Barongan Devil: Menguak Mitos, Ritual, dan Energi Mistis dari Buta Kala yang Dimanifestasikan

Kepala Barongan Devil Visualisasi topeng Barongan dengan mata merah menyala dan taring tajam, melambangkan Buta Kala.

I. Pendahuluan: Menyelami Kedalaman Aspek 'Devil' dalam Barongan

Seni pertunjukan Barongan, yang kaya akan dinamika gerak dan irama magis, seringkali dipandang sebagai tontonan rakyat biasa. Namun, di balik topeng yang berhiaskan rambut singa atau harimau yang menjuntai, tersimpan sebuah dimensi spiritual yang gelap, primal, dan sarat akan kekuatan supranatural. Dimensi inilah yang kerap diasosiasikan dengan frasa barongan devil—sebuah istilah yang menunjuk pada manifestasi energi negatif, roh liar, atau entitas bawah tanah yang dalam mitologi Jawa dikenal sebagai Buta Kala.

Barongan bukanlah sekadar drama tari; ia adalah arena pertemuan antara dunia sadar dan alam gaib. Ketika penari mulai memasuki kondisi trance atau kesurupan, tontonan tersebut berubah menjadi ritual komunikasi dengan kekuatan yang melampaui logika manusia. Aspek 'Devil' dalam konteks ini tidak selalu merujuk pada konsep Iblis dalam teologi monoteistik, melainkan pada energi destruktif, liar, dan tak terkendali dari alam semesta (Buta Kala) yang harus diseimbangkan dan diarahkan melalui ritual.

Eksplorasi terhadap sisi gelap Barongan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai kosmologi Jawa dan Bali, di mana dualisme (Rwa Bhineda) antara kebaikan (Dharma) dan kejahatan (Adharma) adalah prinsip fundamental kehidupan. Barongan, melalui kesurupan dan atribut visualnya yang menyeramkan, menjadi wadah bagi ekspresi Adharma, yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan kosmis. Artikel ini akan membedah secara rinci bagaimana 'devil' ini dimanifestasikan, dikendalikan, dan dimaknai dalam ekosistem budaya Barongan tradisional.

II. Akar Filosofis dan Mitologi Buta Kala

Untuk memahami Barongan sebagai 'Devil', kita harus menelusuri akarnya pada konsep mitologi Jawa dan Bali Kuno. Buta Kala adalah entitas yang mewakili energi alam liar, kekuatan bumi, dan waktu yang tak terhindarkan. Mereka adalah raksasa, monster, atau roh-roh penjaga yang membutuhkan sesajen dan penghormatan. Dalam pertunjukan Barongan, terutama di Jawa Timur yang dipengaruhi kuat oleh tradisi Reog dan Jaranan, Barongan adalah medium untuk memanggil dan mengendalikan energi Buta Kala ini.

2.1. Dualisme Kosmis (Rwa Bhineda)

Filsafat Rwa Bhineda mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta tercipta dari dua kutub yang berlawanan dan saling melengkapi: putih dan hitam, siang dan malam, baik dan buruk. Dalam konteks Barongan, Barong adalah representasi dari kebaikan (Dharma), namun ia selalu berhadapan atau bahkan mengandung potensi musuhnya, yang dalam konteks Barongan Leak atau celeng (babi hutan) sering kali merepresentasikan Buta Kala yang agresif. Ketika penari kesurupan, yang terjadi adalah manifestasi energi Buta Kala yang kemudian dimanifestasikan melalui gerak tarian yang brutal, non-linier, dan seringkali penuh risiko fisik. Ini adalah pertunjukan keseimbangan: semakin kuat energi 'devil' yang masuk, semakin besar pula kekuatan pawang (dukun) untuk mengendalikannya.

Manifestasi ini bukanlah kekosongan spiritual, melainkan sebuah pertukaran energi yang sangat teratur dalam kerangka ritual. Barongan devil menjadi simbol pengorbanan dan penyeimbangan, di mana energi negatif diizinkan untuk 'berkunjung' ke dunia manusia, merasakan sesajen, dan kemudian dikembalikan ke alamnya, membersihkan desa dari segala bentuk malapetaka atau wabah yang mungkin diakibatkan oleh energi Buta Kala yang tidak dihormati.

2.2. Hubungan dengan Leak dan Ilmu Hitam

Khususnya di wilayah yang kental dengan budaya mistis seperti Banyuwangi atau bagian timur Jawa, Barongan sering dikaitkan dengan tradisi Leak (penyihir atau roh terbang yang mencari tumbal). Meskipun Barongan secara formal adalah seni pertunjukan yang sakral, teknik untuk mencapai kesurupan seringkali melibatkan mantra dan ajian yang bersinggungan langsung dengan praktik ilmu hitam atau *ngèlmu* yang diwariskan secara turun-temurun. Kualitas 'devil' ini diperkuat oleh penggunaan jimat, pusaka, atau benda-benda ritual lain yang diyakini menyimpan energi entitas tertentu. Beberapa varian Barongan sengaja menggunakan topeng yang secara visual menyerupai Leak atau Rangda, mempertegas fungsi Barongan sebagai penjelmaan kekuatan gaib yang menakutkan.

Peran Leak dalam konteks ini sangat esensial karena ia mewakili sisi gelap dari kekuatan spiritual yang mampu merubah wujud dan mencari korban. Ketika penari Barongan kesurupan, gerakannya seringkali meniru tingkah laku makhluk buas atau Leak yang sedang marah, menguji batas antara hiburan dan bahaya nyata. Inilah yang membuat tontonan Barongan Devil begitu memikat namun juga menakutkan bagi masyarakat setempat.

III. Anatomi Pertunjukan: Ritual Pemanggilan dan Kesurupan Massal

Sisi 'devil' dari Barongan mencapai puncaknya pada momen kesurupan (trance). Ini bukan peristiwa spontan, melainkan hasil dari rangkaian ritual, musik, dan pengarahan spiritual yang ketat. Seluruh proses ini dirancang untuk membuka portal bagi energi Buta Kala agar dapat merasuki raga penari.

3.1. Musik Gamelan dan Irama Pemanggil

Instrumen musik (gamelan) memiliki peran vital sebagai katalisator trance. Irama yang digunakan untuk memanggil roh berbeda dengan irama untuk tarian biasa. Irama ini biasanya disebut *Gending Janturan* atau *Gending Pambuko*, ditandai dengan tempo yang cepat, repetitif, dan volume yang keras. Suara kenong, gong, dan terutama kendang yang dipukul dengan intensitas tinggi menciptakan getaran resonansi yang secara psikologis maupun spiritual membius penari.

Getaran sonik ini menciptakan kondisi hipnotis massal, bukan hanya pada penari utama tetapi juga pada pemain pendukung, termasuk pembarong atau penari kuda lumping yang mengelilingi. Musik adalah bahasa roh; melalui pola ritmis tertentu, pawang atau penabuh dapat 'mengundang' Buta Kala untuk hadir. Intensitas musik meningkat seiring dengan mendekatnya momen kerasukan, menciptakan atmosfer ketegangan yang nyaris mencekik.

3.2. Peran Pawang dan Mantan yang Sakral

Pawang (dukun atau juru kunci) adalah tokoh sentral dalam pertunjukan Barongan Devil. Mereka bertindak sebagai jembatan, negosiator, dan pengendali antara dunia manusia dan dunia roh. Sebelum pertunjukan dimulai, pawang melakukan ritual suguh (memberi sesajen) untuk meminta izin dan memagari lokasi agar roh yang diundang adalah roh yang 'terkendali' dan bukan roh liar yang dapat membahayakan. Mantra (doa atau jampi) yang diucapkan pawang adalah kunci untuk membuka dan menutup portal spiritual.

3.3. Fenomena Kesurupan (Trance) yang Brutal

Ketika trance terjadi, sifat 'devil' Barongan termanifestasi secara fisik. Penari yang tadinya lemah lembut bisa berubah menjadi sosok yang sangat kuat, kebal terhadap rasa sakit, dan menunjukkan perilaku agresif yang luar biasa. Ini mencakup menggigit benda-benda keras (kaca, ayam hidup, atau besi), berguling di tanah, dan melakukan gerakan akrobatik berbahaya.

Fase kesurupan ini adalah inti dari daya tarik Barongan Devil. Penonton menyaksikan batas antara manusia dan alam gaib runtuh. Energi Buta Kala yang masuk mengambil alih fungsi tubuh dan pikiran, membuat penari bertindak murni atas dorongan naluriah primal. Meskipun terlihat menakutkan, dalam pandangan spiritual, ini adalah momen katarsis massal, di mana energi yang terpendam dalam masyarakat dilepaskan melalui medium penari yang kesurupan.

IV. Simbolisme Visual dan Estetika Kekuatan Gelap

Estetika Barongan Devil secara sengaja dirancang untuk membangkitkan rasa takut, hormat, dan kekaguman. Setiap detail topeng dan kostum adalah representasi visual dari kekuatan yang kejam namun diperlukan.

4.1. Taring, Mata Merah, dan Rambut Menjuntai

Topeng Barongan yang berorientasi 'devil' selalu memiliki fitur yang dilebih-lebihkan untuk menekankan sifat Buta Kala:

4.2. Pakaian dan Pusaka Pelengkap

Kostum Barongan Devil sering diperkuat dengan warna-warna gelap (merah tua, hitam, ungu) dan penggunaan asesoris yang sarat makna ritual, seperti:

Pakaian yang dikenakan penari kesurupan, meskipun sederhana, sering diikat dengan kain khusus (stagen) atau sabuk yang telah diberi mantra oleh pawang. Ini berfungsi ganda: sebagai pelindung fisik dan sebagai penahan spiritual agar roh yang masuk tidak merusak raga penari secara permanen. Penggunaan cemeti (cambuk) oleh pawang, yang dihiasi dengan ukiran naga atau ular, bukan hanya alat pengontrol tetapi juga simbol dominasi spiritual atas energi liar yang sedang beraksi. Dalam beberapa tradisi, pusaka keris atau tombak yang telah diisi energi (dijumput) diletakkan dekat arena pertunjukan, bertindak sebagai jangkar energi positif yang mencegah kekacauan total.

V. Dimensi Psikologis dan Sosiologis dari Kekuatan Liar

Dampak Barongan Devil jauh melampaui panggung. Pertunjukan ini memainkan peran penting dalam kesehatan mental kolektif dan struktur sosial masyarakat Jawa tradisional.

5.1. Katarsis dan Pelepas Stres Komunal

Dari sudut pandang psikologi sosial, Barongan Devil adalah ritual katarsis. Masyarakat agraris tradisional sering menghadapi tekanan besar dari alam (gagal panen, wabah) dan konflik sosial. Energi Buta Kala mewakili semua ketakutan, amarah, dan energi destruktif yang terpendam. Dengan menyaksikan Buta Kala dimanifestasikan, dihormati melalui sesajen, dan kemudian diusir melalui upaya pawang, masyarakat merasa lega. Mereka melepaskan ketegangan kolektif melalui tontonan yang terkontrol dan sakral ini. Keberanian penari yang menghadapi risiko kesurupan dianggap sebagai representasi keberanian kolektif menghadapi masalah kehidupan.

5.2. Media Pelestarian Ilmu Spiritual

Barongan Devil adalah salah satu media utama untuk melestarikan ngèlmu (ilmu spiritual) dan tradisi pengobatan alternatif. Pengetahuan tentang mantra, ramuan, dan teknik mengendalikan roh (ilmu pawang) diwariskan secara eksklusif dalam lingkungan padepokan Barongan. Setiap atraksi kekebalan, seperti memakan pecahan kaca atau menyabet diri dengan cambuk, adalah demonstrasi nyata dari kekuatan spiritual yang dipegang teguh. Hal ini memperkuat keyakinan masyarakat terhadap dimensi spiritual dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan legitimasi sosial kepada para praktisi spiritual tradisional.

Ritual Pengendalian Buta Kala Siluet pawang dengan cambuk di sebelah penari Barongan yang sedang dalam kondisi kesurupan.

5.3. Peringatan Moral dan Etika Spiritual

Meskipun Barongan Devil menampilkan kekejaman dan kekuatan gelap, ia berfungsi sebagai cermin moral bagi komunitas. Pertunjukan ini secara implisit mengajarkan bahwa kekuatan (sekalipun kekuatan 'devil' atau supranatural) harus dikendalikan dan dihormati. Kisah-kisah yang dibawakan seringkali berisi pesan tentang akibat buruk dari keserakahan, iri hati, atau kegagalan menghormati alam, yang semua itu diwakili oleh agresi Buta Kala. Oleh karena itu, Barongan bukan sekadar hiburan; ia adalah sistem pendidikan etika yang disampaikan melalui jalur seni dan ritual. Kegagalan pawang mengendalikan roh dalam Barongan sering diartikan sebagai kegagalan moral kolektif masyarakat.

VI. Sisi Gelap Barongan: Kontroversi, Risiko, dan Batasan Etis

Konsep Barongan Devil membawa serta sejumlah risiko dan kontroversi yang membuatnya berbeda dari seni pertunjukan lainnya. Aspek 'devil' ini berarti risiko fisik dan spiritual yang nyata bagi para pelaku.

6.1. Risiko Fisik dan Psikologis

Penari yang kesurupan berada dalam bahaya fisik yang besar. Meskipun mereka diyakini kebal, insiden cedera parah, patah tulang, atau luka bakar tidak jarang terjadi, terutama ketika mereka berinteraksi dengan api atau benda tajam. Secara psikologis, proses kesurupan yang berulang kali dapat meninggalkan jejak kelelahan spiritual dan trauma mental (sawan). Pawang harus memiliki energi spiritual yang jauh lebih besar daripada roh yang diundang untuk memastikan penari kembali normal.

Selain itu, terdapat risiko yang lebih halus: jika roh yang masuk adalah roh liar (bukan entitas yang spesifik dipanggil), penari bisa mengalami kegilaan permanen atau dirasuki oleh entitas yang sulit diusir. Oleh karena itu, persiapan spiritual penari dan kejujuran niat pawang adalah mutlak penting. Ini bukan sekadar akting; ini adalah pengorbanan raga untuk komunikasi spiritual yang berbahaya.

6.2. Komersialisasi dan Degradasi Sakralitas

Dalam era modern, Barongan Devil sering dipentaskan untuk kepentingan pariwisata atau hiburan semata. Ketika ritual kesurupan menjadi komoditas, ada risiko serius terhadap degradasi sakralitasnya. Penggunaan kekuatan spiritual yang disalahgunakan atau dimanipulasi hanya untuk mendapatkan tepuk tangan dapat menghilangkan makna filosofis Buta Kala sebagai penyeimbang kosmis dan merubahnya menjadi atraksi sirkus. Para purist budaya sering mengkritik pertunjukan yang secara terang-terangan mencari 'devil' hanya demi sensasi, mengabaikan ritual pendahuluan dan penutup yang esensial.

Kontroversi ini menciptakan dilema: bagaimana menjaga tradisi yang secara inheren liar dan berbahaya ini tetap hidup tanpa mengorbankan integritas spiritual dan keselamatan para pelakunya? Jawabannya terletak pada pendidikan yang ketat bagi calon penari dan pawang, memastikan mereka memahami bahwa kekuatan 'devil' ini harus didekati dengan rasa hormat dan kesadaran ritual yang mendalam.

VII. Barongan Devil dalam Konteks Regional: Jawa vs. Bali

Istilah Barongan Devil seringkali diterapkan secara longgar, padahal manifestasi 'devil' sangat bervariasi tergantung pada lokasinya, terutama perbandingan antara Barongan di Jawa Timur (yang dipengaruhi Reog Ponorogo dan Jaranan) dan Barong di Bali.

7.1. Barongan Jawa Timur (Kekuatan Buta Kala dan Kesurupan Intens)

Di Jawa Timur, aspek 'devil' berfokus pada agresi fisik dan kekebalan. Barongan menjadi salah satu instrumen utama dalam pertunjukan Jaranan, di mana kesurupan massal adalah hal yang umum. Energi Buta Kala yang dipanggil di sini lebih bersifat kasar, tanah (primal), dan seringkali menuntut atraksi ekstrem seperti memakan beling atau bara api. Barongan (yang sering disebut Singo Barong) di Jawa mewakili penguasa hutan yang ganas, dan kekuatannya dipanggil untuk tujuan proteksi, pengobatan, atau demonstrasi kekuatan spiritual kelompok.

Kualitas 'devil' ini dicirikan oleh kurangnya narasi dramatis yang terstruktur (seperti di Bali), melainkan fokus pada demonstrasi kekuatan murni dan interaksi langsung antara pawang dan entitas yang merasuki. Dalam varian Barongan Kediri atau Jombang, kekejaman dan kebuasan Singo Barong adalah gambaran Buta Kala yang mendominasi. Para penari yang kesurupan sering berinteraksi langsung dengan penonton dalam keadaan agresif namun terkendali, menunjukkan betapa tipisnya batas antara penonton dan ritual.

7.2. Barong Bali (Sisi Gelap Rangda dan Perang Dharma-Adharma)

Di Bali, Barong (yang merupakan simbol Dharma, kebaikan) memiliki lawan abadi, yaitu Rangda (janda penyihir). Rangda adalah representasi paling jelas dari kekuatan 'devil' atau Adharma. Meskipun Barong itu sendiri adalah simbol positif, pertunjukan Calon Arang di mana Barong berhadapan dengan Rangda adalah arena spiritual yang paling menegangkan.

Di Bali, kesurupan (kerauhan) terjadi pada penari pendukung (penari keris) yang mencoba menyerang Rangda namun berbalik menyerang diri sendiri dengan keris karena kekuatan sihir Rangda. Jadi, di Bali, 'devil' dimanifestasikan melalui kekuatan magis Rangda yang membuat para pejuang (penari) menjadi tak terkendali dan nyaris bunuh diri, yang kemudian diselamatkan oleh Barong. Sementara Barongan Jawa langsung memanggil Buta Kala ke dalam Barong itu sendiri, Barong Bali menghadapi 'devil' (Rangda) sebagai entitas eksternal yang kuat.

Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa konsep 'devil' dalam Barongan adalah fleksibel, namun selalu berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang yang diperlukan untuk drama kosmis, baik sebagai entitas yang merasuki atau sebagai musuh abadi yang harus dihadapi.

VIII. Pewarisan dan Masa Depan Barongan Devil di Era Digital

Bagaimana seni yang sarat dengan mistisisme, risiko, dan kekuatan gelap ini dapat bertahan di tengah arus modernisasi dan rasionalitas yang semakin mendominasi?

8.1. Tantangan Modernisasi

Generasi muda saat ini cenderung lebih tertarik pada seni yang instan dan terdigitalisasi, menjauhkan mereka dari ritual persiapan Barongan yang memakan waktu lama dan membutuhkan disiplin spiritual yang tinggi. Kurangnya pemahaman mendalam tentang filosofi Buta Kala seringkali menyebabkan penari baru hanya meniru gerakan kesurupan tanpa memahami tanggung jawab spiritual di baliknya. Ini adalah tantangan utama: menjaga keaslian energi 'devil' tanpa membuatnya menjadi atraksi murahan.

Selain itu, isu keselamatan menjadi perhatian hukum. Ketika pertunjukan Barongan dipertontonkan di ruang publik yang modern, risiko cedera dan interpretasi hukum terhadap praktik kekebalan menjadi semakin rumit, memaksa beberapa kelompok untuk mengurangi intensitas kesurupan atau bahkan menghilangkannya sama sekali, yang secara fundamental merusak aspek 'devil' dari pertunjukan tersebut.

8.2. Adaptasi Melalui Media dan Dokumentasi

Untuk melestarikan esensi Barongan Devil, banyak kelompok mulai menggunakan media digital untuk dokumentasi dan edukasi. Film dokumenter, saluran YouTube, dan konten digital lainnya digunakan untuk menjelaskan ritual, filosofi, dan sejarah di balik topeng Singo Barong. Dengan mendokumentasikan secara rinci, mereka berharap dapat membedakan antara pertunjukan spiritual yang otentik dan imitasi yang kosong.

Upaya pelestarian juga mencakup penulisan pakem (aturan) yang lebih ketat mengenai siapa yang boleh menjadi pawang dan bagaimana ritual kesurupan harus dilakukan, memastikan bahwa ilmu pengendalian 'devil' ini diwariskan kepada mereka yang benar-benar memiliki niat suci dan persiapan spiritual yang memadai. Ini adalah upaya krusial untuk memastikan bahwa kekuatan liar Buta Kala yang dimanifestasikan dalam Barongan tetap menjadi bagian dari warisan budaya yang terhormat dan sakral, bukan sekadar cerita horor belaka.

Barongan Devil akan terus hidup selama masyarakatnya masih percaya pada kekuatan kosmis dan perlunya menyeimbangkan terang dan gelap. Kehadiran entitas 'devil' ini adalah pengingat bahwa di balik tawa dan musik gamelan, ada energi besar alam semesta yang menuntut penghormatan abadi.

IX. Kesimpulan: Kekuatan Tak Terbantahkan Buta Kala

Barongan Devil bukan hanya nama panggilan yang sensasional; ia adalah deskripsi akurat dari sifat spiritual yang mendominasi salah satu seni pertunjukan tradisional paling intens di Indonesia. Melalui topeng Barongan, energi primordial Buta Kala, yang mencakup kehancuran dan penciptaan, diberi ruang untuk bermanifestasi di dunia manusia. Proses ini, di bawah kendali pawang yang sakti, menjadi ritual pembersihan, demonstrasi spiritual, dan pengingat akan dualisme kosmis.

Kekuatan 'devil' yang dihadirkan, dengan taring yang tajam, mata yang menyala, dan gerakan yang brutal, menegaskan bahwa seni ini berakar kuat pada dimensi mistis yang dalam, menolak penjelasan rasional semata. Warisan Barongan adalah warisan keberanian untuk berhadapan langsung dengan sisi gelap alam semesta dan mengintegrasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah mahakarya ritual yang memastikan bahwa kekuatan liar yang tak terlihat selalu diakui dan dihormati.

Barongan Devil adalah cermin jiwa yang memperlihatkan keindahan dan bahaya dari kekuasaan yang tak terlihat.

🏠 Homepage