I. Pendahuluan: Memahami Kekuatan Primal Sang Babi Hutan
Dalam khazanah seni pertunjukan tradisional Jawa, khususnya yang berkaitan dengan ritual dan pementasan Barongan atau Reog, figur-figur yang ditampilkan bukan sekadar karakter hiburan, melainkan representasi mendalam dari kekuatan alam, mitologi, dan tatanan sosial yang kompleks. Di antara tarian topeng singa yang megah dan jajaran penari kuda lumping yang terhipnotis, terdapat satu tokoh yang tak kalah penting, namun seringkali disalahpahami: Barongan Celeng. Sosok Celeng, atau babi hutan, adalah manifestasi dari energi primal, keganasan alam yang tak terkontrol, serta simbol dualitas yang esensial dalam kosmologi Jawa. Ia adalah kekacauan yang mendahului keteraturan, nafsu yang harus dijinakkan, dan kekuatan bumi yang bergerak tanpa batasan.
Celeng dalam pertunjukan tradisional bukan sekadar pigura sampingan; ia berfungsi sebagai penyeimbang dramatis bagi tokoh utama, Barong atau Singa Barong, yang melambangkan kebijaksanaan atau otoritas kerajaan. Kehadirannya yang liar dan gerakannya yang cepat, seringkali memicu tawa sekaligus ketakutan di kalangan penonton. Penggambaran Celeng ini melintasi batas geografis, muncul dalam berbagai bentuk dari Barongan Blora, Reog Ponorogo (meski seringkali dimodifikasi), hingga tradisi Barong Ket di Bali, namun dengan esensi yang sama: energi yang perlu diakomodasi dan dikendalikan oleh kekuatan spiritual yang lebih tinggi. Artikel ini akan menyelami secara mendalam struktur, sejarah, estetika, dan filosofi Barongan Celeng, menyingkap mengapa sosok babi hutan ini memegang peranan vital dalam menjaga keseimbangan naratif dan spiritual pertunjukan rakyat Nusantara.
Untuk memahami sepenuhnya dampak dan makna Barongan Celeng, kita harus terlebih dahulu mengapresiasi konteks sosial tempat ia dilahirkan. Masyarakat agraris tradisional sangat akrab dengan babi hutan (celeng) sebagai ancaman nyata terhadap mata pencaharian mereka. Hewan ini melambangkan ketamakan, perusakan, dan kekuatan alam yang destruktif. Namun, dalam paradoks spiritual, kekuatan yang merusak ini juga dipandang sebagai energi kesuburan yang berlimpah, atau bahkan perwujudan dewa-dewa tertentu. Transformasi ketakutan menjadi seni dan ritual inilah yang menjadi inti dari Barongan Celeng.
Ilustrasi topeng Barongan Celeng dengan ciri khas moncong panjang, taring, dan mata merah yang melambangkan keganasan.
II. Akar Historis dan Mitologis Celeng dalam Tradisi Jawa
Hubungan antara manusia dan babi hutan telah terjalin lama dalam kebudayaan kuno. Jauh sebelum Islamisasi masif di Jawa, Celeng atau Varaha (Babi Hutan) memegang peranan sentral dalam mitologi Hindu-Buddha. Varaha adalah avatar ketiga dari Dewa Wisnu, yang turun ke bumi untuk menyelamatkan bumi (Pertiwi) dari dasar samudra. Figur Varaha ini melambangkan kekuatan, penyelamatan, dan kemampuan untuk menggali hingga ke akar masalah. Meskipun Barongan Celeng dalam konteks kesenian rakyat modern memiliki nuansa yang lebih profan dan komedik, jejak spiritual Varaha tidak sepenuhnya hilang. Energi yang diserap oleh topeng Celeng adalah energi bumi, energi ‘bawah’ yang kuat dan tak terbantahkan.
Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah dan Timur, pertunjukan tarian topeng seringkali digunakan sebagai sarana ritual untuk menolak bala atau memohon kesuburan panen. Di sinilah Celeng mulai mengambil peran yang lebih spesifik—bukan lagi sebagai dewa penyelamat, melainkan sebagai roh penjaga hutan yang kacau (memedi alas) atau sebagai perwujudan nafsu duniawi yang harus diatur oleh Ratu (Barong). Topeng celeng yang dibuat oleh para seniman kuno diyakini memiliki ‘isi’ atau roh yang diundang melalui ritual tertentu, membuatnya lebih dari sekadar properti pementasan.
Dalam konteks Jawa Timur, terutama di wilayah Blora, Ngawi, dan Ponorogo, Barongan Celeng juga terkadang dihubungkan dengan cerita rakyat lokal yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan atau perlawanan terhadap otoritas. Celeng bisa menjadi metafora bagi rakyat jelata yang marah, yang bergerak berdasarkan naluri dan keinginan untuk bertahan hidup. Ini memberikan dimensi politik dan sosial yang kaya pada karakter Celeng, jauh melampaui sekadar representasi hewan buas. Simbolisme ini diperkuat melalui penggunaan bahan-bahan alami dan mistis dalam pembuatan topeng. Kayu yang dipilih seringkali adalah kayu tertentu yang dianggap angker atau memiliki kekuatan penolak bala, seperti kayu jati yang tumbuh di tempat yang sepi atau kayu waru yang konon disukai oleh makhluk halus.
Transisi makna Celeng dari sosok dewa (Varaha) menjadi roh liar hutan (Memedi) menunjukkan bagaimana mitologi diserap dan diadaptasi oleh tradisi rakyat. Kekuatan babi hutan yang dikenal ganas, rakus, namun juga sangat bersemangat dan subur, menjadi representasi sempurna dari elemen alam yang tak dapat diprediksi. Ini merupakan narasi yang terus menerus diulang dalam pertunjukan, di mana Celeng akan menyerang, mengganggu, atau bahkan merayu, sebelum akhirnya ‘dijinakkan’ atau ‘dikalahkan’ oleh figur Barong atau Jathilan, yang melambangkan tatanan yang lebih beradab dan terstruktur.
Ritual dan Aktivasi Topeng
Pembuatan topeng Celeng bukanlah sekadar pekerjaan seni ukir biasa, melainkan sebuah ritual sakral. Seniman pembuat topeng (undhagi) harus melalui serangkaian laku spiritual, seperti puasa mutih atau pantang tidur, sebelum mulai mengukir. Ritual ini bertujuan untuk ‘mengisi’ topeng dengan kekuatan tertentu yang sesuai dengan karakter yang akan dibawakannya—kekuatan yang cepat, liar, dan sedikit nakal. Topeng Celeng harus mampu memancarkan aura keganasan dan kegembiraan secara bersamaan. Penggunaan ijuk atau rambut kuda hitam pekat (irengan) yang tebal pada bagian punggung dan kepala Celeng dimaksudkan untuk menambah kesan seram, liar, dan juga sebagai penarik perhatian spiritual. Ini bukan hanya masalah estetika, tetapi juga berfungsi sebagai antena spiritual untuk energi yang diundang masuk.
Setiap kelompok Barongan atau Reog memiliki keyakinan spesifik tentang kapan dan bagaimana topeng Celeng harus diaktivasi. Ada yang percaya bahwa Celeng harus diposisikan menghadap ke Timur saat penyimpanan, atau bahwa ia hanya boleh disentuh oleh penari yang telah disucikan. Kekuatan mistis inilah yang seringkali menjelaskan mengapa penari Celeng tampak sangat energetik dan bahkan terkadang mengalami fase trance (kesurupan), meniru gerakan babi hutan secara insting, menggali tanah dengan moncongnya, atau berlari kencang tanpa terlihat lelah.
III. Anatomi dan Estetika Topeng Celengan
Topeng Celeng, atau Celengan, memiliki karakteristik estetika yang sangat spesifik yang membedakannya dari figur Barong lainnya. Secara umum, topeng ini dibuat dari kayu yang ringan namun kuat, memungkinkan penari untuk bergerak cepat dan dinamis. Fokus utama pada desain Celengan adalah moncongnya yang panjang, taring yang menonjol, dan mata yang ekspresif, seringkali berwarna merah menyala atau kuning tajam, menyiratkan nafsu dan agresivitas yang tak terpuaskan.
Detail Ukiran dan Warna: Tubuh Celengan biasanya dicat dengan warna-warna gelap, seperti cokelat tua, hitam, atau perpaduan keduanya, meniru warna kulit babi hutan. Namun, beberapa varian Celeng di Jawa Tengah timur menggunakan aksen warna cerah, seperti hijau atau emas, untuk menonjolkan sifat komikal atau magisnya. Moncong (cucuk) Celeng dibuat menjorok ke depan dan seringkali dilengkapi dengan mekanisme sederhana yang memungkinkan moncong tersebut bergerak-gerak saat penari melakukan gerakan mengendus atau menggali. Ini menambah realisme dan aspek humor yang sangat dihargai penonton.
Gading (Taring): Taring adalah elemen paling menonjol pada topeng Celeng. Biasanya dibuat dari kayu, tulang, atau bahkan gading imitasi yang tajam dan melengkung ke atas. Taring ini melambangkan bahaya, kemampuan bertarung, dan kekuatan Celeng dalam merusak. Dalam konteks naratif, taring ini adalah senjata yang digunakan Celeng untuk mengancam desa atau tokoh-tokoh tatanan sosial, seperti Ndoro Barong atau penari Jathil. Panjang dan bentuk taring seringkali menjadi penentu keganasan visual dari topeng tersebut.
Rambut dan Hiasan: Bagian punggung dan kepala Celeng dihiasi dengan ijuk (serat pohon aren) atau rambut kuda (cemeti) yang dicat hitam pekat. Hiasan rambut ini harus tebal dan kaku, memberikan ilusi bulu babi hutan yang tebal dan liar. Ketika penari bergerak, rambut ini akan bergoyang cepat, menambah kesan kecepatan dan agresivitas. Beberapa Celengan modern menambahkan manik-manik atau kain merah sebagai aksen, tetapi esensi liarnya tetap dipertahankan melalui penggunaan bahan-bahan alami.
Estetika Celeng sengaja dibuat kontras dengan Barong. Barong megah, berbulu emas, dan gerakannya lambat, anggun, mencerminkan kekuasaan langit. Sebaliknya, Celeng kasar, gelap, dan bergerak sangat cepat, mencerminkan kekuatan tanah dan hutan. Kontras visual dan koreografi ini adalah kunci utama dalam pertunjukan Barongan, menciptakan ketegangan yang menarik antara tatanan dan kekacauan, antara peradaban dan alam liar yang tak tersentuh.
Variasi Regional Celengan
Celengan tidaklah monolitik. Di Blora, Celengan seringkali berukuran besar dan bergerak bersamaan dengan kelompok Barong yang sangat energetik. Di wilayah lain yang terpengaruh oleh Reog Ponorogo, meskipun Celeng mungkin bukan karakter utama, pengaruhnya terasa dalam gerakan para penari bujang ganong yang lincah dan sedikit nakal, meskipun Ganong memiliki fokus pada monyet. Namun, spirit ‘nakal’ dan ‘mengganggu’ yang merupakan ciri khas Celeng tetap menjadi elemen penting dalam dinamika panggung.
Di Jawa Barat, meskipun tradisi Barongan berbeda, karakter yang mewakili kebuasan atau kekuatan alam liar tetap ada, menegaskan bahwa kebutuhan akan representasi energi primal adalah universal dalam pertunjukan ritual. Perbedaan utama terletak pada seberapa jauh Celeng dianggap sebagai antagonis murni atau sebagai bagian integral dari siklus ritual yang membawa keberuntungan. Dalam kebanyakan kasus Jawa, Celeng adalah antagonis yang diperlukan; tanpa kekacauan yang dibawanya, kemenangan Barong tidak akan terasa berarti.
IV. Peran Dinamis dan Koreografi Celeng dalam Pertunjukan
Dalam pertunjukan Barongan secara utuh, Celeng memegang peranan sebagai motor konflik, pemberi warna komedi, dan simbol dari kekuatan yang harus ditundukkan. Posisinya dalam narasi sangat penting: ia adalah katalis yang memaksa tokoh utama untuk bertindak. Tanpa Celeng, pertunjukan Barongan hanya akan menjadi parade keindahan tanpa makna substansial dari perjuangan.
Koreografi Kecepatan dan Ketidakpastian
Koreografi penari Celeng sangat berbeda dari karakter lainnya. Sementara Barong bergerak lambat dan wibawa, dan Jathilan (penari kuda lumping) bergerak ritmis dan teratur, Celeng harus bergerak dengan kecepatan, ketidakpastian, dan spontanitas yang tinggi. Gerakan khas Celeng meliputi:
- Nyosor (Mengendus/Menggali): Penari seringkali merunduk, menggunakan moncong topeng untuk "menggali" atau "mengendus" tanah, meniru kebiasaan babi hutan mencari makanan. Gerakan ini melambangkan kerakusan atau nafsu yang mengakar kuat di bumi.
- Lari Liar (Mlayu Ganas): Celeng harus berlari zig-zag, melompat, dan menerobos kerumunan. Kecepatan ini mencerminkan keganasan dan energi yang tak terduga. Penari Celeng membutuhkan stamina yang luar biasa karena harus terus bergerak cepat sepanjang babak konflik.
- Menggoda dan Mengganggu: Celeng seringkali mendekati penonton atau mengganggu penari lain, terutama Jathilan, dengan gerakan-gerakan yang nakal dan lucu. Ini adalah fungsi komedi Celeng; ia memecah ketegangan dan membuat penonton merasa terhubung secara emosional.
- Serangan ke Barong: Puncak koreografi adalah saat Celeng menyerang Barong. Serangan ini harus cepat dan bertenaga, menunjukkan kekuatan Celeng yang mampu menantang otoritas tertinggi. Konflik ini adalah inti dari pertunjukan, di mana akhirnya Barong akan menguasai Celeng, seringkali melalui ritual trance atau gerakan magis.
Kecepatan gerakan Celeng didukung oleh irama Gamelan yang spesifik. Saat Celeng muncul, tempo musik akan meningkat drastis, didominasi oleh suara kendang yang cepat dan tabuhan kenong yang agresif, menciptakan suasana tegang dan mendebarkan. Peran penabuh Gamelan di sini sangat krusial; mereka harus mampu mengikuti improvisasi liar penari Celeng tanpa kehilangan ritme utama.
Celeng sebagai Mediator Chaos
Dalam tradisi spiritual Jawa, kekacauan (chaos) bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif, melainkan fase yang diperlukan dalam siklus penciptaan. Celeng, sebagai perwujudan kekacauan, menjadi mediator antara dunia manusia yang teratur dan dunia gaib yang liar. Ketika penari Celeng mengalami trance, gerakan yang dihasilkan diyakini bukan lagi gerakan manusia, melainkan gerakan roh babi hutan yang telah diundang masuk ke dalam topeng. Trance ini menunjukkan puncak dari energi primal yang dilepaskan, memberikan bukti kepada penonton akan adanya kekuatan non-manusia yang bekerja di atas panggung.
Penting untuk dicatat bahwa dalam beberapa tradisi, Celeng tidak selalu ditaklukkan secara fisik, melainkan 'dikendalikan' atau 'dikooptasi' oleh Barong. Barong, sebagai simbol kebijaksanaan, tidak menghancurkan Celeng, tetapi menyalurkan energi liarnya ke arah yang konstruktif atau kembali ke alamnya. Pesan filosofisnya adalah bahwa kekuatan alam liar harus dihormati dan diselaraskan, bukan dimusnahkan.
Integrasi Celeng dalam kelompok Barongan juga mencerminkan kebutuhan masyarakat untuk menertibkan naluri terliar mereka sendiri. Setiap orang memiliki ‘Celeng’ dalam dirinya—nafsu, keserakahan, dan dorongan yang tak terkontrol. Melalui pertunjukan, masyarakat secara kolektif menyaksikan penaklukan simbolis dari naluri ini oleh ‘Barong’ (kesadaran kolektif atau spiritualitas), memungkinkan pelepasan ketegangan sosial dan psikologis secara aman dan ritualistik.
V. Simbolisme Filosofis: Nafsu, Kesuburan, dan Keseimbangan Kosmos
Simbolisme Celeng adalah salah satu yang paling kaya dan berlapis dalam seni pertunjukan Jawa. Ia merangkum kontradiksi fundamental dalam kehidupan: antara kebutuhan dan ketamakan, antara kehancuran dan penciptaan, antara hutan dan peradaban. Untuk memahami kedalaman filosofinya, kita harus melihat Celeng dari tiga aspek utama: Nafsu (Keserakahan), Kesuburan (Fertilitas), dan Keseimbangan (Dualitas).
Celeng sebagai Representasi Nafsu (Kamukten)
Dalam konteks Jawa klasik, babi hutan adalah representasi sempurna dari kerakusan atau nafsu duniawi yang tak terbatas (Kamukten). Babi dikenal sebagai hewan yang makan apa saja, merusak ladang, dan sulit dikontrol. Dalam pewayangan, sosok Celeng sering dikaitkan dengan tokoh-tokoh yang terjerumus dalam keserakahan. Oleh karena itu, ketika Celeng muncul di panggung, ia membawa aura ketidakpuasan dan ambisi yang buta. Gerakannya yang cepat dan fokusnya pada ‘mencari’ dan ‘merusak’ secara visual menerjemahkan konsep nafsu yang menggebu-gebu.
Pertarungan antara Celeng dan Barong adalah pertarungan internal manusia: perjuangan antara keinginan primal (Celeng) dan akal sehat atau spiritualitas (Barong). Dengan ditundukkannya Celeng oleh Barong, penonton diajak untuk merenungkan perlunya pengendalian diri terhadap hawa nafsu. Meskipun Celeng nakal dan komikal, ia tetap berfungsi sebagai peringatan moral yang kuat. Komedinya adalah lapisan gula pada pil pahit moralitas.
Simbolisme Kesuburan dan Bumi
Meskipun Celeng diasosiasikan dengan kehancuran panen, ia juga secara paradoks erat kaitannya dengan kesuburan (fertilitas). Sebagai penggali tanah, babi hutan secara alami membolak-balikkan bumi, yang dalam pandangan agraris dapat dianggap sebagai persiapan lahan untuk musim tanam berikutnya. Gerakan Celeng yang ‘nyosor’ di panggung adalah ritual simbolis penggalian bumi, memohon agar tanah menjadi subur dan menghasilkan panen yang melimpah. Di beberapa daerah, kehadiran Barongan Celeng dalam pawai diyakini dapat membawa hujan dan kesuburan bagi lahan pertanian.
Koneksi dengan bumi (Pertiwi) ini diperkuat oleh fakta bahwa babi hutan hidup di lapisan paling bawah dari ekosistem hutan—di dasar. Ia adalah representasi dari energi bumi yang padat, materialistis, dan produktif. Ini menegaskan bahwa Celeng bukanlah entitas dari kegelapan spiritual, melainkan entitas dari kekuatan alam yang paling mendasar dan esensial untuk kehidupan fisik, meskipun kekuatannya harus diatur agar tidak menjadi destruktif.
Dualitas dan Keseimbangan Kosmik
Filosofi paling mendasar dari Celeng adalah perannya dalam menciptakan dualitas. Kosmos Jawa, seperti banyak kosmologi Asia Tenggara, didasarkan pada prinsip Rwa Bhineda—dua hal yang berbeda namun saling melengkapi. Barong melambangkan kebaikan, tatanan, atas (langit), dan Celeng melambangkan keburukan, kekacauan, bawah (bumi).
Tanpa keberadaan Celeng, Barong tidak akan memiliki makna heroik. Kekuatan spiritual Barong hanya dapat diuji dan diperlihatkan melalui tantangan yang ditimbulkan oleh Celeng. Keseimbangan kosmik tercipta bukan karena Celeng dimusnahkan, tetapi karena ia dikendalikan dan diintegrasikan. Pertunjukan berakhir bukan dengan kematian Celeng, melainkan dengan penerimaannya kembali ke dalam tatanan, atau pengusirannya sementara, menandakan bahwa siklus konflik dan penyelarasan akan terus berlanjut. Ini adalah cerminan dari kehidupan manusia, di mana nafsu dan spiritualitas harus selalu bernegosiasi untuk mencapai kedamaian yang fana.
Lebih jauh lagi, pemahaman atas Celeng membuka pintu menuju pemikiran bahwa seni pertunjukan tradisional adalah alat untuk terapi sosial. Ketika penari Celeng mengalami trance, penonton dihadapkan pada ketakutan mereka sendiri akan alam liar dan kekuatan tak kasat mata. Melalui ritual kolektif ini, ketakutan tersebut diakui, dipentaskan, dan pada akhirnya, diatasi oleh tatanan yang diwakili Barong, memberikan rasa aman kolektif pada komunitas.
Ilustrasi siluet penari Barongan Celeng yang bergerak cepat dan liar, melambangkan keganasan dan spontanitas.
VI. Perkembangan dan Transformasi Celeng di Era Modern
Seiring berkembangnya zaman, pertunjukan Barongan dan Reog menghadapi tantangan adaptasi yang signifikan. Kesenian ini tidak lagi hanya diselenggarakan untuk ritual panen atau tolak bala, tetapi juga sebagai hiburan panggung, festival budaya, dan bahkan komoditas pariwisata. Transformasi ini secara inheren memengaruhi peran dan presentasi Celeng.
Pergeseran Fokus: Dari Ritual ke Hiburan
Di masa lalu, aura mistis dan potensi trance pada penari Celeng adalah elemen yang paling penting. Kini, fokus bergeser ke aspek koreografi, kecepatan, dan unsur komedi. Celeng modern cenderung lebih ‘lucu’ dan interaktif dengan penonton. Moncong yang bergerak dan suara-suara babi hutan yang dilebih-lebihkan digunakan untuk menarik perhatian anak-anak dan memberikan jeda humor dalam pertunjukan yang panjang.
Meskipun unsur mistis tidak hilang sepenuhnya, penggunaannya kini lebih dikontrol. Trance atau kerasukan kini mungkin hanya ditampilkan pada momen-momen klimaks tertentu, tidak sepanjang pertunjukan seperti dahulu. Para seniman kini mempraktikkan teknik pernapasan dan olah tubuh yang memungkinkan mereka meniru keganasan Celeng tanpa harus sepenuhnya bergantung pada kekuatan spiritual, meskipun penghormatan terhadap roh topeng tetap dipertahankan sebagai bagian dari etika pertunjukan.
Celeng dalam Komunitas Diaspora
Dengan migrasi komunitas Jawa, Barongan Celeng juga ikut melintasi batas negara, dibawa dan dipentaskan di luar negeri, dari Suriname hingga Hong Kong. Dalam konteks diaspora, fungsi Celeng berubah lagi. Ia tidak lagi hanya melambangkan konflik internal, tetapi juga menjadi penanda identitas budaya dan sarana untuk menjaga koneksi dengan tanah leluhur. Di sini, Celeng mewakili semangat tak terkalahkan dan daya tahan masyarakat perantau, sebuah energi yang liar namun mampu bertahan dalam lingkungan asing.
Namun, adaptasi juga membawa tantangan. Kurangnya bahan baku tradisional, seperti jenis kayu sakral tertentu atau rambut kuda asli, memaksa seniman untuk berimprovisasi dengan bahan modern, yang terkadang mengurangi kedalaman spiritual dari topeng tersebut. Meski demikian, semangat inti Celeng—kecepatan, keganasan, dan peran sebagai penyeimbang—selalu dipertahankan, memastikan bahwa pesan filosofisnya tetap relevan.
Peran Celeng dalam regenerasi Barongan juga sangat vital. Karena Celeng adalah karakter yang sangat dinamis dan membutuhkan keahlian fisik tinggi, ia seringkali menjadi peran favorit bagi penari muda yang bersemangat. Melalui pelatihan Celeng, generasi baru seniman belajar disiplin, stamina, dan yang terpenting, pemahaman mendalam tentang dualitas dalam budaya Jawa.
VII. Proses Pembuatan Celengan: Keseimbangan antara Seni dan Sakralitas
Proses menciptakan Celengan adalah perpaduan antara keterampilan teknis seorang pengukir dan laku spiritual seorang praktisi. Keberhasilan sebuah topeng Celeng tidak diukur dari keindahannya semata, tetapi dari kemampuannya untuk ‘mengajak’ roh babi hutan untuk bersemayam dan bergerak bersama penari.
Pemilihan Kayu dan Ritual Awal
Fondasi utama Celengan adalah kayu. Secara tradisional, kayu Jati atau Waru yang telah dipilih melalui proses ritual khusus adalah yang paling dicari. Pohon yang dipilih biasanya harus tumbuh di tempat yang dianggap keramat atau di perbatasan desa (patilasan), melambangkan batas antara dunia manusia dan dunia liar. Sebelum pohon ditebang, sesaji khusus (sesajen) dipersembahkan, memohon izin kepada dhanyang (roh penjaga) pohon agar kayu tersebut membawa berkah dan kekuatan. Kayu tersebut harus ‘dingin’—tidak diambil secara sembarangan—agar roh yang diundang masuk bersifat jinak dan tidak membahayakan penari.
Setelah kayu didapatkan, proses pengukiran (ngukir) dimulai. Pengukir (undhagi) seringkali menjalankan puasa tertentu, memastikan bahwa fokus spiritualnya murni selama proses berlangsung. Detail anatomi harus akurat, tetapi ekspresi harus dilebih-lebihkan. Mata harus cekung dan menatap tajam, taring harus menakutkan, dan moncong harus memiliki energi yang ganas. Pembuatan mata Celeng seringkali menjadi bagian paling krusial, karena mata dianggap sebagai jendela spiritual topeng. Beberapa kelompok Barongan bahkan menggunakan batu akik atau kristal tertentu untuk mata Celeng, yang dipercaya dapat memancarkan energi.
Penyempurnaan: Pewarnaan dan Hiasan Irengan
Pewarnaan topeng Celeng biasanya menggunakan pigmen alami, meskipun cat modern kini umum digunakan. Warna cokelat tanah, hitam pekat, dan merah darah pada mata adalah wajib. Setelah pewarnaan, topeng akan dilapisi dengan lilin atau minyak khusus untuk melindunginya dan memberikan kilau yang menonjolkan tekstur kayu.
Elemen pembeda Celeng dari topeng lain adalah penggunaan bulu atau rambut tebal (irengan) yang dipasang di sepanjang punggung dan kepala. Irengan ini dulunya harus diambil dari rambut kuda atau serat ijuk yang dipanen secara ritualistik. Bulu ini direkatkan dengan perekat tradisional, dan pemasangannya pun harus disertai mantra atau doa, memastikan bahwa setiap helai rambut membawa getaran kebuasan yang ingin diwakili oleh Celeng.
Proses Pengisian (Mantra dan Dupa)
Tahap akhir dan paling penting adalah ‘pengisian’ (penganugerahan spirit) Celengan. Topeng yang telah selesai diukir dan dihias harus melalui ritual yang dipimpin oleh seorang sesepuh atau dukun. Ritual ini melibatkan pembacaan mantra (donga), pembakaran dupa (kemenyan), dan persembahan sesajen. Tujuannya adalah untuk memanggil roh Celeng (bisa berupa roh leluhur yang ganas, atau roh hutan) agar ‘menempati’ topeng tersebut. Roh ini diharapkan dapat memberikan kekuatan, kecepatan, dan perlindungan magis kepada penari yang mengenakannya.
Setelah diisi, Celengan menjadi ‘pusaka’ kelompok, sebuah benda yang sakral dan tidak boleh diperlakukan sembarangan. Ia harus disimpan di tempat khusus, dipuja sebelum pertunjukan, dan bahkan diberi makan secara spiritual (misalnya, dengan asap dupa) pada malam-malam tertentu. Keseimbangan ini—antara topeng sebagai karya seni ukir yang indah dan sebagai wadah spiritual yang kuat—menjadikan Celengan salah satu artefak budaya yang paling menarik dan misterius di Nusantara.
VIII. Mempertahankan Spirit Celeng di Tengah Arus Globalisasi
Barongan Celeng adalah penjaga gerbang antara masa lalu dan masa kini. Dalam dunia yang semakin homogen, di mana hiburan modern mendominasi, Celeng memberikan pengingat yang keras dan liar tentang akar spiritual dan mitologis masyarakat Jawa. Ia adalah manifestasi yang hidup dari tradisi animisme dan dinamisme yang telah lama bernegosiasi dengan pengaruh agama-agama besar.
Upaya pelestarian Celeng kini tidak hanya berfokus pada pelatihan penari dan pengukir, tetapi juga pada dokumentasi filosofis. Generasi muda perlu memahami bahwa di balik topeng yang lucu dan gerakan yang cepat, terdapat kisah-kisah panjang tentang dewa-dewa yang berubah menjadi binatang, tentang konflik batin manusia, dan tentang upaya abadi untuk menertibkan alam liar. Celeng mengajarkan bahwa kekuatan terliar kita pun memiliki tempat yang sah dalam tatanan yang lebih besar.
Dalam pertarungan antara tradisi dan modernitas, Barongan Celeng tetap relevan karena ia menyentuh esensi manusia—kebutuhan kita akan energi, nafsu, dan kemampuan untuk bangkit kembali setelah kekacauan. Ia adalah simbol yang tak lekang oleh waktu dari siklus kehidupan yang abadi: dari bumi (Celeng), ke tatanan (Barong), dan kembali lagi, dalam sebuah tarian dualitas yang tak pernah usai.
Kehadiran Celeng di panggung modern adalah janji bahwa roh hutan, meskipun terdesak oleh beton dan kota, tidak akan pernah mati sepenuhnya. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk melompat, berlari liar, dan mengingatkan kita akan kekuatan primal yang masih bersemayam di bawah kaki kita dan di dalam diri kita. Kekuatan Celeng adalah kekuatan daya tahan, kegembiraan yang liar, dan kebenaran yang tak terhindarkan tentang sifat manusia yang selalu berjuang di antara keteraturan dan insting.
Kelangsungan Barongan Celeng bergantung pada apresiasi kita terhadap dualitas ini. Selama masyarakat masih membutuhkan narasi tentang bagaimana menghadapi dan mengendalikan energi terliar mereka, selama itu pula Celeng akan terus berlari, mengendus, dan menari di panggung-panggung Nusantara, menjaga keseimbangan kosmik dengan semangat liarnya yang tak tertandingi.
Setiap gerakan Celeng adalah sebuah kalimat dalam bahasa filosofi Jawa yang kompleks. Setiap lompatan adalah sebuah pertanyaan, dan setiap tabrakan dengan Barong adalah sebuah jawaban. Kesenian ini, dengan segala keganasan dan kekonyolannya, adalah warisan tak ternilai yang harus dijaga agar generasi mendatang dapat terus belajar dari semangat liar sang babi hutan yang tak pernah menyerah pada tatanan.