Di antara hiruk pikuk modernitas dan derasnya arus informasi global, tersimpan kekayaan budaya adi luhung di tanah Jawa, salah satunya adalah seni pertunjukan Barongan Derman. Kesenian ini bukan sekadar tontonan, melainkan manifestasi spiritual, narasi sejarah lokal, serta wadah pelestarian nilai-nilai adab yang telah diwariskan turun-temurun. Barongan Derman mewakili semangat rakyat jelata, dipentaskan dengan energi yang eksplosif, iringan musik yang ritmis, dan topeng yang memiliki aura mistis mendalam. Untuk memahami sepenuhnya esensi Barongan Derman, kita perlu menelusuri akarnya, memahami setiap komponen pertunjukannya, serta menyelami peran vitalnya dalam struktur sosial budaya masyarakat Jawa, khususnya di wilayah pesisir utara dan perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur.
Istilah Barongan, dalam konteks Jawa, secara umum merujuk pada seni pertunjukan yang melibatkan topeng raksasa menyerupai singa atau harimau mitologis. Namun, Barongan Derman memiliki segmentasi dan sejarahnya tersendiri. Nama "Derman" seringkali diasosiasikan dengan wilayah tertentu atau merujuk pada upaya 'derma' atau persembahan kepada leluhur dan penjaga desa. Meskipun sulit dilacak ke masa kerajaan Mataram kuno secara pasti, bentuk Barongan ini diyakini berkembang pesat pada era pasca-Majapahit, ketika tradisi rakyat mulai berakulturasi dengan elemen-elemen Islam dan kepercayaan animisme lokal.
Barongan Derman, sebagaimana tradisi Barongan di Blora, Cepu, atau Kudus, tumbuh subur di lingkungan agraris dan pedesaan. Berbeda dengan Reog Ponorogo yang berfokus pada narasi politik raja-raja, Barongan Derman lebih berorientasi pada ritual tolak bala (penangkal bencana), permohonan kesuburan, atau ucapan syukur panen. Kisah-kisah yang diangkat seringkali berkutat pada figur-figur mitologis lokal seperti Gembong Amijoyo, Singo Barong, atau wujud pelindung desa yang bersikap ambigu—bisa menjadi penjaga yang baik hati, namun juga entitas yang menuntut persembahan dan rasa hormat.
Ciri khas Barongan Derman terletak pada topengnya yang cenderung lebih sederhana, namun memiliki ekspresi yang sangat garang dan realistis dalam konteks visual horor rakyat (bukan horor modern). Rambutnya (disebut *Gondel* atau *Sinting*) dibuat dari serat ijuk atau tali yang diwarnai merah dan kuning, melambangkan api dan keberanian. Musik pengiringnya, yang disebut Gamelan Barongan, umumnya lebih dominan pada kendang dan kempul (gong kecil), menciptakan ritme yang cepat, hipnotis, dan mendorong pemain untuk mencapai kondisi *trance* (kesurupan). Ini membedakannya dari gaya Gamelan Klasik Keraton.
Dalam banyak pementasan Barongan Derman, tokoh sentralnya sering dihubungkan dengan figur Gembong Amijoyo, sang panglima atau macan mitologis. Amijoyo digambarkan sebagai sosok kuat yang menjaga keseimbangan alam dan spiritual. Kesenian ini berfungsi sebagai medium untuk memanggil energi Amijoyo, yang dipercaya mampu membersihkan energi negatif dari suatu tempat atau menyembuhkan penyakit. Oleh karena itu, pementasan Barongan Derman sering kali disertai ritual yang khidmat sebelum Barong itu sendiri 'dibangkitkan' melalui bunyi-bunyian gamelan.
Interpretasi spiritual Barongan Derman sangat kental. Barong tidak dilihat hanya sebagai kostum, melainkan sebagai wadah sementara bagi roh pelindung. Prosesi pembukaan, yang melibatkan pembacaan mantra atau doa dalam bahasa Jawa Kuno yang dicampur Bahasa Jawa Krama, menegaskan dimensi ritualistik yang tak terpisahkan dari pertunjukan kesenian rakyat ini. Kesenian ini adalah dialog antara manusia dengan kekuatan supranatural yang dipercaya menguasai wilayah tersebut.
Setiap detail pada Barongan Derman, dari ukiran kayu topeng, corak warna, hingga gerak tariannya, merupakan simbolisasi yang kaya. Misalnya, warna merah yang dominan melambangkan keberanian dan kekuatan dunia atas (dunia dewa atau roh), sementara warna hitam pada beberapa bagian kostum mewakili kekuatan bumi dan kesuburan. Keseimbangan warna ini mencerminkan filosofi Jawa tentang harmoni kosmis (manunggaling kawula Gusti) yang diinterpretasikan melalui seni tari yang kasar dan spontan.
Memahami Barongan Derman adalah memahami teknik kerajinan tangan yang rumit dan nilai filosofis di balik setiap material yang digunakan. Setiap komponen Barongan dibuat dengan perhatian mendalam terhadap tradisi, memadukan unsur visual yang menakutkan (untuk mengusir roh jahat) dan keindahan kasar khas seni rakyat.
Topeng Barong Derman dibuat dari kayu yang kuat, seringkali menggunakan kayu jati atau kayu beringin yang dianggap memiliki energi spiritual. Proses pembuatannya bisa memakan waktu berminggu-minggu, didahului dengan ritual pemilihan kayu. Karakteristik topeng ini meliputi:
Bagian rambut atau jambul adalah fitur paling khas. Rambut Barongan Derman dibuat dari bahan serat alami, ijuk, atau bahkan serat tanaman tertentu yang dikeringkan dan diikat kencang. Panjangnya bisa mencapai hingga lantai dan sering diwarnai kontras. Gerakan kepala sang penari akan membuat rambut ini berayun liar, menambah kesan mistis dan dinamis pada pertunjukan. Selain itu, Barongan dihiasi dengan pernak-pernik seperti cermin kecil, manik-manik, atau kain berwarna-warni yang berfungsi memantulkan cahaya, menciptakan efek berkilauan dan menarik perhatian roh.
Detail-detail kecil ini penting karena dalam pandangan spiritual Jawa, objek yang berkilauan atau memiliki warna kontras tinggi dipercaya memiliki kekuatan magis tertentu. Ini bukan sekadar dekorasi, melainkan bagian integral dari kostum yang berfungsi sebagai pelindung dan penarik energi.
Tubuh Barongan Derman diselimuti kain atau karung goni yang tebal, seringkali dihiasi motif batik atau kain beludru berwarna gelap. Kostum ini harus cukup kuat menahan gerakan yang sangat keras, spontan, dan kadang melibatkan benturan. Penari Barongan utama berada di dalam kostum ini, menopang beban kepala Barong yang bisa mencapai belasan hingga puluhan kilogram.
Para penari pengiring, seperti Jathilan (penari kuda lumping), Warok, atau Gendruwo (tokoh menyeramkan), juga mengenakan kostum yang spesifik. Jathilan, misalnya, menggunakan properti kuda tiruan dari bambu dan berpakaian cerah, seringkali menjadi korban pertama dari kesurupan yang dipicu oleh ritme Gamelan Barongan.
Pementasan Barongan Derman bukanlah pertunjukan linear. Ia adalah siklus ritual yang dibagi menjadi beberapa babak penting, di mana transisi antar babak seringkali ditandai dengan perubahan ritme musik yang drastis.
Sebelum pertunjukan dimulai, wajib dilakukan upacara ritual yang dikenal sebagai *Tirakatan*. Sesajen, yang terdiri dari bunga tujuh rupa, kemenyan, kopi pahit, dan makanan tradisional, diletakkan di tempat pertunjukan. Sesajen ini ditujukan kepada arwah leluhur, roh penjaga Barong, dan Danyang (roh penjaga desa). Ritual ini memastikan bahwa Barongan "turun" dalam keadaan suci dan terkontrol, serta meminta izin agar pertunjukan berjalan lancar dan terhindar dari bahaya spiritual maupun fisik.
Musik adalah jantung dari Barongan Derman. Iringan Gamelan Barongan sangat berbeda dari Gamelan Jawa Klasik yang lembut dan tenang. Gamelan Barongan cenderung keras, cepat, dan repetitif, dirancang untuk membangun atmosfer yang mencekam dan memancing kondisi *trance* pada para penari. Instrumen kunci meliputi:
Puncak dari Barongan Derman adalah ketika tarian liar dimulai, seringkali melibatkan interaksi antara Barong dan penari Jathilan. Dalam kondisi ini, penari utama dan beberapa penari pendukung dapat mengalami *ndadi* atau kesurupan, di mana mereka bergerak di luar kendali dan melakukan atraksi kekebalan (seperti makan pecahan kaca, mengupas kelapa menggunakan gigi, atau kebal terhadap sabetan cemeti). Bagian ini adalah bukti nyata dimensi magis yang melekat pada kesenian ini, berfungsi sebagai validasi spiritual bagi masyarakat yang menyaksikannya.
Peran *Pawang* (dukun atau pemimpin spiritual) menjadi sangat penting selama fase *ndadi*. Pawang bertugas mengendalikan roh yang merasuki, memastikan para penari tidak melukai diri sendiri atau penonton secara fatal, dan mengembalikan kesadaran mereka ketika pertunjukan telah selesai. Proses pemulihan ini juga memerlukan ritual khusus dan doa-doa penutup.
Barongan Derman jauh melampaui fungsinya sebagai hiburan semata. Kesenian ini memegang peranan krusial dalam merekatkan komunitas, melestarikan memori kolektif, dan menjadi barometer identitas budaya lokal di tengah gempuran budaya pop.
Di desa-desa tempat Barongan Derman berakar, kelompok kesenian ini seringkali menjadi pusat kegiatan sosial. Anggota grup Barongan (mulai dari penari, penabuh gamelan, hingga Pawang) adalah individu-individu dari berbagai lapisan masyarakat. Proses latihan, persiapan kostum, hingga pementasan bersama menciptakan ikatan sosial yang kuat. Ketika Barongan tampil dalam acara hajatan desa, pernikahan, atau bersih desa, itu adalah momen di mana seluruh komunitas berkumpul dan merayakan identitas kolektif mereka.
Barongan juga berperan sebagai alat kontrol sosial. Kisah-kisah yang dibawakan, meskipun berbalut mitologi, seringkali mengandung pesan moral tentang keadilan, kepemimpinan yang baik, dan bahaya keserakahan. Penggambaran Barong sebagai entitas yang menakutkan namun pada akhirnya tunduk pada kebaikan, mengajarkan pentingnya menghormati tradisi dan menjaga etika sosial.
Meskipun sering dipandang sebelah mata, Barongan Derman menciptakan ekonomi sirkular di pedesaan. Industri kecil seperti pembuat topeng (perajin kayu), penjahit kostum, dan para seniman yang mencari nafkah dari pementasan memiliki ketergantungan pada kelangsungan Barongan. Setiap kali ada panggilan pentas (yang disebut *tanggapan*), dana yang beredar membantu menghidupkan perekonomian mikro di desa tersebut. Kelompok Barongan yang terkenal bahkan dapat menarik wisatawan domestik, membawa dampak positif bagi warung makan dan penginapan lokal.
Dalam konteks globalisasi, Barongan Derman merupakan salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang memerlukan perhatian serius. Kesenian ini adalah gudang pengetahuan lokal—pengetahuan tentang jenis kayu untuk topeng, teknik memukul gamelan, hingga pengetahuan tentang ramuan tradisional yang digunakan oleh Pawang untuk mengendalikan kondisi *trance*.
Generasi muda memiliki tugas berat untuk memahami dan mereproduksi kesenian ini, yang sering kali dianggap kuno. Namun, semakin banyak kelompok yang berusaha memodifikasi gaya Barongan Derman agar tetap relevan tanpa menghilangkan esensi ritualnya, misalnya dengan menggabungkan gerakan modern atau tata panggung yang lebih menarik bagi penonton muda.
Kedalaman filosofis Barongan Derman terletak pada dualitas dan representasi alam semesta yang dipercayai oleh masyarakat Jawa tradisional. Barong mewakili batas antara dunia manusia dan dunia roh, antara ketertiban dan kekacauan.
Barongan Derman seringkali diinterpretasikan sebagai representasi dari Bhuta Kala (kekuatan raksasa yang menakutkan) yang perlu dihormati dan ditenangkan agar tidak membawa malapetaka. Namun, ia juga adalah manifestasi dari roh pelindung yang menjaga desa. Filosofi dualitas ini mencerminkan pandangan hidup Jawa, di mana kebaikan dan kejahatan selalu ada berdampingan, dan manusia harus mencari jalan tengah (harmoni).
Gerakan tari Barong yang liar, lincah, dan agresif mencerminkan kekuatan alam yang tak terkendali (angin, badai, gunung meletus), yang pada akhirnya dapat dijinakkan oleh kepemimpinan yang bijak (diwakili oleh tokoh pendamping Barong, jika ada) atau oleh kekuatan spiritual Pawang.
Fenomena kesurupan (ndadi) adalah inti spiritual Barongan Derman. Ini bukanlah akting, melainkan keadaan di mana tubuh penari menjadi media bagi energi spiritual tertentu. Dari sudut pandang antropologi, *ndadi* berfungsi sebagai katarsis kolektif. Dalam kehidupan sehari-hari yang penuh tekanan dan tuntutan, momen *ndadi* memberikan ruang bagi penari untuk melepaskan diri dari batasan fisik dan sosial. Ini adalah pembebasan sementara yang disakralkan.
Lebih jauh, aksi kekebalan yang dilakukan saat *ndadi* adalah simbol dari perlindungan spiritual yang diberikan oleh Barong itu sendiri, menegaskan kembali hubungan kuat antara komunitas, spiritualitas leluhur, dan seni pertunjukan yang mereka pertahankan.
Dalam persaingan budaya antar daerah di Jawa, Barongan Derman mempertahankan identitasnya melalui kekhasan visual dan auditif. Topeng yang lebih sederhana namun lebih brutal, ritme gamelan yang lebih cepat dan mentah, serta fokus yang kuat pada ritual kesurupan membedakannya dari seni Barong di wilayah lain. Kekhasan ini menjadi sumber kebanggaan lokal, menandakan bahwa "Barongan kami" memiliki energi dan sejarah yang berbeda, terikat erat dengan tanah dan mitologi spesifik wilayah tersebut.
Di era digital, Barongan Derman menghadapi tantangan besar. Berkurangnya minat generasi muda terhadap kesenian tradisional, masalah pendanaan, dan perubahan nilai-nilai sosial mengancam kelangsungan hidupnya. Namun, muncul berbagai upaya kreatif dan inisiatif pelestarian yang menjanjikan.
Anak muda kini lebih akrab dengan media sosial dan hiburan instan, membuat ritual yang panjang dan gerakan tarian yang kasar Barongan Derman terasa kurang menarik. Ditambah lagi, stigma mistis yang melekat pada kesenian ini terkadang membuat beberapa kelompok masyarakat modern menjauhinya, khawatir terlibat dalam praktik kesurupan atau ritual yang dianggap kuno.
Kelompok Barongan Derman sering berjuang dengan masalah pendanaan untuk pemeliharaan kostum dan alat musik. Regenerasi menjadi krusial; banyak Pawang dan penabuh gamelan senior tidak memiliki penerus yang memadai. Pengetahuan yang diwariskan secara lisan (oral tradition) terancam punah jika tidak ada upaya pendokumentasian dan pelatihan yang terstruktur.
Para seniman muda yang peduli mulai mengambil langkah proaktif. Mereka menggunakan platform digital (YouTube, Instagram) untuk mempromosikan Barongan Derman, menampilkan estetika visual yang unik dan menakutkan agar menarik perhatian audiens global. Beberapa kelompok juga melakukan kolaborasi dengan genre musik modern atau teater kontemporer, memasukkan elemen Barongan Derman ke dalam karya-karya baru, memastikan ia tetap relevan tanpa kehilangan roh aslinya.
Pemerintah daerah dan komunitas akademisi juga berperan dalam mendokumentasikan gerakan tari, pola musik, dan sejarah lisan Barongan Derman. Upaya dokumentasi ini penting sebagai ‘cetak biru’ yang dapat digunakan oleh generasi mendatang untuk mempelajari dan mereproduksi kesenian ini secara otentik.
Untuk melengkapi pemahaman yang komprehensif tentang Barongan Derman, penting untuk membedah lebih detail bagaimana ritual dan praktik di sekitarnya membentuk pola pikir masyarakat Jawa. Kontinuitas budaya ini tidak hanya dijaga melalui pertunjukan, tetapi juga melalui cerita rakyat dan mitos yang diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari.
Menjadi penari Barongan Derman, khususnya pemeran Barong utama atau Jathilan, bukanlah sekadar latihan fisik. Ini melibatkan pelatihan spiritual yang intensif. Calon penari harus menjalani puasa (tirakat), melakukan ritual penyucian diri, dan menjaga pantangan tertentu. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri agar dapat menjadi wadah yang layak bagi roh Barong. Proses pematangan spiritual ini menanamkan rasa tanggung jawab dan disiplin tinggi, yang berkorelasi langsung dengan kualitas pertunjukan yang mereka bawakan.
Kesuksesan seorang penari dinilai bukan hanya dari kelincahannya menari, tetapi dari seberapa baik ia ‘menyambut’ Barong, dan seberapa tulus ia mendedikasikan dirinya pada tradisi. Keberadaan Pawang atau Guru Besar yang dihormati menjadi kunci dalam menjaga garis keturunan spiritual ini. Tanpa legitimasi spiritual dari tetua, pertunjukan Barongan Derman akan kehilangan daya magisnya.
Dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi, Barongan Derman bertindak sebagai narasi kolektif yang kuat. Ketika kakek, ayah, dan cucu menyaksikan pertunjukan yang sama, mereka berbagi memori budaya yang sama. Kisah-kisah yang dipertontonkan, dari legenda lokal hingga petuah moral, menjadi bahasa bersama yang melampaui perbedaan zaman. Anak-anak yang tumbuh melihat Barongan belajar tentang keberanian, kekuatan, dan pentingnya menghormati entitas tak kasat mata sejak dini.
Fenomena ini terlihat jelas dalam ritual 'Bersih Desa', di mana Barongan Derman wajib tampil. Ritual ini memaksa seluruh elemen masyarakat, termasuk yang paling modern sekalipun, untuk berpartisipasi dalam perayaan tradisi, menegaskan kembali hierarki budaya yang berbasis pada warisan leluhur.
Gerakan tarian Barongan Derman dikenal dengan istilah *Nggeblak* atau *Ngelumpruk* (gerakan jatuh/terpuruk) ketika penari berada di puncak *trance*. Gerakan ini kasar, tidak teratur, namun memiliki pola ritmis yang terikat pada bunyi Kendang. Kontras dengan tarian keraton yang anggun, Barongan Derman merayakan gerakan yang terinspirasi dari alam liar dan perilaku binatang buas.
Secara musikal, dominasi instrumen pukul (perkusi) menciptakan pola *call and response* yang cepat, memanggil penari. Ketika ritme Kendang mencapai kecepatan maksimal, itu adalah sinyal bagi Barong untuk melakukan gerakan paling ekstrem, seringkali melibatkan interaksi agresif dengan Pawang atau dengan properti di sekitarnya. Analisis ini menunjukkan bahwa setiap elemen Barongan Derman, baik itu suara maupun gerakan, dirancang untuk memanipulasi kesadaran dan memicu pengalaman spiritual bersama.
Barongan Derman, dengan segala kekayaan mitologi dan kekasaran estetikanya, adalah cerminan dari jiwa rakyat Jawa yang tangguh. Kesenian ini telah bertahan melintasi berbagai zaman, mulai dari era kerajaan, kolonialisme, hingga revolusi, karena ia mampu beradaptasi sambil tetap memegang teguh akar spiritualnya.
Pelestarian Barongan Derman memerlukan kolaborasi aktif antara seniman, pemerintah, dan masyarakat. Investasi dalam pendidikan seni, pendanaan untuk kelompok kesenian, serta penggunaan teknologi modern untuk dokumentasi adalah langkah-langkah konkret yang harus dilakukan. Dengan demikian, Barongan Derman akan terus menjadi Penjaga Tradisi, meraung keras, menyebarkan energi spiritual, dan menceritakan kisah-kisah leluhur kepada generasi yang akan datang, memastikan bahwa identitas budaya Jawa di wilayah pesisir utara tetap hidup dan bersemangat.
Evolusi Barongan Derman tidak dapat dilepaskan dari sejarah migrasi dan percampuran budaya di wilayah Pantura. Sejarawan lokal sering menunjuk pada periode di mana desa-desa harus menghadapi ancaman dari alam liar (seperti harimau atau babi hutan) atau ancaman dari perampok. Topeng Barong, dengan wujudnya yang menakutkan, pada awalnya mungkin berfungsi sebagai alat intimidasi atau simbol perlindungan magis. Transformasi dari alat ritual sederhana menjadi pertunjukan publik yang rumit mencerminkan stabilitas sosial yang memungkinkan ritual tersebut diorganisir menjadi sebuah tontonan.
Dalam konteks ritual bersih desa, Barongan Derman sering diletakkan di bagian paling depan prosesi. Peran Barong di sini adalah sebagai pembersih jalan spiritual, mengusir roh jahat (sawanan) atau energi negatif yang mungkin menghalangi kemakmuran desa. Air yang digunakan untuk memandikan Barong sebelum dan sesudah pertunjukan (ritual jamasan) seringkali dipercaya memiliki kekuatan penyembuhan dan perlindungan. Masyarakat lokal bahkan meminta sisa air *jamasan* untuk dibawa pulang, menunjukkan tingkat kepercayaan yang mendalam terhadap entitas yang diwakili oleh Barong.
Meskipun Barongan Derman adalah seni rakyat, ia memiliki aspek teatrikal yang kuat. Drama yang dipertontonkan biasanya berkisar pada konflik. Ada figur 'musuh' yang sering direpresentasikan oleh karakter berkostum putih atau kera yang nakal, dan figur 'pembantu' Barong seperti Jathilan atau penari topeng lainnya. Konflik ini tidak diselesaikan melalui dialog yang panjang, tetapi melalui tarian yang brutal dan ekspresif. Penggunaan ruang pentas (yang seringkali adalah lapangan terbuka) dan interaksi langsung dengan penonton memperkuat sifat inklusif dan partisipatif dari Barongan Derman. Penonton bukanlah pengamat pasif; mereka adalah bagian dari energi kolektif yang memicu atau menenangkan kondisi *trance*.
Peran *Bujang Ganong* (jika ada, meskipun lebih khas Reog, varian Barongan Derman tertentu mengadopsi tokoh lincah) berfungsi sebagai elemen komedi dan pemecah ketegangan. Tokoh ini mewakili kelicikan manusia dan ketidakpastian. Kehadiran elemen humor ini memastikan bahwa meskipun ritualnya serius dan mistis, pertunjukan secara keseluruhan tetap menghibur dan mudah diakses oleh semua kalangan usia.
Mari kita telisik lebih jauh tentang bahan baku topeng (Kedok). Pemilihan kayu jati (Tectona grandis) bukan kebetulan. Jati dikenal karena kekuatannya, namun yang lebih penting, ia memiliki serat yang dianggap mampu menahan dan menyimpan energi spiritual lebih baik daripada kayu lainnya. Perajin topeng harus mengikuti pantangan khusus saat mengukir Kedok Barongan Derman, terkadang berpuasa atau mengukir hanya pada malam hari, saat energi kosmik dianggap paling kuat. Ini menunjukkan bahwa topeng bukan hanya objek seni, melainkan benda sakral yang diciptakan melalui proses spiritual yang ketat.
Bahan Gondel (rambut Barong) yang terbuat dari ijuk melambangkan kesederhanaan dan ketahanan rakyat jelata. Ijuk adalah serat yang kuat dan hitam, mengingatkan pada akar bumi. Ketika ijuk ini dicampur dengan warna merah dan emas, ia menciptakan kontras yang mencolok antara kekuatan alamiah dan kekuatan supernatural, sebuah perpaduan estetika yang sangat Barongan Derman.
Lagu-lagu pengiring dalam Barongan Derman sering menggunakan lirik berbahasa Jawa dialek lokal yang spesifik di daerah tersebut (misalnya, dialek Blora atau Cepu). Lirik ini seringkali berisi pujian kepada leluhur, himne spiritual (kadang dipengaruhi lirik Islam Kejawen), atau deskripsi naratif tentang konflik yang sedang dipentaskan. Keberadaan dialek lokal dalam lirik adalah salah satu cara terkuat kesenian ini mempertahankan identitas regionalnya di tengah homogenisasi bahasa oleh media nasional.
Para penabuh Gamelan Barongan harus memiliki kepekaan ritme yang luar biasa. Mereka tidak hanya memainkan melodi, tetapi mereka ‘berkomunikasi’ dengan penari. Perubahan kecepatan dan volume kendang harus disinkronkan dengan tingkat *trance* penari. Jika penari mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan atau terlalu liar, penabuh kendang harus menyesuaikan ritme untuk menstabilkan kondisi mereka, menunjukkan adanya sistem komunikasi non-verbal yang rumit antara penari, Pawang, dan musisi.
Secara spiritual, Barongan Derman memberikan rasa aman. Dalam pandangan tradisional, desa yang tidak pernah menggelar Barongan Derman secara berkala dianggap rentan terhadap gangguan gaib, penyakit, atau kegagalan panen. Oleh karena itu, pementasan Barongan Derman berfungsi sebagai *ruwatan* (upacara penyucian) kolektif, sebuah investasi spiritual tahunan yang menjamin keselamatan dan kemakmuran. Bagi individu yang pernah dirasuki (ndadi), pengalaman tersebut seringkali dianggap sebagai momen transformatif, di mana mereka merasa lebih terhubung dengan alam dan leluhur, meningkatkan status spiritual mereka dalam komunitas.
Sangat jarang Barongan Derman dipentaskan tanpa alasan yang kuat. Selalu ada intensi spiritual atau sosial di baliknya. Berbeda dengan pertunjukan hiburan modern yang bisa diselenggarakan kapan saja, Barongan Derman terikat pada kalender Jawa atau peristiwa penting dalam daur hidup masyarakat (pernikahan, khitanan, atau panen raya). Keterikatan ini memperkuat posisinya sebagai kesenian yang dihormati dan sakral.
Meskipun Barongan utamanya ditarikan oleh pria, peran wanita sangat vital, terutama dalam kelompok Jathilan (penari kuda lumping wanita, yang juga rentan *ndadi*) dan sebagai sinden (penyanyi) Gamelan. Sinden memberikan sentuhan melodi dan lirik yang menenangkan di antara ritme perkusi yang keras, berfungsi sebagai penyeimbang Yin dan Yang dalam pertunjukan. Keseimbangan energi ini adalah metafora untuk harmoni masyarakat, di mana kekuatan keras (Barong) harus diimbangi oleh kelembutan (Sinden) untuk mencapai kondisi spiritual yang sempurna.
Secara keseluruhan, Barongan Derman adalah ensiklopedia hidup tentang bagaimana masyarakat Jawa di kawasan Pantura memahami dunia mereka: perpaduan antara keindahan yang menakutkan, kekuatan ritual, dan kehangatan komunal yang dilestarikan melalui bunyi kendang yang tak pernah berhenti.