Kesenian Barongan, khususnya yang dikenal dengan manifestasi ‘Devil Mata Merah’, adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang paling kaya dan penuh misteri. Bukan sekadar topeng atau tarian, Barongan adalah sebuah narasi visual dan spiritual yang merefleksikan kosmologi masyarakat Jawa Timur. Sosok Barongan—seringkali diidentikkan dengan Singo Barong yang ganas—menjadi perwujudan energi primal, kekuasaan yang tak tersentuh, dan koneksi langsung ke alam gaib.
Dalam konteks Jawa Timur, terutama di wilayah seperti Ponorogo, Kediri, dan Blitar, figur Barongan Mata Merah memiliki signifikansi yang jauh melampaui hiburan. Mata merah menyala bukan sekadar pilihan estetika, melainkan penanda kekejaman, kemarahan yang membara, dan kehadiran entitas spiritual yang kuat (Buto atau Raksasa Kolo). Melalui eksplorasi mendalam, artikel ini akan mengupas tuntas struktur filosofis, sejarah tersembunyi, dan peran vital Barongan Devil Mata Merah dalam memelihara keseimbangan budaya di tengah arus modernisasi.
Sejarah Barongan Mata Merah tidak dapat dilepaskan dari narasi besar kesenian Reog Ponorogo, meskipun Barongan sendiri merupakan entitas yang lebih tua dalam beberapa interpretasi daerah. Figur Barongan adalah manifestasi dari Singo Barong, seekor singa mitologis raksasa yang kepalanya ditutupi bulu merak (khusus Reog) atau ijuk/rambut kuda (untuk Barongan versi Devil/Buto). Namun, interpretasi ‘Devil Mata Merah’ lebih cenderung mengambil akar dari tradisi Buto (Raksasa) atau Raja Kolo, yang merupakan entitas penjaga atau perusak dalam mitologi Hindu-Buddha kuno yang telah diakulturasi ke dalam kepercayaan Jawa.
Pada masa kerajaan Kediri dan Majapahit, penggunaan topeng raksasa atau binatang buas sering kali terkait dengan ritual pengusiran roh jahat atau upacara kesuburan. Singo Barong, dengan kekuatan dan taringnya yang menakutkan, menjadi representasi kekuatan alam liar yang harus ditundukkan atau diselaraskan. Kehadiran mata merah, yang merupakan fokus utama dari entitas 'Devil' ini, secara historis mengacu pada keadaan emosional tertinggi: murka, hasrat tak terbatas, dan kekuatan supranatural yang telah mencapai puncaknya. Warna merah (abrang atau abang) adalah warna penting dalam tradisi Jawa, melambangkan api, keberanian, dan darah kehidupan.
Pada awalnya, banyak topeng Barongan menggunakan mata yang lebih netral atau berwarna putih/kuning gading. Transformasi menuju mata merah menyala terjadi seiring dengan berkembangnya pertunjukan yang menekankan aspek ndadi (trance atau kerasukan). Ketika seorang penari Barongan memasuki kondisi trance, mereka dipercaya dikuasai oleh roh danyang atau entitas lokal yang bersifat ganas dan protektif. Untuk memvisualisasikan energi ganas ini kepada penonton, pembuat topeng mulai menggunakan pigmen merah terang (sering kali dicampur dengan zat alami atau bahkan simbol-simbol ritual) pada bagian mata.
Dalam Barongan versi Jathilan atau Barongan Kediri yang lebih liar, sosok ini harus terlihat mengancam. Mata merah bukan lagi sekadar cat; ia adalah lubang pandangan menuju dunia lain, di mana Batara Kala bersemayam. Kekhasan Barongan Devil Mata Merah terletak pada intensitasnya, sering kali digambarkan dengan garis-garis urat merah di sekitar mata, mempertegas kesan bahwa topeng tersebut sedang dilanda amarah tak terhingga, siap menerkam segala sesuatu yang mengganggu batas suci pertunjukan.
Walaupun Barongan hadir di seluruh Jawa Timur, interpretasi 'Devil Mata Merah' memiliki nuansa berbeda. Di daerah Ponorogo (konteks Reog), Singo Barong lebih dimuliakan sebagai simbol kekuatan Raja Klono Sewandono. Mata merahnya hadir, namun dibalut keagungan bulu merak. Sebaliknya, di daerah Mataraman (Kediri, Tulungagung), Barongan yang disebut Barongan Buto Gedruk atau Barongan Singo Ulung cenderung lebih kasar, lebih primal, dan lebih menekankan aspek 'Devil'. Di sini, mata merah dipandang sebagai ciri khas Buto yang tidak terkendali, penjaga hutan atau penolak bala yang haus darah. Penampilan mereka lebih sering melibatkan ritual kerasukan yang intensif, menjadikan topeng tersebut benar-benar ‘hidup’ dan berbahaya.
Pembuatan topeng Barongan Devil Mata Merah adalah proses yang memerlukan ketelatenan sekaligus pemahaman spiritual mendalam oleh seorang undagi (perajin). Bahan dasar topeng biasanya adalah kayu pilihan, sering kali dari pohon randu atau nangka, yang dipercaya memiliki kekuatan magis atau telah menjalani proses ritual. Kayu harus dipahat sedemikian rupa sehingga menampilkan ekspresi kemarahan yang membatu. Bagian yang paling vital adalah mata.
Untuk mencapai efek ‘Mata Merah’ yang mengerikan, perajin tidak hanya menggunakan cat modern. Secara tradisional, pigmen merah didapatkan dari bahan-bahan alami yang memiliki konotasi spiritual, seperti campuran getah pohon tertentu, tanah merah (lempung), atau bahkan serbuk dari batu merah yang dihancurkan. Beberapa perajin kuno konon menyelipkan mantra atau benda-benda ritual (seperti potongan besi kuning kecil atau rambut macan) di belakang mata atau di rongga hidung topeng, dimaksudkan untuk ‘menghidupkan’ topeng tersebut dan memberinya aura energi negatif yang kuat. Mata merah inilah yang berfungsi sebagai portal visualisasi: ia adalah gerbang di mana roh dapat masuk dan mengambil alih raga penarinya.
Surai (rambut) Barongan Devil biasanya terbuat dari ijuk hitam pekat atau serat daun pisang kering yang diwarnai gelap. Kontras antara rambut hitam gelap yang tebal dan mata merah membara menciptakan visual yang sangat dramatis dan sesuai dengan representasi 'devil' atau buto. Gigi taringnya, yang sering dibuat dari tulang atau kayu keras, selalu ditonjolkan, menyimbolkan kemampuan Singo Barong untuk merobek dan menghancurkan kejahatan.
Warna merah dalam konteks Barongan adalah representasi dari Hawa Nafsu Amarah dan Lust (kemarahan dan hasrat duniawi). Dalam konsep spiritual Jawa, manusia terdiri dari empat nafsu utama (Ambiya, Suwiyah, Mutmainah, dan Luamah) yang dikelilingi oleh sedulur papat lima pancer (empat saudara dan pusat). Merah sering dikaitkan dengan Luamah (nafsu makan, tidur, dan amarah) yang paling sulit dikendalikan. Ketika Barongan menampilkan Mata Merah, ia menunjukkan bahwa energi Buto/Devil tersebut adalah energi yang murni, belum disaring oleh kesadaran manusia. Ini adalah kekuatan yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan, karena hanya kekuatan yang sama primal-nya yang dapat menahan kekuatan jahat lainnya.
Merah juga dikaitkan dengan timur (tempat matahari terbit) dan api. Energi yang keluar dari mata merah Barongan dianggap sebagai panas yang membakar, mampu membersihkan ruang pertunjukan dari roh-roh pengganggu, sekaligus menarik perhatian entitas pelindung. Kualitas visual ini sangat penting dalam pertunjukan Barongan yang bersifat ritual, karena topeng tersebut harus mampu memancarkan aura sakral yang kuat, yang mampu memicu ketakutan sekaligus kekaguman pada penonton.
Barongan Devil Mata Merah tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu ditemani oleh tokoh-tokoh lain seperti Bujang Ganong (Patih yang cerdik dan jenaka) dan Jathil (penari kuda lumping). Kontras antara topeng Barongan yang seram, besar, dan bermata merah, dengan topeng Bujang Ganong yang bermata melotot tetapi berkarakter konyol, memperkuat narasi konflik kosmis. Bujang Ganong seringkali bertindak sebagai 'mediator' antara kekuatan primal Barongan dan dunia manusia. Mata merah Barongan adalah kekejaman murni, sementara tingkah laku Ganong adalah kelincahan duniawi. Dalam pertunjukan, Ganong mencoba menaklukkan atau mengendalikan amarah Barongan Mata Merah, sebuah metafora untuk upaya manusia mengendalikan nafsu dan emosi purba mereka.
Dalam banyak komunitas di Jawa Timur, Barongan tidak dianggap sebagai properti panggung semata, melainkan sebagai benda pusaka yang memiliki isi (kekuatan spiritual). Barongan Devil Mata Merah, khususnya, berfungsi sebagai penjaga (danyang) desa atau area pertunjukan. Sebelum pertunjukan dimulai, serangkaian ritual ketat harus dilakukan, termasuk persembahan (sesaji) seperti kembang setaman, kopi pahit, dan rokok menyan. Sesaji ini ditujukan kepada roh yang bersemayam di dalam topeng, atau kepada roh leluhur yang diyakini mengawal pertunjukan.
Jika ritual ini diabaikan, diyakini bahwa Barongan akan marah, dan amarahnya terwakili melalui intensitas mata merahnya. Kemarahan ini dapat bermanifestasi dalam bentuk kecelakaan selama pertunjukan atau, yang paling ditunggu dan ditakuti, fenomena ndadi yang tidak terkendali. Mata merah adalah janji bahwa kekuatan di baliknya adalah serius dan tidak boleh dipermainkan.
Fenomena ndadi (kerasukan atau trance) adalah inti dari kesenian Barongan yang bersifat ritualistik. Ketika penari mengenakan topeng Barongan Mata Merah, ia secara sadar atau tidak sadar membuka dirinya untuk dimasuki oleh entitas spiritual, biasanya Buto atau roh leluhur Singo Barong. Dalam kondisi ndadi, perilaku penari berubah drastis. Mereka menjadi kebal terhadap rasa sakit, seringkali memakan benda-benda yang tidak lazim (seperti beling, kembang, atau sekam), dan menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa.
Mata merah pada topeng seolah-olah menjadi hidup. Selama ndadi, penonton melihat bukan lagi penari, melainkan perwujudan roh yang marah dan liar. Gerakan penari Barongan yang kerasukan sangat khas: mengamuk, menghentakkan kaki dengan kuat (Buto Gedruk), dan mengeluarkan suara auman yang bukan suara manusia biasa. Tugas pawang (pemimpin spiritual) dalam pertunjukan ini adalah mengendalikan energi yang sangat besar ini, memastikan bahwa 'Devil Mata Merah' menyelesaikan tugas ritualnya tanpa membahayakan penonton atau dirinya sendiri.
Kekuatan Mata Merah tidak hanya bergantung pada visual topeng, tetapi juga pada iringan musik gamelan dan instrumen tradisional. Gendang, kempul, dan terutama terompet Reog (berbentuk panjang dan bersuara melengking) memainkan pola ritmis yang repetitif dan hipnotis. Wirama (ritme) yang cepat dan intens, terutama saat mengiringi adegan pertarungan atau kemarahan Barongan, berfungsi sebagai katalisator untuk ndadi. Irama ini seolah-olah berinteraksi langsung dengan mata merah Barongan, meningkatkan frekuensi spiritual penari hingga mencapai titik kerasukan.
Dalam banyak kasus, perubahan ritme yang tiba-tiba dari lambat ke sangat cepat seringkali menjadi penanda bahwa 'Devil' telah mengambil alih. Musik inilah yang memegang kunci untuk memanggil dan mengusir roh dari tubuh penari, menunjukkan bahwa Barongan adalah seni total yang menggabungkan visual, gerak, dan suara dalam ritual yang sangat terstruktur.
Meskipun akar Barongan sangat ritualistik, di era modern, banyak grup seni telah membawa Barongan Devil Mata Merah ke panggung hiburan. Transisi ini tidak selalu mulus. Ketika Barongan dipentaskan di festival atau acara budaya modern, elemen ndadi sering kali dikurangi atau dihilangkan sama sekali demi keamanan dan format pertunjukan yang lebih bersih. Namun, mata merah tetap dipertahankan. Dalam konteks modern, mata merah melambangkan estetika yang garang dan menarik perhatian, mewakili warisan kekejaman dan kekuatan tradisional tanpa harus melibatkan risiko spiritual yang penuh.
Dalam adaptasi kontemporer, penekanan diletakkan pada koreografi yang akrobatik dan narasi dramatis, sering kali mengadaptasi kisah lokal yang lebih mudah dicerna oleh penonton global, seperti kisah cinta segitiga antara Klono Sewandono, Dewi Songgo Langit, dan Singo Barong. Bahkan dalam versi yang 'dinetralkan' ini, aura intimidatif dari Mata Merah Barongan memastikan bahwa figur tersebut tetap menjadi fokus utama yang menakutkan namun memukau.
Barongan Devil Mata Merah telah menjadi ikon visual yang kuat di media pop, mulai dari film horor, desain grafis, hingga tato. Daya tarik ikonografisnya—topeng Singa besar dengan mata berapi—memiliki resonansi yang universal sebagai simbol kekejaman dan kekuatan mistis. Dalam film-film horor Indonesia, Barongan sering digunakan sebagai elemen yang mengundang ketegangan atau sebagai penjaga yang dikutuk. Kehadiran Mata Merah secara instan memberikan konteks gaib, menghubungkannya dengan dunia lelembut Jawa yang penuh bahaya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun Barongan adalah milik Indonesia, estetika 'Devil Mata Merah' berhasil menembus batas budaya dan berbicara kepada audiens yang lebih luas tentang ketakutan primal dan kekuatan alam yang tak terkendali. Visual ini menjadi representasi budaya yang sangat kuat, seringkali digunakan untuk mengkomunikasikan keunikan dan kekayaan mitologi Jawa Timur.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Barongan Devil Mata Merah di era kontemporer adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan komersial dengan menjaga kesakralan spiritualnya. Ketika topeng Barongan diproduksi secara massal sebagai suvenir atau digunakan sebagai logo tanpa pemahaman mendalam tentang ritual di baliknya, ada risiko devaluasi makna spiritual. Kelompok-kelompok Barongan tradisional sangat berhati-hati dalam memilih siapa yang boleh mengenakan topeng Mata Merah, mengingat risiko ndadi yang selalu ada.
Pelestarian yang efektif membutuhkan edukasi, memastikan bahwa generasi muda memahami bahwa Mata Merah pada Barongan bukan hanya hiasan, tetapi representasi kekuatan Buto yang harus dihormati. Upaya pelestarian ini melibatkan pendokumentasian ritual kuno dan memastikan bahwa prosesi pembuatan topeng masih dilakukan oleh undagi yang memiliki legitimasi spiritual, sehingga Barongan tetap memiliki isi, bukan sekadar cangkang estetika belaka.
Dalam mitologi Jawa, Batara Kala adalah dewa raksasa yang mewakili waktu destruktif dan malapetaka. Ia sering digambarkan memiliki mata merah menyala dan taring tajam. Koneksi Barongan Devil Mata Merah dengan Batara Kala sangat kuat, terutama dalam tradisi Buto Gedruk. Barongan dalam konteks ini berfungsi sebagai manifestasi Batara Kala yang "diminimalisir" atau dikendalikan untuk tujuan ritual tertentu, terutama ruwatan (upacara keselamatan).
Mata merah Barongan adalah cerminan dari api amarah Batara Kala yang bisa melahap siapa saja yang sial. Namun, dengan dipertunjukkannya Barongan secara teratur, masyarakat percaya bahwa mereka sedang "memberi makan" atau menenangkan entitas destruktif ini. Dengan kata lain, mereka membiarkan kekuatan destruktif (diwakili Mata Merah) keluar dalam bentuk seni yang terkendali, sehingga kekuatan tersebut tidak bermanifestasi sebagai bencana nyata di desa.
Paradoksnya, meskipun Barongan Mata Merah tampak jahat dan mengancam, fungsi utamanya seringkali adalah sebagai penolak bala (penangkal bahaya). Kekuatan Buto yang diwakilinya dianggap cukup kuat untuk mengusir roh jahat atau pengaruh negatif lainnya. Dipercaya bahwa roh jahat yang lebih kecil akan lari ketakutan ketika melihat kekuatan yang lebih besar dan lebih ganas, yang diwujudkan melalui aura Mata Merah Barongan.
Saat Barongan menari dengan gerakan yang keras dan mengentak (gedruk), ia diyakini sedang membersihkan tanah tempat pertunjukan. Setiap hentakan kaki adalah upaya pembersihan spiritual. Dalam banyak upacara panen atau selamatan desa, Barongan Mata Merah dipanggil secara khusus untuk memastikan bahwa seluruh komunitas terlindungi dari gangguan spiritual selama siklus hidup berikutnya. Ini menunjukkan bahwa ‘Devil’ dalam Barongan adalah Devil yang berfungsi sebagai penjaga agresif.
Kualitas pahatan dan ukiran pada topeng Barongan Mata Merah juga mempengaruhi intensitas aura gaibnya. Para undagi seringkali menambahkan simbol-simbol tertentu, seperti ukiran naga kecil di samping taring, atau motif ombak api di sekitar mata. Penambahan ini bukan sekadar dekorasi, melainkan upaya untuk menyalurkan energi tertentu. Dalam beberapa kasus yang sangat sakral, topeng Barongan Mata Merah diukir dari kayu yang diambil pada malam bulan purnama atau yang ditemukan di tempat keramat, untuk memastikan bahwa energi primordial sudah terserap ke dalam material sebelum proses pemahatan dimulai. Detail rumit ini, terutama di sekitar mata, memastikan bahwa topeng tersebut tidak hanya tampak ganas, tetapi juga memiliki resonansi spiritual yang otentik, memicu respons emosional dan spiritual yang mendalam dari penonton dan penari.
Penggunaan sisik atau bulu buatan yang disusun sedemikian rupa agar tampak bergerak saat penari menggerakkan kepala juga menambah kesan hidup dan buas. Efek visual Mata Merah yang menonjol di antara kegelapan surai, didukung oleh gerakan fisik yang brutal, menjadikan Barongan Devil Mata Merah sebuah ikon seni pertunjukan yang mampu mengirimkan pesan kekuatan dan ancaman spiritual secara instan, bahkan kepada mereka yang tidak mengerti bahasa Jawa atau konteks mitologinya.
Di wilayah eks-Karesidenan Kediri, Barongan Mata Merah seringkali lebih menekankan aspek prawira atau keberanian, daripada sekadar kekejaman. Meskipun mata merah tetap menonjolkan amarah, ia juga melambangkan semangat juang pahlawan yang tak kenal menyerah. Dalam kisah-kisah lokal Kediri, Barongan sering dikaitkan dengan perjuangan melawan kolonialisme atau melawan raja lalim. Oleh karena itu, Mata Merah di sini dapat diinterpretasikan sebagai "mata amarah rakyat" yang siap bangkit.
Ritual pemeliharaan topeng di Kediri sangat ketat. Topeng Barongan disimpan di tempat khusus, sering kali di atas bilik yang tinggi dan tertutup kain putih, hanya boleh dilihat oleh keturunan pemangku seni atau pawang. Sebelum topeng Mata Merah dikeluarkan, harus ada doa dan puasa dari sang penari. Hal ini memastikan bahwa energi yang dipancarkan oleh Mata Merah Barongan adalah energi yang terkontrol, tidak meledak menjadi kekacauan, melainkan menjadi kekuatan pelindung bagi kelompok kesenian tersebut.
Di Blitar dan Tulungagung, tradisi Barongan sering dihubungkan dengan seni Jaranan (Kuda Lumping). Barongan Devil Mata Merah menjadi tokoh utama yang memimpin pasukan Jaranan. Di sini, karakteristik 'devil' (Buto) sangat kuat karena tarian Jaranan memang dikenal sebagai pertunjukan yang sangat rentan terhadap kerasukan massal. Mata merah berfungsi sebagai pusat energi yang menarik roh-roh liar yang kemudian merasuki penari Jathil atau Jaranan.
Dalam konteks ini, Barongan Mata Merah adalah ‘komandan’ di dunia lelembut. Ia adalah figur otoritas spiritual tertinggi dalam pertunjukan. Kualitas seni pertunjukan di wilayah ini seringkali dinilai dari seberapa intensif dan 'benar' kerasukan yang terjadi—sebuah indikasi bahwa Mata Merah telah berhasil menjalankan fungsinya sebagai jembatan antara dua dunia. Seluruh detail pakaian, mulai dari kain bludru hitam pekat hingga untaian lonceng yang bergemerincing, berfungsi sebagai amplifikasi visual dan audial bagi kekuatan Mata Merah Barongan.
Menjadi penari Barongan Devil Mata Merah memerlukan disiplin spiritual dan fisik yang ekstrem. Penari harus mampu menopang beban topeng yang berat dan menahan gerakan yang sangat keras selama durasi pertunjukan. Lebih dari itu, mereka harus siap secara mental untuk berinteraksi dengan energi yang dipancarkan oleh topeng tersebut. Mereka dilatih untuk tidak takut pada energi Mata Merah, melainkan untuk menyambutnya dan mengarahkannya.
Pelatihan ini mencakup meditasi, puasa, dan pemahaman filosofis tentang karakter Buto/Devil yang mereka perankan. Mereka harus mengerti bahwa Mata Merah mewakili amarah leluhur yang bisa menjadi berkah atau kutukan. Dengan pemahaman ini, penari dapat menampilkan sosok yang tidak hanya menakutkan secara fisik tetapi juga memiliki kedalaman emosional—mereka tidak sekadar meniru Singa, mereka menjadi perwujudan energi kosmik yang primal.
Di era digital, Barongan Devil Mata Merah menghadapi peluang baru untuk melanggengkan ikonografinya. Seniman-seniman muda Jawa Timur mulai menggunakan citra Barongan di dalam karya seni digital, animasi, dan bahkan dalam desain game. Ikonografi Mata Merah yang tajam dan taring yang menonjol sangat cocok untuk visual media baru, memungkinkan Barongan untuk tetap relevan di kalangan generasi Z.
Virtualisasi ini membantu menyebarkan cerita tentang Barongan jauh melampaui batas geografis Jawa Timur. Namun, para pelestari budaya harus memastikan bahwa saat ikon ini divirtualisasi, narasi spiritual dan historisnya tidak hilang. Setiap representasi digital harus disertai dengan konteks bahwa Mata Merah bukan hanya desain keren, tetapi lambang dari kekuatan gaib dan ritual yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Kelangsungan Barongan Devil Mata Merah sangat bergantung pada komunitas dan sanggar seni lokal. Sanggar seni berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir tradisi, tempat di mana ritual pembuatan topeng, iringan musik tradisional, dan pelatihan spiritual penari dipertahankan secara autentik. Di sinilah makna sebenarnya dari Mata Merah diajarkan kepada generasi penerus—bahwa Mata Merah adalah simbol peringatan sekaligus perlindungan.
Inisiatif komunitas untuk mendokumentasikan setiap jenis Barongan, terutama yang memiliki ciri khas 'Devil Mata Merah', sangat penting untuk menghindari hilangnya varian-varian lokal. Melalui festival budaya dan pertukaran seni, Barongan terus mendapatkan panggungnya, membuktikan bahwa meskipun ia adalah simbol yang menakutkan, ia adalah simbol kekayaan budaya yang tak ternilai harganya.
Pada akhirnya, Barongan Devil Mata Merah mengajarkan kita tentang filosofi keseimbangan. Keganasan yang diwakili oleh mata merah dan taring tajam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi. Budaya Jawa percaya bahwa kebaikan tidak dapat ada tanpa adanya potensi kejahatan. Barongan adalah wadah bagi kekuatan yang paling liar dan paling gelap, yang jika dihormati dan dikendalikan melalui seni pertunjukan, akan menghasilkan keindahan, kekuatan, dan perlindungan bagi masyarakat.
Mata merah Barongan akan terus menyala, tidak hanya di atas panggung di desa-desa terpencil Jawa Timur, tetapi juga dalam imajinasi kolektif. Ia adalah pengingat abadi akan kekuatan leluhur, energi yang belum dijinakkan, dan kedalaman spiritual yang mendasari setiap helai ijuk, setiap ukiran kayu, dan setiap hentakan kaki dalam pertunjukan yang penuh makna tersebut.
Keagungan Barongan Devil Mata Merah, dengan segala misteri dan keganasannya, adalah warisan budaya yang harus dijaga. Ia adalah cerminan dari jiwa Nusantara yang kuat, berani, dan sarat akan mitologi purba. Melalui mata merahnya yang menyala, kita melihat sejarah, spiritualitas, dan seni yang tak lekang oleh waktu, terus menantang dan memukau setiap generasi yang menyaksikannya.
Pengkajian mendalam terhadap setiap lekuk dan guratan pada topeng Barongan menunjukkan bahwa ia adalah sebuah peta visual dari alam bawah sadar kolektif masyarakat Jawa Timur, sebuah entitas yang secara simultan menakutkan dan dihormati. Kehadirannya dalam setiap perayaan dan ritual adalah jaminan bahwa kekuatan alam, meskipun ganas (Devil Mata Merah), diakui dan diberi tempat yang layak dalam tata ruang sosial dan spiritual komunitas. Ini adalah inti dari kearifan lokal yang abadi.
***