Dalam khazanah seni pertunjukan tradisional Indonesia, khususnya yang berakar pada budaya Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali, sosok Barongan selalu menempati posisi sentral. Ia bukan sekadar topeng atau properti pentas; ia adalah perwujudan energi, kekuatan spiritual, dan representasi dualitas kosmik. Namun, di antara berbagai jenis Barongan yang dikenal, terdapat satu varian yang menuntut perhatian khusus karena intensitas artistik dan kekhasan ukurannya: Barongan Devil Ukuran 22.
Istilah "Barongan Devil" secara spesifik merujuk pada Barongan yang desainnya secara ekstrem menekankan elemen mengerikan, agresif, dan terkadang bersifat demonik, berbeda dengan Barongan Singo Barong yang lebih fokus pada kemegahan raja hutan. Ciri khasnya meliputi mata yang melotot merah menyala, taring panjang yang menusuk, serta hiasan tanduk (devil horns) yang menonjol dan dramatis. Angka "Ukuran 22" seringkali merujuk pada dimensi kritis Barongan tersebut, seperti lebar rentang rahang atau ketinggian total topeng dalam satuan sentimeter (22 cm), sebuah ukuran yang dipercaya memberikan proporsi ideal untuk mobilitas dan ketegasan ekspresi pementasan. Artikel ini akan menyelami setiap aspek dari mahakarya ini, mulai dari konstruksi material hingga resonansi filosofisnya yang mendalam.
Untuk memahami Barongan Devil, kita harus terlebih dahulu memahami konsep 'iblis' atau 'setan' dalam konteks spiritualitas Nusantara. Berbeda dengan pandangan Barat yang seringkali bersifat monolitik tentang kejahatan, entitas negatif dalam mitologi Jawa dan Bali seringkali dilihat sebagai bagian integral dari keseimbangan alam semesta (Rwa Bhineda). Barongan Devil, dengan ekspresi buasnya, melambangkan kekuatan liar, nafsu, dan energi tak terkendali yang harus diakui, dikendalikan, dan dimanfaatkan, bukan sekadar dihilangkan.
Sosok Barongan dalam pertunjukan Reog atau Jathilan berfungsi sebagai peredam atau penyeimbang. Ketika tarian memanggil roh atau energi tertentu, visualisasi yang menakutkan seperti Barongan Devil berfungsi sebagai wadah untuk energi yang kuat dan sulit dijinakkan. Ukuran 22, yang merupakan proporsi ideal untuk menyeimbangkan bobot dan visual, memastikan bahwa pemanggul (pemain) dapat memanipulasi energi visual tersebut dengan presisi, menghasilkan gerakan yang tidak hanya menakutkan tetapi juga anggun dalam kegarangan.
Dalam banyak tradisi, Barongan Devil dikaitkan dengan makhluk penjaga alam gaib atau Danyang desa yang memiliki watak keras. Penggunaan tanduk yang tegas pada model ini bukan sekadar estetika, tetapi simbol kewaspadaan dan kemampuan untuk menembus batas dimensi. Setiap goresan ukiran pada wajahnya, yang menampilkan otot wajah yang tegang dan sorot mata yang tajam, adalah upaya seniman untuk menangkap dan membekukan energi primal di dalam kayu.
Filosofi Taring dan Tanduk: Taring yang panjang adalah representasi dari insting hewani dan keberanian. Sementara tanduk adalah koneksi vertikal antara dunia manusia dan dunia atas/bawah, menegaskan bahwa kekuatan iblis ini tidak hanya berasal dari bumi, tetapi juga memiliki dimensi kosmik. Pemilihan material untuk tanduk pun krusial, seringkali menggunakan tanduk kerbau air (kebo bule) yang telah melalui proses ritual pembersihan dan penguatan spiritual yang sangat ketat.
Pembuatan Barongan Devil Ukuran 22 adalah proses yang sangat detail, memadukan keterampilan pahat tingkat tinggi, pemahaman material, dan ritualistik. Dimensi 22 cm, yang sering diukur dari pangkal leher hingga ujung tanduk tertinggi (jika Barongan berdiri tegak) atau lebar bukaan rahang utama, menjadi patokan baku bagi para perajin yang ingin Barongannya memiliki karakteristik visual dan akustik yang optimal saat dimainkan.
Kualitas Barongan sangat bergantung pada jenis kayu yang digunakan. Untuk varian Devil yang membutuhkan daya tahan dan kemampuan menahan energi panas, kayu yang paling dicari adalah Kayu Wesi (kayu besi) atau jenis kayu keras lainnya seperti Jati atau Nangka yang sudah tua dan ‘mati ngurak’ (mati alami). Kayu Wesi dipilih karena kepadatan dan kekuatannya, yang memungkinkan detail ukiran yang halus pada bagian taring dan mata tanpa retak, meskipun proses pengerjaannya jauh lebih sulit. Berikut adalah detail kritikal dalam proses pemilihan dan persiapan kayu:
Barongan Devil hampir selalu didominasi oleh warna-warna yang melambangkan kemarahan, keberanian, dan api. Merah pekat, hitam legam, dan sentuhan emas prada menjadi palet utamanya. Proses pewarnaan harus dilakukan berlapis-lapis untuk memberikan kedalaman dan dimensi, sehingga Barongan terlihat ‘hidup’ di bawah pencahayaan panggung yang minim:
Pertama, lapisan dasar hitam legam diterapkan untuk menonjolkan fitur cekung. Kedua, warna merah darah atau merah cabe digunakan untuk area kritis seperti mata, lidah, dan sekitar taring. Merah ini melambangkan Kama (nafsu atau gairah) yang tak terpuaskan. Ketiga, detail gigi, taring, dan tanduk diperkuat dengan sentuhan warna putih tulang atau kuning gading yang kontras. Keempat, sentuhan akhir berupa prada (imitasi emas) diletakkan di bagian hiasan mahkota dan alis, memberikan kesan kemewahan sekaligus kemistisan. Emas di sini melambangkan kekuatan Ilahi yang tetap berada di balik kegarangan penampilan iblis.
Rambut Barongan Devil, yang berfungsi memberikan kesan seram dan dinamis saat bergerak, biasanya menggunakan ijuk hitam atau rambut ekor kuda (bila Barongan tersebut dianggap pusaka). Ijuk dipilih karena kekasarannya dan kemampuannya untuk berdiri tegak, memberikan volume yang dibutuhkan untuk menciptakan siluet kepala yang besar. Rambut ekor kuda lebih disukai pada Barongan koleksi karena kilaunya dan kekuatannya yang tidak mudah rontok, meskipun harganya jauh lebih mahal dan persiapannya lebih rumit.
Pemasangan rambut harus mengikuti kontur wajah dan dahi Barongan. Untuk varian Devil, rambut sering dipotong pendek di bagian dahi dan disisir ke belakang untuk menonjolkan tanduk dan sorot mata yang melotot. Di sisi lain, rambut di bagian pipi dan dagu dibiarkan panjang dan kusut, menambah kesan liar dan tidak terawat, sesuai dengan karakter iblis hutan.
Pengaruh Ukuran 22 pada rambut ini adalah bahwa volume rambut harus proporsional. Jika topeng itu sendiri relatif kompak (22 cm), maka volume rambut tidak boleh terlalu berlebihan sehingga mengurangi fokus pada ukiran pahatan wajahnya. Perajin harus menemukan titik keseimbangan yang sempurna antara dimensi ukiran kayu dan volume ijuk/rambut.
Barongan Devil Ukuran 22 adalah sebuah studi kasus dalam simbolisme. Ia mewakili Bhawana Agung (alam semesta besar) dan Bhawana Alit (alam semesta kecil, yaitu manusia). Setiap elemen visualnya mengandung makna filosofis yang mendalam:
Secara umum, Barongan Devil dikaitkan erat dengan konsep Bhuta Kala—kekuatan alam yang destruktif, yang mendiami dimensi waktu (Kala) dan material (Bhuta). Bhuta Kala bukan sepenuhnya jahat; ia adalah penguasa energi yang harus dihormati dan diberi sesaji agar tidak mengganggu keseimbangan manusia. Ketika Barongan Devil dipentaskan, ia berfungsi sebagai medium untuk memanggil dan mengikat energi ini, memastikan bahwa kekuatannya terkendali dalam lingkup seni pertunjukan.
Penggunaan topeng yang proporsional (Ukuran 22) membantu penari untuk menjaga kontak fisik yang stabil dengan energi ini. Ukuran yang pas memastikan bahwa aura topeng tersebut tidak terlalu besar (yang bisa membebani penari secara spiritual dan fisik) atau terlalu kecil (yang akan mengurangi dampak visualnya). Keseimbangan ini adalah kunci untuk pertunjukan yang sukses, di mana penari harus mampu menjadi 'satu' dengan roh Barongan tersebut.
Palet warna merah dan hitam pada Barongan Devil mencerminkan dualitas yang mendasar. Hitam melambangkan kegelapan, misteri, dan kesucian primordial (sering dikaitkan dengan Dewa Wisnu atau Siwa dalam manifestasi destruktif). Merah melambangkan api, nafsu, dan keberanian yang membara (Kama). Ketika kedua warna ini bertemu dalam Ukuran 22, terciptalah sebuah narasi visual tentang bagaimana keberanian (merah) harus mengakui dan berhadapan dengan misteri kehidupan (hitam).
Detail pada bagian mulut sering diukir sangat dalam, seolah-olah topeng tersebut sedang mengeluarkan auman. Ini adalah simbolisasi dari Sabda Dadi, kekuatan kata-kata atau ucapan yang menjadi kenyataan. Auman Barongan Devil adalah peringatan, sebuah manifestasi suara kosmik yang menuntut perhatian dan penghormatan dari audiens. Proporsi ukuran 22 memungkinkan bukaan rahang yang cukup lebar untuk efek auman maksimal, tanpa mengorbankan integritas struktural ukiran kayu.
Dalam konteks pertunjukan Jathilan, Reog Ponorogo, atau kesenian Barong Bali yang mengadopsi elemen Devil, peran Barongan ini sangat penting. Ia seringkali menjadi antagonis utama atau entitas yang harus 'dijinakkan' oleh tokoh heroik lainnya. Ukuran 22 sangat populer di kalangan penari yang mengutamakan kelincahan dan kecepatan.
Barongan berukuran besar (misalnya Ukuran 30 atau 35) cenderung digunakan untuk adegan yang lebih statis dan membutuhkan kemegahan visual. Sebaliknya, Barongan Devil Ukuran 22 dirancang untuk mobilitas tinggi. Beratnya yang relatif lebih ringan—meskipun masih sangat berat karena padatnya kayu Wesi—memungkinkan penari untuk melakukan gerakan akrobatik yang lebih lincah dan cepat, seperti berlari, melompat, dan mengibas-ngibaskan kepala dengan ritme yang cepat.
Penari yang memilih Ukuran 22 biasanya adalah mereka yang memiliki kemampuan fisik dan spiritual yang prima, karena meskipun ukurannya 'kecil' (relatif terhadap Barong raksasa), intensitas energi yang dimanifestasikan melalui Barongan Devil ini sangat menuntut. Mereka harus mampu menyalurkan energi iblis yang ganas namun tetap mempertahankan kontrol artistik atas tarian mereka.
Kontras Gerakan: Barongan Devil Ukuran 22 sangat efektif dalam menciptakan kontras dramatis. Gerakan yang awalnya cepat dan agresif, tiba-tiba dihentikan oleh pose statis yang intens, menonjolkan taring dan mata merahnya. Proporsi 22 cm memastikan bahwa bahkan dalam gerakan cepat, fitur wajah utama (mata dan tanduk) tetap menjadi fokus utama penonton.
Aspek akustik dari Barongan juga tidak bisa diabaikan. Ketika rahang Barongan dihentakkan, ia menghasilkan suara ketukan kayu yang khas. Pada Ukuran 22, resonansi suara ini seringkali lebih tajam dan melengking dibandingkan Barongan besar, yang menghasilkan bunyi yang lebih dalam dan berat. Suara Barongan Devil yang tajam ini menambah nuansa mencekam dalam pertunjukan, seolah-olah ia sedang mengeluarkan seruan dari alam baka.
Sesi 'trance' (kesurupan) seringkali menjadi puncak dramatisasi. Dalam konteks ini, Barongan Devil, yang secara ritual telah diisi dengan energi tertentu, menjadi katalisator bagi penari lain atau bahkan penonton untuk memasuki kondisi trans. Desain Barongan Ukuran 22, yang secara visual menakutkan, secara psikologis lebih mudah memicu pelepasan emosi dan energi yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi kesurupan tersebut.
Barongan Devil Ukuran 22, terutama yang digunakan oleh sanggar-sanggar ternama atau yang dibuat oleh perajin legendaris, seringkali dianggap sebagai benda pusaka (heritage item) yang membutuhkan perawatan spesifik yang melampaui pemeliharaan fisik biasa. Perawatan ini terbagi menjadi dua aspek: Fisik dan Spiritual.
Karena Barongan terbuat dari kayu dan cat, ia sangat rentan terhadap perubahan suhu, kelembaban, dan serangan serangga. Untuk Ukuran 22 yang detail pahatannya sangat halus:
Apabila Barongan Devil mengalami kerusakan (misalnya patah pada tanduk atau retak pada bagian rahang), perbaikan tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Harus oleh perajin ahli yang memahami dimensi kritis Ukuran 22, agar bobot dan keseimbangan Barongan tidak berubah sedikitpun. Perubahan bobot sekecil apapun dapat mengganggu kinerja penari yang telah beradaptasi dengan proporsi 22 cm tersebut.
Barongan Devil yang sudah diinisiasi melalui ritual dianggap memiliki 'isi' atau roh. Oleh karena itu, ia diperlakukan seperti anggota keluarga atau entitas hidup. Beberapa ritual yang dilakukan secara berkala meliputi:
Pemeliharaan spiritual ini memastikan bahwa Barongan Devil Ukuran 22 tidak hanya berfungsi sebagai topeng yang indah, tetapi juga mempertahankan kekuatannya sebagai jimat pelindung dan media komunikasi spiritual bagi komunitas sanggar tersebut.
Seni pahat Barongan Devil memerlukan penguasaan teknik ukir tiga dimensi yang luar biasa. Berbeda dengan ukiran datar, Barongan harus terlihat meyakinkan dari sudut pandang mana pun saat dipentaskan. Fokus utama pada varian Devil Ukuran 22 adalah menciptakan intensitas ekspresi yang maksimal pada area terbatas.
Mata adalah jendela jiwa Barongan. Pada varian Devil, mata diukir sangat dalam dan menjorok ke luar (melotot), memberikan kesan tatapan yang tajam dan menembus. Untuk mencapai efek ini, seniman menggunakan teknik pahat cekung dan cembung secara simultan. Bagian kelopak mata dibuat tebal dan berkerut, sementara bola mata dibuat sangat menonjol dan dicat merah menyala dengan pupil hitam kecil. Kontras ini penting agar Barongan tetap terlihat menakutkan meskipun jarak pandang jauh.
Pentingnya dimensi 22 cm terasa di sini. Pada ukuran ini, jika mata dibuat terlalu besar, wajah Barongan akan terlihat kartun atau lucu, bukan menakutkan. Oleh karena itu, perajin harus menghitung milimeter untuk memastikan bahwa mata yang melotot tersebut tetap proporsional dengan dimensi keseluruhan wajah yang kompak.
Untuk menekankan sifat iblis yang liar dan tua, kulit Barongan Devil sering diukir dengan tekstur kasar, menampilkan kerutan-kerutan dalam, terutama di bagian dahi dan sekitar hidung. Kerutan ini bukan sekadar detail estetika; mereka melambangkan usia dan pengalaman entitas tersebut, menunjukkan bahwa ia adalah makhluk yang telah ada sejak lama dan memiliki kekuatan kuno.
Proses pemahatan tekstur ini dilakukan dengan menggunakan pisau ukir kecil (sudip) untuk menghasilkan garis-garis tipis dan tidak beraturan. Setelah dipahat, area ini kemudian diolesi cat hitam tipis (washing technique) sebelum cat utama diterapkan, memastikan bahwa kerutan tersebut terlihat gelap dan berbayang, menambah kesan kedalaman yang dramatis.
Dalam beberapa dekade terakhir, permintaan terhadap Barongan Devil dengan proporsi yang ideal (seperti Ukuran 22) telah meningkat signifikan di kalangan kolektor seni tradisional, baik domestik maupun internasional. Objek ini tidak lagi hanya dianggap sebagai properti pertunjukan, tetapi juga sebagai karya seni rupa bernilai investasi tinggi.
Nilai Barongan Devil Ukuran 22 ditentukan oleh beberapa faktor yang kompleks, sebagian besar terkait langsung dengan akurasi dimensi dan integritas spiritualnya:
Kesesuaian Dimensi: Barongan yang benar-benar mengikuti kaidah Ukuran 22 tanpa penyimpangan sedikitpun (dikenal sebagai Barongan Pakar atau standar) memiliki nilai tertinggi. Hal ini membuktikan keahlian perajin dan keseriusan dalam mengikuti tradisi proporsi. Kolektor mencari bukti bahwa proporsi 22 cm ini diukur secara akurat pada titik-titik krusial seperti rentang tanduk atau tinggi total topeng.
Asal Sanggar: Barongan yang berasal dari sanggar legendaris di Ponorogo, Kediri, atau Blitar, yang dikenal memiliki garis keturunan Barongan Devil yang kuat, secara otomatis memiliki nilai historis dan artistik yang lebih tinggi. Setiap sanggar memiliki sedikit perbedaan gaya dalam menginterpretasikan ‘Devil’, tetapi Barongan Ukuran 22 dari sanggar terkemuka selalu mempertahankan intensitas visual yang khas.
Usia dan Sejarah Pementasan: Barongan yang sudah tua dan memiliki sejarah pementasan yang panjang (terutama yang sering mengalami sesi trance) dihargai lebih tinggi karena dianggap memiliki 'isi' atau kekuatan spiritual yang lebih besar. Perajin modern sering mencoba mereplikasi tampilan usang ini, tetapi patina asli dan retakan alami pada kayu Wesi jauh lebih bernilai.
Meningkatnya permintaan koleksi juga membawa tantangan pelestarian. Banyak perajin yang kini memproduksi Barongan Devil Ukuran 22 secara massal tanpa memperhatikan aspek ritualistik dan kualitas kayu yang tepat. Barongan tiruan ini mungkin secara visual menyerupai, tetapi tidak memiliki bobot, kepadatan kayu, atau energi spiritual yang dimiliki oleh Barongan yang dibuat melalui proses tradisional.
Oleh karena itu, bagi kolektor serius, verifikasi terhadap jenis kayu (apakah benar-benar Wesi atau Nangka tua) dan proses ritual yang mengiringi pembuatannya (apakah sudah melalui proses inisiasi atau belum) menjadi langkah wajib. Sebuah Barongan Devil Ukuran 22 yang otentik adalah jembatan antara seni rupa murni, keterampilan teknik ukir, dan kepercayaan spiritualitas Nusantara.
Kesimpulannya, Barongan Devil Ukuran 22 adalah lebih dari sekadar topeng. Ia adalah sintesis sempurna antara mitologi yang mendalam, keterampilan artisan yang ekstrem, dan tuntutan fungsionalitas pertunjukan. Proporsi 22 cm memastikan bahwa kegarangan visual Barongan ini dikemas dalam bentuk yang dinamis dan seimbang, menjadikannya salah satu artefak budaya paling menawan dan intens dari warisan seni pertunjukan Indonesia.