Di tengah hiruk pikuk ritual kesenian tradisional Jawa, terdapat sebuah varian yang jarang dibicarakan namun memiliki daya tarik spiritual yang luar biasa: Barongan Devil Ungu. Bukan sekadar pertunjukan topeng atau tarian kuda lumping biasa, manifestasi ini adalah perpaduan kompleks antara mitologi lokal, filosofi Kejawen yang mendalam, dan eksplorasi warna ungu sebagai simbol dari dimensi spiritual yang paling gelap dan misterius. Varian ini mewakili sisi primal yang dilepaskan, sebuah entitas yang dibangkitkan bukan untuk hiburan semata, melainkan sebagai media komunikasi dengan energi alam bawah sadar dan kekuatan alam gaib.
Studi mengenai Barongan Devil Ungu harus dimulai dari pemahaman bahwa Barongan, dalam konteks Jawa Timur dan Jawa Tengah, seringkali berfungsi sebagai medium transendensi. Ia adalah jembatan yang menghubungkan dunia manusia dengan alam roh, di mana sang penari (atau pembarong) menyerahkan raga mereka sebagai wadah. Namun, mengapa "Devil" dan mengapa "Ungu"? Kedua elemen ini menambahkan lapisan signifikansi yang membedakannya dari Barongan klasik Singo Barong atau Ganongan yang lebih sering dijumpai dalam kesenian Reog Ponorogo atau Jathilan.
Secara umum, Barongan adalah seni pertunjukan yang melibatkan topeng besar yang menyerupai binatang mitologis, seringkali Singa atau Naga. Fungsi utamanya adalah menolak bala atau merayakan panen. Namun, Barongan Devil Ungu muncul dari sub-kultur yang lebih spesifik, seringkali terkait dengan praktik spiritual kejawen esoteris yang fokus pada penguasaan energi gelap atau energi bumi (disebut juga aji pengasihan yang lebih ekstrem). Nama 'Devil' (Setan) bukanlah pemujaan literal terhadap Iblis, melainkan representasi dari kekuatan yang tidak dapat dijinakkan, liar, dan berada di luar batas moralitas sosial biasa.
Warna ungu dalam banyak kebudayaan global melambangkan kerajaan, spiritualitas tinggi, dan kebijaksanaan. Namun, dalam konteks Jawa yang lebih spesifik, ungu sering dikaitkan dengan misteri, dimensi astral yang tidak terlihat, atau entitas yang berada di antara hitam dan putih. Ungu di sini bukan ungu cerah layaknya bunga lavender, melainkan ungu tua (deep violet) yang hampir menyerupai malam pekat yang diselimuti kabut, mencerminkan sifat entitas yang diundang untuk bersemayam dalam raga penari: kekuatan yang tersembunyi, penuh teka-teki, dan memiliki potensi merusak sekaligus melindungi.
Penggunaan warna ungu pada rambut ijuk atau bulu Barongan Devil Ungu secara dramatis memisahkan entitas ini dari Singa Barong yang didominasi warna hitam, merah, dan emas. Analisis tekstil dan pewarnaan menunjukkan bahwa pigmen ungu yang digunakan seringkali berasal dari campuran bahan alami tertentu yang secara ritual diyakini memiliki daya magis, memperkuat kesan bahwa Barongan ini adalah wadah yang secara sengaja disucikan (atau justru didosakan) untuk menampung energi yang sangat spesifik.
Alt Text: Topeng Barongan Devil Ungu dengan warna dasar ungu tua, mata merah menyala, dan taring besar.
Dalam pandangan sinkretisme Jawa, istilah 'Devil' atau 'Setan' tidak selalu merujuk pada musuh Tuhan seperti dalam tradisi Barat. Seringkali, ini merujuk pada energi alam yang belum terolah, kekuatan buta (buta dalam arti tanpa kesadaran manusia), atau entitas lelembut yang tinggal di tempat-tempat keramat yang membutuhkan persembahan khusus. Barongan Devil Ungu, dengan demikian, adalah upaya untuk mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan-kekuatan liar ini. Penarinya tidak hanya menari, tetapi ia sedang bernegosiasi dengan energi kosmis yang sangat kuat, seringkali dengan risiko kehilangan kesadaran diri total.
Negosiasi ini melibatkan serangkaian mantra (ajian) dan puasa (tapa) yang ketat sebelum pertunjukan. Tanpa persiapan spiritual yang memadai, pembarong dapat benar-benar dikuasai oleh entitas yang mereka panggil, sebuah fenomena yang dikenal sebagai kesurupan atau ndadi. Namun, pada Barongan Devil Ungu, ndadi yang terjadi jauh lebih agresif dan destruktif, menuntut tindakan pengamanan ritual yang lebih ketat dari para pawang (dukun atau pemimpin spiritual kelompok).
Tampilan fisik Barongan ini dirancang untuk memaksimalkan dampak psikologis dan spiritual. Setiap elemen, dari warna hingga tekstur, memiliki peran dalam memproyeksikan aura kegelapan yang tersembunyi dan kekuatan yang menakutkan. Estetika yang diusung adalah estetika kekejaman yang elegan, di mana kekuatan brutal diselimuti oleh kemewahan warna ungu.
Bagian yang paling mencolok adalah mahkota atau rambut Barongan. Rambut ini terbuat dari ijuk atau serat tanaman tertentu yang diwarnai dengan pigmen ungu tua. Ijuk ini disusun sedemikian rupa sehingga ketika penari bergerak, ia memberikan efek visual yang dramatis, seolah-olah entitas itu dikelilingi oleh kabut energi. Dalam beberapa kelompok, ijuk ungu ini diperkuat dengan bulu merak hitam atau bulu burung gagak, semakin menekankan asosiasi dengan dunia bawah atau alam gaib yang berkuasa di malam hari.
Mahkota sering dihiasi dengan ukiran yang berbeda dari Barongan pada umumnya. Alih-alih ukiran naga atau sulur tumbuhan, Barongan Devil Ungu sering menampilkan motif tulang belulang, taring, atau simbol-simbol kuno yang diasosiasikan dengan kala (waktu/kehancuran) atau bhairava (manifestasi dewa yang menakutkan).
Mata Barongan ini selalu digambarkan sangat lebar, seringkali berwarna merah menyala atau kuning pucat yang kontras dengan ungu gelap wajahnya. Ekspresi topeng selalu dalam kondisi marah, mencibir, atau menahan raungan. Hal ini berbeda dengan Barongan tradisional yang terkadang menampilkan senyum simetris yang ambigu. Barongan Devil Ungu adalah kemarahan yang membeku, sebuah cerminan dari energi kosmik yang netral tetapi destruktif jika tidak dihormati.
Di sekitar mata, terdapat guratan-guratan ukiran yang menyerupai pembuluh darah yang membesar atau retakan pada kulit, menunjukkan tekanan energi yang luar biasa yang sedang ditanggung oleh topeng tersebut—topeng yang lebih dari sekadar kayu; ia adalah sarana hidup.
Kejawen mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki dualitas: baik dan buruk, terang dan gelap. Barongan Devil Ungu bukanlah pemujaan kegelapan, melainkan pengakuan bahwa energi gelap adalah bagian inheren dari alam semesta yang harus dipahami dan dikendalikan. Kekuatan yang diakses melalui Devil Ungu adalah energi Leluhur yang bersemayam dalam lapisan spiritual terdalam masyarakat Jawa.
Puncak pertunjukan Barongan adalah saat sang pembarong mencapai keadaan ngamuk atau ndadi. Dalam varian Devil Ungu, tahap ndadi ini sangat terstruktur, dibagi menjadi beberapa fase energi yang intensif dan menakutkan:
Ketegangan antara keindahan tarian dan potensi bahaya inilah yang membuat Barongan Devil Ungu begitu memukau dan dihormati dalam tradisi spiritual yang ketat.
Barongan Devil Ungu adalah alat untuk kontemplasi filosofis tentang Sangkan Paraning Dumadi (Asal dan Tujuan Kehidupan). Dengan memanifestasikan kekuatan yang disebut ‘Devil’, komunitas tidak merayakan kejahatan, melainkan mengingatkan diri mereka bahwa kekuatan alam semesta meliputi semua spektrum. Untuk mencapai pencerahan sejati (kasampurnan), seseorang harus mampu menghadapi dan memahami sisi gelapnya sendiri—kekuatan yang diwakili oleh warna ungu misterius itu.
“Ungu adalah batas terakhir antara dunia yang terlihat dan dunia yang tak berbentuk. Barongan Devil Ungu berdiri di ambang pintu itu, menantang para pengamat untuk melihat melampaui moralitas permukaan dan menghadapi kekosongan yang penuh energi.”
Pertunjukan Barongan Devil Ungu memerlukan persiapan yang jauh lebih intensif dibandingkan kesenian Barongan populer lainnya. Persiapan ini tidak hanya melibatkan kostum, tetapi juga spiritualitas murni, yang menegaskan fungsi sakral tarian ini.
Pembarong yang akan membawa Barongan Devil Ungu harus menjalani puasa mutih (hanya makan nasi putih dan minum air putih) selama periode yang ditentukan, terkadang mencapai 40 hari. Tujuannya adalah membersihkan raga dari unsur duniawi sehingga ia menjadi wadah yang lebih murni bagi entitas yang akan dipanggil.
Sebelum topeng dikenakan, ia di jamasi (dimandikan) dengan air bunga tujuh rupa dan diasapi dengan kemenyan khusus. Dalam ritual ini, mantra yang dibacakan sering kali merupakan bahasa Jawa kuno atau Kawi, yang berfungsi sebagai kunci untuk membuka dimensi energi ungu tersebut. Proses ini memastikan bahwa entitas yang masuk memiliki perjanjian yang jelas, meminimalkan risiko bahaya yang tidak terkontrol.
Konteks pewarnaan spiritual juga sangat penting. Pigmen ungu yang digunakan pada Barongan seringkali dicampur dengan abu kemenyan atau tanah dari tempat-tempat keramat (petilasan), sehingga secara harfiah, topeng tersebut membawa serta energi geografis dan historis tempat-tempat suci yang gelap.
Musik pengiring Barongan Devil Ungu berbeda. Meskipun tetap menggunakan gamelan (kendang, gong, saron), ritme yang dimainkan jauh lebih cepat, keras, dan repetitif, menciptakan frekuensi resonansi yang tinggi yang membantu memicu kondisi trans. Kendang (kendang ciblon) dimainkan dengan kecepatan yang hampir tidak manusiawi, menciptakan beat yang mendorong denyut nadi penari dan penonton.
Instrumen tambahan yang sering digunakan adalah terompet pencak atau alat musik tiup yang menghasilkan suara melengking dan meliuk-liuk, meniru raungan atau lolongan entitas. Ritme ini bukan hanya musik, tetapi juga mantra sonik yang berulang, menahan entitas di ambang batas kesadaran, menjaga agar energi liar Barongan tetap terpusat di area pertunjukan.
Di era modern, banyak kesenian Barongan telah mengalami komersialisasi dan penyederhanaan. Namun, kelompok-kelompok yang melestarikan Barongan Devil Ungu seringkali sangat tertutup dan ketat dalam penerimaan anggota baru. Mereka berjuang untuk menjaga otentisitas spiritual di tengah tantangan zaman yang menuntut segala sesuatu menjadi logis dan dapat dijelaskan.
Ancaman terbesar bagi Barongan Devil Ungu adalah hilangnya kedalaman spiritual. Generasi muda mungkin tertarik pada aspek visual dan aksi ekstremnya (memakan beling, kekebalan tubuh), tetapi seringkali gagal memahami ritual persiapan dan filosofi Kejawen yang mendasarinya. Tanpa pemahaman spiritual ini, tarian hanya menjadi atraksi sirkus, dan risiko bagi penari menjadi jauh lebih besar.
Pelestari sejati menekankan bahwa Barongan Devil Ungu adalah sekolah pengendalian diri. Semakin liar entitasnya, semakin besar pengendalian batin yang harus dimiliki oleh penari. Mereka berusaha keras untuk menyajikan tarian ini sebagai warisan budaya dan spiritual, bukan sebagai tontonan horor. Mereka mengajarkan bahwa warna ungu tidak hanya melambangkan kegelapan, tetapi juga kebijaksanaan yang diperoleh melalui penaklukan ketakutan pribadi.
Meskipun Barongan Devil Ungu jarang tampil di panggung besar, pengaruh estetikanya mulai merembes ke dalam seni kontemporer. Desain kostum, penggunaan warna ungu yang intens, dan citra entitas primal telah menginspirasi seniman modern, desainer, dan bahkan komunitas film horor di Indonesia. Hal ini membantu memperkenalkan konsep Barongan yang lebih gelap kepada audiens global, meskipun seringkali tanpa konteks ritualistik yang benar.
Alt Text: Siluet penari Barongan dalam keadaan ndadi (trance) dikelilingi oleh aura spiral ungu dan oranye.
Meskipun konsep Barongan Devil Ungu tersebar, manifestasi dan ritualnya sangat bergantung pada geografi dan tradisi lokal. Biasanya, varian ini ditemukan di daerah yang memiliki sejarah spiritual yang kuat dan masih mempertahankan praktik Kejawen murni, jauh dari pusat-pusat komersial.
Di wilayah sekitar Pegunungan Kendeng (Jawa Tengah bagian utara), Barongan Devil Ungu dikenal dengan nama Banteng Wulung. Banteng Wulung menggabungkan unsur Barongan dengan mitologi Banteng Liar, simbol ketahanan dan kekerasan alam. Warna ungu di wilayah ini sering diartikan sebagai warna tanah yang subur namun keramat, yang menyimpan energi gunung berapi purba. Pertunjukan di sini sering diadakan di dekat sumber air atau makam kuno, menekankan fungsi spiritualnya sebagai penjaga wilayah.
Perbedaan utama Banteng Wulung adalah topengnya yang lebih pendek dan lebar, dengan taring yang menonjol ke samping. Musik gamelan yang digunakan di Kendeng cenderung lebih dominan suara gong besar, menghasilkan getaran frekuensi rendah yang diyakini dapat menenangkan atau memicu entitas di dalam tanah. Konsentrasi pada tarian ini adalah tentang penghormatan pada kekuatan bumi.
Di daerah pesisir selatan Jawa, khususnya di Jawa Timur, muncul variasi yang disebut Naga Ungu Samudra. Alih-alih wujud singa atau buta, Barongan ini mengambil bentuk Naga Ungu, simbol dari Ratu Pantai Selatan atau energi laut yang tak terbatas dan misterius. Ungu di sini mewakili kedalaman samudra yang tak terjamah dan rahasia yang tersembunyi. Tarian Naga Ungu Samudra selalu diiringi oleh persembahan ke laut dan gerakannya lebih mengalir, meniru ombak, namun diakhiri dengan ledakan energi yang ganas layaknya badai mendadak.
Penari Naga Ungu harus menjalani ritual tapa di tepi pantai, berendam dalam air laut yang dingin sebelum pertunjukan. Hal ini adalah upaya untuk mendapatkan restu (atau izin) dari entitas air. Ini menunjukkan betapa fleksibelnya konsep "Devil Ungu"; ia selalu menyesuaikan dirinya dengan konteks kekuatan alam lokal, baik itu bumi, gunung, atau laut.
Tidak mungkin memahami Barongan Devil Ungu tanpa menganalisis secara mendalam mengapa warna ungu (violet) menjadi pilihan, padahal merah (keberanian) atau hitam (kemisteriusan) lebih umum dalam topeng seram. Ungu berada di ujung spektrum warna yang terlihat, berbatasan dengan ultraviolet—cahaya yang tak dapat dilihat mata manusia. Secara kosmologis Jawa, ini adalah simbol dari dimensi alam tak kasat mata atau alam halus yang paling dekat dengan realitas fisik kita, namun paling sulit dijangkau.
Dalam praktik ilmu kejawen, perjalanan spiritual seseorang sering diibaratkan melalui tangga warna, dari merah (nafsu duniawi) hingga putih (kesucian). Ungu, yang merupakan campuran antara merah (energi fisik) dan biru (spiritualitas), melambangkan titik di mana energi fisik tertinggi (kemarahan, kekuatan) bertemu dengan kesadaran spiritual yang mendalam. Barongan Devil Ungu adalah manifestasi visual dari konflik batin ini: pertarungan untuk mengendalikan kekuatan liar di dalam diri sebelum mencapai tahap kebijaksanaan sejati.
Oleh karena itu, penari Barongan Devil Ungu tidak hanya menari, mereka melakukan laku batin di depan publik. Mereka menunjukkan bahwa penguasaan atas setan batin (sedulur papat lima pancer, terutama yang bersifat negatif) adalah langkah yang sangat brutal dan penuh risiko. Warna ungu menjadi penanda bahwa proses pemurnian ini sedang berlangsung, tetapi belum selesai, masih terkandung unsur ‘devil’ atau sifat-sifat liar yang belum sepenuhnya tunduk pada kehendak spiritual.
Selain warna, tekstur ijuk dan ukiran pada Barongan Devil Ungu juga penting. Ketika penari bergerak, bulu ungu tersebut bergerak cepat, menghasilkan bayangan yang seolah-olah berdenyut. Efek visual ini menciptakan resonansi getaran dengan irama gamelan yang cepat, yang secara hipnotis menarik perhatian penonton dan membantu memfasilitasi masuknya roh pelindung (atau entitas liar) ke dalam raga. Penggunaan bulu yang kasar dan taring yang tidak dihaluskan menambah dimensi fisik yang mentah dan tidak disaring.
Deskripsi gerak pada saat ndadi menunjukkan bahwa Barongan Devil Ungu memiliki pola gerak yang unik. Jika Barongan tradisional bergerak memutar atau melompat, Devil Ungu sering kali melakukan gerakan membungkuk rendah dan menggaruk tanah. Ini adalah simbolisasi kembali ke keadaan primal, menyentuh inti bumi, dan menarik energi dari lapisan geologis terdalam—kekuatan yang, dalam mitologi Jawa, seringkali diasosiasikan dengan para raksasa (buto) atau kekuatan alam purba.
Meskipun menakutkan, Barongan Devil Ungu memiliki fungsi sosial yang sangat penting, terutama dalam komunitas pedesaan yang masih erat terikat pada kepercayaan leluhur. Fungsi utamanya adalah katarsis komunal dan penguatan identitas kolektif terhadap ancaman spiritual dan fisik.
Pertunjukan Barongan Devil Ungu sering diadakan sebagai ritual ruwatan (pembersihan) desa dari energi negatif, penyakit, atau kegagalan panen. Dengan memanggil entitas yang paling menakutkan (sang 'Devil Ungu') dan menunjukkan bahwa manusia (melalui pawang) dapat mengendalikannya, komunitas merasa aman dan kekuatannya diperbaharui. Ketakutan yang dirasakan penonton saat melihat sang Barongan mengamuk adalah pelepasan kolektif dari ketegangan dan kecemasan sehari-hari.
Ketika penari memakan benda-benda tajam, ini bukan sekadar trik sulap, tetapi demonstrasi kesaktian yang dipercaya mampu menolak bahaya fisik. Ini meyakinkan masyarakat bahwa mereka dilindungi oleh kekuatan yang bahkan lebih kuat dari roh jahat yang mungkin mengganggu ladang atau rumah mereka. Tarian ini, secara paradoks, adalah demonstrasi perlindungan melalui manifestasi ancaman.
Dalam komunitas yang menjalankan Barongan Devil Ungu, terdapat etika spiritual yang ketat. Siapa pun yang berinteraksi dengan Barongan tersebut harus memiliki niat yang murni dan menghormati ritualnya. Pelanggaran terhadap etika ini diyakini dapat membawa dampak buruk, bukan hanya bagi penari, tetapi bagi seluruh desa. Dengan demikian, Barongan ini berfungsi sebagai pengingat visual dan spiritual akan pentingnya tata krama (etika) dan andap asor (kerendahan hati) di hadapan kekuatan kosmis.
Kisah-kisah tentang kegagalan ritual, di mana Barongan tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan kekacauan, diwariskan dari generasi ke generasi. Cerita-cerita ini berfungsi sebagai kode moral yang kuat, menekankan bahwa kekuatan besar selalu datang dengan tanggung jawab spiritual yang besar.
Legenda spesifik mengenai Barongan Devil Ungu sering kali hilang dalam kabut waktu, tetapi banyak komunitas yang mengaitkannya dengan tokoh mitologis yang mengalami transformasi tragis. Salah satu mitos yang paling dominan adalah tentang seorang Kesatria Tertolak.
Mitos mengatakan bahwa Barongan Devil Ungu adalah roh dari seorang ksatria yang sangat sakti namun dikhianati dan dibunuh oleh kerabatnya sendiri. Ksatria ini, dalam kemarahannya yang luar biasa, menolak untuk mencapai moksa. Energinya yang kuat namun gelap kemudian bersemayam dalam topeng Barongan. Warna ungu pada topeng adalah cerminan dari darah bangsawan (ungu) yang tercampur dengan kebencian dan keputusasaan (hitam) saat ia meninggal.
Dalam narasi ini, sang Barongan Devil Ungu tidak hanya menari, tetapi ia menceritakan kembali kisah pengkhianatan abadi. Gerakan agresifnya adalah jeritan kemarahan ksatria yang meminta keadilan, yang hanya dapat ditenangkan melalui ritual persembahan yang tulus. Mitos ini memberikan alasan naratif bagi sifat tarian yang brutal namun bermartabat.
Secara umum, Barongan sering dikaitkan dengan Buto (raksasa) yang berfungsi sebagai penjaga. Barongan Devil Ungu sering diyakini sebagai manifestasi Buto Ijo, tetapi dalam fase evolusi spiritual yang lebih tinggi. Alih-alih hanya Buto Hijau yang serakah dan primitif, versi Ungu ini adalah Buto yang telah mendapatkan pengetahuan gaib, menjadikannya entitas yang lebih berbahaya karena memiliki kecerdasan spiritual. Ini menjelaskan mengapa pembarong harus memiliki persiapan spiritual yang begitu matang untuk mengendalikan entitas yang canggih ini.
Barongan Devil Ungu adalah mahakarya seni ritual Jawa yang menolak untuk disederhanakan. Ia adalah perpaduan unik antara estetika keganasan, kedalaman filosofi Kejawen, dan pengakuan atas keberadaan kekuatan spiritual yang berada di luar batas pemahaman rasional. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk menghadapi bayangan diri sendiri dan mengubah energi paling gelap menjadi sebuah manifestasi seni yang sakral.
Ungu, sang warna misteri, adalah kuncinya. Ia membuka portal antara dunia kita dan alam spiritual. Dan melalui tarian liar sang ‘Devil Ungu’ itulah, warisan kekuatan primal Jawa terus berdenyut, mengingatkan kita bahwa di balik kemegahan budaya, selalu ada lapisan energi yang menunggu untuk dibangkitkan dan dihormati. Konsistensi dalam ritual, pengorbanan spiritual yang dilakukan oleh penari, dan peran sentral para pawang memastikan bahwa Barongan ini akan terus menjadi salah satu tradisi yang paling misterius dan dihormati dalam khazanah kesenian nusantara.
Pelestarian Barongan Devil Ungu bukan hanya tentang menjaga topeng dan gerakan, melainkan tentang menjaga jalur transmisi spiritual yang memungkinkan generasi mendatang memahami bahasa energi yang tidak terucapkan ini. Ini adalah tarian yang abadi, sebuah jeritan keindahan yang berasal dari kedalaman jiwa yang paling gelap.