Barongan, sebagai salah satu manifestasi seni pertunjukan tradisi di Jawa Timur, kerap kali diasosiasikan dengan sosok Raja Singa yang agung dan heroik. Namun, di sudut-sudut wilayah tertentu, terutama di lingkungan yang masih kental dengan kepercayaan leluhur dan praktik spiritual, muncul terminologi yang jauh lebih gelap dan intimidatif: Barongan Devil Krajan. Istilah ini bukan sekadar variasi artistik, melainkan sebuah penanda entitas spiritual dan pusaka yang memiliki daya magis, diyakini sebagai wujud manifestasi energi kaotik atau 'devil' (iblis/setan) yang ditundukkan dan diikat dalam bingkai pertunjukan. Barongan jenis ini sering kali menyimpan sejarah panjang yang melibatkan ritual, perjanjian gaib, dan tirakat ketat dari para pemiliknya atau pawang (*dhukun*).
Ilustrasi Simbolis Topeng Barongan Devil Krajan, Mencerminkan Kekuatan Gaib yang Terikat dalam Seni.
Untuk memahami kedalaman entitas ini, kita harus membedah tiga komponen utama dalam namanya. Barongan secara umum merujuk pada topeng singa besar dalam Reog, simbol kekuatan Raja Klonosewandono. Namun, penambahan kata Devil (setan atau iblis) mengubah konteksnya dari representasi heroik menjadi representasi kekuatan primordial yang destruktif atau chaotic. Ini bukan berarti Barongan tersebut adalah pemujaan iblis, melainkan menunjukkan bahwa energi yang dimanifestasikan adalah energi yang sangat liar, sulit dikendalikan, dan berada di luar batas normal kesadaran manusia.
Komponen ketiga, Krajan, adalah kunci lokalisasi. Dalam bahasa Jawa, *krajan* sering diartikan sebagai ‘pusat kerajaan’ atau ‘pusat desa’—wilayah yang paling tua, yang menjadi tempat bermulanya permukiman, dan sering kali dianggap sebagai lokasi paling sakral atau paling angker di sebuah area. Barongan yang menyandang nama 'Krajan' mengindikasikan bahwa benda tersebut berasal dari pusat spiritual atau sejarah yang sangat kuat, sering kali dihubungkan dengan keramat peninggalan leluhur atau bahkan situs kerajaan kuno yang telah hilang. Ini memberikan legitimasi spiritual yang luar biasa, tetapi juga membawa tanggung jawab ritualistik yang berat.
Barongan yang berlabel 'Krajan' hampir selalu dikaitkan dengan narasi bahwa topeng atau kostumnya mengandung material yang diberkahi atau pernah disimpan di tempat-tempat yang dikeramatkan. Tempat-tempat ini bisa berupa makam kuno, petilasan, atau gua-gua pertapaan. Energi 'Devil' dalam Barongan ini, menurut keyakinan, adalah hasil dari pengikatan atau penaklukkan entitas gaib yang bersemayam di wilayah Krajan tersebut. Ritual penaklukkan ini biasanya dilakukan melalui puasa, meditasi, dan mantra khusus yang disebut *mantra pamungkas*, menjadikannya sebuah pusaka hidup.
Filosofi Pengendalian Kaos: Istilah 'Devil' (Setan) di sini tidak selalu merujuk pada konsep Iblis Barat, melainkan merujuk pada Butho atau Dyah yang memiliki sifat amarah (kemarahan) dan lobha (keserakahan)—kekuatan yang dibutuhkan untuk mencapai kekebalan dan ketahanan fisik dalam pertunjukan, yang diwujudkan melalui fenomena *jathilan* atau *ndadi* (kesurupan).
Berbeda dengan Barongan biasa yang cenderung menampilkan ekspresi gagah, Barongan Devil Krajan dirancang untuk memancarkan intimidasi. Ciri khasnya meliputi:
Proses pembuatan Barongan Devil Krajan tidak sekadar kerajinan tangan. Ia adalah ritual penciptaan pusaka. Kayu yang digunakan haruslah kayu pilihan yang diambil dari pohon yang dianggap keramat (misalnya, pohon trembesi tua di area makam). Sebelum dipahat, kayu tersebut harus melalui proses puasa dan wiridan (zikir) oleh pembuatnya (undhagi).
Pewarisan Barongan Devil Krajan adalah proses yang sangat selektif dan rahasia. Ia tidak bisa diwariskan kepada sembarang orang. Calon penerima harus memiliki garis keturunan spiritual yang jelas atau harus menjalani serangkaian tirakat yang menguji mental dan spiritualnya, termasuk puasa mutih berhari-hari, tidur di area keramat, dan menguasai mantra pemanggil energi 'devil' tersebut. Kegagalan dalam proses pewarisan ini dipercaya dapat menyebabkan malapetaka bagi sang pewaris maupun komunitasnya.
Setiap goresan pada Barongan tersebut, setiap simpul pada ijuknya, dan setiap ikatan pada topengnya, semuanya dipercaya mengikat entitas gaib. Kekuatan mistisnya tumbuh seiring usia Barongan, menjadikannya benda yang bukan hanya seni, melainkan wadah (wadah pusaka) bagi energi non-fisik yang ganas.
Barongan Devil Krajan tidak bisa dimainkan layaknya properti panggung biasa. Setiap kali hendak dipentaskan, rangkaian ritual ketat harus dipenuhi. Ini dimulai dengan semedi (meditasi) oleh pawang utama dan para penari. Kemudian, dilanjutkan dengan penyajian sesaji (persembahan) yang spesifik, yang berfungsi sebagai 'makanan' bagi entitas yang bersemayam dalam Barongan.
Sesaji untuk Barongan Devil Krajan biasanya meliputi: kopi pahit kental tanpa gula (melambangkan kerasnya tirakat), kembang setaman yang harus dipilih dari tujuh jenis bunga, rokok kretek tanpa filter (rokok pusaka), dan yang paling penting, daging mentah atau darah ayam cemani. Keberadaan sesaji ini bukan hanya tradisi, tetapi sebuah perjanjian damai agar energi 'devil' yang dipanggil tetap berada dalam kendali dan tidak menyerang para penonton atau penari lain secara destruktif.
Puncak dari pertunjukan Barongan Devil Krajan adalah ketika penari Jathil (penari kuda lumping) atau bahkan penari Barongan itu sendiri mengalami ndadi atau kesurupan. Dalam konteks Barongan Devil Krajan, tingkat kesurupan ini jauh lebih intens dan ganas dibandingkan pertunjukan Reog biasa.
Manifestasi Puncak Energi: Penari yang Mengalami Trance Akibat Pengaruh Kekuatan Barongan Devil Krajan.
Penari yang ndadi di bawah pengaruh Barongan Devil Krajan dapat menunjukkan perilaku yang sangat agresif: memakan beling, mengupas kulit kelapa dengan gigi, atau bahkan menunjukkan kekuatan fisik di luar batas normal. Ini dipercaya sebagai tanda bahwa entitas 'devil' telah merasuki dan menguji ketahanan spiritual penari. Pawang (dhukun) memiliki peran vital untuk memastikan bahwa proses ndadi ini tetap terkendali dan tidak berlanjut menjadi kekacauan fatal.
Di balik kengerian penampilan, Barongan Devil Krajan adalah pelajaran tentang pengendalian. Kekuatan ganas (devil) yang dipanggil harus dijinakkan dengan kekuatan spiritual yang lebih tinggi. Setiap gerakan dan irama Gamelan (terutama irama *Gending Jathilan*) adalah mantra ritmis. Sang Pawang selalu membacakan wirid-wirid tertentu, seringkali dalam bahasa Jawa kuno yang disebut basa Kawi, untuk memastikan entitas tersebut tidak lepas dari ikatan topeng. Wirid ini adalah pagar gaib yang membatasi radius kerusakan spiritual dan fisik.
Dalam pandangan Jawa-Hindu klasik, konsep dualisme, atau Rwa Bhineda (dua yang berbeda namun saling melengkapi), sangat relevan. Barongan standar (mewakili Bima atau keberanian) adalah kekuatan baik, sedangkan Barongan Devil Krajan mewakili sisi yang diperlukan namun berbahaya: energi kaos, kegelapan, dan kebuasan yang belum tersentuh peradaban.
Kehadiran 'Devil' bukanlah penolakan terhadap Tuhan, melainkan pengakuan bahwa dalam jagad (semesta), kekuatan destruktif ada dan harus diakui serta dikelola. Pertunjukan Barongan Devil Krajan adalah upaya komunitas untuk menghadapi dan 'mengolah' kekuatan gelap tersebut, mengubahnya dari potensi bencana menjadi tontonan yang mendidik dan mengingatkan. Keindahan pertunjukannya terletak pada garis tipis antara kendali dan kekacauan total.
Mengapa Krajan? Karena pusat permukiman (Krajan) adalah tempat di mana manusia berusaha menciptakan harmoni. Untuk menciptakan harmoni yang kokoh, mereka harus memahami apa itu kekacauan. Barongan Devil Krajan yang berasal dari Krajan menjadi simbol perlindungan. Ia seolah berkata, "Kami tahu kekuatan tergelap ada di sini, di pusat kami, tetapi kami mampu mengendalikannya dan menggunakannya untuk memperkuat diri kami." Ini adalah manifestasi dari power with caution, kekuatan dengan kehati-hatian.
Walaupun istilah Barongan Devil Krajan dapat ditemukan di berbagai wilayah, manifestasinya memiliki nuansa lokal yang berbeda-beda. Kekuatan yang diikat dalam topeng seringkali disesuaikan dengan mitos lokal di wilayah Krajan tersebut.
Di Krajan yang terletak dekat hutan besar (Babad Alas), Barongan Devil Krajan cenderung mengikat roh penjaga hutan yang buas, seringkali diasosiasikan dengan siluman macan atau harimau spiritual yang memiliki kekuatan untuk mengganggu hasil panen. Topeng Barongan di sini seringkali lebih menyerupai predator hutan daripada singa klasik, dengan mata yang sipit dan pola loreng yang samar-samar. Ritual pemanggilannya melibatkan asap kemenyan yang sangat banyak dan suara teriakan yang menyerupai auman hutan.
Tirakat yang dilakukan oleh kelompok Krajan Timur ini sangat berat, melibatkan pantangan memakan hasil bumi tertentu dan larangan untuk berbicara dengan orang asing selama masa puasa. Kepercayaan ini mengakar kuat bahwa jika pantangan dilanggar, roh hutan akan 'marah' dan mengakibatkan Barongan kehilangan kendali, bahkan melukai anggota kelompok atau penonton secara permanen. Penguasaan spiritual (ngelmu) di sini diukur dari seberapa tenang seorang pawang saat Barongan sedang dalam puncak keganasannya.
Barongan Devil Krajan di wilayah pesisir memiliki asosiasi yang berbeda. Energi 'devil' yang diikat adalah energi laut yang ganas, seperti ombak besar atau buaya penunggu muara. Topengnya mungkin berwarna kebiruan atau kehijauan gelap, sering dihiasi dengan sisik atau elemen air. Kekuatan yang dimanifestasikan seringkali berhubungan dengan ketahanan fisik yang luar biasa terhadap air atau api, menyimbolkan kekuatan elemen.
Ritual pesisir sering melibatkan pelepasan sesaji ke laut atau muara sebelum pertunjukan. Mantra yang digunakan berfokus pada nyai loro (Ratu Selatan) atau dewa-dewa laut purba, meminta izin agar kekuatan ganas tersebut dapat digunakan di daratan. Keunikan dari Barongan Pesisir adalah suara Gamelan yang lebih cepat dan berirama ombak (wirama ombak segara), memicu kesurupan yang lebih cair dan cepat, namun juga lebih sulit diprediksi.
Peringatan Mistik: Barongan Devil Krajan yang asli dari Krajan tertentu sangat jarang dipertunjukkan di luar wilayah asalnya. Jika dipentaskan, ia memerlukan ritual "permisi" (kulonuwun) yang sangat kompleks kepada roh penjaga di tempat pementasan baru, memastikan tidak ada bentrokan energi yang fatal.
Dari sudut pandang ilmu jiwa kontemporer, fenomena *ndadi* dalam Barongan Devil Krajan dapat dijelaskan sebagai kondisi trance kolektif yang diperkuat oleh sugesti, irama repetitif gamelan, dan aroma kuat dari sesaji (misalnya kemenyan). Namun, dalam konteks lokal, penjelasan ini dianggap terlalu dangkal. Masyarakat meyakini bahwa proses *ndadi* adalah transmisi energi murni. Ketika penari mengenakan atribut atau berinteraksi langsung dengan topeng Barongan Devil Krajan, ia secara harfiah membuka jalur komunikasi ke entitas yang diikat di dalamnya.
Transmisi energi ini menuntut kesiapan fisik dan mental yang paripurna. Seorang penari yang secara spiritual lemah akan mudah tumbang dan sakit setelah pertunjukan. Hanya penari dengan jagat rohani (dunia spiritual) yang kuat yang mampu menampung energi Devil Krajan, menggunakannya untuk pertunjukan tanpa dihancurkan oleh kekuatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pertunjukan Barongan bukan hanya tentang seni tari, tetapi ujian spiritual berkelanjutan.
Gamelan, dalam konteks Barongan Devil Krajan, bukanlah sekadar musik pengiring. Ia adalah medium utama yang memicu dan mengendalikan trance. Instrumen seperti kendang (gendang) memainkan irama yang berdenyut, meniru detak jantung primal yang memanggil roh. Gong besar, yang suaranya dalam dan bergaung, berfungsi sebagai penanda dimensi, menandakan kapan batas antara dunia nyata dan dunia gaib menipis.
Ada gending-gending spesifik (disebut gending sesaji) yang hanya dimainkan saat hendak memanggil kekuatan Devil Krajan. Gending ini memiliki frekuensi suara yang diyakini secara mistis dapat membuka gerbang dimensi lain. Para penabuh Gamelan (nayaga) harus memiliki fokus spiritual yang sama kuatnya dengan pawang, sebab kesalahan irama sedikit saja dapat mengganggu proses kesurupan dan menyebabkan 'devil' tersebut bertindak di luar skenario yang telah ditentukan.
Di era modern, Barongan Devil Krajan menghadapi tantangan besar. Tuntutan pertunjukan yang lebih 'ramah' dan isu-isu keselamatan publik sering kali mengharuskan kelompok untuk mengurangi intensitas ritual dan manifestasi *ndadi*. Beberapa kelompok 'Krajan' terpaksa membuat replika Barongan yang lebih aman (disebut Barongan Tirtayasa) untuk pentas komersial, sementara Barongan pusaka yang asli hanya dikeluarkan untuk ritual desa atau acara yang sangat sakral.
Kontroversi muncul ketika Barongan Devil Krajan yang asli digunakan di luar konteks ritual. Penonton yang tidak memahami kedalaman spiritualnya sering kali menganggapnya sebagai sekadar atraksi horor atau trik panggung, yang melukai perasaan para penjaga tradisi. Penjagaan terhadap narasi bahwa ini adalah pusaka, bukan hanya properti, menjadi sangat penting untuk menjaga integritasnya.
Tantangan terbesar adalah regenerasi spiritual. Ilmu dan tirakat untuk mengendalikan Barongan Devil Krajan membutuhkan komitmen seumur hidup yang sulit dipenuhi oleh generasi muda yang terpapar budaya global. Para pemuda seringkali tertarik pada sisi pertunjukannya (wiraga) tetapi enggan menjalani tirakat berat (wirasa) yang diperlukan untuk menguasai entitas di dalamnya.
Maka, banyak kelompok Krajan yang kini fokus pada dokumentasi lisan dan tertulis, mencatat mantra, sejarah, dan tata cara sesaji secara rahasia. Ini adalah upaya terakhir untuk memastikan bahwa jika pewarisan fisik terputus, setidaknya pewarisan pengetahuan (ngelmu) tetap terjaga. Mereka berharap generasi mendatang, meskipun hidup di tengah teknologi canggih, tetap dapat mengakses dan menghormati kekuatan kuno yang terikat dalam Barongan tersebut.
Setiap Barongan Devil Krajan yang dianggap pusaka memiliki mantra pemanggil spesifik, yang dikenal sebagai Aji Pamungkas Krajan. Mantra ini biasanya sangat panjang, diulang-ulang, dan harus dibaca dalam kondisi 'bersih' (suci dari hadas besar dan kecil, serta telah berpuasa). Struktur umum mantra tersebut seringkali dimulai dengan penghormatan kepada empat elemen (air, angin, api, tanah), lalu kepada leluhur yang menurunkan pusaka, dan diakhiri dengan perintah langsung kepada entitas 'devil' untuk masuk dan memanifestasikan kekuatannya melalui tubuh penari.
Contoh frasa yang sering dijumpai, meskipun tersamarkan dalam bahasa Kawi, adalah seruan kepada Sedulur Papat Limo Pancer (Empat Saudara dan Pancer/Pusat) dan Sang Hyang Bayu (Dewa Angin), meminta kekuatan alam agar tubuh penari menjadi media yang kuat. Mantra ini harus diucapkan dengan inten-inten (niat) yang kuat; tanpa niat yang murni dan tirakat yang cukup, mantra tersebut diyakini tidak akan berfungsi, atau bahkan berbalik menyerang pembacanya.
Barongan Devil Krajan jarang berdiri sendiri. Ia selalu ditemani oleh pusaka pelengkap dan jimat pengaman. Pusaka pelengkap bisa berupa keris tua, tombak kecil (cundrik), atau cambuk (pecut) yang digunakan oleh pawang untuk mengendalikan 'devil' yang sedang ndadi. Cambuk ini bukan hanya alat fisik, melainkan saluran energi yang telah diisi dengan mantera penjinak.
Jimat pengaman (rajah kalacakra atau semacamnya) biasanya disematkan pada kostum penari Jathil yang paling rentan kesurupan, atau bahkan diselipkan di dalam rongga topeng Barongan. Fungsi jimat ini adalah sebagai penyaring, memastikan energi yang masuk ke penari adalah energi yang 'terikat' dan bukan energi liar dari lingkungan sekitar. Tanpa jimat pengaman ini, risiko kecelakaan spiritual menjadi sangat tinggi.
Sejarah Barongan Devil Krajan seringkali lebih tua daripada sejarah Reog modern yang dipopulerkan. Beberapa versi Krajan meyakini bahwa Barongan mereka adalah turunan langsung dari ritual pra-Hindu atau pra-Islam, di mana kekuatan singa adalah representasi dari penguasa alam liar yang harus dipuja agar tidak mengganggu manusia. Barongan jenis ini sering ditemukan di desa-desa yang berlokasi di perbatasan wilayah bekas Kerajaan Majapahit atau Singasari, berfungsi sebagai simbol kekuasaan dan proteksi teritorial.
Aspek 'devil'nya mungkin muncul pada masa transisi agama, di mana entitas lokal yang dianggap dewa oleh agama lama kemudian direinterpretasi sebagai 'setan' atau 'butho' oleh ajaran baru. Namun, alih-alih dihilangkan, kekuatan tersebut diintegrasikan dan ditundukkan, menunjukkan superioritas spiritual dari pawang yang baru.
Pada masa kolonial Belanda, Barongan Devil Krajan memainkan peran rahasia. Pertunjukan ini sering digunakan sebagai kedok untuk pertemuan-pertemuan pemberontakan. Kondisi ndadi yang tak terduga dan penuh kekerasan sering membuat Belanda takut dan enggan mengganggu, sehingga Barongan menjadi medium komunikasi dan pelampiasan kemarahan kolektif terhadap penjajah.
Pada periode ini, mantra dan ritualnya semakin diperketat dan dirahasiakan, tujuannya ganda: menjaga kekuatan spiritual Barongan dan menghindari penangkapan oleh tentara kolonial. Setiap kelompok Barongan Devil Krajan dari Krajan tertentu memiliki narasi heroik rahasia tentang bagaimana leluhur mereka menggunakan Barongan tersebut untuk melawan musuh, baik musuh fisik (kolonial) maupun musuh gaib (gangguan spiritual).
Di wilayah Krajan, Barongan ini berfungsi sebagai penjaga moral dan ketertiban. Kekuatan yang ganas (devil) yang ditunjukkan dalam pertunjukan menjadi pengingat bagi masyarakat: bahwa kekacauan ada dan bisa manifestasi kapan saja, dan hanya disiplin, tirakat, dan kepatuhan pada nilai-nilai leluhur yang dapat menjinakkannya. Jika sebuah Krajan mengalami musibah atau kekeringan, seringkali mereka akan mempertunjukkan Barongan Devil Krajan, bukan sebagai hiburan, tetapi sebagai ritual tolak bala, memohon keseimbangan kembali dari kekuatan alam.
Pada akhirnya, Barongan Devil Krajan adalah warisan spiritual yang menguji kedalaman jiwa manusia. Kekuatan wirasa (rasa, batin, spiritualitas) dari pemain dan pawang jauh lebih penting daripada wiraga (gerak fisik) dan wirama (irama musik). Memainkan Barongan ini adalah komitmen seumur hidup untuk menjaga energi kaotik agar tetap berada dalam harmoni kosmik. Mereka yang berhasil menguasai Barongan Devil Krajan dianggap telah mencapai tingkat spiritual yang sangat tinggi, mampu menundukkan iblis dalam dirinya sendiri sebelum menundukkan iblis di dalam topeng.
Topeng dan kostum itu adalah pusaka hidup, sebuah kontrak abadi antara dunia manusia dan dunia gaib, yang terus dihormati dan dipelihara melalui darah, keringat, dan tirakat di pusat-pusat tradisional yang disebut Krajan. Keberadaannya adalah bukti bahwa kebudayaan Jawa Timur tidak pernah lari dari kegelapan, melainkan memilih untuk merangkul dan mengendalikannya.