Di antara hiruk pikuk panggung seni tradisional Jawa dan Bali, tersembunyi sebuah wujud yang seringkali memicu perdebatan sekaligus kekaguman: Barongan Devil Warna Putih. Entitas ini bukanlah sekadar variasi estetika; ia adalah manifestasi filosofis yang kompleks, sebuah paradoks visual yang menantang pemahaman konvensional tentang baik dan buruk, suci dan profan. Barongan, yang secara umum dikenal sebagai representasi kekuatan primal atau penjaga gaib, ketika dipadukan dengan atribut ‘Devil’ (setan atau iblis) dan dibalut warna putih (simbol kesucian), menciptakan sebuah pusaran energi mistis yang tak tertandingi.
Representasi visual kontras antara kemarahan (merah) dan kesucian (putih) pada topeng Barongan Devil.
Untuk memahami Barongan Devil Putih, kita harus terlebih dahulu menyelami makna warna putih dalam kosmologi Nusantara. Putih (atau *putih bersih*, *suci*) dalam budaya Jawa dan Bali bukan hanya sekadar absennya warna lain; ia adalah representasi dari:
Lantas, mengapa kesucian ini dipasangkan dengan kata 'Devil'? Ini adalah titik di mana Barongan Devil Putih mematahkan semua ekspektasi. Putihnya bukan putih yang pasif atau tunduk; ini adalah putih yang menakutkan, yang mencerminkan kekuatan dahsyat yang begitu murni sehingga melampaui moralitas manusia. Ia mewakili kemarahan ilahi atau kekuatan gaib yang tak dapat dikendalikan oleh manusia biasa. Kekuatan iblis dalam konteks ini tidak selalu berarti entitas jahat, tetapi lebih kepada energi primal, liar, dan destruktif yang berada di luar tatanan sosial, namun memiliki dasar spiritual yang sangat tinggi.
Dalam tradisi Reog Ponorogo, Barongan Singo Barong yang dominan hitam dan merah melambangkan keberanian dan kekuatan duniawi. Namun, Barongan Devil Putih melangkah ke ranah yang berbeda; ia adalah penjaga yang telah melintasi batas, wujud yang begitu berkuasa hingga bisa menjadi penyelamat dan penghancur dalam tarikan napas yang sama. Para seniman yang menciptakan wujud ini seringkali merujuk pada legenda kuno tentang dewa-dewa yang mengambil wujud mengerikan untuk menjalankan tugas suci—misalnya, manifestasi Bhairawa yang bertujuan melenyapkan kejahatan, meskipun penampilannya menakutkan.
Estetika Barongan Devil Putih berfokus pada kontradiksi yang tajam. Topengnya, yang terbuat dari kayu pilihan atau kulit, dicat dengan lapisan putih krispi yang mencolok. Namun, detail-detailnya sengaja dirancang untuk merusak kesan kesucian tersebut. Mata yang biasanya diwarnai merah menyala (melambangkan amarah dan nafsu) atau bahkan emas, gigi-gigi taring yang runcing, dan jambul rambut (gimbal) yang dibuat berantakan dan liar (meskipun rambutnya mungkin juga berwarna putih atau perak) menciptakan ketegangan visual yang kuat. Tubuhnya, yang ditutupi oleh bulu atau ijuk, mungkin berwarna putih, perak, atau bahkan transparan, menjadikannya seolah-olah wujudnya berasal dari dimensi lain, bukan dari bumi.
Kemunculan varian ini menunjukkan evolusi seni Barongan yang responsif terhadap dinamika spiritual dan selera publik kontemporer. Jika Barong tradisional mewakili keseimbangan *Rwa Bhineda* (dua hal yang berbeda namun saling melengkapi), Barongan Devil Putih mungkin mewakili salah satu kutub yang diperkuat secara ekstrem: Kesucian yang Mengamuk.
Barongan sebagai seni pertunjukan memiliki sejarah yang panjang, berakar pada ritual animisme, Hindu-Buddha, dan tradisi lokal. Mulai dari Barong Bali yang merupakan penjelmaan dewa pelindung (Banaspati Raja) melawan Rangda, hingga Reog Ponorogo dengan Singo Barong yang gagah, Barongan selalu berfungsi sebagai media komunikasi antara dunia manusia dan dunia spiritual.
Istilah 'Devil' atau 'Setan' dalam konteks Barongan sering kali merupakan adopsi modern, dipengaruhi oleh globalisasi dan keinginan seniman untuk memberikan narasi yang lebih dramatis dan gelap. Namun, akar dari kekuatan gelap ini sebenarnya sudah ada dalam konsep lama: sosok raksasa, buto (raksasa), atau jin penjaga yang memiliki kekuatan destruktif.
Barongan Devil Putih berkembang pesat di kalangan komunitas seniman Reog dan Jathilan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya sebagai respons terhadap varian-varian Barongan modern yang semakin agresif dalam pertunjukannya. Mereka mencari wujud yang bisa menyaingi intensitas Barongan berwarna gelap, tetapi dengan aura yang berbeda—aura yang lebih dingin, lebih dingin secara spiritual, dan lebih misterius.
Varian putih ini sering digunakan dalam pertunjukan yang berfokus pada narasi konflik batin, pembersihan desa dari energi negatif yang kuat, atau pertarungan epik melawan entitas kegelapan yang sangat sulit dikalahkan. Putihnya berfungsi sebagai tameng spiritual, namun sifat 'Devil'nya memungkinkan ia menggunakan taktik yang tidak konvensional, taktik yang berada di luar batas moralitas pahlawan biasa.
Proses pembuatan topeng Barongan Devil Putih ini sangat sakral. Para pembuatnya (undagi atau perajin topeng) harus melalui serangkaian ritual puasa dan meditasi. Cat putih yang digunakan haruslah cat yang murni, terkadang dicampur dengan bubuk atau benda-benda spiritual tertentu. Ini memastikan bahwa topeng tersebut tidak hanya sekadar objek seni, tetapi juga portal energi yang sah.
Penggunaan warna putih dalam konteks 'Devil' ini juga dapat ditafsirkan sebagai sindiran atau kritik sosial. Seniman mungkin ingin menyampaikan bahwa kejahatan (Devil) tidak selalu bersembunyi di balik kegelapan (Hitam), tetapi justru dapat bersembunyi di balik penampilan yang suci dan murni (Putih). Ini adalah cerminan dari kompleksitas moralitas manusia dan spiritualitas kontemporer.
Kekuatan Barongan Devil Putih terletak pada detail visual yang disusun secara cermat. Setiap elemen, dari mahkota hingga jumbai, memiliki makna ganda yang saling bertentangan:
Wajah topeng Barongan Devil Putih biasanya memiliki kontur yang lebih tajam dan tegas dibandingkan Barongan tradisional. Hidungnya mungkin lebih mancung, alisnya lebih melengkung dramatis, dan sudut mulutnya selalu menyiratkan seringai atau geraman. Warna putih murni pada topeng menciptakan kanvas yang menonjolkan fitur-fitur ini, membuat bayangan dari ukiran menjadi lebih dalam dan lebih menakutkan. Tidak ada tempat untuk menyembunyikan detail, yang berarti topeng harus diukir dengan kesempurnaan teknis yang tinggi. Kehalusan ukiran ini, yang kontras dengan sifat 'Devil'nya, semakin memperkuat rasa kemisteriusan dan keagungan yang dingin.
Taring adalah ciri khas dari 'Devil'. Taring pada varian putih ini sering kali dibuat dari tulang binatang atau gading palsu, dicat dengan putih cemerlang atau bahkan dihiasi perak. Taring yang runcing, panjang, dan terlihat haus darah adalah penegas dari kekuatan buas yang dimilikinya. Mulutnya, meskipun sebagian besar ditutupi oleh jenggot, memiliki pahatan gigi geraham yang kasar, menunjukkan bahwa kekuatan yang diwakilinya adalah kekuatan yang siap melahap dan menghancurkan apa pun yang dianggapnya sebagai ketidakseimbangan kosmik.
Rambut (atau ijuk yang mewakili rambut/jambang) Barongan Devil Putih biasanya berwarna putih salju atau perak. Ini seringkali dibuat dari serat tumbuhan yang diproses agar terlihat seperti rambut panjang yang kusut dan menjulang, menambah kesan liar. Dalam beberapa varian modern, rambut putih ini dicampur dengan helai-helai merah darah atau hitam legam, melambangkan asal-usulnya yang bertarung di antara dimensi baik dan buruk. Hiasan kepalanya (mahkota) seringkali lebih sederhana namun lebih agresif, menampilkan tanduk yang tajam dan terkadang ukiran yang menyerupai api atau petir, namun seluruhnya dicat putih, menyimbolkan penerangan spiritual yang menghancurkan.
Perpaduan antara putih suci pada rambut dan bentuk tanduk iblis menciptakan citra malaikat yang jatuh atau dewa yang murka. Kekuatan visual ini menarik penonton ke dalam pemahaman bahwa keindahan yang ekstrem dapat beriringan dengan bahaya yang ekstrem.
Pertunjukan Barongan Devil Putih memiliki intensitas spiritual yang unik. Berbeda dengan Barongan biasa yang mungkin berfokus pada narasi pertarungan atau hiburan, varian putih ini seringkali memiliki bobot ritual yang lebih berat. Musik pengiringnya, yang didominasi oleh gamelan yang bertempo cepat dan dinamis, kadang-kadang diselingi oleh melodi yang lebih dingin dan melankolis, mencerminkan sifatnya yang ambigu.
Ketika penari (Jathil atau pemain Barongan) memasuki kondisi kerasukan (trance) dengan mengenakan Barongan Devil Putih, transformasi yang terjadi terlihat lebih dramatis. Kerasukan yang dipicu oleh Barongan putih ini dipercaya memiliki level energi yang lebih tinggi dan lebih sulit dikendalikan. Roh yang memasuki raga penari adalah roh yang murni, namun memiliki kekuatan yang liar.
Gerakan tarian menjadi sangat ekstrem: cepat, tiba-tiba, dan brutal, namun pada saat yang sama, ada ketenangan dan keanggunan dalam setiap lompatan atau putaran. Ini adalah manifestasi dari kontradiksi inti Barongan tersebut: kekejaman iblis dibalut dengan keindahan surgawi. Penonton sering merasakan aura dingin yang menyelimuti pertunjukan ini, bukan hawa panas yang biasanya dikaitkan dengan Barongan berwarna merah atau hitam.
Kerasukan Barongan Devil Putih sering ditujukan untuk:
Barongan Putih mewakili sisi terang yang memegang kekuatan destruktif, menyeimbangkan sisi gelap yang destruktif.
Dalam konteks modern, Barongan Devil Putih tidak hanya terbatas pada panggung seni tradisional. Ia telah merambah ke media sosial, street art, dan bahkan menjadi inspirasi bagi desainer kostum. Daya tariknya terletak pada kekuatannya sebagai ikon visual yang sangat memorable dan penuh makna ganda.
Jika Barong Hitam atau Merah adalah pahlawan yang jelas, Barongan Devil Putih adalah anti-hero yang ambigu. Ia melakukan perbuatan baik (menjaga keseimbangan) dengan cara yang menakutkan (kekuatan iblis). Konsep anti-hero ini sangat resonan dengan generasi muda yang sering mempertanyakan batasan moral dan representasi pahlawan dalam masyarakat yang semakin kompleks. Mereka melihat Barongan putih ini sebagai simbol kekuatan yang tidak perlu divalidasi oleh penampilan yang "ramah" atau "suci" secara konvensional.
Seniman modern sering menggunakan varian putih ini dalam karya instalasi yang berfokus pada tema korupsi yang tersembunyi. Putih yang seharusnya suci menjadi metafora untuk kekuasaan yang tampak bersih dari luar namun menyimpan ambisi dan kerakusan iblis di dalamnya. Ini adalah kritik sosial yang sangat tajam dan mendalam.
Evolusi material yang digunakan juga menunjukkan adaptasi kontemporer. Bulu atau ijuk putih tradisional kini kadang digantikan oleh material sintetis yang memancarkan cahaya (glow-in-the-dark), memberikan kesan entitas gaib yang bercahaya di tengah kegelapan malam pertunjukan. Efek visual ini memperkuat narasi bahwa entitas tersebut berasal dari alam yang berbeda, jauh di atas pemahaman manusia biasa tentang fisik dan materi.
Kisah-kisah tentang kesulitan mengendalikan Barongan Devil Putih juga banyak beredar di kalangan pelaku seni. Dipercaya bahwa karena kesuciannya yang dikombinasikan dengan kekuatan 'Devil' yang liar, topeng ini memiliki jiwa yang lebih sensitif dan lebih mudah tersinggung. Jika sang penari tidak memiliki fondasi spiritual yang kuat atau melanggar pantangan, energi Barongan tersebut bisa berbalik menyerang sang penari itu sendiri.
Oleh karena itu, ritual sebelum pertunjukan untuk Barongan Devil Putih ini seringkali lebih panjang dan lebih ketat, melibatkan doa khusus, persembahan (sesajen) yang lebih spesifik, dan komunikasi spiritual yang intensif dengan roh penjaga topeng tersebut. Tujuannya bukan hanya untuk memanggil, tetapi untuk meminta izin dan menghormati kekuatan yang jauh melampaui kendali manusia.
Beberapa padepokan seni memiliki Barongan Devil Putih yang dianggap sebagai pusaka agung. Barongan tersebut tidak pernah dipentaskan kecuali pada momen-momen yang dianggap sangat penting, seperti upacara besar desa, penobatan pemimpin baru, atau ketika terjadi wabah dan bencana besar. Keengganan untuk sering mementaskannya menambah aura misteri dan kekuatan yang mengitarinya.
Jika kita membongkar setiap komponen dari Barongan Devil Putih, kita akan menemukan lapisan simbolisme yang tak ada habisnya. Struktur yang tampak sederhana ini menyimpan kedalaman filosofis yang luar biasa.
Pada Barongan Putih, jenggot dan kumis sering kali dibuat tebal dan panjang, melambangkan kebijaksanaan kuno dan usia entitas tersebut. Meskipun putih, jenggot ini tidak memberikan kesan kebaikan hati; melainkan, ia tampak seperti untaian awan badai atau kabut tebal yang menyembunyikan wajah dewa yang murka. Bahan jenggot yang digunakan harus memiliki tekstur yang kasar dan berat, memberikan bobot fisik pada penampilan yang secara spiritual terlihat ringan dan ethereal.
Tanduk pada Barongan Devil Putih sering kali digambarkan sebagai mahkota yang tumbuh dari tengkorak, bukan sekadar hiasan. Ini menunjukkan bahwa kekuatan 'Devil' adalah bagian inheren dari keberadaannya, bukan sekadar atribut yang ditambahkan. Tanduk yang lancip menunjuk ke atas, melambangkan koneksi dengan alam yang lebih tinggi (divine/surga), sementara bentuknya yang iblis mengingatkan kita bahwa alam atas pun memiliki kekejaman dan keadilan yang tidak terduga.
Kain yang digunakan untuk menutupi tubuh penari Barongan Devil Putih (yang menempel pada topeng) biasanya didominasi oleh kain putih atau perak, tetapi sering dihiasi dengan motif emas atau perak yang rumit. Motif ini mungkin berupa pola api, naga, atau sulur-sulur tanaman yang melilit, menunjukkan bahwa meskipun wujudnya suci, ia tetap terikat pada energi kosmik yang kacau.
Motif batik atau ukiran pada kain seringkali menggunakan skema Parang Rusak atau Semen Rama, yang secara tradisional dikaitkan dengan kekuatan raja dan usaha untuk mencapai kesempurnaan batin. Penggunaan pola-pola ini memperkuat narasi bahwa Barongan Putih adalah wujud kekuasaan tertinggi yang telah mencapai titik balik, di mana kebaikan dan kejahatan bersatu menjadi kekuatan tunggal.
Barongan Devil Putih adalah pelajaran tentang ketidakpastian spiritual. Dalam filsafat Jawa, kesempurnaan (putih) seringkali dicapai melalui penaklukan ego dan hawa nafsu (Devil). Dengan menggabungkan kedua elemen ini, Barongan tersebut mengajarkan bahwa perjalanan menuju pencerahan tidak selalu mulus atau damai; ia mungkin dipenuhi dengan konflik internal yang ganas, yang diwakili oleh aura 'Devil' yang tak terhindarkan.
Dalam kepercayaan setempat, Barongan dengan warna putih paling kuat diyakini mampu menarik energi bulan (yang melambangkan kesucian dan ketenangan malam) dan menggabungkannya dengan kekuatan bumi. Kontras dengan Barongan merah yang menarik energi matahari dan api. Kombinasi energi bulan dan api iblis ini menjadikan Barongan Putih sebagai mediator yang unik, mampu menenangkan roh yang marah sekaligus menghancurkan entitas jahat dengan kekuatan yang dingin dan terarah.
Orang-orang yang menyaksikan pertunjukan Barongan Devil Putih sering melaporkan sensasi visual dan spiritual yang mendalam. Cahaya putih yang memantul dari topeng di bawah cahaya obor malam memberikan ilusi bahwa Barongan itu melayang atau tembus pandang. Sensasi ini memperkuat keyakinan bahwa wujud yang mereka saksikan bukanlah sekadar topeng kayu, melainkan manifestasi sementara dari roh penjaga yang kuat.
Kehadirannya dalam sebuah upacara adalah penanda bahwa peristiwa yang terjadi sangat penting dan memerlukan perlindungan atau pembersihan dari entitas yang berada pada level spiritual tertinggi. Ia adalah penjaga yang tidak pernah gagal, tetapi kehadirannya selalu disertai dengan rasa hormat yang mendalam dan ketakutan yang tak terhindarkan.
Secara keseluruhan, Barongan Devil Putih adalah bukti kejeniusan budaya Nusantara dalam merangkai narasi yang kompleks. Ia mengambil dua konsep yang berlawanan—kesucian mutlak dan kekuatan iblis—dan menyatukannya menjadi satu kesatuan yang koheren. Ia mengajarkan bahwa dalam kosmos, tidak ada yang sepenuhnya hitam atau putih; bahkan cahaya yang paling terang pun dapat memiliki keganasan yang luar biasa. Ia adalah cerminan dari alam semesta yang terus berputar antara penciptaan dan kehancuran, dibalut dalam keindahan seni pertunjukan yang memukau.
Barongan ini, dengan segala kontradiksinya, terus berevolusi, mencerminkan pergolakan spiritual dan sosial masyarakat modern. Ia adalah warisan abadi yang memastikan bahwa kisah-kisah tentang kekuatan primal, moralitas yang ambigu, dan keagungan yang menakutkan akan terus diceritakan, dihayati, dan ditakuti oleh generasi mendatang. Kekuatan putih yang iblis ini tetap menjadi salah satu misteri terbesar dan terindah dalam khazanah seni Barongan Indonesia.
Proses pembuatan Barongan Devil Putih menuntut teknik ukiran dan pewarnaan yang sangat spesifik. Tidak seperti topeng lain yang mengandalkan kedalaman warna dan tekstur alami kayu, Barongan putih mengandalkan kesempurnaan permukaan dan kontras. Kayu yang dipilih haruslah kayu yang paling ringan dan paling mudah dipahat, seperti kayu pule atau randu, yang secara tradisional dianggap memiliki daya serap spiritual yang tinggi.
Langkah pertama adalah pengamplasan yang ekstrem. Permukaan harus licin sempurna sebelum dicat. Jika ada sedikit cacat, cat putih akan menonjolkannya, merusak ilusi kesucian. Proses pelapisan cat putih seringkali dilakukan berlapis-lapis, terkadang hingga sepuluh lapisan tipis, untuk menciptakan warna yang benar-benar solid dan bercahaya.
Dahulu, pewarna putih seringkali berasal dari kapur giling yang dicampur dengan getah alami tertentu. Saat ini, meskipun cat modern digunakan, ritual pencampuran cat tetap dipertahankan. Beberapa pengrajin masih mencampurkan air suci, bunga tujuh rupa, atau bahkan abu dari dupa khusus ke dalam cat putih terakhir. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa warna putih tersebut memiliki nilai intrinsik spiritual, bukan sekadar pigmentasi.
Kontras utama muncul pada detail. Bibir, gusi, dan rongga hidung iblis harus diwarnai dengan warna gelap, seringkali hitam pekat atau merah tua, yang menciptakan efek kedalaman yang menakutkan ketika dilihat dari kejauhan. Keahlian pengrajin terletak pada cara mereka membuat transisi antara putih yang halus dan merah yang agresif pada mata, memastikan bahwa Barongan terlihat terkandung amarah meskipun seluruh wujudnya memancarkan ketenangan.
Pada beberapa varian yang sangat spiritual, pengrajin akan menempatkan pecahan cermin kecil atau batu kristal di sekitar mata atau di mahkota. Ketika terkena cahaya panggung atau obor, refleksi ini menciptakan kilatan yang tiba-tiba, meniru efek mata yang menyala atau perwujudan cahaya ilahi yang singkat. Hal ini menambah dimensi mistis pada pertunjukan, seolah-olah roh di dalam topeng tersebut sedang berkomunikasi melalui kilatan cahaya.
Pertunjukan Barongan Devil Putih tidak akan lengkap tanpa iringan musik yang tepat. Gamelan yang mengiringi Barongan ini sering kali memiliki palet suara yang berbeda dari musik Barongan biasa. Fokusnya adalah pada instrumen-instrumen yang menghasilkan nada tinggi dan tajam, serta penggunaan *kendang* (gendang) yang sangat bertenaga untuk menggarisbawahi keganasan tarian.
Tempo musiknya harus mencerminkan sifat ambigu Barongan tersebut. Ada saat-saat di mana musiknya terdengar sangat cepat dan kacau (saat Barongan menunjukkan kekuatan Devil-nya), menggunakan gong dan saron dengan ritme yang memburu. Namun, di tengah kekacauan itu, akan ada selingan melodi dari suling atau rebab yang terdengar sangat jernih dan melankolis. Melodi yang jernih ini mewakili kesucian (putih), yang sejenak mengingatkan penonton bahwa di balik keganasan, ada tujuan spiritual yang murni.
Efek suara yang paling penting adalah *gongseng* (lonceng kaki) yang dikenakan oleh penari atau instrumen perkusi tambahan. Bunyi gongseng yang berulang dan nyaring saat Barongan Devil Putih melompat atau menghentakkan kaki dipercaya membantu menarik roh-roh yang diperlukan untuk kerasukan. Suara gemerincing yang intens ini menjadi soundtrack bagi pertempuran spiritual yang terjadi di atas panggung.
Dalam antropologi, entitas yang menggabungkan simbolisme kontradiktif seperti ini sering disebut Liminal Guardian—penjaga yang berdiri di ambang batas antara dua dunia. Barongan Devil Putih adalah penjaga antara dunia manusia dan dunia dewa/iblis, antara kesucian dan kekejaman.
Fungsi utama Barongan ini adalah menjaga keseimbangan. Jika kejahatan menjadi terlalu kuat di dunia manusia, ia akan turun dengan kekuatan iblisnya untuk menghancurkan kejahatan tersebut—namun, ia melakukannya dengan kekuatan yang berasal dari cahaya murni. Sebaliknya, jika manusia menjadi terlalu sombong atau melupakan batas-batas spiritual, Barongan ini bisa menjadi pemangsa spiritual yang menuntut kesadaran kembali melalui ketakutan.
Simbolisme ini sangat penting dalam ritual pembersihan desa (ruwatan). Ketika Barongan Devil Putih dipanggil, itu adalah pengakuan bahwa masalah yang dihadapi desa telah mencapai tingkat krisis yang memerlukan intervensi dari kekuatan yang tidak terikat oleh norma-norma biasa. Kehadirannya adalah peringatan sekaligus janji: peringatan akan bahaya yang mendalam, dan janji akan pemurnian yang menyeluruh.
Oleh karena itu, setiap kali Barongan Devil Putih diarak atau dipentaskan, ia membawa serta beban narasi kolektif tentang perjuangan abadi antara chaos dan keteraturan, antara kesucian yang rapuh dan kekuatan yang abadi. Ia adalah monumen hidup bagi kompleksitas spiritualitas Nusantara yang menolak dikotomi sederhana dan merayakan kekuatan yang utuh, meskipun menakutkan.
Pengalaman menyaksikan Barongan Devil Putih adalah pengalaman yang melampaui hiburan; ia adalah perjalanan singkat ke alam bawah sadar kolektif, tempat di mana dewa dan iblis, cahaya dan bayangan, menari dalam harmoni yang sempurna namun mengancam. Ia adalah cermin bagi jiwa manusia yang juga penuh kontradiksi, mencari kesucian sambil bergulat dengan sifat-sifat iblisnya sendiri.
***
Meskipun konsep Barongan Devil Putih menyebar luas, interpretasi visual dan spiritualnya berbeda-beda antar daerah, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan beberapa kantong budaya di luar Jawa yang mengadopsi seni Reog atau Jathilan. Perbedaan regional ini memperkaya narasi dan membuktikan adaptabilitas ikonografi ini.
Di wilayah yang dekat dengan pusat Reog Ponorogo, Barongan Devil Putih cenderung lebih fokus pada kesan kedewasaan dan kekuatan raja yang bengis. Tanduknya mungkin dihiasi ukiran emas atau perak, dan mata merahnya sangat besar, hampir menutupi sebagian besar wajah putih. Bulu putih yang digunakan seringkali lebih halus dan rapi, menyerupai bulu Singa yang disucikan, namun ekspresi wajahnya tetap menyiratkan kekejaman yang tersembunyi. Penggunaan kain penutup (kemul) Barongan di wilayah ini seringkali menggunakan kain beludru putih yang tebal, memberikan kesan mewah namun dingin.
Dalam konteks Jawa Timur, kekuatan Barongan Putih sering dikaitkan dengan Khodam Macan Putih, entitas spiritual penjaga yang memiliki kekuatan luar biasa dan kesaktian tingkat tinggi. Meskipun Macan Putih biasanya diasosiasikan dengan perlindungan, penggabungan dengan atribut 'Devil' menyiratkan bahwa kekuatan pelindung ini dapat bertransformasi menjadi kekuatan penghukuman yang tak pandang bulu jika hukum keseimbangan dilanggar. Ini adalah reinterpretasi modern yang memanfaatkan narasi spiritual lokal.
Di Jawa Tengah, yang lebih terpengaruh oleh keraton dan seni tari klasik, Barongan Devil Putih mungkin memiliki raut wajah yang lebih abstrak atau mendekati wujud Buto (Raksasa), tetapi tetap dibalut putih suci. Ukiran gigi taringnya lebih banyak dan terperinci, tetapi keseluruhan bentuk topengnya lebih simetris. Di sini, putihnya sering dipandang sebagai simbol dari leluhur yang telah mencapai *moksa* (kebebasan spiritual) namun tetap memilih untuk mengintervensi urusan duniawi dengan kekerasan yang diperlukan. Kerasukan yang terjadi di sini cenderung lebih terstruktur, mengikuti pakem-pakem tarian tertentu, meskipun intensitas spiritualnya tetap tinggi.
Perbedaan penting lainnya terletak pada material jambul (rambut). Di beberapa daerah, bulu merak putih digunakan (walaupun sangat langka dan mahal), memberikan aura kemewahan spiritual. Di tempat lain, ijuk putih dicampur dengan serat nilon bercahaya, menunjukkan pergeseran dari tradisi murni ke adaptasi pertunjukan modern yang lebih memprioritaskan efek visual di malam hari. Adaptasi ini menunjukkan bahwa Barongan Devil Putih adalah subjek yang hidup, terus berevolusi seiring perubahan kebutuhan spiritual dan estetika masyarakat.
Kehadiran Barongan Devil Putih memiliki dampak psikologis yang mendalam pada penonton. Warna putih, yang biasanya diasosiasikan dengan keamanan dan kedamaian, ketika dikombinasikan dengan agresi bentuk iblis, menciptakan disonansi kognitif. Penonton dipaksa untuk memproses dua emosi yang kontradiktif secara bersamaan: rasa hormat spiritual dan ketakutan mendalam.
Rasa takut yang ditimbulkan oleh Barongan putih ini berbeda dari rasa takut yang ditimbulkan oleh Barongan hitam/merah. Barongan gelap memicu ketakutan akan kejahatan yang dikenal (nafsu, amarah). Sementara itu, Barongan Devil Putih memicu ketakutan akan kekuatan yang tak terhindarkan dan tak dapat dipahami—ketakutan akan keadilan yang dingin, keadilan yang begitu murni sehingga bisa menghakimi siapa pun, termasuk mereka yang merasa suci.
Banyak penonton, terutama yang sensitif secara spiritual, melaporkan merasakan 'aura dingin' atau hawa sejuk saat Barongan Putih ini muncul. Dalam mistisisme Jawa, sensasi dingin sering dikaitkan dengan kehadiran entitas dari dimensi yang lebih tinggi atau roh yang sangat tua. Aura ini menegaskan bahwa Barongan Putih tidak hanya bermain peran, tetapi benar-benar bertindak sebagai wadah bagi kekuatan spiritual yang intens.
Dampak ini menjadikan Barongan Devil Putih sebagai salah satu pertunjukan yang paling dicari dalam ritual besar. Kemampuannya untuk memicu respons emosional yang kuat memastikan bahwa pesan spiritual yang disampaikan (tentang dualitas dan keseimbangan kosmik) akan tertanam jauh di dalam kesadaran kolektif masyarakat.
Dengan munculnya internet dan media sosial, Barongan Devil Putih telah melampaui batas geografis. Foto dan video pertunjukannya sering menjadi viral, menarik perhatian audiens global yang tertarik pada perpaduan budaya tradisional dan estetika yang gelap. Dalam konteks global, ia sering disalahartikan atau diinterpretasikan ulang, namun kekuatan visualnya tetap tak terbantahkan.
Di kalangan seniman ilustrasi dan komik fantasi, Barongan Devil Putih telah diadaptasi sebagai karakter mitologis. Ia menjadi inspirasi untuk desain karakter yang membutuhkan keindahan yang mengerikan (terrible beauty) atau entitas yang ambigu secara moral. Penggambaran digital seringkali menonjolkan tekstur kayu putih yang terukir sempurna, yang kontras dengan cahaya neon merah dari matanya, menjadikannya ikon yang cocok untuk tema-tema modern tentang kegelapan yang tersembunyi di balik kesempurnaan.
Popularitas digital ini, meskipun membawa risiko komersialisasi dan hilangnya makna ritual, juga menjamin kelangsungan hidup ikonografi ini. Barongan Devil Putih kini tidak hanya berfungsi sebagai penjaga desa, tetapi juga sebagai Duta Budaya Mistis Indonesia ke seluruh dunia, membuktikan bahwa tradisi dapat berdialog secara efektif dengan estetika kontemporer tanpa kehilangan inti spiritualnya.
Seniman dan perajin lokal kini semakin menyadari nilai estetika global dari Barongan putih ini, mendorong mereka untuk mempertahankan standar kualitas ukiran dan ritual yang tinggi. Mereka memahami bahwa menjaga keaslian spiritual adalah kunci untuk mempertahankan daya tarik mistisnya di mata dunia yang semakin sekuler.
Mengapa, dari semua warna, putih yang dipilih untuk dipadukan dengan konsep 'Devil'? Jawabannya terletak pada upaya untuk mencapai narasi paling fatalistik dan mendalam. Jika iblis memakai hitam, itu sudah dapat diprediksi. Namun, iblis yang bersembunyi di balik putih adalah pernyataan bahwa kejahatan terbesar adalah kejahatan yang dilakukan atas nama kebaikan atau kesucian yang disalahgunakan.
Putih yang fatalistik ini adalah metafora untuk:
Dalam pertunjukan, efek fatalistik ini ditimbulkan melalui keheningan yang mendahului kekacauan. Sebelum Barongan Putih mulai bergerak cepat, ia mungkin berdiri diam dalam keheningan yang panjang, membiarkan aura putihnya menyerap perhatian, sebelum tiba-tiba meledak dalam gerakan yang buas dan tak terduga. Keheningan yang menakutkan ini adalah ciri khas dari 'Devil' yang berselimut kesucian.
Kesimpulannya, Barongan Devil Warna Putih adalah mahakarya kontradiksi. Ia adalah simbol yang sangat kaya, memadukan spiritualitas tertinggi dengan agresi terendah, kesucian dengan kekejaman, dan keindahan dengan ketakutan. Ia terus berdiri sebagai penjaga filosofis yang menantang kita untuk melihat di balik permukaan, mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati seringkali ditemukan pada persimpangan yang paling tidak terduga.
Barongan ini akan selamanya menjadi pengingat akan misteri tak terbatas yang tersembunyi dalam tradisi kita, sebuah refleksi yang bercahaya namun penuh bayangan dari jiwa kosmik Nusantara.