Barongan Jaran Kepang: Membongkar Tirai Mistis Tarian Rakyat Jawa

Barongan Jaran Kepang, atau sering disebut juga Jathilan, adalah salah satu warisan budaya tak benda paling vital dan dinamis di pulau Jawa. Lebih dari sekadar pertunjukan tari, ia merupakan perpaduan kompleks antara seni rupa, musik ritual, drama epik, dan praktik spiritual yang masih hidup subur di tengah masyarakat pedesaan hingga perkotaan modern. Kesenian ini tidak hanya menghibur, tetapi juga berfungsi sebagai media komunikasi dengan dunia gaib, cerminan nilai-nilai moral, serta catatan visual dari sejarah lisan yang diwariskan turun-temurun. Eksistensinya yang berkelanjutan membuktikan kedalaman akar budaya Jawa yang mampu beradaptasi namun tetap mempertahankan esensi sakralnya.

Artikel ini akan mengupas tuntas setiap lapisan dari pertunjukan Barongan Jaran Kepang, mulai dari jejak sejarahnya yang samar, analisis filosofis dari setiap komponen karakter, hingga deskripsi mendalam mengenai dinamika spiritual dan musikal yang membentuknya menjadi ritual pementasan yang memukau dan terkadang mencekam.

I. Sejarah dan Asal-Usul Kuda Lumping

Mengidentifikasi secara pasti kapan dan di mana Jaran Kepang pertama kali muncul adalah tugas yang sulit, sebab kesenian rakyat umumnya berkembang secara organik dan tanpa dokumentasi tertulis yang baku. Namun, para sejarawan dan budayawan umumnya sepakat bahwa kesenian ini memiliki akar yang sangat tua, terkait erat dengan perkembangan agama dan politik di Jawa, khususnya pada masa-masa transisi antara era Hindu-Buddha dan masuknya Islam.

1. Jejak Kuno dan Hipotesis Majapahit

Salah satu hipotesis yang paling populer menghubungkan Jaran Kepang dengan ritual militer atau latihan perang di era Kerajaan Majapahit. Kuda lumping (kuda tiruan dari anyaman bambu) diyakini melambangkan pasukan kavaleri yang gagah berani. Gerakan-gerakan tari yang dinamis dan enerjik seringkali diinterpretasikan sebagai simulasi manuver perang, termasuk serangan, pertahanan, dan arak-arakan kemenangan. Penggunaan anyaman bambu yang sederhana mencerminkan sifat kerakyatan dan kemudahan akses bagi masyarakat biasa untuk ikut serta dalam perayaan atau latihan tersebut.

2. Peran Walisongo dalam Adaptasi Budaya

Ketika Islam mulai menyebar di Jawa, para Walisongo menunjukkan kearifan lokal dengan tidak menghilangkan tradisi yang sudah mengakar, melainkan mengadaptasinya. Diyakini bahwa Jaran Kepang dan Barongan diakulturasi untuk menyelipkan pesan-pesan moral dan tauhid. Karakteristik mistis yang kuat dalam pertunjukan ini dimanfaatkan sebagai daya tarik, sementara di dalamnya disisipkan narasi yang lebih bernuansa etika dan spiritualitas Islam-Jawa. Aspek kesurupan (trance) tetap dipertahankan, namun dihubungkan dengan disiplin spiritual dan kontrol diri, sebuah narasi yang relevan hingga saat ini.

3. Perkembangan di Era Kolonial

Pada masa penjajahan Belanda, Jaran Kepang mengalami periode di mana ia berfungsi ganda: sebagai hiburan dan sebagai sarana perlawanan yang terselubung. Tarian yang melibatkan kekebalan dan demonstrasi kekuatan supranatural menjadi simbol semangat juang rakyat melawan penindasan. Gerakan yang melambangkan keberanian dan kepahlawanan memberikan suntikan moral bagi penonton. Pada periode ini pula, variasi regional mulai menguat, seperti Reog di Ponorogo, Jaranan di Kediri, dan Ebeg di wilayah Banyumas, masing-masing membawa ciri khas dan tata krama pementasan yang berbeda.

II. Anatomi dan Simbolisme Karakter Barongan Jaran Kepang

Pertunjukan Barongan Jaran Kepang bukanlah tarian solo; ia adalah sebuah teater kolektif yang melibatkan banyak karakter dengan peran simbolis yang sangat mendalam. Setiap elemen, mulai dari topeng hingga pakaian, sarat akan makna filosofis yang menghubungkan manusia dengan alam semesta dan kekuatan spiritual.

Ilustrasi Topeng Barongan Sketsa sederhana topeng Barongan dengan mata melotot, taring, dan rambut dari ijuk. Topeng Barongan (Singa Jawa)
Gambar 1: Ilustrasi Topeng Barongan, perlambang kekuatan dan makhluk mitologis penjaga.

1. Barongan (Singa Barong)

Barongan adalah fokus utama pertunjukan. Ia melambangkan kekuatan mistis, energi liar, dan terkadang diinterpretasikan sebagai representasi dari dhanyang (roh penjaga desa) atau makhluk buas yang harus ditaklukkan atau dihormati. Topeng Barong biasanya terbuat dari kayu yang keras (seperti kayu nangka atau randu), dihiasi dengan ijuk atau rambut kuda sebagai surai. Warna dominan Barongan seringkali adalah merah dan emas, melambangkan keberanian, kekuasaan, dan semangat.

2. Jathilan (Kuda Lumping)

Jathilan adalah penari utama yang menunggangi kuda tiruan yang terbuat dari bambu anyaman. Karakter ini sering digambarkan sebagai prajurit berkuda yang anggun dan heroik. Jathilan melambangkan pasukan perang yang setia dan berani, siap menghadapi bahaya.

3. Bujang Ganong (Patih yang Lucu)

Bujang Ganong (atau Ganongan) bertindak sebagai patih atau penasihat raja. Karakter ini memiliki topeng dengan hidung panjang, mata besar, dan rambut gimbal. Ia berfungsi ganda: sebagai penghubung antara raja dan rakyat, dan sebagai elemen komedi (dagelan).

Fungsi filosofis Bujang Ganong adalah mewakili kecerdasan, kelincahan, dan kebijaksanaan yang tidak selalu terlihat serius. Meskipun berpenampilan jenaka, Ganongan adalah pengatur tempo pertunjukan dan seringkali menjadi tokoh yang mengembalikan kesadaran para penari yang kesurupan.

4. Karakter Pendukung Lain

III. Musik Gamelan dan Ritme Trance

Salah satu komponen paling penting yang membedakan Jaran Kepang dari tarian lain adalah musik pengiringnya. Musik Gamelan Jaran Kepang tidak hanya berfungsi sebagai iringan melodi, tetapi ia adalah pemandu ritual, kunci yang membuka pintu gerbang antara dunia nyata dan dimensi spiritual. Ritme yang berulang dan dinamis dirancang secara spesifik untuk memfasilitasi kondisi kesurupan (trance) pada penari.

1. Instrumen Kunci dalam Jaranan

Meskipun menggunakan dasar Gamelan, Jaran Kepang seringkali menggunakan instrumen yang lebih sederhana dan fokus pada ritme perkusi yang kuat:

Ilustrasi Kendang Gamelan Sketsa Kendang Gamelan dengan tali pengikat dan kedua sisi membran. Kendang sebagai Jantung Ritme
Gambar 2: Kendang, instrumen utama yang mengatur tempo spiritual dan fisik dalam Jaran Kepang.

2. Fungsi Ritme dalam Induksi Trance

Ritme yang dimainkan dalam Jaran Kepang tidak acak. Ia memiliki tahapan yang jelas, yang sejalan dengan tahapan spiritual penari:

  1. Pembukaan (Gending Lirih): Musik dimulai dengan tempo yang lambat dan sakral. Ini adalah fase meditasi, di mana Pawang melakukan persembahan dan penari mulai fokus pada mantra.
  2. Peningkatan Tempo (Pola Ciblon): Tempo kendang mulai meningkat tajam dan pola pukulan menjadi repetitif. Ini adalah titik kritis di mana batas antara kesadaran dan bawah sadar mulai kabur. Energi yang dilepaskan oleh musik menjadi sangat kuat.
  3. Klimaks (Gending Keras): Saat penari mencapai kondisi ndadi (kesurupan), musik mencapai puncaknya. Iramanya liar dan bertenaga, mendukung gerakan ekstrem yang dilakukan oleh penari.
  4. Penutup (Gending Penenang): Setelah ritual spiritual selesai dan Pawang berhasil mengembalikan kesadaran penari, musik kembali ke tempo yang lambat dan menenangkan, membawa kembali atmosfer sakral.

IV. Dinamika Spiritual: Kesurupan (Ndadi) dan Peran Pawang

Inti dan daya tarik Jaran Kepang terletak pada fenomena kesurupan massal, yang dalam istilah Jawa disebut ndadi atau kerasukan. Fase ini adalah manifestasi fisik dari interaksi antara penari, energi spiritual yang diundang, dan musik Gamelan. Ndadi bukanlah sekadar akting, melainkan kondisi transpersonal yang melibatkan pelepasan kontrol diri dan penerimaan entitas lain ke dalam tubuh.

1. Prosesi Pra-Pementasan dan Ritual Permisi

Sebelum pertunjukan dimulai, serangkaian ritual ketat harus dilakukan untuk memastikan keselamatan. Pawang akan menyiapkan sesajen (persembahan), yang biasanya terdiri dari bunga tujuh rupa, kemenyan, kopi pahit, dan rokok tanpa filter. Sesajen ini dipersembahkan kepada dhanyang (roh penjaga tempat) dan roh leluhur yang dihormati dalam kelompok tersebut. Permintaan izin ini sangat penting; tanpa restu spiritual, pertunjukan dianggap berbahaya dan berpotensi gagal.

Penari sendiri harus menjalankan pantangan, seperti berpuasa, mandi kembang, atau menjalani laku spiritual tertentu sebelum pementasan. Persiapan fisik dan mental yang mendalam ini adalah prasyarat agar tubuh siap menjadi wadah bagi roh.

2. Makna di Balik Atraksi Kekebalan

Ketika penari ndadi, mereka seringkali menunjukkan atraksi yang luar biasa dan berbahaya, seperti memakan beling, mengupas kelapa menggunakan gigi, menginjak pecahan kaca, atau makan api/bara. Atraksi ini bukan hanya untuk sensasi penonton, melainkan memiliki makna spiritual:

Kekebalan yang ditunjukkan penari adalah bukti visual bahwa roh yang merasuki mereka memiliki kekuatan di luar nalar manusia. Hal ini melambangkan kemampuan spiritual untuk menaklukkan sifat-sifat fisik duniawi dan menegaskan keberadaan dimensi spiritual yang lebih tinggi. Mereka menunjukkan bahwa ketakutan, rasa sakit, dan bahaya fisik dapat diatasi oleh iman dan kekuatan spiritual yang dipinjam.

Jenis-jenis atraksi yang dilakukan seringkali dihubungkan dengan jenis roh yang merasuki. Misalnya, jika dirasuki roh kera, penari mungkin akan memanjat tiang atau menirukan gerakan primata. Jika dirasuki roh babi hutan, mereka mungkin akan berguling-guling di lumpur atau memakan kotoran (dalam versi yang sangat ekstrem).

3. Peran Krusial Pawang (Juru Sembuh)

Pawang adalah komandan ritual dan penjaga batas antara dunia nyata dan gaib. Tanggung jawabnya sangat besar:

V. Variasi Regional: Keragaman Nama, Rupa, dan Narasi

Meskipun memiliki inti yang sama (kuda anyaman, Barongan, dan trance), Barongan Jaran Kepang tidaklah monolitik. Setiap wilayah di Jawa memiliki adaptasi lokal yang unik, mengubah nama, kostum, dan bahkan narasi yang mendasarinya. Keragaman ini memperkaya khazanah budaya Indonesia dan menunjukkan fleksibilitas tradisi lisan.

1. Jaranan Kediri dan Turonggo Yakso (Jawa Timur)

Di Kediri, Jaranan (sebutan lokal untuk Jaran Kepang) seringkali sangat kental dengan mitologi lokal, khususnya terkait dengan kisah Dewi Kilisuci dan Gunung Kelud. Versi Kediri cenderung lebih agresif dalam gerakan Barongannya. Sementara itu, di Jawa Timur bagian timur (misalnya Trenggalek), muncul varian Turonggo Yakso, yang karakter kudanya bukan kuda biasa melainkan kuda raksasa (Yaksa) yang sangar, menambah kesan mistis dan kolosal pada pertunjukan.

2. Ebeg Banyumasan (Jawa Tengah Bagian Barat)

Ebeg adalah sebutan untuk Jaran Kepang di wilayah Banyumas, Purbalingga, hingga Cilacap. Ebeg sangat identik dengan musik yang didominasi oleh alat perkusi bambu (angklung atau calung), memberikan warna musikal yang berbeda dari Gamelan logam standar. Kostum Ebeg seringkali lebih sederhana dan berwarna cerah. Narasi dalam Ebeg seringkali berpusat pada kisah babad lokal atau pertarungan para ksatria di hutan.

3. Reog Ponorogo (Jawa Timur Bagian Barat)

Meskipun Reog memiliki unsur Jaranan (disebut Jathilan), ia adalah entitas yang lebih besar. Reog didominasi oleh Barongan Raksasa (Dadak Merak) yang dimainkan oleh satu orang sambil menopang beban berat. Jathilan dalam Reog berfungsi sebagai pengantar, sedangkan Barongan Raksasa menjadi pusat pertunjukan. Narasi Reog berpusat pada kisah perjuangan Raja Kelana Sewandono dan cintanya kepada Dewi Sanggalangit.

4. Jathilan Yogyakarta dan Jawa Tengah

Di wilayah Mataraman (Yogyakarta dan Surakarta), Jathilan sering kali lebih terstruktur dan menekankan keindahan gerakan tarian tradisional (beksan). Meskipun elemen trance tetap ada, fokus pada gerak tari yang halus dan tertata lebih menonjol, mencerminkan pengaruh Keraton yang kuat dalam seni pertunjukan di wilayah tersebut.

VI. Konstruksi Detail: Senjata, Kostum, dan Atribut

Pakaian dan atribut yang digunakan dalam Barongan Jaran Kepang memiliki detail yang kompleks, yang semuanya merupakan bagian dari identitas kultural dan spiritual.

1. Pedang, Pecut, dan Cambuk

Senjata utama penari Jathilan dan Barongan adalah pecut (cambuk) yang terbuat dari kulit sapi atau tali rami yang dikepang. Cambuk memiliki dua fungsi utama:

Kadang kala, penari Jathilan juga membawa pedang tiruan atau keris, melambangkan status mereka sebagai prajurit.

2. Kain dan Warna Kostum

Warna kostum tidak dipilih secara sembarangan. Seringkali menggunakan pola-pola tradisional Jawa seperti Parang Rusak atau Kawung (meskipun dalam versi yang lebih kasar). Warna-warna utama meliputi:

Penggunaan udeng (ikat kepala) atau mahkota yang dihiasi bulu-bulu adalah wajib, menunjukkan penghormatan terhadap tradisi ksatria Jawa kuno.

3. Bahan Dasar Kuda Kepang

Kuda Kepang harus dibuat dari bahan yang ringan dan fleksibel agar penari dapat bergerak bebas, bahkan saat dalam kondisi trance. Bahan utamanya adalah anyaman bambu yang dihaluskan dan dicat. Anyaman ini melambangkan kerendahan hati dan kesederhanaan, mengingatkan bahwa kekuatan sejati berasal dari roh, bukan kemewahan materi.

Proses pembuatan kuda kepang sendiri seringkali diikuti dengan ritual kecil, seperti puasa atau pemberian sesajen, agar kuda tersebut memiliki "isi" (kekuatan spiritual) yang dapat menopang penari selama pementasan ritual.

VII. Barongan Jaran Kepang dalam Konteks Kontemporer

Di era modern, Barongan Jaran Kepang menghadapi dilema antara menjaga kesakralan tradisi dan tuntutan komersialisasi. Kesenian ini terus beradaptasi, berjuang untuk tetap relevan tanpa kehilangan jiwanya.

1. Komersialisasi dan Pertunjukan Wisata

Saat ini, Jaran Kepang tidak hanya dipentaskan untuk ritual desa atau hajatan, tetapi juga menjadi komoditas wisata. Tuntutan durasi yang lebih pendek, atraksi yang lebih spektakuler, dan jadwal yang ketat seringkali memaksa grup seni untuk mengurangi atau memodifikasi aspek ritual yang paling sensitif. Meskipun komersialisasi membantu kelangsungan ekonomi kelompok seni, ia juga berisiko menggeser fokus dari spiritualitas ke hiburan semata.

Beberapa kelompok bahkan menciptakan varian tarian baru yang sepenuhnya menghilangkan unsur kesurupan (ndadi), menggantinya dengan koreografi yang bersih dan aman, yang dikenal sebagai 'Jaranan kreasi baru'.

2. Pelestarian dan Tantangan Generasi Muda

Tantangan terbesar adalah menarik minat generasi muda. Dalam masyarakat yang didominasi media digital, nilai-nilai mistis dan disiplin spiritual yang dituntut oleh Jaran Kepang sering dianggap kuno. Upaya pelestarian kini berfokus pada memasukkan elemen modern, seperti pencahayaan panggung yang dramatis, penggunaan musik yang lebih bervariasi (terkadang dicampur dengan musik pop), dan mengadakan festival Jaran Kepang tingkat daerah.

Namun, para sesepuh budaya menekankan bahwa pewarisan tidak boleh berhenti pada gerakan tari semata. Pewarisan esensi Barongan Jaran Kepang harus mencakup pelajaran tentang:

3. Peran Media Sosial dan Globalisasi

Paradoksnya, Barongan Jaran Kepang menemukan platform baru di media sosial. Video-video atraksi kesurupan yang dramatis seringkali menjadi viral, menarik perhatian global. Fenomena ini membantu mempromosikan kesenian ini, tetapi juga memicu kritik dan misinterpretasi. Penting bagi pegiat budaya untuk menggunakan platform ini tidak hanya untuk memamerkan atraksi, tetapi juga untuk memberikan edukasi mendalam mengenai makna di balik pementasan tersebut.

VIII. Filosofi Mendalam: Representasi Kosmos Jawa

Barongan Jaran Kepang adalah panggung miniatur dari pandangan dunia (kosmologi) Jawa. Pertarungan antara Barong, Jathilan, dan karakter jahat adalah representasi abadi dari dualitas alam semesta.

1. Konsep Rwa Bhineda (Dualitas)

Kesenian ini secara visual mewakili konsep Rwa Bhineda, yaitu keseimbangan antara dua hal yang berlawanan. Barongan yang liar dan primitif berhadapan dengan Jathilan yang tertata dan heroik. Musik yang merdu (Gamelan) berlawanan dengan suara cambuk yang keras. Pementasan ini mengajarkan bahwa hidup adalah siklus abadi dari konflik dan harmoni; baik dan buruk adalah dua sisi mata uang yang harus diakui keberadaannya.

2. Manunggaling Kawula Gusti

Fase kesurupan (ndadi) dapat diinterpretasikan sebagai upaya mencapai Manunggaling Kawula Gusti—bersatunya hamba dengan Tuhannya, atau dalam konteks ini, bersatunya jiwa penari dengan kekuatan spiritual yang lebih tinggi. Meskipun istilah ini memiliki akar teologis yang kompleks, dalam konteks Jaran Kepang, ia adalah momen di mana ego individu dilebur, memungkinkan kekuatan spiritual untuk mengambil alih, memberikan kepekaan, dan kekebalan.

Pengalaman ndadi juga merupakan proses pembersihan diri. Kekuatan roh yang masuk berfungsi untuk membersihkan energi negatif dalam diri penari dan komunitas, menciptakan kembali harmoni spiritual di lingkungan sekitar.

3. Makna Tarian Kuda

Kuda secara universal melambangkan kecepatan, kekuatan, dan mobilitas. Dalam tradisi Jawa, kuda sering diasosiasikan dengan kendaraan dewa atau simbol raja. Dalam Barongan Jaran Kepang, kuda kepang melambangkan kendaraan menuju pemahaman spiritual. Gerakan kuda yang berlari kencang adalah simbol dari perjalanan spiritual yang tak kenal lelah untuk mencapai tujuan tertinggi.

IX. Dampak Sosial dan Psikologis

Di luar nilai estetika dan spiritual, Barongan Jaran Kepang memegang peranan penting dalam struktur sosial komunitasnya.

1. Alat Kohesi Sosial

Mendirikan dan memelihara kelompok Jaran Kepang membutuhkan kerja sama yang erat, mulai dari membuat kostum, berlatih Gamelan, hingga mengatur pertunjukan. Kegiatan ini secara alami memperkuat ikatan sosial (kohesi) di antara anggota masyarakat, melintasi batas usia dan status ekonomi. Setiap pementasan besar seringkali menjadi ajang pertemuan warga dan pengikat rasa kebersamaan.

2. Media Kontrol Sosial

Dalam sejarahnya, Jaran Kepang juga berfungsi sebagai media untuk menyalurkan kritik sosial secara terselubung. Segmen komedi yang dibawakan oleh Bujang Ganong seringkali berisi sindiran halus terhadap pemimpin atau situasi politik setempat. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan tanpa menghadapi konfrontasi langsung.

3. Terapi dan Pelepasan Emosi

Dari sudut pandang psikologis, trance yang dialami penari dapat berfungsi sebagai mekanisme katarsis (pelepasan emosi). Dalam kondisi ndadi, penari melepaskan tekanan, ketegangan, atau energi terpendam yang tidak dapat mereka ungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok Jaran Kepang seringkali menjadi tempat bagi individu yang mencari ekspresi diri dan penerimaan komunal.

X. Analisis Mendalam atas Struktur Pementasan Tradisional

Sebuah pementasan Barongan Jaran Kepang tradisional dapat berlangsung selama berjam-jam dan terbagi menjadi beberapa babak yang memiliki alur dan fungsi ritual yang berbeda. Pemahaman atas struktur ini krusial untuk mengapresiasi Jaran Kepang sebagai sebuah ritual, bukan sekadar hiburan.

1. Babak Awal: Sesaji dan Pembukaan Gending

Pertunjukan dimulai dengan ritual persembahan di tempat yang dianggap sakral (sering di sudut panggung atau di bawah pohon besar). Pawang membaca mantra pembuka (donga). Musik Gamelan dimainkan dalam tempo laras (lambat) dengan komposisi yang disebut Gending Kawitan atau Gending Permadi. Pada fase ini, para penari Jathilan masuk dan menarikan gerakan yang masih teratur dan anggun, mewakili ketenangan sebelum badai spiritual.

Kualitas ketenangan ini harus ditekankan. Penari menunjukkan disiplin fisik dan spiritual yang tinggi, seolah-olah mereka adalah prajurit yang sedang bersiap di medan pertempuran, melakukan meditasi bergerak (wiraga dan wirama) sebelum invasi spiritual terjadi.

2. Babak Pertengahan: Konflik dan Peningkatan Intensitas

Pada babak ini, karakter-karakter antagonis (seperti Celeng Srenggi atau Barongan) mulai memasuki panggung. Musik Gamelan berubah drastis menjadi Gending Soran (musik keras) dengan irama Kendang yang sangat cepat. Konflik antara kebaikan (Jathilan) dan kejahatan (Barongan) dimulai. Pertarungan ini adalah representasi dramatis dari konflik internal dan eksternal manusia.

Titik puncak babak ini adalah ketika Jathilan mulai menunjukkan gejala ndadi. Gerakan mereka menjadi tidak terkoordinasi, mata kosong, dan mereka mulai mengeluarkan suara-suara aneh. Pawang bekerja keras di samping panggung, mengarahkan energi dan menjaga agar roh yang masuk tetap berada di bawah kendali. Atribut-atribut seperti pecut menjadi lebih sering digunakan untuk memacu energi. Kedalaman psikologis penari pada fase ini sangat menarik; mereka benar-benar melepaskan identitas diri.

3. Babak Puncak: Atraksi Kekebalan dan Dialog Roh

Ini adalah fase di mana atraksi ekstrem terjadi. Para penari yang dirasuki menunjukkan kekebalan total terhadap rasa sakit. Mereka mungkin terlibat dalam perilaku destruktif (seperti merobek kostum) atau perilaku yang menguji batas fisik. Barongan biasanya menjadi sangat agresif, menirukan teriakan buas, dan berinteraksi dengan penonton secara provokatif.

Terkadang, Pawang akan melakukan 'dialog' dengan roh yang merasuki penari, menanyakan identitasnya, tujuannya datang, atau menyampaikan pesan-pesan moral kepada komunitas melalui medium penari yang kerasukan. Dialog ini menggarisbawahi fungsi Jaran Kepang sebagai sarana komunikasi spiritual.

4. Babak Penutup: Pemulihan (Ngruwat) dan Penenangan

Pawang mengambil peran sentral. Dengan menggunakan media seperti air suci (tirta), bunga, atau jimat tertentu, Pawang melakukan ritual pemulihan (ngruwat). Dibutuhkan keahlian spiritual yang tinggi untuk memastikan roh meninggalkan tubuh penari dengan damai dan penari kembali ke kesadaran penuh tanpa trauma fisik atau mental.

Musik Gamelan kembali meredup menjadi Gending Ayem (lagu damai), yang membantu menenangkan suasana. Penutup tarian ini seringkali diakhiri dengan tarian yang diulang dengan gerakan yang teratur, menunjukkan bahwa harmoni telah dipulihkan. Ritual penutup ini menegaskan kembali bahwa meskipun spiritualitas dapat membawa kegilaan dan kekuatan liar, manusia pada akhirnya harus kembali pada akal sehat dan tatanan sosial yang berlaku.

XI. Studi Kasus dan Mitologi Lokal yang Mendukung Barongan

Mitologi lokal sangat mempengaruhi bentuk dan makna Barongan. Setiap wilayah seringkali memiliki dhanyang atau tokoh legendaris yang menjadi entitas utama yang diundang dalam pertunjukan.

1. Babad Alas dan Roh Penjaga Hutan

Di banyak daerah di Jawa Timur dan Tengah, Barongan diyakini mewakili roh yang muncul saat pembukaan hutan (Babad Alas). Roh-roh ini, yang awalnya liar dan berbahaya, kemudian dihormati dan 'dijinakkan' melalui ritual Jaran Kepang. Barongan oleh karena itu melambangkan kekuatan alam yang harus diseimbangkan dan diakrabi oleh manusia.

Contohnya, di wilayah Gunung Kelud, entitas yang dipanggil seringkali terkait dengan mitologi Prabu Klono Sewandono, atau roh-roh yang menjaga kesuburan lahan pertanian. Keterkaitan antara roh, alam, dan panen membuat Jaran Kepang sering dipentaskan sebagai ritual syukur setelah masa panen.

2. Kisah Pahlawan dan Kesetiaan

Karakter Jathilan, yang sering berpakaian rapi dan heroik, umumnya dikaitkan dengan kisah-kisah pahlawan lokal atau abdi dalem kerajaan. Mereka mewakili kesetiaan total pada pemimpin dan negara. Bahkan saat dalam kondisi trance, penari Jathilan (kuda lumping) seringkali menunjukkan gerakan hormat atau tunduk, menandakan bahwa meskipun roh merasuki mereka, hierarki dan tatanan sosial tetap dihormati. Hal ini mengajarkan pentingnya kepatuhan terhadap tatanan yang lebih tinggi.

Penggunaan properti seperti keris yang dihiasi bunga juga memperkuat narasi kepahlawanan ini. Keris, sebagai pusaka Jawa, adalah simbol status, keberanian, dan hubungan genetik dengan leluhur yang berjuang.

3. Filosofi Pemilihan Kayu Topeng Barong

Dalam pembuatan topeng Barongan, pemilihan bahan kayu sangat sakral. Kayu yang paling sering digunakan adalah kayu Nangka (yang diyakini mengandung tuah keberuntungan) atau kayu Randu (yang ringan namun kuat). Pengrajin harus melakukan ritual puasa sebelum memahat, dan potongan kayu harus diambil dari pohon yang 'hidup' (tidak tumbang sendiri) dan di tempat yang dianggap keramat. Proses ini memastikan bahwa topeng yang dihasilkan tidak hanya indah secara fisik, tetapi juga secara spiritual siap menjadi rumah sementara bagi roh.

Pengecatan topeng juga memiliki aturan ketat. Warna merah (berani) dan hitam (kekuatan gaib) mendominasi, sementara sisipan warna emas atau perak pada hiasan (seperti mata atau gigi) memberikan kesan kekuatan superior.

XII. Epilog: Jaran Kepang sebagai Jembatan Spiritual

Barongan Jaran Kepang adalah sebuah mahakarya budaya yang berhasil bertahan dan berkembang melintasi zaman. Ia adalah museum bergerak yang menyimpan memori kolektif bangsa Jawa—dari tradisi militer kuno, adaptasi Islam-Jawa, perlawanan kolonial, hingga tantangan modernisasi. Kesenian ini mengajarkan bahwa spiritualitas bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan sehari-hari; ia adalah bagian integral dari seni, musik, dan bahkan hiburan rakyat.

Sebagai jembatan antara yang nyata dan gaib, antara masa lalu dan masa kini, Barongan Jaran Kepang terus memukau dan menguji batas-batas pemahaman kita tentang kekuatan manusia dan kekuatan alam. Melalui tabuhan Kendang yang memekakkan dan gerakan liar Barongan, ia mengingatkan kita bahwa di tengah hiruk pikuk modernitas, roh dan sejarah tetap hidup, menari dalam anyaman bambu dan topeng kayu yang sakral. Upaya pelestarian bukan hanya tentang menjaga tarian, tetapi menjaga kedalaman filosofi yang terkandung di dalamnya, memastikan bahwa nyala api spiritual Barongan Jaran Kepang tidak pernah padam.

🏠 Homepage