Wajah Angker Sang Penjaga: Topeng Barongan Devil Kuning yang melambangkan kekuatan alam bawah sadar.
Di tengah kekayaan seni pertunjukan Jawa dan Bali, terhampar sebuah entitas visual dan spiritual yang selalu berhasil menarik perhatian sekaligus menimbulkan ketakutan primordial: Barongan. Namun, di antara berbagai jenis Barongan, terdapat satu sosok yang memiliki kekhasan simbolis yang luar biasa—yaitu Barongan Devil Kuning. Sosok ini bukanlah sekadar topeng atau hiasan pentas, melainkan manifestasi nyata dari konsep filosofis purba yang dikenal sebagai Bhuta Kala, kekuatan alam semesta yang bersifat destruktif namun esensial bagi keseimbangan kosmos. Warna kuning yang mendominasi topeng ini membawa makna yang jauh melampaui estetika semata; ia mewakili emas, cahaya yang terdistorsi, penyakit, atau bahkan energi bumi yang telah terpolusi dan perlu disucikan.
Barongan, secara umum, merupakan penjaga, pelindung, atau bahkan roh leluhur yang diwujudkan dalam rupa satwa mitologis, seringkali singa atau harimau. Tetapi ketika atribut 'Devil Kuning' disematkan, penekanannya bergeser. Ini bukan lagi representasi hewan suci yang jinak, melainkan perwujudan dari raksasa (denawa) atau roh pengganggu (leyak/memedi) yang digambarkan dengan warna kuning pekat, melambangkan unsur panas, gairah tak terkendali, atau bahkan penyakit wabah yang dikenal sebagai pageblug. Pertunjukan Barongan Devil Kuning seringkali diselenggarakan dalam ritual pembersihan desa (ruwatan), di mana ia memainkan peran krusial sebagai penarik dan penetralisir energi negatif yang mengancam ketentraman komunitas.
Untuk memahami kedalaman Barongan Devil Kuning, kita harus menyelam ke dalam inti kepercayaan Jawa dan Bali yang berakar kuat pada dualisme kosmik, atau yang dikenal sebagai Rwabhineda. Dunia tidak hanya terdiri dari kebaikan dan keindahan (Sakala), tetapi juga dari kekejaman, keburukan, dan kekuatan liar (Niskala). Barongan Devil Kuning adalah jembatan antara dua dimensi ini. Ia menari, meraung, dan bergerak dengan energi tak terduga, seolah-olah memanggil segala kekacauan di dunia fisik, hanya untuk pada akhirnya, melalui upacara dan mantra yang menyertainya, mengembalikannya ke dalam keseimbangan yang harmonis. Ini adalah sebuah pertunjukan yang berfungsi ganda: sebagai hiburan dan sebagai ritual esensial untuk menjaga keselamatan spiritual kolektif.
Analisis terhadap setiap ukiran pada topeng, setiap helai surai yang bergerak, dan setiap hentakan kaki penari (jathilan atau jaranan) mengungkapkan lapisan-lapisan narasi yang kompleks. Pembedahan artistik dan filosofis ini akan membawa kita memahami mengapa Devil Kuning begitu vital dalam warisan budaya Indonesia. Ia bukan sekadar hantu yang ditakuti, melainkan pahlawan yang disalahpahami, yang tugasnya adalah membersihkan kegelapan dengan merangkul kegelapan itu sendiri. Keberadaan Barongan Devil Kuning adalah pengingat bahwa kekuatan terliar sekalipun memiliki tempat yang sah dalam tatanan alam semesta.
Asal-usul Barongan, dan khususnya karakter 'Devil Kuning', tidak dapat dilepaskan dari konsep teologis Hindu-Buddha kuno yang meresap kuat di Nusantara, yaitu Bhuta Kala. Dalam kosmologi tradisional, Bhuta Kala adalah kekuatan bawah, energi bumi, dan waktu yang menghancurkan (Kala). Mereka sering digambarkan sebagai raksasa, monster ganas, atau roh-roh kelaparan yang menempati ruang antara manusia dan dewa. Tujuan Bhuta Kala adalah mengganggu, memakan, dan membawa penderitaan, namun kehadiran mereka diperlukan sebagai bagian dari siklus penciptaan dan kehancuran.
Warna kuning pada Barongan Devil Kuning sangat terkait erat dengan pemetaan arah mata angin dalam kepercayaan Jawa dan Bali. Kuning, dalam sistem Nawa Dewata, seringkali dikaitkan dengan Dewa Brahma atau Dewa Iswara di posisi Tengah (pusat) atau Barat. Namun, dalam konteks Bhuta Kala dan roh pengganggu, kuning sering kali dikaitkan dengan penyakit, panas, dan energi yang perlu diwaspadai. Kuning di sini berfungsi sebagai simbol peringatan; ia adalah warna yang mencolok, yang menarik perhatian roh-roh jahat untuk dikumpulkan dan kemudian dienyahkan melalui ritual pertunjukan Barongan.
Jauh sebelum Islamisasi masif, ritual-ritual yang melibatkan peniruan rupa raksasa atau monster telah ada. Topeng-topeng ini digunakan untuk menakut-nakuti roh jahat dari ladang dan desa. Ketika seni pertunjukan semakin berkembang, khususnya di era kerajaan Majapahit dan setelahnya, ritual ini diintegrasikan ke dalam pertunjukan rakyat. Barongan Devil Kuning adalah evolusi dari Badhong atau topeng-topeng raksasa yang dibawa berkeliling desa sebagai bagian dari ritual Ruwatan Murwakala, sebuah upacara penyucian untuk mencegah bencana dan malapetaka yang disebabkan oleh Sang Kala.
Di Jawa Timur, khususnya dalam tradisi Jaranan (Kuda Lumping) atau Reog, Barongan adalah karakter sentral. Barongan Devil Kuning, dengan warna khasnya, sering kali tampil sebagai antagonis yang harus ditundukkan atau sebagai entitas yang mengalami trance (kesurupan) paling intens. Dalam konteks Jaranan, penampilan Barongan yang sangat agresif, dengan tarian yang liar dan gerakan kepala yang membentur tanah, melambangkan perseteruan antara alam manusia yang beradab dan alam spiritual yang tak terjamah.
Deskripsi topeng Devil Kuning dalam konteks ini sangat spesifik. Biasanya terbuat dari kayu yang keras seperti trembesi atau bendo, dicat dengan pigmen kuning cerah atau mustard (yang kadang terlihat kusam karena efek minyak ritual), dan dilengkapi dengan rambut atau surai yang tebal, seringkali terbuat dari serat ijuk atau ekor kuda asli yang diwarnai merah atau hitam. Mata yang melotot, taring yang mencuat tajam, dan lidah yang menjulur panjang merupakan standar visual. Setiap ukiran, betapapun menakutkannya, selalu dibuat dengan ketelitian seniman yang percaya bahwa keindahan mistik harus hadir bahkan dalam representasi keburukan.
Peran seniman pembuat topeng, atau undagi, sangat sakral. Mereka harus melalui serangkaian puasa dan ritual sebelum memulai ukiran. Kayu yang digunakan seringkali dipilih dari pohon yang dianggap memiliki roh, sehingga topeng tersebut sudah "hidup" bahkan sebelum dihias. Prosesi pengisian energi (ngisi) ini memastikan bahwa ketika topeng dipakai, ia tidak hanya menjadi properti, tetapi sebuah wadah bagi roh Bhuta Kala yang disebut ‘Devil Kuning’ untuk bermanifestasi dan menjalankan tugas ritualnya.
Fokus utama Barongan ini terletak pada warnanya. Kuning dalam konteks Nusantara memiliki spektrum makna yang luas. Di satu sisi, kuning keemasan melambangkan kemuliaan, kebijaksanaan, dan status raja. Namun, kuning pucat atau kuning kehijauan sering dikaitkan dengan racun, penyakit (demam kuning), dan kemarahan elementer. Barongan Devil Kuning sering menggunakan warna kuning yang intens, bahkan cenderung oranye kekuningan, yang menggambarkan api atau panas yang berlebihan.
Dalam pertunjukan ruwatan, warna kuning berfungsi sebagai magnet. Ia dipercaya menarik roh-roh jahat (bhuta) yang juga identik dengan warna-warna panas dan gairah yang berlebihan. Ketika roh-roh ini tertarik dan masuk ke dalam topeng (melalui proses kesurupan atau ndadi), penari yang memakai topeng tersebut akan bertingkah liar. Tujuannya adalah membiarkan energi liar ini teraktualisasi sepenuhnya di dalam ruang pertunjukan yang aman, di bawah kendali pawang atau dukun (dhanyang), sehingga energi tersebut habis dan tidak lagi mengganggu desa.
Selain cat kuning, material pendukung memainkan peran krusial. Surai yang melingkari kepala Barongan Devil Kuning harus terbuat dari bahan alami, seringkali dikombinasikan antara rambut kuda yang disamak dan serat tanaman tertentu yang dipercaya memiliki kekuatan mistik. Berat topeng, yang bisa mencapai puluhan kilogram, juga sengaja dibuat berat. Berat ini bukan hanya tantangan fisik bagi penari, tetapi juga berfungsi sebagai pemberat spiritual, memastikan bahwa roh yang masuk ke dalamnya dapat tertahan dan terkendali selama ritual.
Taring dan gigi pada Barongan Devil Kuning selalu ditonjolkan. Taring yang panjang melengkung ke atas, seringkali berjumlah empat (dua atas dan dua bawah), mewakili kekuatan yang menghancurkan dan kemampuan untuk merobek dimensi. Keempat taring ini dapat diinterpretasikan sebagai representasi empat penjuru mata angin yang dikuasai oleh Bhuta Kala, yang mana Barongan ini bertugas menertibkan mereka di pusat kosmos.
Gerakan tarian Barongan Devil Kuning sangat berbeda dengan tarian istana yang anggun. Gerakannya impulsif, mendadak, dan seringkali brutal. Ini mencakup gerakan kepala yang menghentak-hentak (menggoyangkan surai dengan keras), gerakan tubuh yang merunduk-runduk menyerupai binatang buas yang sedang marah, dan lompatan-lompatan tinggi yang tak terduga.
Gerak ini didukung sepenuhnya oleh iringan Gamelan yang spesifik. Musik untuk Barongan Devil Kuning haruslah memiliki ritme yang cepat, dominan pada instrumen perkusi seperti kendang dan gong yang dipukul dengan keras (gebyar). Jenis irama ini, yang sering disebut gending pengiring ndadi, berfungsi untuk memicu kondisi trance pada penari. Ketika penari memasuki keadaan trance (kesurupan), mereka dipercaya telah menyerahkan tubuh mereka kepada roh Barongan, dan inilah puncak dari pertunjukan ritual tersebut.
Dalam kondisi kesurupan, Barongan Devil Kuning mungkin melakukan aksi-aksi ekstrem, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau membakar diri (tanpa terluka). Aksi-aksi ini bukan sekadar trik, melainkan demonstrasi dari kekuatan supranatural yang telah dikendalikan. Melalui penyaluran energi destruktif ini, masyarakat desa merasa aman karena mereka telah "memberi makan" Bhuta Kala, sehingga roh-roh pengganggu tidak lagi meminta tumbal dari warga.
Kontras yang menarik adalah interaksi Barongan Kuning dengan karakter lain, seperti Jathilan (penari kuda lumping). Barongan Kuning sering mengejar dan menyerang Jathilan, yang melambangkan serangan kekacauan terhadap tatanan. Namun, pada akhirnya, pertarungan ini berakhir dengan penaklukkan atau ritualisasi, menegaskan bahwa kekacauan (Kuning) hanya bersifat sementara dan selalu dapat diatur kembali oleh kekuatan spiritual yang lebih tinggi.
Di masa lalu, ketika penyakit menular (pageblug) menyerang desa, atau ketika terjadi kekeringan berkepanjangan yang mengancam pertanian, masyarakat tradisional Jawa dan Bali mencari cara spiritual untuk mengatasinya. Di sinilah peran Barongan Devil Kuning menjadi sangat penting. Ia bukan dewa penyembuh, melainkan agen pembersihan yang brutal.
Pageblug sering diinterpretasikan sebagai ulah dari roh jahat atau manifestasi fisik dari ketidakseimbangan kosmik yang parah, yang disimbolkan oleh warna kuning (sakit, layu). Pertunjukan Barongan Devil Kuning diadakan untuk mengusir roh-roh ini secara langsung. Dengan membuat representasi fisik dari sumber kekacauan itu sendiri (topeng Kuning), masyarakat berharap roh-roh tersebut akan masuk dan terikat pada topeng, yang kemudian dapat "dinetralisir" atau "dipersembahkan" kepada alam. Ritual ini adalah bentuk Ruwatan Massal, di mana seluruh desa berpartisipasi dalam penyucian kolektif.
Prosesi dimulai dengan sesajen (persembahan) yang detail dan rumit, disajikan khusus untuk Sang Bhuta Kala. Sesajen ini seringkali mencakup makanan mentah, jeroan, darah (simbolis), dan benda-benda yang melambangkan kekacauan. Tujuannya adalah memuaskan nafsu Sang Kala. Setelah roh diyakini puas dan terikat pada topeng, Barongan Kuning akan menari dengan intensitas tinggi hingga jatuh pingsan (sadar). Keadaan pingsan ini melambangkan kekalahan atau penenangan roh jahat, yang kemudian meninggalkan desa dengan damai.
Filosofi paling mendasar yang diusung oleh pertunjukan Barongan Devil Kuning adalah harmoni antara Niskala (dunia gaib, tak terlihat) dan Sakala (dunia nyata, terlihat). Barongan Kuning hidup di batas kedua dunia tersebut. Ia adalah entitas Niskala yang dipaksa menjadi Sakala melalui topeng dan tubuh penari. Penampilannya yang garang dan liar adalah cerminan dari bagaimana kekuatan Niskala beroperasi: destruktif, tak terduga, dan penuh energi.
Melalui pertunjukan ini, masyarakat belajar untuk tidak mengabaikan sisi gelap eksistensi. Kekacauan bukan untuk ditolak, melainkan diakui dan diintegrasikan. Dalam pandangan kosmologi Jawa, jika Bhuta Kala diabaikan, ia akan menyerang tanpa ampun. Tetapi jika dihormati dan disalurkan melalui seni dan ritual (seperti Barongan Devil Kuning), kekuatannya dapat dialihkan menjadi proteksi. Ini adalah seni pengelolaan energi primal.
Setiap penari Barongan yang sukses harus memiliki pengendalian diri yang luar biasa, bahkan saat berada dalam kondisi trance. Ada garis tipis antara dikuasai total oleh roh dan mengendalikan energi roh untuk tujuan ritual. Inilah yang membedakan penari Barongan yang dihormati (yang dapat mengelola energi Kuning) dengan penari biasa. Mereka adalah mediator yang berisiko tinggi; mereka berani merangkul kegilaan demi kewarasan komunitas.
Di tengah modernitas yang semakin merangsek, Barongan Devil Kuning menghadapi tantangan adaptasi. Fungsi ritualnya perlahan bergeser menjadi fungsi seni pertunjukan dan komersial. Di kota-kota besar atau di panggung festival budaya, Barongan Kuning mungkin lebih dilihat sebagai atraksi visual yang memukau daripada upacara pembersihan desa yang sakral.
Namun, pergeseran ini tidak sepenuhnya menghilangkan makna asli. Banyak kelompok seni pertunjukan Barongan masih mempertahankan elemen-elemen ritual, seperti melakukan persembahan kecil sebelum pentas, atau memilih tanggal pementasan berdasarkan perhitungan hari baik (petungan Jawa). Ini adalah upaya untuk menjaga ‘kesaktian’ atau aura mistis dari topeng tersebut, memastikan bahwa Devil Kuning tetap menjadi entitas yang dihormati, meskipun ia sekarang tampil di hadapan audiens yang lebih sekuler.
Dalam konteks seni rupa, Barongan Devil Kuning menjadi inspirasi tak terbatas. Seniman kontemporer sering menggunakan motif wajah kuning, taring tajam, dan surai liar untuk mengekspresikan kritik sosial, terutama tentang kekacauan politik atau korupsi. Warna kuning yang dulu melambangkan penyakit spiritual desa, kini dapat melambangkan penyakit moral masyarakat modern. Topeng yang tadinya berfungsi mengusir roh jahat, kini berfungsi sebagai cermin untuk menghadapi "roh jahat" dalam diri manusia dan institusi.
Upaya konservasi Barongan Devil Kuning menuntut regenerasi. Pelatihan penari dan pembuat topeng tidak hanya fokus pada teknik fisik (tari dan ukir), tetapi juga pada pemahaman filosofi yang mendalam. Generasi muda perlu memahami mengapa Barongan ini harus berwarna kuning, mengapa gerakannya harus liar, dan mengapa ada sesajen sebelum pertunjukan. Tanpa pemahaman konteks ini, Barongan Kuning hanya akan menjadi kostum kosong, kehilangan daya magisnya.
Pelestarian juga melibatkan dokumentasi Gamelan pengiring yang spesifik. Setiap daerah memiliki gaya iringan gebyar yang berbeda untuk memanggil Barongan Kuning. Dokumentasi musikal ini penting agar nuansa mistis dan kemampuan untuk memicu trance tetap terjaga, membedakannya dari musik pertunjukan biasa.
Gerakan liar Barongan Devil Kuning menciptakan suasana mistis yang intens selama upacara ruwatan.
Barongan Devil Kuning adalah salah satu mahakarya tak tertandingi dalam warisan budaya Nusantara. Ia melampaui sekadar pertunjukan seni. Ia adalah dokumen sejarah, risalah filosofis, dan praktik spiritual yang mengajarkan kita pelajaran penting tentang eksistensi: bahwa kegelapan dan cahaya, penyakit dan kesehatan, kekacauan dan keteraturan, semuanya adalah bagian integral dari satu kesatuan kosmik.
Kuning yang garang pada topeng Barongan bukanlah warna setan yang harus dimusnahkan, melainkan energi yang harus dikenali, dikelola, dan disalurkan. Melalui tarian yang intens dan musik yang memekakkan, Barongan Kuning memberikan izin kepada masyarakat untuk menghadapi ketakutan terdalam mereka, untuk memanggil Bhuta Kala, dan pada akhirnya, untuk menenangkan mereka. Ini adalah proses katarsis sosial dan spiritual yang membuat budaya Jawa dan Bali begitu tangguh dan kaya akan makna.
Di masa depan, meskipun konteks sosiologis berubah, kebutuhan akan Barongan Devil Kuning akan tetap relevan. Ketika dunia modern menciptakan bentuk-bentuk kekacauan baru (kerusakan lingkungan, kecemasan sosial), simbolisme Barongan Kuning dapat diinterpretasikan kembali sebagai mekanisme untuk menghadapi kegelapan kolektif tersebut. Topeng kuning, taring yang mengancam, dan surai yang bergoyang-goyang adalah pengingat bahwa keharmonisan sejati hanya dapat dicapai setelah kita berani menatap langsung ke wajah sang Iblis Kuning, yang ternyata adalah cerminan dari kekuatan alam semesta yang tersembunyi.
Warisan Barongan Devil Kuning adalah warisan tentang keberanian untuk merangkul dualitas. Selama masyarakat Nusantara masih percaya pada kekuatan Niskala dan Sakala, selama mereka masih menghargai irama kendang yang memanggil roh, dan selama mereka masih mengakui pentingnya pembersihan spiritual, maka raungan Barongan Devil Kuning akan terus bergema melintasi desa-desa, menjaga keseimbangan antara yang terlihat dan yang tak terlihat, antara yang suci dan yang liar.
Karakteristik Barongan Devil Kuning, terutama yang bersifat raksasa atau denawa (setan/raksasa dalam mitologi Hindu), memiliki akar yang sangat dalam. Bukan sekadar Barong biasa yang diselimuti warna kuning, melainkan representasi langsung dari entitas yang secara fundamental berlawanan dengan dewa-dewa penguasa. Dalam kisah pewayangan, raksasa seringkali dihubungkan dengan sifat tamak, marah (krodha), dan nafsu tak terbatas (kama). Warna kuning cerah, yang sering digunakan secara berlebihan dalam topeng ini, dapat dihubungkan dengan representasi sifat-sifat keemasan yang salah kaprah—nafsu kekayaan atau kekuasaan yang membutakan.
Dalam beberapa tradisi Jaranan di wilayah Jawa Timur, Barongan Kuning digambarkan sebagai perwujudan dari Patih Jaran Goyang, atau bahkan versi yang lebih ganas dari Singo Barong yang telah dikutuk. Kisah ini sering kali menceritakan bagaimana seorang tokoh yang gagah perkasa jatuh ke dalam dosa kesombongan, dan sebagai hukuman, ia berubah menjadi raksasa buas dengan kulit yang menguning (penyakit spiritual). Transformasi ini berfungsi sebagai narasi moral: bahkan kekuatan terbesar pun bisa dirusak oleh kelemahan batin, dan manifestasi fisik dari kerusakan ini adalah Barongan Devil Kuning yang menakutkan.
Aspek okultisme dalam pembuatan Barongan Kuning juga patut disoroti secara mendalam. Topeng yang dianggap paling ‘ampuh’ adalah yang dibuat dari kayu yang diambil pada malam hari tertentu, sering kali malam Jumat Kliwon, dan dibentuk tanpa menggunakan paku besi—semua sambungan harus menggunakan pasak kayu atau serat alami. Proses pewarnaan kuning juga sering melibatkan ramuan tradisional yang dicampur dengan minyak wangi khusus (misalnya minyak cendana atau minyak misik) dan abu dari dupa yang telah dibakar selama meditasi. Ini semua dilakukan untuk memastikan bahwa roh yang dipanggil untuk mendiami topeng adalah roh yang ‘kuat’ dan ‘berat’, yang mampu menahan dan mengumpulkan energi negatif dalam skala besar.
Studi mengenai Gamelan pengiring Barongan Devil Kuning mengungkapkan kerumitan sinkronisasi antara bunyi dan kondisi trance. Ada beberapa komposisi (gending) yang secara khusus diperuntukkan bagi Devil Kuning, seringkali disebut Gending Sabuk Geni (Irama Sabuk Api) atau Gending Kala Sewu (Irama Seribu Kala). Ritme ini dicirikan oleh penggunaan kendang ciblon yang sangat cepat dan improvisatif, serta intervensi mendadak dari gong besar yang memberikan efek kejut.
Tujuan dari ritme yang kacau ini adalah untuk meniru kondisi mental yang tidak stabil. Bagi penari, irama ini berfungsi sebagai portal. Saat musik mencapai puncaknya, frekuensi vibrasi dipercaya membuka gerbang bagi roh Kuning untuk masuk. Jika Gamelan berhenti mendadak, roh dapat terperangkap atau menjadi bingung, yang bisa berbahaya bagi penari. Oleh karena itu, musisi Gamelan dalam pertunjukan Barongan Kuning memegang peran yang sama pentingnya dengan pawang; mereka adalah juru kunci yang mengendalikan siklus kegilaan dan kesadaran.
Setiap instrumen memiliki peran dalam narasi Barongan Kuning. Misalnya, Saron dan Peking (instrumen berbilah logam) memainkan melodi dasar yang berulang (melambangkan tatanan yang stabil), sementara kendang dan gong berinteraksi untuk menciptakan gangguan (melambangkan Bhuta Kala). Ketika Barongan Kuning menari dengan liar, ia menari di antara tatanan dan kekacauan musikal ini, secara visual dan akustik mereplikasi konflik kosmik yang sedang terjadi.
Dalam konteks Jawa lama, penyakit tidak hanya disebabkan oleh faktor fisik, tetapi juga spiritual. Penyakit seperti demam tinggi, muntaber, atau gangguan jiwa, sering dikaitkan dengan serangan Dhanyang (penjaga tempat) atau roh kelaparan. Barongan Devil Kuning, sebagai manifestasi kuning (penyakit), adalah ‘antidot’ homeopati. Dengan mewujudkan penyakit itu sendiri, masyarakat berharap dapat menyembuhkannya.
Jika seorang anggota masyarakat menderita penyakit berkepanjangan, terkadang Barongan Kuning dipanggil untuk melakukan ritual penyembuhan pribadi. Barongan akan 'menghabiskan' atau 'menjilat' penyakit tersebut, yang secara simbolis berarti Barongan Kuning membawa penyakit itu kembali ke alamnya. Tindakan ini merupakan cerminan dari kepercayaan bahwa Bhuta Kala tidak selalu berniat jahat, tetapi hanya ingin makan; jika mereka diberi makan (baik berupa sesajen atau penyakit yang diderita manusia), mereka akan puas dan pergi.
Oleh karena itu, wajah Barongan Kuning yang menakutkan, dengan taring dan mata merahnya, harus dilihat bukan sebagai gambaran kejahatan murni, melainkan sebagai sosok yang kelaparan secara abadi. Dalam ritual penyembuhan, penari (yang sudah trance) mungkin akan menggerakkan topengnya untuk menyentuh orang yang sakit, seolah-olah mengisap energi negatif yang terkandung dalam penyakit tersebut. Kekuatan penyembuhan ini didasarkan pada prinsip pertukaran energi yang sangat purba dan magis.
Keseluruhan narasi Barongan Devil Kuning adalah sebuah pengajaran abadi mengenai siklus kehidupan, kematian, dan regenerasi. Topeng kuning ini adalah simbol vitalitas yang keliru, energi bumi yang salah tempat, dan sebuah entitas yang haus pengakuan. Melalui ritual Barongan, kekacauan dialihkan, dihormati, dan diubah kembali menjadi harmoni yang memastikan kelangsungan hidup komunitas. Inilah mengapa Barongan Devil Kuning tetap menjadi salah satu ikon mistis yang paling kuat dan dihormati di Nusantara.
Kajian lebih lanjut tentang teknik ukiran kayu yang digunakan pada Barongan Kuning menunjukkan adanya praktik pengeboran dan penajaman yang sangat spesifik untuk bagian mata dan mulut. Lubang mata harus cukup besar untuk pandangan, tetapi juga cukup kecil untuk membatasi pandangan, yang konon membantu penari memasuki kondisi trance. Bagian rongga mulut sering dibuat dengan ruang resonansi internal untuk memperkuat suara gerungan dan raungan yang dikeluarkan oleh penari, menciptakan efek akustik yang lebih menakutkan dan menguasai panggung. Kayu Barongan Kuning sering kali diwarnai dan diolah sedemikian rupa sehingga seolah-olah topeng tersebut berkeringat atau mengeluarkan lendir, memberikan kesan bahwa ia adalah makhluk hidup yang basah dan liar.
Hubungan antara Barongan Devil Kuning dengan air juga signifikan. Meskipun warnanya adalah kuning (api/panas), banyak ritual Barongan yang diakhiri dengan pembersihan di sungai atau mata air suci. Aksi pencelupan Barongan ke dalam air ini melambangkan proses pendinginan atau netralisasi dari energi panas yang telah terkumpul selama pertunjukan. Air berfungsi sebagai pemurni, mengembalikan keseimbangan kosmik setelah Devil Kuning menyelesaikan tugasnya mengumpulkan kekacauan. Bahkan, beberapa versi Barongan Kuning di daerah pesisir dibuat dengan ornamen kerang atau elemen laut, menunjukkan adaptasi mitologi Bhuta Kala dengan lingkungan geografis setempat, meskipun warna kuning tetap menjadi inti visualnya.
Diskusi tentang Barongan Devil Kuning tidak akan lengkap tanpa menyentuh aspek 'kepercayaan' yang melekat pada topeng itu sendiri. Bagi banyak komunitas, Barongan bukan hanya warisan leluhur, tetapi juga pusaka yang diyakini memiliki kekuatan wingit (sakti atau angker). Pusaka ini diwariskan turun-temurun, dan seringkali ditempatkan di tempat khusus (punden) atau rumah sesepuh desa. Perawatan pusaka ini meliputi ritual pemandian (jamasan) pada tanggal-tanggal tertentu, pemberian sesajen, dan komunikasi spiritual reguler. Jika Barongan Kuning diabaikan, dipercaya bahwa ia akan 'marah' dan menimbulkan kesialan atau penyakit. Hal ini menegaskan bahwa Devil Kuning, meskipun tampak menakutkan, adalah anggota keluarga spiritual yang harus dihormati dan dipelihara.
Dalam ranah etnografi, Barongan Kuning juga sering dianalisis sebagai alat kontrol sosial. Ketika masyarakat merasa tertekan oleh konflik internal, kegagalan panen, atau ancaman eksternal, pertunjukan Barongan memberikan katarsis kolektif. Semua rasa takut dan frustrasi disalurkan ke dalam tarian liar yang dipimpin oleh entitas Kuning. Setelah kekacauan ritual ini usai, komunitas merasa segar kembali dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan perspektif yang lebih tenang. Kekuatan Barongan Devil Kuning terletak pada kemampuannya untuk mengorganisir dan menyalurkan ketakutan, menjadikannya energi yang dapat diatur, bukan ditolak.
Penggunaan istilah "Devil Kuning" sendiri mungkin merupakan akulturasi bahasa kolonial atau pengaruh Westernisasi yang menekankan aspek "setan" atau "iblis". Dalam konteks Jawa murni, istilah yang lebih tepat mungkin adalah Raksasa Kuning atau Bhuta Kala Kuning. Namun, istilah "Devil Kuning" kini sudah populer dan efektif dalam menekankan sifatnya yang liar, tidak terikat, dan berbahaya jika tidak dikendalikan. Apapun penyebutannya, esensi dari Barongan ini tetap sama: ia adalah manifestasi kekuatan bawah yang diperlukan untuk menciptakan keseimbangan di atas.
Setiap detail pada topeng Barongan Kuning, mulai dari bulu mata yang terbuat dari ijuk kasar, hingga kumis yang panjang dan kaku, semuanya dirancang untuk memproyeksikan keganasan. Kumis seringkali melambangkan sensitivitas Barongan terhadap lingkungan spiritual, sementara bulu mata yang tebal memberikan efek dramatis pada sorot mata merahnya. Dalam kondisi pencahayaan obor atau lampu minyak, topeng Barongan Kuning yang bergerak cepat akan tampak seperti api yang melalap, menekankan kembali simbolisme panas dan energi yang diwakilinya.
Peran pawang (penghubung spiritual) dalam mengawal Barongan Devil Kuning adalah kunci utama keselamatan pertunjukan. Pawang harus memiliki energi spiritual yang jauh lebih besar daripada roh Barongan itu sendiri. Mereka menggunakan mantra (japa) dan berbagai benda pusaka (seperti cemeti atau keris) untuk memastikan bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh penari tidak mengambil alih sepenuhnya dan menyebabkan bahaya permanen. Pawang bertindak sebagai 'rem' spiritual, mengizinkan kecepatan maksimum dari tarian liar, tetapi siap untuk menghentikannya dalam sekejap mata. Seluruh rangkaian proses ini, dari persiapan hingga penenangan, adalah salah satu praktik spiritual kolektif yang paling mendebarkan dan kaya makna di seluruh kepulauan Indonesia.