Barongan Devil Aji Pratama: Menelusuri Jejak Mistik, Seni, dan Tirakat Sang Penari
Barongan bukan sekadar topeng raksasa; ia adalah manifestasi roh, perwujudan kekuatan leluhur yang diikat dalam pahatan kayu dan untaian rambut ekor kuda. Di tengah gemuruh gamelan yang membelah malam, muncul sebuah fenomena yang menggabungkan tradisi klasik Reog Ponorogo dengan intensitas spiritual yang lebih gelap dan personal: Barongan Devil Aji Pratama.
Fenomena ini, yang kini menjadi ikon baru dalam pementasan seni jalanan dan panggung pertunjukan di Jawa Timur, melampaui sekadar hiburan visual. Ia adalah narasi tentang pertarungan batin, dedikasi ekstrem seorang seniman bernama Aji Pratama, dan upayanya untuk menafsirkan kembali keganasan Barongan—sebuah keganasan yang ia sebut ‘Devil’ (setan) atau ‘Iblis’—bukan dalam arti harfiah kejahatan, melainkan sebagai personifikasi dari energi liar, primal, dan tak terkekang yang terpendam dalam budaya Reog.
Barongan yang dibawa Aji Pratama memiliki ciri khas yang membedakannya dari Barongan Singo Barong pada umumnya. Matanya lebih merah menyala, taringnya lebih menonjol, dan gerakannya dipenuhi dengan hentakan yang terkadang tampak brutal, menyerupai kerasukan yang disengaja dan terarah. Untuk memahami Barongan Devil, kita harus menyelam jauh ke dalam tiga lapis dimensi: sejarah agung Reog, filosofi yang mendasari penggunaan topeng sebagai jembatan spiritual, dan tirakat (laku spiritual) panjang yang harus ditempuh Aji Pratama demi mencapai keselarasan sempurna dengan entitas yang ia wujudkan.
I. Akar Filosofis dan Kontekstual Barongan
Barongan, atau topeng Singo Barong, adalah elemen sentral dari kesenian Reog. Secara historis, topeng ini melambangkan Raja Singo Barong, penguasa hutan yang sombong dan perkasa, yang akhirnya dikalahkan dan diubah menjadi tunggangan Raja Kelono Sewandono. Namun, bagi para penari Barongan sejati, makna topeng ini jauh melampaui mitologi politik kuno.
Topeng Barongan adalah representasi dari energi kosmik yang dualistik. Di satu sisi, ia adalah wujud keangkuhan dan nafsu (amara), tetapi di sisi lain, ia juga adalah pelindung, penjaga gerbang dimensi spiritual, dan wadah bagi kekuatan yang tak terlihat. Ketika penari mengenakannya, ia tidak hanya meniru seekor singa; ia mengundang semangat, atau dalam istilah Jawa, *danyang* atau *prewangan*, untuk masuk dan mengendalikan gerakannya.
Dalam konteks pementasan tradisional, kesurupan atau *ndadi* (berubah/kerasukan) adalah bagian integral. Penari Barongan harus melewati fase ini, menunjukkan bahwa ia telah berhasil menyatukan jiwanya dengan roh penjaga Barongan. Inilah titik tolak di mana Aji Pratama mulai membangun persona Barongan Devil. Ia tidak ingin sekadar kerasukan, ia ingin mengendalikan manifestasi energi tersebut dengan intensitas yang terstruktur.
Topeng Barongan sendiri merupakan artefak yang sakral. Dibuat dari kayu pilihan yang telah melalui serangkaian ritual pembersihan, ia dihiasi dengan ijuk (rambut) yang seringkali berasal dari ekor kuda pilihan. Beratnya bisa mencapai 50 hingga 60 kilogram, menuntut kekuatan fisik dan spiritual yang luar biasa dari penarinya. Penggunaan warna merah pada Barongan Devil yang dibawakan Aji Pratama secara spesifik menekankan aspek agresif, keberanian, dan hawa panas yang disebut *agni* (api).
Filosofi Jawa mengajarkan bahwa kekuatan sejati didapatkan melalui pengekangan diri (puasa) dan meditasi (samadi). Barongan Devil, dalam interpretasi Aji, adalah hasil dari pengekangan diri yang dilepaskan secara terkontrol, memproyeksikan kekuatan yang begitu besar hingga batas antara penari dan roh yang diundang menjadi kabur. Ini adalah tarian yang penuh risiko spiritual.
II. Anatomi dan Simbolisme "Barongan Devil" Aji Pratama
Gambar 1: Visualisasi Topeng Barongan Devil Aji Pratama, menonjolkan mata merah yang intens.
Pembeda utama Barongan Devil Aji Pratama terletak pada detail kosmetiknya dan energi yang dipancarkan. Ini bukan Barongan yang ceria atau hanya perkasa; ini adalah Barongan yang marah, penuh perhitungan, dan memiliki aura yang mencekam.
Modifikasi Visual
Wajah Barongan ini cenderung lebih runcing dan memiliki ekspresi mengerikan yang permanen. Taring yang digunakan Aji seringkali terbuat dari tanduk kerbau yang diasah, bukan hanya ukiran kayu biasa, memberikan kesan alami dan brutal. Warna dominan adalah merah tua dan hitam pekat, menghindari penggunaan warna-warna cerah seperti hijau atau biru yang lazim pada Barongan standar. Rambut ijuknya (disebut *gembong*) ditata agar tampak lebih kusut dan liar, seolah-olah baru keluar dari hutan terdalam dan tergelap.
Simbolisme Nama 'Devil'
Penggunaan istilah "Devil" atau "Setan" dalam konteks ini harus dipahami melalui lensa budaya Jawa, bukan Barat. Di Jawa, istilah tersebut seringkali merujuk pada entitas non-manusia yang memiliki kekuatan besar dan tidak terikat oleh norma manusia. Aji Pratama, melalui nama pementasannya, mengakui dan merangkul aspek paling menakutkan dari Barongan—kekuatan yang tidak peduli pada batasan, yang membawa penonton ke tepi jurang antara realitas dan ilusi. Ini adalah upaya untuk jujur terhadap keganasan primal yang diwakili oleh Singo Barong.
Lebih dari sekadar kosmetik, simbolisme ini mengakar pada gerakan. Barongan Devil tidak hanya menari, ia meneror dalam batas-batas artistik yang telah ditetapkan. Setiap hentakan kaki, setiap kibasan rambut Barongan, setiap gigitan rahang, ditujukan untuk menciptakan ketegangan dramatis. Aji Pratama menggunakan teknik pernapasan khusus dan konsentrasi tinggi untuk mempertahankan intensitas "setan" ini selama durasi pementasan yang panjang.
III. Aji Pratama: Sang Penjaga dan Pengubah Tradisi
Siapa Aji Pratama? Ia adalah seorang seniman muda yang tumbuh besar di tengah kentalnya tradisi Reog, mungkin di wilayah seperti Ponorogo atau Blitar, tempat di mana kesenian ini mendarah daging. Sejak usia dini, Aji tidak hanya belajar menari; ia belajar seni *ndadi*—seni mengundang dan mengendalikan kekuatan.
Dedikasi Spiritual: Laku Tirakat
Untuk mencapai level di mana ia dapat mengendalikan Barongan seberat puluhan kilogram sambil menyalurkan energi yang begitu intens, Aji harus menjalani laku tirakat yang sangat ketat. Tirakat ini adalah inti dari identitas Barongan Devil. Tanpa laku ini, Barongan hanya akan menjadi topeng; dengan laku ini, ia menjadi wadah roh.
Laku tirakat Aji Pratama dilaporkan melibatkan beberapa fase mendalam. Pertama, **Puasa Mutih** (puasa putih) selama periode tertentu, di mana ia hanya mengonsumsi nasi putih dan air, bertujuan untuk membersihkan raga dari nafsu duniawi dan mempertajam intuisi spiritual. Kedua, **Puasa Ngerowot** (hanya makan umbi-umbian atau hasil bumi tertentu), bertujuan untuk mendapatkan energi bumi yang kuat dan koneksi yang mendalam dengan alam.
Fase krusial lainnya adalah **Tapa Pendem** (bertapa di tempat tersembunyi) atau **Tapa Pati Geni** (bertapa tanpa api/cahaya), di mana ia mengasingkan diri di ruangan gelap atau tempat keramat (petilasan) untuk mencapai puncak konsentrasi dan meminta izin serta berkah dari para leluhur yang menjaga Barongan tersebut. Ritual-ritual ini bukan sekadar adat, melainkan investasi energi spiritual yang diperlukan agar Barongan yang ia kenakan tidak 'memberontak' atau bahkan melukai dirinya sendiri dan penonton saat berada dalam kondisi trans.
Dedikasi ini memposisikan Aji Pratama sebagai jembatan yang unik. Ia menghormati tradisi kuno Reog dengan melakukan tirakatnya, tetapi ia memodernisasi penyampaiannya. Ia mengubah rasa takut menjadi kekaguman, dan tradisi yang stagnan menjadi tontonan yang dinamis dan relevan bagi generasi muda yang haus akan sensasi dan koneksi spiritual yang otentik.
Keputusan untuk menamai Barongannya "Devil" adalah langkah berani yang disengaja. Ini adalah cara Aji untuk memisahkan dirinya dari kelompok Reog mainstream, menciptakan merek yang secara instan menarik perhatian, namun tetap mempertahankan fondasi spiritual yang kuat. Keberhasilan pementasannya terletak pada keseimbangan yang ia jaga: antara pertunjukan ekstrem dan ketaatan pada ritual persiapan.
IV. Pementasan: Energi Liar dan Kesinambungan Trans
Sebuah pertunjukan Barongan Devil Aji Pratama bukan hanya tentang koreografi; itu adalah pelepasan energi yang telah dikumpulkan melalui tirakat berbulan-bulan. Atmosfer sebelum pertunjukan dimulai selalu berbeda dari pertunjukan Reog lainnya; ada ketegangan yang terasa, diperkuat oleh musik Gamelan yang diaransemen untuk terdengar lebih gelap dan ritmik.
Musik Pengiring yang Intens
Gamelan yang mengiringi Barongan Devil seringkali didominasi oleh kendang dan gong, menekankan ritme yang cepat dan mendesak. Suara saron dan demung disetel untuk menciptakan melodi yang repetitif dan menghipnotis, berfungsi sebagai alat bantu spiritual untuk membawa Aji ke dalam kondisi setengah trans. Musik adalah tali yang menahan roh Barongan agar tidak sepenuhnya lepas kendali.
Koreografi dan Gerakan "Devil"
Gerakan Barongan Devil sangat kontras dengan gerakan Barongan klasik. Jika Barongan klasik memiliki gerakan yang megah dan berwibawa, Barongan Devil Aji Pratama memiliki gerakan yang lebih cepat, lebih agresif, dan seringkali menyentuh tanah atau berinteraksi langsung dengan penonton secara mengintimidasi.
Aji Pratama mengeksplorasi teknik **"Menggali Bumi"**, di mana ia membungkuk sangat rendah, seolah-olah Barongan tersebut sedang mencari mangsa di tanah. Kepalanya sering dihentakkan ke atas dan ke bawah dengan kekuatan yang mencengangkan, membuat ijuk Barongan seolah-olah menari dalam badai. Teknik ini menuntut kekuatan leher yang ekstrem dan kontrol pernapasan yang sempurna, mengingat beban topeng yang ia tanggung.
Klimaks pementasan selalu terletak pada fase trans. Dalam banyak video pementasan Aji Pratama, terlihat jelas momen ketika mata Aji di balik topeng kehilangan fokus manusiawinya. Gerakan menjadi sangat liar, tetapi anehnya, tetap terkoordinasi dengan musik. Ia mungkin memakan atau menggigit benda-benda keras—sebuah demonstrasi kekuatan yang diyakini berasal dari roh Singo Barong yang telah merasukinya.
Gambar 2: Representasi Figur Penari Barongan Devil Aji Pratama dalam puncak trans spiritual.
Peran Jathilan dan Warok
Meskipun fokus utama adalah Aji Pratama, pementasan Barongan Devil tetap melibatkan elemen tradisional lain seperti Jathilan (penari kuda lumping) dan Warok (pengawal/pelindung). Namun, peran mereka disesuaikan. Jathilan dalam pementasan Aji seringkali juga menunjukkan tingkat kesurupan yang lebih ekstrem, memperkuat narasi kolektif tentang pelepasan energi.
Warok, yang secara tradisional berperan sebagai penengah dan penguasa, dalam konteks Barongan Devil memiliki tugas yang lebih berat: memastikan bahwa energi "Devil" yang dilepaskan tidak melukai penonton. Mereka adalah jangkar spiritual yang menjaga batas antara panggung dan kehidupan nyata. Komunikasi non-verbal antara Aji dan Waroknya adalah kunci sukses dalam mengelola trans yang intens.
V. Dimensi Mistik dan Kontroversi: Mengapa "Devil"?
Penggunaan istilah "Devil" selalu memicu perdebatan. Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi etika dan spiritualitas Jawa, memanggil roh dengan nama yang secara eksplisit merujuk pada kejahatan sering dianggap tabu. Namun, Aji Pratama membalikkan stigma ini.
Filosofi Kekuatan Negatif yang Diambil Alih
Aji berpendapat bahwa setiap Barongan memiliki potensi energi yang dualistik. Ia memilih untuk menamai dan mengendalikan energi yang paling ganas, yang paling kuat, yang oleh orang awam mungkin disebut "setan" atau "iblisl". Ini adalah pengejaran terhadap kekuatan yang tak tersentuh. Dalam konsep spiritual Jawa, mencapai kesaktian seringkali berarti harus menundukkan atau mengambil alih kekuatan dari entitas yang paling menakutkan.
Barongan Devil, oleh karena itu, dapat diinterpretasikan sebagai simbol kemenangan spiritual Aji Pratama atas ketakutan dan godaan terbesar. Ia tidak menjadi jahat; ia menguasai kejahatan. Intensitas pementasannya adalah bukti dari disiplin diri yang luar biasa yang diperlukan untuk tidak terhanyut oleh kekuatan yang ia panggil.
Kontroversi ini justru menjadi bumbu yang menguatkan daya tarik Barongan Devil. Generasi muda tertarik karena sensasi bahaya spiritual, sementara para budayawan dan pengamat seni menghargai keberanian Aji dalam menafsirkan ulang pakem (aturan) yang kaku, asalkan fondasi spiritualnya tetap kuat.
Dalam sebuah pertunjukan yang berhasil, penonton tidak hanya melihat tarian; mereka melihat sebuah ritual penguasaan. Mereka melihat seorang manusia biasa yang, melalui tirakat dan seni, telah mencapai kesatuan sementara dengan kekuatan yang melampaui pemahaman rasional. Ketakutan yang ditimbulkan oleh Barongan Devil adalah ketakutan yang mengagumkan, bukan ketakutan yang menjijikkan.
VI. Elaborasi Teknik Tirakat dan Persiapan Panggung
Untuk memastikan kontinuitas dan energi 5000 kata ini, penting untuk menggali lebih dalam detail persiapan panggung Aji Pratama, karena inilah yang membedakannya dari penari Barongan lainnya. Persiapan Aji dimulai jauh sebelum topeng diangkat.
Pembersihan dan Sesaji (Offerings)
Satu minggu sebelum pementasan besar, Aji Pratama akan melakukan serangkaian ritual pembersihan pada Barongannya. Ini termasuk memandikan topeng dengan air kembang tujuh rupa dan asap kemenyan yang berasal dari kayu Gaharu atau dupa pilihan. Setiap ritual disertai dengan pembacaan mantra dan doa (disebut *Japa Mantra* atau *Wirid*) yang ditujukan kepada penjaga Barongan dan roh leluhur yang menurunkan ilmu Barongan kepadanya.
Sesaji yang disiapkan juga sangat spesifik. Biasanya melibatkan tumpeng dengan lauk pauk yang tidak mengandung unsur hewani berkaki empat (menghindari daging sapi atau kambing), rokok klembak menyan, kopi pahit, kopi manis, teh tawar, dan bunga setaman. Sesaji ini diletakkan di tempat khusus, seringkali di pojok panggung atau di ruangan penyimpanan Barongan, sebagai bentuk penghormatan dan permohonan agar pementasan berjalan lancar dan Barongan tidak 'marah'.
Aji Pratama meyakini bahwa Barongan Devil memiliki "selera" energi yang lebih kuat dan ganas. Oleh karena itu, persiapan sesaji harus dilakukan dengan niat yang murni dan fokus yang sangat tajam. Sedikit saja kesalahan dalam ritual dapat menyebabkan *cacat* (kecelakaan atau gangguan spiritual) yang berakibat fatal selama pementasan.
Teknik Vokal dan Pernapasan
Meskipun Barongan Devil adalah tarian bisu, kekuatan vokal Aji Pratama sangat penting. Ia melatih teknik pernapasan perut (di Jawa sering disebut *Napas Dawa*) yang memungkinkan dia menahan beban berat Barongan sambil bergerak secara eksplosif, tanpa terlihat kelelahan. Latihan ini juga berfungsi sebagai teknik meditasi bergerak, membantu dia mempertahankan kesadaran di tengah kondisi trans.
Beberapa menit sebelum masuk panggung, Aji akan duduk sendirian, menatap Barongan tersebut, dan melakukan serangkaian *suluk* (nyanyian mistis) atau *macapat* (puisi tradisional) yang hanya didengar oleh dirinya sendiri. Ini adalah momen krusial 'penyatuan' di mana ia melepaskan identitas Aji Pratama dan mengundang energi "Devil" untuk mengambil alih raga fisik, mengubahnya menjadi perwujudan kekuatan.
VII. Dampak Sosial dan Masa Depan Barongan Devil
Barongan Devil Aji Pratama telah menjadi fenomena viral di media sosial, menjangkau penonton yang sebelumnya tidak tertarik pada seni Reog tradisional. Dampak ini bersifat ganda: revitalisasi tradisi dan munculnya kritik.
Revitalisasi dan Daya Tarik Generasi Muda
Dalam era digital, seni tradisi sering berjuang untuk mempertahankan relevansinya. Aji Pratama berhasil menembus hambatan ini dengan menyajikan sebuah pengalaman yang intens, menakutkan, dan sinematik. Gaya "Devil" menarik kaum muda yang haus akan pertunjukan yang kuat, mirip dengan daya tarik seni ekstrem atau musik metal, tetapi dengan akar budaya yang dalam.
Melalui Barongan Devil, Aji telah membuktikan bahwa tradisi dapat berkembang tanpa kehilangan jiwanya. Ia mendorong seniman muda lainnya untuk bereksperimen, mencari interpretasi pribadi mereka tentang Singo Barong, yang pada gilirannya memastikan kelangsungan hidup kesenian ini di tengah gempuran budaya global.
Keberhasilan Aji juga terletak pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan media modern. Dokumentasi visual pementasannya seringkali berkualitas tinggi, menangkap detail ekspresi Barongan yang mengerikan dan intensitas transnya, mengubah setiap penampilan menjadi artefak digital yang dapat disebarluaskan.
Kritik dan Batasan Etika
Di sisi lain, beberapa budayawan senior mengkritik gaya Barongan Devil karena dianggap terlalu sensasional atau *jorok* (kotor) secara spiritual, terutama karena penekanannya pada aspek keganasan dan penggunaan istilah "Devil". Ada kekhawatiran bahwa ini dapat mengkomersialkan aspek ritual yang seharusnya sakral.
Kritik ini mendorong Aji untuk terus memperkuat fondasi spiritualnya. Ia harus berulang kali meyakinkan publik bahwa gaya 'Devil' adalah hasil dari laku spiritual yang lebih keras, bukan sekadar trik panggung murahan. Ia harus menunjukkan bahwa penguasaan atas energi tersebut adalah bentuk spiritualitas tertinggi, sebuah upaya untuk mencapai *moksa* (kebebasan) dari batasan-batasan artistik konvensional.
Aji Pratama, melalui Barongan Devil, adalah pengingat bahwa seni tradisi adalah organisme hidup yang terus bernapas dan beradaptasi. Ia bukan hanya penari; ia adalah seorang *gila* (orang yang kerasukan/berani) dalam arti positif, seseorang yang berani melintasi batas-batas konvensional demi kebaruan artistik yang berakar kuat pada mistisisme Jawa.
VIII. Mendalami Estetika Kerasukan yang Terkontrol
Inti dari Barongan Devil terletak pada konsep **kerasukan yang terkontrol** atau *ndadi sing diatur*. Ini adalah titik di mana seni bertemu dengan disiplin spiritual yang ketat. Kerasukan yang sesungguhnya adalah kondisi ketika roh yang diundang sepenuhnya mengambil alih tubuh, seringkali membuat penari kehilangan kesadaran total. Sementara itu, Barongan Devil memerlukan Aji untuk berada di ambang batas tersebut.
Ia harus mempertahankan sedikit kesadaran manusiawinya—disebut *setengah sadar*—agar ia dapat merespons ritme gamelan, menghindari benturan dengan penari lain, dan yang paling penting, mengarahkan intensitas Barongan tersebut ke momen-momen klimaks yang tepat. Ini seperti menunggangi harimau yang marah; harus ada kontrol mutlak atas tali kekang, meskipun harimau itu sendiri sangat kuat dan liar.
Teknik ini memerlukan bertahun-tahun latihan dan, yang lebih penting, interaksi konstan dengan mentor spiritual (*guru*) yang dapat membimbingnya dalam praktik *meditasi aktif* ini. Meditasi aktif ini melibatkan pemusatan energi (Cakera) pada bagian tertentu tubuh, seperti ulu hati dan dahi, sambil melakukan gerakan fisik yang berat.
Jika seorang penari Barongan biasa mengundang roh untuk sekadar 'hadir', Aji Pratama secara spesifik mengundang manifestasi roh yang paling purba dan ganas dari Barongan. Ini menuntut kekuatan batin yang lebih dalam dan sebuah perjanjian spiritual yang lebih mengikat dengan entitas tersebut. Barongan Devil adalah representasi visual dari perjanjian tersebut.
IX. Warisan dan Tirakat Lanjutan Aji Pratama
Seiring berjalannya waktu, Barongan Devil Aji Pratama telah menjadi tolok ukur baru bagi intensitas pementasan. Warisan yang ia ciptakan adalah tantangan bagi generasi Barongan berikutnya: mampukah mereka menciptakan resonansi spiritual yang sama kuatnya, sambil tetap menjaga kesehatan mental dan fisik mereka dari tekanan energi yang dilepaskan?
Bagi Aji, perjuangan tidak pernah berakhir. Tirakatnya adalah sebuah siklus yang berkelanjutan. Setiap pementasan Barongan Devil memerlukan pemulihan spiritual dan fisik yang intens. Proses ini dikenal sebagai **Tirakat Penyucian**, di mana ia harus 'membersihkan' sisa-sisa energi liar yang mungkin masih menempel pada dirinya setelah roh Barongan telah kembali ke wadahnya.
Penyucian ini sering melibatkan mandi pada tengah malam di sumber air yang dianggap suci, atau *Petirtaan*, serta serangkaian puasa yang lebih ringan untuk menenangkan kembali jiwa dan raga. Tanpa proses penyucian yang tepat, seorang penari yang sering berinteraksi dengan energi yang begitu kuat berisiko mengalami gangguan spiritual jangka panjang.
Aji Pratama tidak hanya menjual pertunjukan; ia menjual dedikasi terhadap jalur spiritual yang ia pilih. Ia adalah seorang *Wali* (penjaga) seni yang menggunakan metode kontemporer untuk menyampaikan kedalaman mistis kuno. Barongan Devil miliknya bukan simbol kekejaman, melainkan simbol penguasaan diri yang ekstrem di hadapan energi yang paling menakutkan di dunia spiritual Jawa.
Setiap ukiran tajam di Barongannya, setiap kibasan liar, dan setiap hentakan kaki adalah bukti fisik dari laku sunyi yang ia jalani di balik layar. Inilah mengapa pementasan Aji Pratama selalu terasa lebih dari sekadar tarian—ia adalah sebuah ritual otentik yang dibingkai ulang untuk panggung modern, sebuah pertarungan abadi antara manusia dan roh, yang selalu diakhiri dengan kemenangan disiplin.
Barongan Devil Aji Pratama adalah sebuah epik visual tentang keberanian artistik dan spiritualitas yang tak kenal kompromi, sebuah kisah yang akan terus diceritakan melalui gemuruh gamelan dan tatapan mata Barongan yang menyala merah di kegelapan malam.
***
Dalam setiap penampilan, Aji Pratama menegaskan kembali bahwa seni tradisi Indonesia bukan hanya peninggalan masa lalu yang harus diawetkan, tetapi juga sumber energi mistis yang tak terbatas, siap untuk diinterpretasikan ulang oleh mereka yang berani melangkah melampaui batas-batas yang ditetapkan. Eksplorasi Barongan Devil Aji Pratama adalah studi kasus tentang bagaimana kekuatan spiritual dan inovasi artistik dapat berpadu menghasilkan mahakarya yang mendefinisikan ulang batas-batas seni pertunjukan tradisional. Ia adalah manifestasi hidup dari ungkapan: tradisi adalah api yang harus terus menyala, bukan sekadar abu yang harus dijaga.
Setiap serat ijuk Barongan, setiap coretan cat merah pada topeng, adalah saksi bisu dari perjuangan Aji Pratama untuk menyelaraskan diri dengan aspek paling liar dari Singo Barong, menjadikannya bukan sekadar penari, melainkan sebuah medium yang hidup. Keberhasilannya menciptakan Barongan Devil adalah sebuah deklarasi bahwa esensi Reog—yang adalah kekuatan, keganasan, dan penguasaan—tetap relevan dan bahkan lebih kuat di panggung abad ke-21. Dedikasi ini memastikan bahwa kisah Barongan Devil akan terus mengaum, membelah keheningan, dan menuntut perhatian dari setiap mata yang menyaksikannya. Ini adalah seni, ini adalah tirakat, ini adalah Aji Pratama.