Barongan JK: Epik Mistis Tarian Singa Nusantara yang Hidup
Di jantung kebudayaan Nusantara, terukir sebuah warisan seni pertunjukan yang tak hanya memukau secara visual, namun juga menyimpan kedalaman filosofis dan spiritual yang tak terhingga. Kesenian tersebut adalah Barongan JK, sebuah entitas yang sering kali menjadi klimaks dalam rangkaian pertunjukan Jaran Kepang (JK) atau Kuda Lumping. Barongan, yang dalam konteks Jaran Kepang biasanya merujuk pada topeng raksasa Singo Barong, bukan sekadar properti, melainkan representasi kekuatan primal, dualitas kosmis, dan penjaga batas antara dunia manusia dan spiritual.
I. Mengurai Jati Diri Barongan dalam Jaran Kepang
Barongan, khususnya yang terintegrasi dalam tarian Jaran Kepang (Kuda Lumping), memiliki peran sentral yang berbeda dengan Barong pada tradisi Bali atau Reog Ponorogo yang berdiri sendiri. Dalam konteks JK, Barongan hadir sebagai figur antagonis, pelengkap siklus naratif, atau bahkan manifestasi roh penjaga yang menuntut sesaji. Topeng raksasa ini, yang didominasi warna merah, hitam, dan emas, merupakan perwujudan Singo Barong, singa mitologis yang buas namun juga bijaksana.
Kehadiran Barongan JK sering kali menjadi puncak kegilaan ritual. Saat penari Kuda Lumping mencapai kondisi kerasukan atau trance, Barongan muncul untuk mengendalikan energi yang dilepaskan. Interaksi antara kuda lumping (simbol hewan suci yang dijinakkan atau pasukan perang) dan Barongan (simbol kekuatan alam liar atau Raja Hutan) menciptakan sebuah drama spiritual yang intens. Kesenian ini tidak hanya menghibur, melainkan berfungsi sebagai media komunikasi dengan leluhur atau roh penunggu wilayah (Danyang).
Barongan sebagai Manifestasi Singo Barong
Istilah Singo Barong merujuk pada entitas mitologis berupa singa yang sangat besar dan sakti. Dalam beberapa versi cerita rakyat Jawa Timur, Singo Barong adalah adipati yang dikutuk atau prajurit kerajaan yang menjaga batas spiritual. Topeng Barongan dibuat sedemikian rupa untuk menangkap energi Singo Barong: mata yang melotot, taring panjang, rambut gimbal dari serat ijuk atau tali, serta gerakan mengaum yang khas. Proporsinya yang besar menunjukkan dominasi dan kekuasaannya di medan pertunjukan.
Bagi masyarakat pendukungnya, menyaksikan Barongan JK bukan hanya melihat seni tari, melainkan ikut merasakan getaran magis. Seluruh elemen—mulai dari suara gamelan yang memacu adrenalin, aroma dupa, hingga teriakan pawang—dirancang untuk memfasilitasi perjalanan spiritual komunal. Ini adalah kesenian yang menuntut totalitas, baik dari penampil maupun penonton.
II. Akar Historis dan Keterkaitan Filosofis
Barongan JK memiliki garis keturunan sejarah yang kompleks, berakar kuat pada tradisi animisme pra-Hindu-Buddha yang menghormati roh hutan dan kekuatan alam. Ketika pengaruh Hindu-Buddha masuk, figur singa atau macan diadaptasi sebagai kendaraan dewa atau penjaga kuil (Nandi, Singa Bhoma), memperkuat citra Singo Barong sebagai entitas penjaga sakral. Dalam konteks Jawa, Barongan sering dikaitkan dengan narasi historis Kerajaan Kediri, Jenggala, atau cerita Panji.
Asal-usul Barongan dan Mitos Pahlawan
Salah satu narasi populer yang menjadi landasan Barongan JK adalah kisah perseteruan antara tokoh-tokoh sakti yang berubah wujud. Singo Barong (atau Gembong Amijoyo, tergantung versi lokal) seringkali digambarkan sebagai figur yang awalnya gagah perkasa, namun karena kesombongan atau kutukan, berubah menjadi monster buas. Kisah ini mengajarkan tentang keseimbangan antara nafsu (yang diwakili Barong) dan kontrol spiritual (yang diwakili oleh pawang atau penari berkuda).
Dalam pertunjukan Jaran Kepang yang berbasis narasi, Barongan adalah kekuatan yang harus ditaklukkan atau dinetralisir agar tatanan kembali harmonis. Namun, penaklukan ini tidak dilakukan dengan kekerasan fisik, melainkan melalui ritual spiritual. Ini mencerminkan pandangan kosmologi Jawa bahwa kekuatan alam liar tidak harus dimusnahkan, tetapi harus dihormati dan diselaraskan agar memberikan perlindungan.
Dualitas dan Simbolisme Warna
Filosofi utama Barongan terletak pada dualitas yang diwakilinya. Barongan adalah Rudra dan Siwa sekaligus; perusak dan pelindung. Warna yang digunakan pada topeng memiliki makna mendalam:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, amarah, dan energi vital yang tak terkontrol (nafsu). Ini adalah sifat Singo Barong yang buas.
- Hitam (Ireng): Melambangkan kegelapan, misteri, dan dimensi spiritual yang tak terlihat. Ini juga warna rambut gimbal yang sering terbuat dari ijuk, menandakan unsur tanah dan kegelapan abadi.
- Emas/Kuning: Melambangkan kemuliaan, kejayaan, dan kekuatan Ilahi. Meskipun buas, Barongan adalah raja di dunianya, kekuatan yang harus dihormati.
Kombinasi warna ini menyiratkan bahwa Barongan adalah kekuatan total yang mencakup segala spektrum eksistensi, dari yang paling dasar (nafsu) hingga yang paling tinggi (kekuatan gaib).
III. Anatomi dan Estetika Kesenian Barongan JK
Pembuatan kostum dan topeng Barongan adalah proses sakral yang memerlukan keahlian artistik, ketelitian teknis, dan pemahaman spiritual. Sebuah topeng Barongan yang sempurna diyakini memiliki ‘isi’ atau roh, yang membuatnya hidup saat pertunjukan.
Caplokan (Topeng Kepala)
Bagian terpenting adalah Caplokan atau topeng kepala. Biasanya terbuat dari kayu yang ringan namun kuat (seperti kayu nangka atau randu), kemudian diukir dengan detail menyeramkan. Beratnya bisa mencapai 20-30 kg, sehingga penarinya harus memiliki kekuatan fisik yang luar biasa. Bagian mulut Caplokan dilengkapi dengan mekanisme engsel yang memungkinkan Barongan mengatupkan rahangnya, menimbulkan suara gemuruh yang dramatis.
Rambut Barongan (Gimbal) seringkali dibuat dari ijuk, serat kelapa, atau rumbai-rumbai kain yang panjang dan tebal. Rambut ini melambangkan hutan belantara, kemarahan yang tak terawat, dan usia yang sangat tua (leluhur). Mata Barongan dibuat besar dan melotot (disebut mripat pleret) menggunakan cermin atau kaca tebal yang dicat, memberikan efek visual menakutkan dan seolah-olah mata tersebut bergerak mengawasi penonton.
Kostum Tubuh dan Aksesori
Setelah Caplokan, Barongan ditutupi oleh jubah atau kostum yang melambangkan kulit singa. Dalam Barongan JK, kostum ini umumnya terbuat dari kain bludru tebal atau karung goni yang dihiasi rumbai-rumbai benang atau potongan kain yang melambangkan bulu. Ukuran kostum harus cukup besar untuk menampung dua orang penari (sistem tandem) agar Barongan bisa bergerak dengan dinamis, menirukan gerakan seekor singa yang berlari, melompat, dan berguling.
Penari yang berada di depan memegang Caplokan dan bertugas menggerakkan kepala serta mengaum, sementara penari di belakang berfungsi sebagai pendorong dan penggerak ekor. Kerjasama tim yang sangat erat sangat diperlukan, terutama saat Barongan bergerak liar dalam kondisi trance.
Berikut adalah komponen utama Barongan JK:
- Caplokan: Topeng utama yang dibuat sakral.
- Jenggot/Bulu Dada: Serabut ijuk yang menutupi bagian bawah kepala.
- Gimbal (Rambut): Serat hitam tebal yang memberikan kesan horor dan kebuasan.
- Kain Penutup: Jubah penutup tubuh, sering dihiasi motif batik atau kawung.
- Ekor: Rumbai panjang yang digerakkan oleh penari belakang, menambah kesan dramatis saat Barongan berputar.
IV. Prosesi Pertunjukan dan Puncak Ritual Barongan
Pertunjukan Barongan JK bukanlah sekadar tarian, melainkan sebuah siklus ritual yang melibatkan beberapa tahap, yang keseluruhannya bertujuan mencapai kondisi ekstase spiritual. Durasi pertunjukan bisa berlangsung berjam-jam, tergantung tingkat keramaian dan kebutuhan spiritual komunitas.
Persiapan Sakral (Ubo Rampe)
Sebelum Barongan ditampilkan, serangkaian ritual pendahuluan harus dilakukan. Pawang atau dukun (disebut juga Warok, Gondel, atau Bopo tergantung daerah) menyiapkan ubo rampe (sesaji) yang biasanya meliputi bunga tujuh rupa, kopi pahit, rokok kretek, pisang raja, dan kemenyan. Sesaji ini berfungsi untuk memanggil roh penjaga, meminta izin kepada Danyang (penunggu lokal), dan memastikan keselamatan para penari dari gangguan makhluk halus yang jahat.
"Ritual ini adalah jembatan. Tanpa izin dari alam gaib, Barongan hanya sebatas topeng kayu. Dengan ritual, Barongan menjadi media bagi kekuatan spiritual untuk berinteraksi dengan dunia manusia."
Musik Pengiring: Gamelan Kerasukan
Musik (Gamelan) memainkan peran krusial. Dalam konteks Barongan JK, komposisi musiknya cenderung lebih cepat, keras, dan repetitif, dirancang untuk memacu adrenalin dan memicu kondisi trance. Instrumen utama meliputi Kendang (genderang), Gong, Saron, dan Kenong. Irama yang disebut Lagu Trance akan dimainkan saat adegan Kuda Lumping mencapai puncaknya, dan kemudian beralih ke irama yang lebih berat dan mengancam saat Barongan muncul.
Kemunculan Barongan selalu ditandai dengan perubahan dramatis dalam irama gamelan, biasanya suara gong yang bertalu-talu diikuti auman palsu dari penari. Suasana mendadak berubah dari riang menjadi mencekam.
Adegan Puncak: Interaksi Kuda dan Singa
Barongan beraksi setelah para penari Kuda Lumping (Jathilan) sudah dalam kondisi kerasukan. Tugas Barongan di sini bervariasi:
- Menguji Kekuatan: Barongan menguji apakah roh yang masuk ke tubuh penari kuda lumping adalah roh yang kuat atau roh yang jahil.
- Mengganggu: Barongan berlari mengejar penari kuda yang kerasukan, seringkali mengambil benda-benda ritual atau mencoba memakan sesaji.
- Memimpin Chaos: Barongan memimpin tarian liar yang melibatkan aksi-aksi berbahaya, seperti memakan pecahan kaca atau bara api (meskipun aksi ini lebih sering dilakukan oleh penari kuda yang kerasukan, Barongan bertindak sebagai katalis).
Pawang memiliki kendali mutlak dalam adegan ini. Dialah yang menentukan kapan Barongan harus muncul, kapan roh harus dikendalikan, dan kapan pertunjukan harus diakhiri. Pawang menggunakan cambuk, mantra (japa), dan sentuhan untuk mengarahkan Barongan dan menenangkan kekacauan.
V. Barongan: Perbandingan Regional dan Variasi Gaya
Meskipun inti filosofinya sama—kekuatan singa mitologis—Barongan JK memiliki variasi yang signifikan tergantung wilayah geografis di Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga pengaruhnya di luar Jawa.
Barongan Blora dan Kudus (Jawa Tengah)
Di wilayah pantura Jawa Tengah, khususnya Blora dan Kudus, Barongan memiliki bentuk yang sangat primitif dan ekspresif. Barongan Blora seringkali menampilkan Caplokan yang lebih besar, dengan aksen merah yang dominan dan rambut gimbal yang sangat tebal. Penarinya dikenal sangat atraktif dan kerasukan dalam pertunjukan Barongan di wilayah ini seringkali sangat ekstrem, melibatkan aksi kekebalan tubuh yang mencolok.
Singo Barong Reog Ponorogo (Jawa Timur)
Barongan yang paling monumental adalah Singo Barong dalam Reog Ponorogo. Meskipun berbeda konteks dari Jaran Kepang murni, Singo Barong Reog adalah puncak dari representasi Barongan di Jawa Timur. Topengnya sangat besar, terbuat dari kerangka bambu dan kulit harimau asli (atau imitasi berkualitas tinggi), yang ditarikan oleh satu orang penari menggunakan kekuatan gigi dan leher. Singo Barong Reog memiliki filosofi politik dan militer yang kuat, berbeda dengan Barongan JK yang lebih fokus pada aspek ritual kesuburan dan komunikasi roh.
Jaranan Kediri dan Malang
Di Jawa Timur bagian barat (Kediri, Tulungagung), Barongan JK atau Jaranan dikenal dengan nama lain seperti Caplokan atau Barong Jowo. Kostumnya mungkin lebih sederhana, namun intensitas trance yang terjadi sangat tinggi. Di sini, fokus Barongan adalah sebagai pelayan dari Dewi Kilisuci atau sebagai penjaga Gunung Kelud, memperkuat ikatan antara Barongan dengan mitologi lokal pegunungan.
Barongan sebagai Warisan Sinkretisme
Variasi ini menunjukkan bahwa Barongan adalah kesenian yang hidup dan beradaptasi. Ia menyerap unsur-unsur lokal—baik dari Islam, animisme, maupun cerita rakyat setempat—untuk menciptakan identitas Barongan yang unik di setiap desa. Inilah kekuatan Barongan JK: kemampuan untuk menjadi media ekspresi bagi identitas komunitas yang berbeda-beda, semuanya terikat pada satu simbol utama: Singa yang buas dan sakral.
VI. Spiritualitas, Trance, dan Fungsi Terapeutik
Kesenian Barongan JK secara inheren terkait dengan mistisisme Jawa. Ini bukan sekadar pertunjukan teater, melainkan ritual penyembuhan kolektif dan media untuk menjaga hubungan harmonis dengan alam gaib.
Mekanisme Kerasukan (Trance)
Kerasukan adalah inti dari Jaran Kepang, dan Barongan adalah pemicu serta subjek yang dikendalikan dalam kerasukan itu. Proses kerasukan dipicu oleh Gamelan yang berulang-ulang, aroma kemenyan, dan sugesti dari pawang. Penari (baik kuda lumping maupun Barongan) memasuki kondisi mendem (mabuk) atau trance, di mana roh dipercaya memasuki tubuh mereka.
Ketika roh (yang sering disebut ‘dhampyak’ atau ‘indang’) masuk, penari Barongan bergerak dengan kekuatan yang tidak wajar. Mereka mungkin mengangkat Barongan raksasa dengan mudah, atau bergerak sangat lincah tanpa terbebani bobot kostum. Keadaan ini adalah bukti nyata bagi komunitas bahwa roh leluhur atau roh pelindung sedang hadir di tengah-tengah mereka.
Peran Pawang sebagai Mediator
Pawang atau Bopo adalah sosok kunci. Ia harus memiliki ilmu spiritual tinggi untuk membedakan antara kerasukan sejati dan pura-pura, serta mengendalikan roh yang masuk agar tidak membahayakan penari atau penonton. Pawang bertindak sebagai mediator antara dunia roh dan manusia, menggunakan jampi-jampi (mantra) dan minyak khusus untuk memanggil atau mengeluarkan roh.
Kegagalan pawang dalam mengendalikan Barongan yang kerasukan dapat menyebabkan kekacauan massal, di mana penari Barongan bisa menyerang penonton, merusak properti, atau melukai dirinya sendiri. Oleh karena itu, profesi pawang sangat dihormati dan diwariskan secara turun-temurun.
Barongan sebagai Penyembuh Komunitas
Di masa lalu, pertunjukan Barongan JK sering dipentaskan sebagai ritual tolak bala (penangkal bencana), pembersihan desa, atau upacara kesuburan panen. Energi yang dilepaskan melalui trance diyakini mampu membersihkan aura negatif di lingkungan tersebut. Dengan menyaksikan penderitaan dan kegilaan yang diwakili Barongan dan kuda lumping, masyarakat secara kolektif melepaskan ketegangan psikologis mereka.
Barongan adalah cermin kegilaan yang dilegalkan; ia memfasilitasi pelepasan emosi yang tidak boleh diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari, memberikan fungsi terapeutik komunal yang sangat penting bagi kohesi sosial desa.
VII. Barongan JK di Era Modern: Tantangan dan Konservasi
Di tengah gempuran modernisasi dan budaya global, Barongan JK menghadapi tantangan berat. Namun, kesenian ini juga menunjukkan ketahanan yang luar biasa, beradaptasi tanpa kehilangan esensi spiritualnya.
Komodifikasi Kesenian
Salah satu tantangan terbesar adalah komodifikasi. Dulu, Barongan hanya dipentaskan untuk ritual sakral. Kini, ia sering dipentaskan untuk acara hajatan, festival pariwisata, atau kompetisi seni. Pergeseran fungsi ini berisiko mengurangi nilai ritualistiknya. Beberapa kelompok seni mungkin mengurangi durasi ritual pendahuluan atau membatasi adegan trance demi alasan komersial dan keamanan.
Meskipun demikian, komersialisasi juga memberikan peluang. Barongan JK menjadi sumber pendapatan bagi banyak seniman desa dan menjaga tradisi pembuatan kostum serta alat musik tetap hidup. Tuntutan penampilan yang semakin baik memaksa seniman untuk berinovasi dalam desain topeng dan koreografi.
Pewarisan dan Regenerasi
Generasi muda sering kali lebih tertarik pada budaya pop global. Tugas konservasi Barongan JK kini berada di pundak para sesepuh dan sanggar seni lokal. Mereka harus menemukan cara yang menarik untuk mengajarkan filosofi di balik Barongan, bukan hanya teknik menari. Pelatihan fisik dan mental yang dibutuhkan untuk menjadi penari Barongan sangat berat, menuntut disiplin spiritual yang tinggi.
Upaya regenerasi melibatkan integrasi Barongan ke dalam kurikulum lokal, festival budaya sekolah, dan penggunaan media sosial untuk mempromosikan estetika unik Barongan ke khalayak yang lebih luas. Melalui video dan dokumentasi, Barongan JK terus menemukan audiens baru yang menghargai keindahan mistisnya.
Inovasi dalam Pertunjukan
Beberapa kelompok Barongan JK berani melakukan inovasi. Mereka menggabungkan unsur musik modern (seperti dangdut koplo) dengan irama gamelan tradisional, atau menambahkan efek pencahayaan dan tata panggung yang lebih dramatis. Inovasi ini membantu Barongan tetap relevan tanpa menghilangkan inti utamanya: pertempuran antara kekuatan liar (Barong) dan kekuatan spiritual (Pawang dan Kuda Lumping).
Inovasi ini harus dilakukan dengan hati-hati. Batasan antara seni tradisi yang sakral dan hiburan murni sangat tipis. Para seniman konservatif berargumen bahwa jika ritual dan sesaji dihilangkan, maka roh Singo Barong tidak akan mau hadir, dan pertunjukan hanya akan menjadi teater kosong tanpa daya magis.
VIII. Makna Simbolis di Balik Gerakan dan Auman
Setiap gerakan dan auman Barongan JK memiliki makna tersendiri, membentuk bahasa non-verbal yang kaya akan pesan kosmologis.
Gerakan Mengamuk dan Mengguling
Gerakan mengamuk (ngamuk) Barongan melambangkan gejolak alam semesta, badai, atau manifestasi kemarahan dewa. Ketika Barongan berguling-guling di tanah, ini bisa melambangkan penyerapan energi bumi (kekuatan Danyang) atau penolakan terhadap tatanan yang ada. Gerakan ini juga memperlihatkan bahwa meskipun besar dan menakutkan, Barongan tunduk pada hukum alam dan ritual.
Auman Barongan (Ngaung)
Auman yang dihasilkan oleh penari Barongan tidak hanya berfungsi menakut-nakuti, melainkan sebagai panggilan spiritual. Dalam kondisi kerasukan, auman ini diyakini sebagai suara roh Singo Barong itu sendiri. Auman keras berfungsi untuk membersihkan energi negatif dan memecah keheningan, menciptakan ruang sakral di tengah keramaian.
Interaksi dengan Penonton
Barongan seringkali mendekati penonton, terkadang pura-pura mengigit atau menyentuh mereka. Hal ini berfungsi untuk menjalin komunikasi langsung antara roh Barongan dengan komunitas. Bagi sebagian masyarakat, disentuh oleh Barongan yang sedang kerasukan adalah berkah atau perlindungan dari kesialan. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan ketakutan, mengingatkan manusia akan batas antara yang beradab dan yang buas.
Kehadiran Barongan JK yang dominan dan menakutkan dalam panggung Jaran Kepang berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa di balik kehidupan modern yang teratur, selalu ada kekuatan alam liar dan spiritual yang harus diakui dan dihormati. Barongan adalah penjaga gerbang yang memastikan bahwa manusia tidak melupakan akar-akar mistis mereka.
Epilog Kehidupan Abadi
Barongan JK adalah cerminan dari kompleksitas peradaban Jawa. Kesenian ini tidak hanya bertahan dari masa ke masa tetapi terus berevolusi, membawa serta warisan sejarah dan filosofi mendalam. Melalui topeng raksasanya, auman yang memekakkan telinga, dan ritual kerasukan yang intens, Barongan JK mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan, penghormatan terhadap leluhur, dan pengakuan terhadap dimensi spiritual yang tak terlihat. Ia adalah epos mistis yang terus ditarikan, menjadikannya salah satu aset budaya tak ternilai milik bangsa Indonesia.
Setiap goresan pada kayu topeng, setiap helai rambut gimbal yang terurai, dan setiap dentuman gamelan yang mengiringi Barongan adalah narasi tentang perjalanan spiritual manusia dalam mencari makna di tengah dualitas kehidupan. Barongan JK akan terus menjadi simbol kekuatan primal yang hidup di tengah masyarakat Nusantara, tak lekang oleh waktu dan zaman.