Kesenian Barongan, sebuah manifestasi budaya yang kaya akan simbolisme dan energi primal, telah lama menjadi tulang punggung pertunjukan rakyat di berbagai daerah di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun, di tengah gemuruh tabuhan gamelan yang memacu adrenalin, muncul sebuah elemen performatif yang membawa Barongan melampaui batas tarian tradisional biasa: fenomena Barongan Devil Salto.
Frasa ini mencakup tiga dimensi krusial: Barongan sebagai entitas topeng raksasa yang menakutkan, Devil (Iblis) sebagai representasi chaos, energi spiritual yang tak terkendali, dan Salto sebagai puncak akrobatik, sebuah lompatan melingkar yang menentang hukum gravitasi dan fisik manusia normal. Artikel ini menyelami kedalaman estetika, mitologi, dan analisis gerak di balik pertunjukan ekstrem ini, menyingkap mengapa aksi Barongan Devil Salto menjadi momen sakral sekaligus menegangkan yang dinanti-nantikan penonton.
Untuk memahami Salto yang ekstrem, kita harus terlebih dahulu mengurai identitas Barongan itu sendiri. Barongan, sering disamakan dengan Reog Ponorogo namun memiliki ciri khas lokal yang berbeda-beda, adalah perwujudan kekuatan alam yang liar atau entitas mitologis seperti raksasa (Buto) atau roh penjaga desa (Dhanyang). Bentuknya yang dominan, dengan mata melotot, taring panjang, dan rambut ijuk atau bulu yang tebal, dirancang untuk menimbulkan rasa gentar sekaligus hormat.
Topeng Barongan bukan sekadar properti, melainkan medium penghubung. Dalam konteks pertunjukan tradisional yang masih kental unsur ritualnya, Barongan adalah wadah bagi roh atau entitas tertentu. Prosesi sebelum pertunjukan, yang melibatkan pembacaan mantra, sesajen, dan pembakaran dupa, ditujukan untuk memanggil energi agar 'berdiam' di dalam topeng tersebut.
Peran penari di bawah topeng ini sangat berat. Ia harus memiliki kekuatan fisik prima dan ketahanan mental luar biasa, terutama ketika memasuki fase *trance* atau *ndadi* (kerasukan). Topeng berat yang harus diangkat dan digoyangkan, ditambah lagi dengan tuntutan untuk menampilkan gerakan yang agresif, menuntut seluruh kapasitas tubuh penari.
Konsep 'Devil' dalam Barongan bukanlah iblis dalam pengertian monoteistik Barat, melainkan personifikasi dari *kala* atau *buto* yang melambangkan kekuatan destruktif, hasrat tak terkontrol, dan chaos yang mendahului keteraturan. Ini adalah energi murni yang dilepaskan melalui gerakan tari.
Kehadiran Barongan di panggung selalu dinantikan karena ia adalah pemecah keheningan yang menampilkan keindahan dari kekacauan. Kontras antara ritme gamelan yang terstruktur (Gending) dengan gerakan Barongan yang tiba-tiba, menyentak, dan kadang-kadang tak terduga (terutama saat ndadi), menciptakan dinamika dramatis. Penonton tahu bahwa kedatangan Barongan berarti pintu menuju energi spiritual yang lebih dalam telah terbuka. Kekuatan ini adalah prasyarat utama sebelum Barongan mampu melakukan aksi-aksi fisik yang melampaui batas, termasuk Salto.
Seorang penari yang sudah sepenuhnya dirasuki (ndadi) tidak lagi menari atas dasar kemauan sadar. Mereka bergerak didorong oleh energi internal yang sangat besar. Pada titik inilah, Barongan menjadi "Devil" yang dimaksud; liar, menakutkan, dan memiliki kekuatan melebihi manusia biasa.
Salto (somersault) adalah gerakan akrobatik yang melibatkan rotasi penuh tubuh di udara. Dalam pertunjukan Barongan, Salto bukanlah sekadar atraksi sirkus yang ditambahkan untuk hiburan. Ia adalah klimaks dramatik dan ritualistik yang melambangkan pelepasan total dan penguasaan singkat atas fisik. Salto yang dilakukan oleh Barongan disebut sebagai Barongan Devil Salto karena biasanya dilakukan saat penari berada dalam puncak *ndadi* (trance) dan mengenakan kostum Barongan yang sangat berat dan besar.
Aspek yang paling luar biasa dari Salto ini adalah eksekusinya di bawah beban yang signifikan. Topeng Barongan raksasa, yang terbuat dari kayu, bambu, dan hiasan ijuk/rambut yang berat, dapat mencapai bobot puluhan kilogram. Berat ini ditopang dan digerakkan oleh penari hanya menggunakan gigitan kuat pada kayu penyangga topeng. Membayangkan seorang penari harus menghasilkan daya dorong vertikal yang cukup untuk memutar seluruh tubuhnya, sementara beban berat tersebut menekan leher dan punggungnya, menunjukkan tingkat kesulitan yang ekstrem.
Salto dalam konteks ini dibagi menjadi dua kategori utama:
Penjelasan fisik semata tidak cukup untuk memahami mengapa gerakan ini seringkali berhasil dilakukan dalam kondisi fisik yang begitu tertekan. Di sinilah aspek spiritual (Devil/Chaos) mengambil peran sentral. Dalam keadaan *ndadi*, penari dilaporkan tidak merasakan rasa sakit atau beban fisik secara normal. Energi yang merasukinya dipercaya memberi kekuatan yang melampaui batas fisiologis manusia, memungkinkan loncatan yang lebih tinggi dan rotasi yang lebih cepat.
Psikologi pertunjukan ini menunjukkan bahwa Salto adalah momen pelepasan energi yang terpendam. Setelah melalui serangkaian gerakan agresif, berinteraksi dengan penonton, dan mungkin memakan benda-benda aneh (seperti kaca atau arang, ciri khas saat trance), Salto menjadi katarsis fisik dan spiritual. Itu adalah upaya terakhir dari manifestasi kekuatan untuk membuktikan dominasinya atas fisik dan gravitasi.
Jika Salto berhasil, ini dianggap sebagai konfirmasi bahwa roh yang merasuki (dhanyang atau buto) benar-benar hadir dan kuat. Jika gagal, itu bisa diartikan sebagai roh yang belum sepenuhnya merasuk atau penari yang masih menahan diri.
Di balik tontonan yang menegangkan, terdapat etos pelatihan yang ketat dan pemahaman filosofis mendalam mengenai gerak tari tradisi. Pelatihan Barongan Devil Salto tidak hanya mencakup latihan fisik akrobatik; ia juga melibatkan persiapan spiritual dan pengendalian *prana* (energi vital).
Calon penari Barongan yang ingin menguasai Salto harus menjalani laku spiritual tertentu. Ini termasuk puasa (mutih atau ngebleng), meditasi, dan ziarah ke tempat-tempat yang dianggap sakral. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan membuka saluran energi agar lebih mudah dirasuki oleh kekuatan roh pelindung atau buto yang dipercaya mendiami topeng Barongan.
Latihan fisik mencakup disiplin ketat dalam:
Para penari veteran sering menekankan bahwa teknik Salto yang baik hanya dapat dicapai setelah tubuh dan jiwa selaras dengan energi Barongan. Tanpa koneksi spiritual, tubuh manusia normal akan gagal melawan inersia dan beban kostum.
Estetika Barongan Devil Salto terletak pada kontrasnya. Ini adalah kebrutalan yang terorkestrasi. Ketika Barongan berlari kencang, menabrak penari Jathilan di sekitarnya, dan tiba-tiba melompat, momen di udara itu adalah keheningan yang singkat di tengah badai. Rotasi yang cepat menciptakan ilusi bahwa makhluk itu lepas dari belenggu fisik.
Bulu-bulu ijuk Barongan yang berputar saat Salto, menciptakan efek visual dramatis, seolah-olah pusaran energi sedang terjadi di udara. Pendaratan yang biasanya dilakukan dengan hentakan kuat—kadang-kadang sengaja tidak terlalu rapi untuk menonjolkan sifat liar 'devil'—adalah akhir dari perjalanan singkat melampaui batas fisik.
Momen pendaratan ini diikuti oleh teriakan Barongan atau raungan penonton, menandai bahwa batas antara dunia manusia dan dunia roh telah disentuh, bahkan dipecahkan, oleh aksi akrobatik tersebut.
Seiring waktu, kesenian Barongan menghadapi tantangan modernisasi dan komersialisasi. Barongan Devil Salto, meskipun awalnya terikat erat pada ritual, kini juga menjadi elemen hiburan yang menarik massa. Adaptasi ini menimbulkan perdebatan penting mengenai etika pertunjukan dan keselamatan penari.
Risiko fisik dalam Salto Barongan sangat tinggi. Cedera leher, punggung, dan pergelangan kaki sering terjadi. Dalam konteks tradisional, penari yang *ndadi* biasanya dikelilingi oleh para *warok* atau pawang yang bertugas menjaga keselamatan mereka dan mengendalikan batas-batas trance.
Namun, dalam pertunjukan modern yang bersifat festival atau panggung, tekanan untuk melakukan Salto yang lebih spektakuler dan berbahaya meningkat. Penari mungkin dipaksa melakukan aksi saat kondisi trance belum optimal atau tanpa persiapan spiritual yang memadai, meningkatkan risiko cedera serius. Oleh karena itu, komunitas Barongan kini berupaya menyeimbangkan antara mempertahankan keaslian spiritual dan menjamin keselamatan artis.
Bagi masyarakat Jawa, pertunjukan Barongan adalah microcosm dari kehidupan itu sendiri: perjuangan antara kebaikan (diwakili oleh karakter lain seperti Jathilan) dan chaos (diwakili oleh Barongan). Salto adalah upaya singkat untuk mencapai keseimbangan sempurna sebelum kekacauan kembali mendominasi.
Pengaruh aksi ekstrem Barongan Salto kini merambah ke media sosial dan budaya pop. Dokumentasi video yang viral meningkatkan popularitas Barongan di kalangan generasi muda, namun di saat yang sama, berpotensi mengaburkan makna ritualistiknya. Banyak penonton kini fokus pada aspek sportif dari Salto, melupakan bahwa gerakan tersebut seharusnya lahir dari kondisi *ndadi*.
Meskipun demikian, popularitas ini juga membantu pelestarian kesenian. Dengan visibilitas yang lebih besar, kelompok-kelompok Barongan mendapatkan sumber daya yang lebih baik untuk melatih penari muda, mengajarkan mereka tidak hanya teknik fisik, tetapi juga etika spiritual yang menyertai topeng tersebut. Penekanan diletakkan pada pentingnya menghormati roh Barongan, sehingga kekuatan untuk melakukan Salto yang menantang maut datang sebagai anugerah, bukan sekadar trik mekanis.
Untuk benar-benar menghargai aksi Barongan Devil Salto, kita harus masuk lebih dalam ke analisis biomekanik. Gerakan ini adalah studi kasus unik tentang bagaimana beban eksternal yang tidak seimbang (kepala Barongan yang berat di depan) memengaruhi pusat gravitasi (COG) tubuh manusia saat rotasi.
Rotasi Salto membutuhkan *momentum angular* yang cukup untuk menyelesaikan putaran 360 derajat sebelum kaki menyentuh tanah. Momentum ini dihasilkan pada saat tolakan. Penari harus menanamkan kakinya dengan kekuatan eksplosif, mengkonversi energi horizontal (jika Salto berlari) atau energi vertikal (jika Salto berdiri) menjadi rotasi.
Ketika Barongan melompat, massa topeng yang terpusat di depan cenderung menarik rotasi ke bawah. Penari yang terlatih, melalui kontrol rahang dan leher yang luar biasa, harus mengimbangi efek ini dengan menggerakkan lengan dan inti tubuhnya dengan sangat presisi. Tarikan lutut ke dada (*tuck*) harus dilakukan secepat mungkin di puncak lompatan untuk meminimalkan radius putaran dan memaksimalkan kecepatan rotasi (Hukum Kekekalan Momentum Sudut).
Gamelan, dalam pertunjukan Barongan, bukanlah sekadar latar belakang musik. Ritme yang dimainkan, khususnya tempo yang cepat dan instrumen seperti *kendang* yang memicu adrenalin, berfungsi sebagai penanda psikologis. Penari yang *ndadi* bergerak mengikuti irama ini, dan seringkali, Salto dieksekusi tepat pada puncak crescendo atau jeda dramatis dalam musik.
Sinkronisasi ini menunjukkan bahwa meskipun gerakan itu tampak liar dan spontan (chaos), ia memiliki struktur internal yang diatur oleh musik ritual. Gamelan membantu penari menemukan waktu yang tepat untuk tolakan, ketika energi kolektif penonton dan pemain mencapai titik didih tertinggi, memberikan dorongan psikologis terakhir yang dibutuhkan untuk gerakan ekstrem tersebut.
Barongan Devil Salto berdiri di persimpangan sains fisik dan kepercayaan spiritual. Secara ilmiah, ia adalah prestasi atletik yang menantang; secara budaya, ia adalah bukti bahwa kekuatan roh dapat mengatasi batasan materi. Ketika penari berhasil menyelesaikan Salto dengan mulus dalam keadaan trance, masyarakat melihatnya bukan sebagai keberhasilan atlet, tetapi sebagai intervensi ilahi (atau intervensi roh) yang sesungguhnya.
Analisis biomekanik hanya menjelaskan *bagaimana* gerakan itu mungkin terjadi; spiritualitas menjelaskan *mengapa* penari berani melakukannya dan *darimana* mereka mendapatkan kekuatan tambahan yang diperlukan. Kedua penjelasan ini adalah dua sisi mata uang yang sama dalam memahami kompleksitas kesenian Barongan Devil Salto.
Bagaimana kesenian Barongan Devil Salto dapat bertahan di tengah perubahan zaman? Tantangan utamanya adalah pelestarian otentisitas ritual sambil menarik perhatian generasi baru yang terbiasa dengan hiburan instan dan visual yang memukau.
Pewarisan Barongan Devil Salto membutuhkan komitmen penuh dari generasi muda. Ini bukan hanya warisan gerak tari, tetapi juga warisan spiritual. Para maestro Barongan (Suhunan) saat ini berfokus pada pelatihan holistik: menggabungkan latihan fisik ala akrobat dan atlet modern dengan pendidikan spiritual dan filosofis tentang arti topeng dan entitas Buto yang diwakilinya.
Penting bagi penari muda untuk memahami bahwa aksi Salto adalah puncak dari perjalanan spiritual, bukan titik awal. Mereka harus menghormati aspek 'Devil'—kekuatan liar yang mereka salurkan—dan menganggapnya sebagai tanggung jawab, bukan sekadar alat untuk pamer.
Inovasi dalam pertunjukan Barongan modern seringkali mencakup tata cahaya, tata suara, dan skenografi yang lebih dramatis. Inovasi ini harus berfungsi untuk memperkuat aura mistis dan chaos dari Barongan Devil Salto, bukannya mengalihkannya menjadi pertunjukan olahraga semata.
Beberapa kelompok seni mulai bereksperimen dengan Barongan kontemporer, menggabungkan gerakan Barongan dengan elemen tari modern atau bahkan seni bela diri ekstrem, namun tetap mempertahankan momen kritis *ndadi* sebagai landasan spiritual Salto. Keberhasilan Barongan di masa depan terletak pada kemampuannya untuk berinovasi dalam penyajian, tanpa pernah mengkompromikan inti dari energi trance yang memungkinkan keajaiban Salto terjadi.
Fenomena Barongan Devil Salto bukan hanya kebanggaan lokal; ia adalah monumen bergerak bagi ketahanan budaya Indonesia yang mampu memadukan mitologi kuno, tuntutan fisik ekstrem, dan spiritualitas yang tak tergoyahkan. Setiap putaran Salto adalah deklarasi singkat atas penguasaan chaos, sebuah tarian yang merayakan batas antara hidup dan mati, manusia dan roh, dalam balutan seni pertunjukan yang paling memukau.
Setiap putaran di udara oleh Barongan yang kerasukan adalah pernyataan kuat tentang budaya yang menolak batasan, sebuah tarian abadi antara manusia, roh, dan ambisi untuk melampaui kemampuan fisik, menjadikannya salah satu warisan pertunjukan rakyat yang paling memukau dan berbahaya di Nusantara.
Meskipun sering ditempatkan dalam kategori yang sama, penting untuk membedakan antara Barongan Jawa Tengah/Timur (di luar Ponorogo) dengan Singa Barong dalam Reog Ponorogo. Barongan yang melakukan Salto ekstrem seringkali berasal dari tradisi lokal yang lebih berfokus pada manifestasi roh lokal atau buto penguasa desa (dhanyang) ketimbang narasi sejarah raja-raja seperti Reog. Singa Barong Reog lebih menekankan pada kekuatan dramatis dan estetika yang megah, sementara Barongan ‘Devil Salto’ menonjolkan kekuatan magis dan kekejaman gerak.
Aspek ‘Devil’ atau energi chaos ini tidak dibiarkan lepas sepenuhnya. Dalam setiap pertunjukan, peran pawang atau dukun (sering disebut *gaman* atau *warok*) adalah krusial. Mereka adalah jangkar spiritual yang memastikan bahwa roh yang merasuki Barongan tidak menyebabkan bahaya permanen pada penari atau penonton. Sebelum Salto dilakukan, seringkali pawang akan memberikan isyarat visual atau mantra lisan untuk memastikan bahwa energi yang keluar terkonsentrasi pada gerakan akrobatik, bukan pada agresi yang tidak perlu.
Pengendalian ini sangat penting karena energi *ndadi* adalah pedang bermata dua. Ia memberikan kekuatan untuk Salto, tetapi juga mengancam kesadaran penari. Pawang bertanggung jawab untuk 'memanggil' roh masuk dan, yang lebih sulit, 'mengeluarkannya' setelah pertunjukan usai, memastikan penari kembali ke kondisi sadar dengan selamat, seringkali ditandai dengan ritual memercikkan air atau membacakan doa penutup.
Persiapan perlindungan batin bagi penari Barongan Salto meliputi pemakaian jimat atau rajah tertentu yang dipercaya dapat melindungi dari cedera fisik saat melakukan gerakan berbahaya. Jimat ini diyakini tidak hanya menangkis bahaya, tetapi juga membantu tubuh penari lebih lentur dan kuat, sehingga rotasi Salto menjadi lebih mudah dikuasai. Kepatuhan pada pantangan (larangan) tertentu sebelum pertunjukan juga merupakan bagian integral dari perlindungan batin ini.
Penonton merespons Barongan Devil Salto dengan campuran ketakutan dan kekaguman. Ketakutan muncul dari sifat liar Barongan dan risiko fisik yang nyata. Kekaguman datang dari keberanian penari untuk menyerahkan diri pada energi chaos dan mencapai prestasi fisik yang luar biasa di bawah beban kostum yang mencekik.
Dalam pertunjukan Barongan, Salto selalu diperkuat oleh kehadiran penari lain, terutama Jathilan (penari kuda lumping). Jathilan seringkali berada dalam kondisi trance yang lebih terkendali. Mereka bergerak dalam formasi yang lebih teratur, dan ketika Barongan melakukan Salto, Jathilan seringkali membentuk perimeter, seolah-olah mengawasi dan menahan Barongan agar tetap berada dalam batas-batas panggung. Kontras antara tarian yang lebih 'beradab' (Jathilan) dengan gerakan eksplosif yang 'biadab' (Barongan Salto) adalah inti dari drama pertunjukan tersebut.
Beberapa versi Barongan bahkan mengharuskan Salto dilakukan melewati punggung beberapa penari Jathilan yang sedang berbaring atau jongkok, meningkatkan faktor risiko dan adrenalin penonton. Hal ini menunjukkan bahwa Salto adalah interaksi kolektif, bukan hanya aksi tunggal Barongan.
Penari Barongan Salto sangat terampil dalam menggunakan ruang panggung yang terbatas dan seringkali tidak rata. Berbeda dengan atlet akrobat di gimnasium, panggung Barongan seringkali berupa lapangan desa atau jalanan. Penari harus menghitung jarak lari, titik tolakan, dan pendaratan dengan cepat, terutama karena penglihatan mereka terbatasi oleh topeng raksasa. Keterampilan ini, ditambah dengan kondisi *ndadi*, menunjukkan penguasaan spasial yang luar biasa.
Salto bukan sekadar lompatan ke atas; ini adalah gerakan melingkar yang menuntut tubuh untuk sementara waktu menjadi nol-dimensi di udara, hanya untuk kembali mendarat dengan kuat, menegaskan kembali kehadiran fisik yang besar. Rotasi cepat di udara melambangkan pembebasan total, meskipun singkat, dari gravitasi dan batasan material.
Banyak gerakan yang mendasari Salto Barongan memiliki akar dalam seni bela diri tradisional Jawa, seperti Pencak Silat. Lompatan eksplosif dan teknik jatuh (*roll*) yang diajarkan dalam silat seringkali menjadi fondasi bagi penari yang ingin menguasai akrobat Barongan. Integrasi unsur bela diri ini memperkuat karakter Barongan sebagai entitas yang kuat dan agresif.
Latihan fisik yang keras bagi penari Barongan modern seringkali diadaptasi dari metode pelatihan militer atau atletik, tetapi selalu diselaraskan dengan etika spiritual Jawa. Mereka harus sekuat petarung, selincah penari, dan sepasrah seorang pertapa—semua untuk mempersiapkan momen singkat namun monumental dari Barongan Devil Salto.
Oleh karena itu, ketika Barongan melompat, ia tidak hanya menampilkan tarian, tetapi juga sejarah panjang perpaduan antara seni perang, ritual spiritual, dan ekspresi budaya yang mendalam. Fenomena ini memastikan bahwa Barongan akan terus menjadi salah satu pertunjukan paling dinamis, memikat, dan tak terlupakan dalam khazanah seni tradisional Indonesia.
— Artikel ini disajikan sebagai penghormatan terhadap kekayaan budaya dan keberanian para seniman Barongan. —