Di tengah hiruk pikuk modernisasi dan derasnya arus informasi global, kebudayaan tradisional Jawa tetap tegak berdiri, menunjukkan kekayaan spiritual dan artistik yang luar biasa. Salah satu manifestasi seni pertunjukan yang mendalam dan penuh misteri adalah Barongan. Namun, di antara berbagai varian Barongan yang megah dengan hiasan rumit dan rambut yang lebat, muncul satu bentuk yang lebih sederhana, polos, namun memiliki daya pikat filosofis yang kuat: Barongan Gundulan.
Barongan Gundulan, sebagaimana namanya yang menyiratkan ‘botak’ atau ‘tanpa hiasan rambut’, adalah sebuah fenomena budaya yang menawarkan pemahaman berbeda tentang kesenian rakyat. Ia bukan sekadar topeng yang kehilangan mahkota, melainkan representasi kemurnian, asal-usul, dan hubungan primal antara manusia dengan kekuatan alam dan roh. Memahami Barongan Gundulan adalah menyelami lapisan-lapisan sejarah, ritual, dan kosmologi masyarakat Jawa yang telah diwariskan turun-temurun melalui denyut nadi pertunjukan.
Sebelum kita membedah kekhasan Gundulan, penting untuk menempatkan Barongan dalam konteksnya. Kesenian Barongan, yang sering dikaitkan erat dengan Reog di beberapa wilayah, adalah pertunjukan rakyat yang menggabungkan elemen tarian, musik Gamelan, teater, dan kadang kala, ritual kesurupan atau trance. Secara historis, Barongan diyakini memiliki akar yang sangat tua, bahkan jauh sebelum era Islam masuk secara masif ke Nusantara.
Barongan, dengan bentuk wajah raksasa yang menakutkan (seringkali menyerupai singa atau harimau mitologis, seperti Gajah-gajahan di beberapa tempat), berfungsi sebagai penjaga (dhanyangan) wilayah atau manifestasi dari kekuatan gaib. Sosok ini adalah perpaduan antara mitologi Hindu-Buddha dan animisme lokal. Penggunaan topeng besar dan gerak tari yang eksplosif menyimbolkan pertarungan abadi antara kebaikan dan keburukan, serta upaya manusia untuk menyeimbangkan alam semesta.
Di Jawa Tengah, khususnya wilayah Blora, Barongan sangat identik dengan tokoh Singo Barong, simbol kekuatan yang tidak tertandingi. Setiap detail pada Barongan utama, mulai dari mahkota (jamang) yang dihiasi cermin dan manik-manik, hingga rambut palsu (gimbal) yang terbuat dari tali rafia atau ijuk, memiliki makna simbolis yang merujuk pada kekayaan, kekuatan, dan kedudukan spiritual.
Namun, dalam tradisi yang kaya ini, selalu ada ruang untuk interpretasi yang lebih sederhana, sebuah versi yang kembali kepada esensi, dan inilah yang dibawa oleh Barongan Gundulan.
Barongan Gundulan dapat didefinisikan sebagai varian Barongan yang dicirikan oleh ketiadaan hiasan kepala yang kompleks, khususnya rambut tiruan atau mahkota yang mewah. Istilah ‘gundulan’ merujuk pada kondisi kepala yang polos, botak, atau hanya dihiasi dengan sedikit ornamen dasar.
Secara umum, Barongan standar menampilkan sosok yang sangat garang dan berwibawa, penuh dengan bulu, cermin, dan dekorasi yang ‘ramai’. Sebaliknya, Barongan Gundulan tampil lebih bersahaja, bahkan cenderung melankolis atau kuno. Keistimewaan Gundulan terletak pada aspek-aspek berikut:
Bentuk ‘gundul’ ini bukanlah hasil dari kemalasan artistik, melainkan sebuah pilihan estetik dan filosofis. Dalam konteks budaya Jawa, sesuatu yang polos dan tanpa hiasan seringkali merujuk pada awal mula, kesucian, atau keadaan sebelum dicemari oleh duniawi. Barongan Gundulan mengajak penonton untuk kembali pada esensi kekuatan spiritual tanpa distraksi visual.
Representasi Topeng Barongan Gundulan yang tampil sederhana namun menonjolkan ekspresi primal.
Meskipun Barongan Gundulan dikenal karena kesederhanaannya, setiap komponen yang tersisa pada kostumnya memiliki bobot simbolis yang luar biasa. Kita harus memisahkan anatomi fisik (ukiran kayu) dari anatomi spiritual (makna di balik ukiran tersebut).
Topeng Barongan, termasuk Gundulan, umumnya diukir dari jenis kayu tertentu yang diyakini memiliki kekuatan magis atau disukai oleh roh penjaga. Kayu Jati (Tectona grandis) atau kayu Pule (Alstonia scholaris) sering menjadi pilihan utama. Kayu Pule, khususnya, dianggap memiliki sifat spiritual yang kuat, ringan, dan mudah diukir untuk menghasilkan ekspresi dramatis.
Proses pengukiran Gundulan cenderung lebih cepat dibandingkan Barongan utama karena minimnya detail hiasan luar. Namun, keahlian pengukir justru diuji pada ekspresi wajahnya. Tanpa bantuan rambut atau mahkota untuk mengisi kekosongan, wajah Gundulan harus mampu menyampaikan kekuatan, kegarangan, atau bahkan kesedihan, hanya melalui pahatan mata, hidung, dan mulut.
Warna dominan pada Barongan Gundulan seringkali adalah merah (melambangkan keberanian, nafsu, dan energi), hitam (kekuatan abadi, misteri, dan spiritualitas), dan putih (kesucian, niat baik). Dalam konteks Gundulan yang sederhana, perpaduan warna ini mungkin tidak seformal Barongan utama, tetapi tetap merujuk pada karakter Dasamuka (sepuluh wajah) atau tokoh raksasa dalam epos Ramayana atau Mahabharata yang diadopsi ke dalam narasi lokal.
Bagian tubuh Barongan Gundulan, yang biasanya disatukan oleh kain hitam tebal (grobak) yang menutupi penari, juga lebih minim hiasan. Kain ini berfungsi sebagai ‘tubuh’ raksasa tersebut. Pada Barongan standar, kain ini mungkin dihiasi dengan cermin atau manik-manik. Gundulan, sebaliknya, mungkin hanya menggunakan kain polos. Keadaan ‘telanjang’ atau polosnya tubuh ini menguatkan makna ketiadaan harta benda, kembali pada esensi alamiah.
Kekuatan Gundulan tidak terletak pada kemewahan hiasan, melainkan pada intensitas penjiwaan penarinya. Ia memaksa penonton untuk fokus pada gerakan (wiraga) dan rasa (wirasa) daripada sekadar tampilan luar.
Barongan, termasuk varian Gundulan, bukanlah sekadar seni tontonan, melainkan sebuah ritual yang diikat oleh kepercayaan dan tradisi lisan. Proses persiapan pementasan Barongan Gundulan melibatkan serangkaian ritual yang bertujuan memanggil roh, membersihkan diri, dan memohon keselamatan.
Sebelum topeng Gundulan dipakai, ia harus melalui proses penyucian (jamasan), terutama jika topeng tersebut diyakini memiliki ‘isi’ atau roh penjaga. Biasanya, topeng diolesi minyak wangi non-alkohol (dupa) atau bahkan dimandikan dengan air kembang tujuh rupa pada malam-malam tertentu (misalnya Malam Jumat Kliwon).
Para penari dan pemain musik (niyaga) juga wajib melakukan puasa atau pantangan tertentu beberapa hari sebelum pementasan. Hal ini dilakukan untuk mencapai kondisi fisik dan spiritual yang siap menerima energi Barongan. Kesiapan spiritual ini sangat penting, terutama jika pertunjukan melibatkan elemen trance (kesurupan).
Dalam struktur pertunjukan Barongan yang lengkap, Barongan Gundulan seringkali muncul di awal atau di tengah sebagai tokoh yang membawa pesan moral atau sebagai ‘protagonis sederhana’ yang menghadapi kesulitan. Karena karakternya yang kurang ‘berat’ secara simbolis dibandingkan Singo Barong yang agung, Gundulan seringkali menjadi tokoh yang lebih interaktif dengan penonton.
Ada kalanya Gundulan digambarkan sebagai sosok anak muda yang baru belajar tentang dunia, atau bahkan sebagai roh yang lebih jinak dan ramah. Hal ini memberikan ruang bagi improvisasi yang lebih besar dalam gerakan dan dialog (jika ada) dibandingkan dengan Barongan utama yang gerakannya lebih baku dan sakral.
Meskipun elemen trance lebih sering dikaitkan dengan penari kuda lumping (Jathilan) dan Singo Barong utama, Barongan Gundulan tidak luput dari potensi kesurupan. Jika terjadi, kesurupan pada Barongan Gundulan seringkali dianggap sebagai manifestasi roh yang lebih ringan, roh penunggu desa yang ingin ‘bercanda’ atau sekadar menunjukkan kehadirannya, berbeda dengan kerasukan Singo Barong yang sangat intens dan sering membutuhkan pawang (dhukun) untuk menenangkannya.
Ini menunjukkan bahwa meskipun Gundulan polos, ia tetap merupakan medium komunikasi antara dunia manusia dan dunia spiritual, sebuah jembatan budaya yang tidak pernah kering dari makna magis.
Kesenian Barongan tidak akan lengkap tanpa iringan musik Gamelan yang khas. Pola tabuhan yang dinamis dan ritmis berfungsi sebagai pemanggil roh, pengatur tempo tarian, dan penyampai emosi kepada penonton. Gamelan yang mengiringi Barongan Gundulan memiliki nuansa tersendiri.
Gamelan Barongan umumnya didominasi oleh instrumen bernada keras dan perkusi yang kuat, seperti:
Musik untuk Gundulan seringkali lebih lincah, ringan, dan kadang jenaka, sesuai dengan karakternya yang mungkin berfungsi sebagai penghibur atau pembuka. Jika Barongan utama bergerak dengan irama yang berat dan lambat (melambangkan keagungan), Gundulan bergerak dengan irama yang cepat dan patah-patah, mencerminkan kelincahan atau bahkan kebingungan.
Visualisasi Irama Gamelan yang mengiringi Barongan, menggabungkan energi dan ketenangan spiritual.
Gerakan Barongan Gundulan, meskipun terikat pada pakem tarian, memberikan penari kesempatan lebih besar untuk menonjolkan kemampuan fisik dan akting. Gerakan Gundulan seringkali meliputi:
Intinya, Barongan Gundulan adalah antitesis yang melengkapi Barongan utama. Jika Barongan Singo melambangkan kekuatan raja, Gundulan melambangkan kekuatan rakyat jelata yang nakal dan penuh semangat.
Kesenian tradisional Jawa, termasuk Barongan Gundulan, memiliki fungsi yang jauh melampaui sekadar hiburan. Ia adalah media komunikasi, pemersatu sosial, dan sarana edukasi moral bagi masyarakat desa.
Secara tradisional, Barongan dipentaskan sebagai bagian dari ritual bersih desa (ruwatan). Dalam konteks ini, Barongan, baik yang utama maupun Gundulan, berfungsi sebagai media penolak bala atau pengusir roh jahat (sukerta). Topeng Gundulan, dengan sifatnya yang polos dan primitif, diyakini dapat berbicara langsung dengan roh-roh leluhur (dhanyang) karena kemurniannya. Pertunjukan ini menjadi cara masyarakat desa meminta perlindungan dan kesuburan tanah.
Proses persiapan dan pementasan Barongan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, mulai dari pengukir topeng, penari, niyaga, hingga juru masak untuk sesajen. Kerjasama ini (gugur gunung) memperkuat ikatan sosial (guyub rukun) di antara warga desa. Barongan Gundulan seringkali menjadi pintu masuk bagi generasi muda untuk belajar menari, karena gerakannya dianggap lebih mudah dikuasai sebelum beralih ke Barongan utama yang membutuhkan stamina dan penjiwaan lebih.
Meskipun Barongan Gundulan jarang memiliki naskah dialog yang baku, pertunjukannya seringkali menyisipkan pesan moral. Kisah-kisah yang dibawakan biasanya merujuk pada cerita rakyat lokal yang mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kepatuhan terhadap orang tua, atau bahaya keserakahan. Karakter Gundulan yang cenderung humoris memungkinkan penyampaian pesan berat menjadi lebih ringan dan mudah diterima, terutama oleh anak-anak.
Sebagai contoh, dalam beberapa fragmen, Gundulan mungkin digambarkan sebagai tokoh yang awalnya malas atau nakal, yang kemudian melalui serangkaian peristiwa, belajar menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab. Humor yang dibawanya berfungsi sebagai alat kritik sosial yang halus dan tidak menyinggung.
Kesenian Barongan tersebar di berbagai wilayah Jawa, dan setiap daerah memiliki ciri khasnya sendiri. Demikian pula, Barongan Gundulan memiliki interpretasi yang berbeda tergantung lokasi geografisnya, meskipun esensi ‘kepolosan’ tetap sama.
Di daerah Blora, yang sangat kental dengan tradisi Barongan, Gundulan seringkali disebut sebagai ‘Barongan Cilik’ (Barongan Kecil) atau ‘Anak Barong’. Di sini, Gundulan berfungsi sebagai pendamping setia Singo Barong. Ia merupakan representasi dari generasi penerus atau prajurit yang setia. Ukuran topengnya mungkin lebih kecil dan gerakannya lebih menyerupai monyet atau anak macan, menunjukkan sifat yang riang dan kurang ajar.
Di Jawa Timur, pengaruh Reog Ponorogo sangat kuat. Barongan Gundulan di sini mungkin memiliki peran yang lebih marginal, atau bahkan diinterpretasikan sebagai sosok Jathil (penari kuda lumping wanita) yang menggunakan topeng yang lebih sederhana. Jika topeng tersebut memang gundul, ia mungkin disematkan pada tokoh yang sedang menjalankan penyamaran atau tokoh yang baru ‘bertobat’ dari sifat kebuasan.
Perbedaan regional juga terlihat dari struktur topeng kayu. Gundulan di Jawa Tengah mungkin lebih mengutamakan detail ukiran gigi dan mata yang melotot, sementara di beberapa daerah lain, ukiran Gundulan mungkin lebih membulat dan menyerupai topeng badut tradisional (Badutan), menandakan pergeseran fungsi dari ritual ke hiburan murni.
Terlepas dari variasinya, peran Barongan Gundulan selalu penting: ia menjadi penyeimbang visual dan naratif. Ia adalah pengingat bahwa keagungan (Singo Barong) harus selalu didampingi oleh kerendahan hati dan kemurnian (Gundulan).
Di era digital, kesenian Barongan menghadapi tantangan besar. Barongan Gundulan, yang secara estetika lebih sederhana, menghadapi risiko yang lebih besar untuk dilupakan atau dikesampingkan demi versi yang lebih mewah dan menarik bagi wisatawan.
Komersialisasi seni pertunjukan seringkali mendorong kelompok Barongan untuk menonjolkan aspek yang paling menarik secara visual, yaitu Singo Barong yang besar dan penuh warna. Gundulan, yang membutuhkan apresiasi terhadap nilai filosofis kesederhanaan, seringkali hanya ditampilkan sebentar atau bahkan dihilangkan. Jika ditampilkan, ia mungkin harus ‘didandani’ agar tampak lebih modern, menghilangkan esensi kegundulannya.
Minat generasi muda terhadap kesenian tradisional menurun. Belajar menari Barongan membutuhkan dedikasi dan pemahaman mendalam tentang pakem dan ritual. Para seniman tradisional kesulitan meregenerasi penari yang mau menerima peran Gundulan, yang mungkin dianggap kurang bergengsi dibandingkan Singo Barong.
Upaya pelestarian Barongan Gundulan harus difokuskan pada edukasi. Beberapa sanggar mulai memasukkan Gundulan sebagai materi pelajaran wajib, menekankan bahwa kesederhanaan adalah inti dari kekuatan spiritual. Seminar dan lokakarya diadakan untuk mendokumentasikan pakem tari dan ukiran Gundulan, memastikan bahwa varian ini tidak hanya bertahan sebagai kenangan.
Selain itu, pengarsipan digital, seperti pembuatan video pertunjukan Barongan Gundulan dan penjelasan filosofisnya, sangat krusial untuk menjangkau audiens global dan generasi muda yang lebih akrab dengan media digital.
Barongan Gundulan adalah lebih dari sekadar topeng yang polos. Ia adalah manifestasi seni yang membawa kita kembali pada akar kebudayaan Jawa yang menjunjung tinggi keselarasan, kerendahan hati, dan pengakuan terhadap kekuatan spiritual yang bersifat purba. Kehadirannya dalam pertunjukan Barongan yang megah berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa keindahan sejati seringkali ditemukan dalam kesederhanaan.
Dalam setiap gerak tarian Gundulan yang lincah dan jenaka, tersembunyi pesan filosofis yang berat: bahwa kekuatan tidak selalu harus diukur dari hiasan yang berkilauan, tetapi dari kemurnian niat dan hubungan yang mendalam dengan alam semesta. Melestarikan Barongan Gundulan berarti menjaga salah satu narasi terpenting dalam khazanah seni rakyat Indonesia—narasi tentang kepolosan yang memimpin, dan kekuatan yang tidak perlu dipamerkan.
Ia adalah pahlawan yang tidak terlihat, penjaga tradisi yang tidak bermahkota, namun memiliki tempat abadi dalam hati dan ritual masyarakat desa yang memuja warisan para leluhur.
***
Kajian mendalam terhadap Barongan Gundulan tidak dapat dilepaskan dari kacamata etnologi, ilmu yang mempelajari kebudayaan dalam konteks masyarakatnya. Dalam masyarakat Jawa, seni pertunjukan tradisional selalu menjadi cerminan tata nilai dan sistem kepercayaan yang berlaku. Gundulan menawarkan studi kasus yang menarik mengenai bagaimana kesederhanaan dapat memegang peran krusial dalam struktur hierarki pertunjukan yang umumnya didominasi oleh kemegahan.
Secara etnologis, Gundulan seringkali dikaitkan dengan konsep *pamomong* (pengasuh) atau *abdi dalem* (pelayan). Dalam pewayangan, tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—yang secara visual sangat sederhana, bahkan cenderung lucu—justru adalah tokoh-tokoh yang paling bijaksana dan memiliki kedudukan spiritual tertinggi. Gundulan dapat diibaratkan sebagai punakawan dalam format Barongan. Ia mungkin tidak gagah, tetapi dialah yang membawa kebijaksanaan purba.
Budaya Jawa sangat menghargai dualisme (Rwa Bhineda) untuk mencapai keseimbangan: siang-malam, baik-buruk, halus-kasar. Barongan Gundulan adalah pasangan sempurna dari Barongan Singo yang megah dan ‘kasar’ dalam artian fisiknya yang penuh hiasan. Jika Singo Barong mewakili *jagad gedhe* (dunia besar, kekuasaan, dan kekuatan yang terlihat), Gundulan mewakili *jagad cilik* (dunia kecil, batin, dan kekuatan yang tersembunyi). Keseimbangan pertunjukan tercapai ketika keduanya tampil bersama.
Ketiadaan rambut atau hiasan pada Gundulan dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menanggalkan *sifat keduniawian*. Dalam tradisi mistik Jawa, untuk mencapai *kesejatian* atau kemurnian spiritual, seseorang harus melepaskan segala atribut yang sifatnya materi. Gundulan adalah visualisasi dari proses pelepasan ini.
Topeng gundul juga bisa melambangkan kondisi pasca-pertapaan yang panjang, di mana rambut telah rontok dan tubuh kembali ke keadaan dasar. Ini menunjukkan tingkat spiritualitas yang tinggi, bukan kepolosan karena kekurangan, melainkan kepolosan karena pencapaian spiritual.
Meskipun Barongan identik dengan pertunjukan maskulin, beberapa varian Barongan Gundulan diinterpretasikan sebagai representasi gender netral atau bahkan feminin yang ganas. Dalam konteks ini, ketiadaan hiasan rambut bisa merujuk pada roh wanita yang kuat (seperti Nyi Rara Kidul atau Dewi Sri dalam manifestasi tertentu) yang tidak membutuhkan hiasan maskulin untuk menunjukkan kekuatannya. Ekspresi Gundulan yang terkadang melankolis atau sedih semakin memperkuat interpretasi ini, menghubungkannya dengan Dewi Kesuburan yang berduka.
Namun, interpretasi yang paling umum tetap menempatkan Gundulan sebagai tokoh pria, yang seringkali menjadi tokoh yang paling rentan untuk dimasuki roh penunggu (indang). Kerentanan ini justru menempatkannya sebagai medium spiritual yang efektif.
Proses sakral pembuatan topeng Barongan Gundulan jauh lebih rumit daripada yang terlihat. Pemilihan kayu, penetapan hari baik, dan ritual *pamali* (pantangan) harus diikuti dengan ketat oleh pengukir (undhagi).
Kayu yang dipilih harus yang ‘bersemangat’ (berisi), yang artinya kayu tersebut tidak hanya kuat secara fisik tetapi juga memiliki aura tertentu. Kayu Pule adalah favorit karena mudah diukir dan ringan, memungkinkan penari Barongan Gundulan bergerak lebih lincah dan cepat. Kayu tidak boleh diambil sembarangan; harus dilakukan ritual izin kepada roh penunggu pohon.
Pengukir biasanya memulai pahatan pada saat bulan purnama atau malam-malam keramat, diiringi pembacaan mantra atau doa-doa. Untuk Gundulan, perhatian khusus diberikan pada garis senyum atau ekspresi mata. Karena tidak ada rambut yang menutupi, cacat kecil pada ukiran wajah akan sangat kentara. Ukiran wajah Gundulan harus memiliki kontur yang tegas, menunjukkan tulang pipi dan rahang yang kuat.
Pengecatan Gundulan harus menggunakan pigmen alami atau cat tradisional yang kental. Merah tua (abang) dan hitam pekat sering mendominasi. Mata dibuat melotot dengan bola mata putih yang sangat kontras dengan latar belakang merah. Hal ini menciptakan efek kejutan visual. Proses *finishing* Gundulan adalah bagian krusial di mana topeng tersebut diyakini ‘dimasukkan’ roh melalui proses penyematan rajah atau mantera tersembunyi di bagian dalam topeng.
Ketika Gundulan sudah selesai diukir, ia tidak langsung digunakan. Topeng tersebut akan disimpan di tempat yang sakral (seperti dalam kotak kayu berukir) dan hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu atau menjelang pementasan. Perlakuan ini menunjukkan bahwa topeng Gundulan, meskipun sederhana, tetap dihargai sebagai benda pusaka spiritual.
Meskipun akar Barongan Gundulan adalah ritual, ia kini juga berperan dalam perekonomian lokal. Kesenian ini menjadi daya tarik pariwisata budaya yang dapat menghidupkan sektor UMKM di desa-desa pelestari Barongan.
Desa-desa yang menjadi pusat Barongan, seperti di Blora atau Kudus, kini mengembangkan sentra kerajinan topeng. Barongan Gundulan menjadi komoditas yang diminati karena ukurannya yang relatif lebih kecil dan harganya yang lebih terjangkau dibandingkan Barongan Singo Barong yang memerlukan biaya produksi tinggi. Turis asing dan kolektor seni sering mencari Barongan Gundulan sebagai representasi seni rakyat yang otentik dan tidak dimodifikasi.
Kelompok Barongan yang masih aktif menghasilkan pendapatan dari pertunjukan, baik untuk upacara adat, hajatan, maupun festival budaya. Peran Gundulan di sini sangat fungsional. Karena gerakannya yang fleksibel, Gundulan seringkali tampil dalam durasi yang lebih lama saat sesi interaksi atau sesi humor, yang menjadi daya tarik utama pertunjukan non-ritual.
Namun, tantangan etika muncul: bagaimana cara mengkomersialkan Barongan Gundulan tanpa menghilangkan aspek ritual dan kesakralannya? Para seniman harus berhati-hati agar kesederhanaan Gundulan tidak diartikan sebagai ‘murahan’, melainkan sebagai ‘berharga’ karena nilai filosofisnya.
Setiap gerakan dalam tarian Barongan, termasuk Gundulan, adalah sebuah bahasa. Tidak ada gerakan yang dilakukan tanpa makna. Memahami *wiraga* (gerak) Gundulan adalah membaca kearifan lokal yang disajikan melalui medium visual dan kinestetik.
Gundulan seringkali melakukan gerakan mengintai (mengendus) yang sangat ekspresif. Gerakan ini menyiratkan bahwa Barong adalah makhluk pemburu, namun dalam konteks Gundulan, ia lebih seperti makhluk yang sedang mencari jati dirinya atau mencari kebenaran. Gerakannya tidak agresif menyerang, melainkan penasaran dan eksploratif.
Postur penari Gundulan dituntut untuk sangat fleksibel. Mereka sering berjongkok, melompat, atau berguling, menunjukkan sifat liar dan bebas yang tidak terikat oleh aturan-aturan kerajaan (seperti yang diwakili oleh Singo Barong). Keseimbangan adalah kunci, karena gerakan cepat dan perubahan arah mendadak harus dilakukan tanpa menghilangkan ilusi bahwa Gundulan adalah makhluk yang kuat.
Gerak Gundulan adalah respons langsung terhadap tabuhan Gamelan yang berirama cepat (lancaran). Jika Kendang menabuh ritme *sabetan* (pukulan cepat), Gundulan akan merespons dengan gerakan menyentak. Jika irama melambat dan kembali ke *gongan* (irama gong), Gundulan akan kembali ke posisi tenang, seolah-olah rohnya sedang menenangkan diri. Sinergi antara penari dan niyaga adalah elemen magis dari pertunjukan ini.
Barongan Gundulan bukanlah satu-satunya topeng sederhana di Nusantara. Membandingkannya dengan topeng kuno lain membantu kita memahami universalitas makna kesederhanaan dalam seni ritual.
Topeng Panji dari Cirebon melambangkan kesucian dan awal kehidupan, tampil dengan wajah putih, halus, dan tanpa hiasan yang mencolok. Mirip dengan Gundulan, Panji mewakili kemurnian. Namun, Panji adalah murni karena belum terpengaruh dunia, sementara Gundulan adalah ‘gundul’ (polos) karena sudah melalui proses pemurnian spiritual.
Topeng Hudoq (Kalimantan Timur) digunakan untuk ritual kesuburan dan pengusiran hama. Meskipun bentuknya sangat primitif dan terbuat dari kayu yang sederhana, Hudoq selalu disertai dengan hiasan dedaunan atau serat alam yang lebat. Gundulan, sebaliknya, secara sengaja menanggalkan hiasan alam ini, menunjukkan fokus yang berbeda: Hudoq mencari kesuburan alam, Gundulan mencari kesuburan batin.
Perbedaan ini menegaskan bahwa Barongan Gundulan memiliki kekhasan Jawa yang unik, yaitu penggabungan antara kebuasan (Barongan) dan kerendahan hati (Gundulan) dalam satu paket pertunjukan, yang menjadikannya harta karun budaya yang tak ternilai harganya.
Pelestarian Barongan Gundulan juga melibatkan konservasi bahasa dan istilah-istilah lokal yang digunakan oleh para pelaku seni. Istilah 'Gundulan' sendiri, yang terdengar sangat sederhana, membawa bobot linguistik yang penting. Dalam dialek Jawa tertentu, 'gundul' tidak hanya berarti botak, tetapi juga bisa berarti murni, tanpa beban, atau tanpa basa-basi (blak-blakan).
Banyak istilah teknis yang digunakan dalam pementasan Gundulan yang terancam punah. Contohnya, nama-nama spesifik untuk gerak kaki (seperti *jingklik* atau *jingkrak*), atau istilah untuk pakaian pendukung Gundulan (yang mungkin hanya disebut *kemben* atau *sinjang* polos). Mendokumentasikan istilah-istilah ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa pemahaman historis tentang Gundulan tetap utuh.
Sebagian besar pengetahuan tentang Barongan Gundulan diturunkan secara lisan melalui *sujarah* atau cerita sejarah yang disampaikan oleh sesepuh kelompok Barongan. Seringkali, Gundulan diyakini merupakan topeng pertama yang dibuat oleh pendiri kelompok, sebelum mereka mampu membuat hiasan yang mewah. Oleh karena itu, topeng Gundulan menyimpan memori kolektif kelompok, dan seringkali ditempatkan di tempat yang paling terhormat, meskipun secara visual ia yang paling sederhana.
Dari sudut pandang psikologi seni, Barongan Gundulan memberikan studi yang menarik mengenai bagaimana emosi dapat disampaikan melalui kesederhanaan visual. Dalam Barongan yang penuh hiasan, mata penonton cenderung terdistraksi oleh warna dan tekstur. Namun, pada Gundulan, seluruh fokus tertuju pada ekspresi wajah yang terukir.
Kesederhanaan pada Gundulan menciptakan efek yang lebih kuat dan langsung terhadap emosi penonton. Wajah yang polos memaksa penonton untuk 'mengisi' emosi mereka sendiri ke dalam topeng, menciptakan ikatan yang lebih personal dan mendalam. Ekspresi marah pada Gundulan mungkin terasa lebih menakutkan karena tidak dimoderasi oleh hiasan yang mewah.
Pada saat *trance*, penari Barongan Gundulan melepaskan identitas dirinya secara total. Karena topengnya tidak memiliki rambut atau mahkota yang menjadi simbol kekuasaan, proses pelepasan diri (egolessness) ini menjadi lebih total. Penari tersebut benar-benar menjadi roh, bukan sekadar peniru roh. Hal ini secara psikologis menunjukkan bahwa Gundulan adalah medium yang memungkinkan penari untuk mencapai kondisi 'kekosongan' (sunyata) sebelum diisi oleh kekuatan lain.
Kajian-kajian ini semakin mempertegas bahwa Barongan Gundulan bukanlah varian yang ‘kurang’ atau ‘gagal’, melainkan sebuah puncak filosofis dari kesenian Barongan itu sendiri—sebuah kesempurnaan yang dicapai melalui penanggalan. Ia adalah warisan abadi yang mendemonstrasikan bahwa kekayaan budaya seringkali ditemukan pada hal-hal yang paling mendasar dan murni.
Kehadiran Barongan Gundulan di tengah keindahan Barongan lainnya adalah sebuah pelajaran: untuk mengenali makna yang sesungguhnya, kita harus mampu melihat melampaui gemerlapnya penampilan luar dan menyelami esensi dari keberadaan, sebuah perjalanan spiritual yang disajikan dalam balutan seni pertunjukan rakyat yang abadi.
Setiap goresan pada kayu Gundulan, setiap hentakan kaki penarinya, dan setiap tabuhan kendang yang mengiringi, adalah untaian doa dan harapan yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan Barongan Gundulan sebagai cermin kearifan lokal yang tak lekang oleh zaman. Kesenian ini akan terus hidup, selama masyarakatnya masih menghargai kekuatan yang tersembunyi di balik kesederhanaan.
***
Barongan, dalam konteks Jawa, sangat erat kaitannya dengan dunia mitos dan mistis. Karakter Gundulan seringkali memiliki latar belakang mitologi yang unik, memisahkannya dari kisah asal-usul Singo Barong yang terpusat pada tokoh-tokoh kerajaan atau pertapa sakti.
Salah satu mitos yang menyertai Barongan Gundulan adalah bahwa ia merupakan representasi dari ‘anak hilang’ yang dibesarkan di hutan oleh roh. Anak ini tumbuh tanpa hiasan, tanpa pakaian mewah, dan tanpa ikatan sosial, menjadikannya sosok yang polos namun memiliki kekuatan alamiah yang luar biasa. Ketiadaan rambut melambangkan kondisinya yang selalu 'dibasuh' oleh alam.
Dalam narasi lain, Gundulan adalah roh penjaga hutan (dhanyang alas) yang diundang ke pertunjukan untuk memastikan batas antara desa dan alam liar tetap harmonis. Karena roh hutan tidak membutuhkan hiasan buatan manusia, maka topengnya pun dibuat gundul. Jika Barongan Singo merupakan roh penjaga *kraton* atau desa utama, Gundulan adalah penjaga batas dan pinggiran.
Di beberapa wilayah, Gundulan memiliki kemiripan filosofis dengan topeng *Warak* (Badak) atau binatang mitologis lain yang dianggap primitif. Warak sering digambarkan sebagai sosok yang kuat namun bodoh secara duniawi, murni secara spiritual. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa Gundulan merupakan jembatan antara dunia manusia yang berbudaya dan dunia binatang yang instingnya masih murni.
Dalam konteks pendidikan karakter di Indonesia, Barongan Gundulan memiliki nilai yang dapat diajarkan di sekolah-sekolah. Ia mengajarkan tentang pentingnya kesederhanaan (*nrimo*), ketulusan, dan kejujuran.
Melalui tokoh Gundulan, anak-anak dapat belajar bahwa menjadi 'gundul' tidak berarti kekurangan, melainkan kelebihan. Di masyarakat yang cenderung materialistis, Gundulan memberikan pesan kontras bahwa daya tarik sejati berasal dari esensi batin, bukan kemewahan harta benda. Ia adalah pelajaran visual tentang nilai-nilai anti-korupsi dan anti-pamer.
Gerakan Gundulan yang fleksibel dan improvisatif mengajarkan siswa tentang pentingnya adaptasi dan kreativitas. Dalam menghadapi masalah, Gundulan tidak menggunakan kekuatan besar (seperti Singo Barong), melainkan kecerdikan dan kelincahan. Ini adalah model resolusi konflik yang lebih damai dan cerdas.
Oleh karena itu, upaya memasukkan Barongan Gundulan ke dalam kurikulum lokal harus ditekankan bukan hanya sebagai tarian, tetapi sebagai studi kasus dalam etika dan filosofi budaya Jawa yang sangat kaya.
Barongan Gundulan, dengan segala kesahajaan yang disandangnya, terus menari di panggung budaya, mengukir kisah yang tak terucapkan, dan menjadi penjaga keaslian seni Barongan dari ancaman kepunahan dan modernitas yang berlebihan. Ia adalah puisi visual tentang keindahan yang tersembunyi.
***
Proses ritual dalam Barongan Gundulan melibatkan penyelarasan energi. Penari tidak hanya meniru gerakan, tetapi juga harus menyatukan jiwanya dengan roh yang diyakini bersemayam di dalam topeng. Ini adalah proses *manunggaling kawula Gusti* dalam konteks kesenian rakyat, di mana manusia (penari) menyatu dengan kekuatan ilahi atau roh leluhur (Gundulan).
Sebelum pementasan dimulai, persembahan (sesaji) diletakkan di dekat topeng Gundulan. Sesaji ini biasanya terdiri dari bunga, kemenyan, kopi pahit, rokok kretek, dan hasil bumi. Setiap elemen sesaji memiliki makna. Kopi pahit melambangkan pahitnya perjuangan hidup, yang harus dihadapi dengan kesucian (bunga tujuh rupa). Prosesi ini disebut *sumping* (penyucian dengan persembahan).
Dalam ritual ini, Gundulan diperlakukan dengan penuh hormat. Kesederhanaannya justru menuntut perlakuan yang lebih teliti, karena roh yang bersemayam di dalamnya dianggap lebih sensitif terhadap kebersihan niat. Jika sesaji kurang lengkap atau niat penari kurang tulus, diyakini Gundulan akan menolak untuk menari, atau bahkan menyebabkan kekacauan dalam pertunjukan (malapetaka kecil).
Penari Barongan Gundulan sering melakukan meditasi ringan sebelum memakai topeng. Fokus meditasi adalah mengosongkan pikiran, membuka diri untuk energi dari *jagad cilik*—alam batin atau alam mikrokosmos. Energi ini memungkinkan penari untuk melakukan gerakan-gerakan akrobatik yang kadang melebihi kemampuan fisik normal, terutama saat trance.
Energi Gundulan juga dipercaya bersifat penyembuh. Setelah pertunjukan ritual, orang-orang sering mendekati topeng Gundulan, memohon restu atau kesembuhan. Hal ini menunjukkan bahwa kesederhanaan topeng tersebut tidak mengurangi, melainkan meningkatkan daya magisnya sebagai media penyaluran rahmat.
Barongan Gundulan sering dipentaskan dalam berbagai fase siklus hidup masyarakat, dari kelahiran hingga kematian, menunjukkan fleksibilitasnya sebagai seni ritual.
Dalam pernikahan, Barongan Gundulan sering tampil untuk 'menghibur' roh-roh jahat agar tidak mengganggu kebahagiaan pasangan baru. Karena Gundulan bersifat humoris dan ringan, ia berfungsi sebagai 'pengalih perhatian' bagi roh-roh iseng, sementara Singo Barong menjaga acara utama dengan wibawanya. Kehadiran Gundulan melambangkan harapan akan kehidupan rumah tangga yang penuh canda dan kesederhanaan.
Meskipun Barongan umumnya bersifat meriah, di beberapa daerah tertentu, Barongan Gundulan dapat dipentaskan dalam konteks ritual kematian. Di sini, Gundulan berfungsi sebagai pengiring arwah, sosok yang bertugas ‘membersihkan’ jalan bagi arwah yang baru meninggal menuju alam baka. Ekspresi sedih atau kontemplatif pada topeng Gundulan digunakan untuk merefleksikan duka cita, sebuah peran yang jarang diemban oleh Barongan utama.
Melalui peran-peran ini, Barongan Gundulan membuktikan dirinya sebagai kain tenun budaya yang meluas, menghubungkan setiap tahapan kehidupan manusia dengan warisan spiritual yang dijaga ketat oleh komunitas pemangkunya. Kesederhanaan visualnya adalah jubah keabadian yang ia kenakan.