensif, mulai dari pemilihan blok Kayu Jati tua, teknik pahat yang membutuhkan keahlian maestro, hingga ritual pewarnaan yang sakral, menegaskan mengapa Barongan jenis ini memiliki kedudukan tak tertandingi. Dalam setiap seratnya, tersimpan cerita tentang peradaban, mitologi, dan dedikasi seniman yang berjuang keras menaklukkan kekerasan alam demi menghadirkan keindahan yang tak lekang oleh zaman. Melestarikan Barongan Kayu Jati adalah tugas kolektif untuk memastikan bahwa simbol keagungan dan ketahanan ini terus menari, memberikan resonansi spiritual yang dalam di tengah hiruk pikuk kehidupan modern.
Warisan Barongan Kayu Jati akan terus menjadi pengingat bahwa seni sejati membutuhkan pengorbanan material terbaik dan dedikasi spiritual tertinggi. Ia adalah bukti bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang diabadikan dalam kemewahan material alam, sebuah mahakarya yang benar-benar bernyawa.