Ilustrasi topeng Barongan Buto Gedruk dengan mata melotot dan taring, merepresentasikan kekuatan spiritual tari Jaranan Jawa Timur.
Di antara berbagai corak kesenian tradisional yang menghiasi panggung budaya Jawa Timur, terdapat satu entitas yang secara kontras menonjolkan sisi agresif, mistis, dan tak jarang menakutkan: Barongan Buto Gedruk. Berbeda dari Jathilan atau Reog yang cenderung menampilkan keindahan gerakan kuda lumping, Buto Gedruk adalah manifestasi murni dari energi yang meledak, representasi dari raksasa (Buto) yang menjejakkan kaki (Gedruk) ke bumi, memanggil kekuatan spiritual yang liar dan tak terduga.
Fenomena Buto Gedruk bukan sekadar pertunjukan tari; ia adalah ritual, drama psikologis, sekaligus medium komunikasi dengan alam gaib. Tarian ini, yang umumnya berkembang pesat di wilayah eks-Karesidenan Kediri, Malang, dan Tulungagung, menuntut daya tahan fisik dan kesiapan mental yang luar biasa dari para penarinya, sebab inti dari pertunjukan ini adalah pengalaman ndadi—trans spiritual atau kesurupan massal.
Untuk memahami kedalaman Buto Gedruk, kita harus menyelam jauh melampaui kostum yang mencolok. Kita harus memahami filosofi di balik setiap hentakan kaki, setiap kibasan rambut gimbal Barongan, dan setiap irama Gamelan yang diyakini menjadi jembatan antara dunia manusia dan dunia para lelembut. Barongan Buto Gedruk adalah penjaga tradisi yang gelap, sebuah peninggalan budaya yang masih memegang teguh prinsip sakralitas di tengah arus modernisasi yang menggerus.
Artikel ini akan membedah secara komprehensif seluruh dimensi Barongan Buto Gedruk, mulai dari akar mitologisnya, anatomi pertunjukannya, peran krusial Gamelan, hingga analisis mendalam mengenai ritual trance yang menjadi ciri khasnya, sekaligus menelaah bagaimana tradisi ini bertahan dan berevolusi di panggung kontemporer Jawa.
Istilah Buto Gedruk adalah gabungan dua kata kunci dalam bahasa Jawa. 'Buto' berarti raksasa atau monster, merujuk pada entitas spiritual pengganggu atau penjaga yang diyakini memiliki kekuatan superior. Dalam konteks Jawa, Buto seringkali dikaitkan dengan Bhutakala dalam mitologi Hindu-Jawa, yang melambangkan energi chaos atau waktu pemusnah. Sementara 'Gedruk' merujuk pada gerakan menghentakkan kaki ke tanah dengan sangat kuat dan ritmis, menciptakan getaran yang dalam. Gerakan Gedruk ini bukan hanya teknik tari, melainkan tindakan ritualistik untuk memanggil, menjejak, dan menegaskan kehadiran spiritual di tempat pertunjukan.
Barongan dalam konteks Buto Gedruk berbeda dari topeng Barongan Reog Ponorogo yang lebih besar dan berorientasi pada visualisasi singa. Barongan Buto Gedruk memiliki ciri khas yang lebih fokus pada ekspresi wajah raksasa yang mengerikan:
1. Ekspresi Wajah yang Agresif: Topeng ini biasanya dicat dengan warna-warna menyala (merah, hitam, putih) dengan mata melotot, taring yang menonjol keluar, dan alis yang berkerut tajam, menunjukkan kemarahan atau keganasan yang tak terkendali. Topeng ini berfungsi sebagai wadah bagi roh yang akan merasuk.
2. Rambut Gimbal (Gimbalan): Salah satu ciri khas paling menonjol adalah rambut atau mahkota yang sangat lebat dan panjang, terbuat dari ijuk, tali rami, atau serat sintetis yang diurai. Saat penari bergerak liar, rambut gimbal ini ikut berayun, menambah kesan mistis dan lepas kendali.
3. Material dan Ukuran: Umumnya dibuat dari kayu ringan seperti mentaos atau randu, Barongan Buto Gedruk didesain agar penari yang sedang dalam keadaan trance dapat menggerakkannya dengan kecepatan tinggi tanpa cedera serius, meskipun bobotnya cukup signifikan dan menambah beban pada kepala dan leher.
Kostum penari Buto Gedruk disiapkan untuk menonjolkan kesan primitif dan garang:
1. Udheng dan Kemben Merah: Penari seringkali mengenakan udheng (ikat kepala) dan pakaian yang didominasi warna merah atau hitam. Warna merah melambangkan keberanian, darah, dan unsur api yang terkait dengan sifat Bhutakala.
2. Gada atau Pecut: Penari Barongan sering membawa Gada (pemukul besar) sebagai senjata simbolis, melambangkan kekuatan destruktif sang raksasa. Penari Jathilan yang menyertainya membawa Pecut (cambuk) yang digunakan untuk menciptakan suara letusan keras, menambah energi ritual dan terkadang digunakan untuk menguji ketahanan tubuh saat dalam keadaan trance.
3. Kuda Lumping (Jaranan): Meskipun Buto Gedruk adalah karakter utama, ia selalu ditemani oleh penari Jathilan (kuda lumping). Kuda lumping ini melambangkan kesatria yang berperang melawan raksasa, atau terkadang, menjadi kendaraan roh yang dirasuki. Gerakan Jathilan yang awalnya teratur akan berubah menjadi liar dan tak beraturan ketika Buto Gedruk mulai beraksi dan trance terjadi.
Buto Gedruk, sebagai bagian dari tradisi Jaranan atau Reog, memiliki akar yang sangat tua, berlabuh pada keyakinan animisme pra-Hindu, yang kemudian berakulturasi dengan konsep-konsep Hindu-Buddha dan Islam.
Secara mitologis, Buto Gedruk mewarisi karakter Bhutakala, raksasa penjaga waktu atau penjaga pintu dalam kosmologi Hindu Jawa. Bhutakala seringkali ditempatkan di atas gapura pura atau rumah sebagai penolak bala (tolak balak) dan penanda batas spiritual. Dalam pertunjukan Buto Gedruk, Barongan berfungsi sebagai entitas yang dipanggil untuk membersihkan wilayah dari energi negatif atau untuk menegaskan kekuasaan spiritual kelompok tersebut atas suatu area.
Tindakan Gedruk (menghentak) memiliki makna yang dalam dalam konteks ritual Jawa. Hentakan kaki yang keras dipercaya dapat menghasilkan resonansi energi yang merobek batas antara alam nyata (sekala) dan alam gaib (niskala). Ini adalah cara para penari, dan roh yang merasukinya, untuk berkomunikasi dengan alam semesta dan mengumumkan kehadiran mereka di dunia fisik.
Sejarah Jaranan di Jawa Timur seringkali dikaitkan dengan penyebaran Islam atau sebagai respons terhadap politik kekuasaan. Ada teori yang menyebutkan bahwa kesenian Jaranan, termasuk Barongan, dulunya digunakan oleh tokoh-tokoh spiritual untuk menarik perhatian massa. Elemen mistis dan trance yang kuat memberikan daya tarik spiritual yang tinggi, menjadikannya alat yang efektif untuk pengajaran atau ritual komunal.
Namun, dalam konteks Buto Gedruk modern, fokusnya lebih kepada pemuasan spiritual kolektif dan pengujian batas-batas fisik. Buto Gedruk adalah sisi bayangan dari Jaranan: jika kuda lumping mewakili keindahan dan keteraturan, Buto Gedruk mewakili keganasan spiritual yang harus dilepaskan dan dikendalikan.
Inti dari pertunjukan Buto Gedruk adalah ndadi atau trance. Ndadi adalah kondisi di mana kesadaran penari dikesampingkan, dan tubuhnya diyakini dirasuki oleh roh Buto, lelembut, atau arwah leluhur yang ganas. Keadaan ini memunculkan kekuatan fisik yang luar biasa, kemampuan menahan rasa sakit, dan perilaku yang agresif.
Proses mencapai ndadi sangat terstruktur, meskipun hasilnya tampak liar:
1. Pemanasan Ritual: Dimulai dengan pembacaan mantra dan doa oleh Pawang (spiritual leader/shaman) di dekat sesajen (persembahan). Sesajen adalah sarana komunikasi yang disajikan untuk mengundang roh agar bersedia turun dan masuk ke tubuh penari.
2. Puncak Irama Gamelan: Musik pengiring, terutama Gendang dan Slompret, memainkan peran krusial. Irama yang semakin cepat, repetitif, dan agresif memicu kondisi hipnotis massal. Ritme Buto Gedruk sangat khas; ia lebih menekankan ketukan bass yang berat dan ritme yang menantang (seperti irama jenggleng) untuk merangsang peleburan kesadaran.
3. Manifestasi Buto: Setelah roh masuk, penari mulai menunjukkan perubahan fisik yang drastis: mata merah, gerakan yang kaku dan tersentak-sentak, dan tentu saja, hentakan kaki Gedruk yang memekakkan telinga. Dalam kondisi trance, penari Buto Gedruk sering melakukan atraksi ekstrem, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kulit, atau menyabet diri sendiri dengan pecut, menunjukkan bahwa Buto telah mengambil alih tubuhnya.
Pawang atau Dalang tidak hanya bertindak sebagai pemimpin seni, tetapi juga sebagai mediator spiritual. Peran mereka sangat vital untuk memastikan bahwa trance tetap terkendali dan tidak membahayakan penari atau penonton. Jika Buto yang merasuki terlalu kuat (buto gembel), ia bisa bertindak destruktif atau menolak untuk keluar.
Pawang harus memiliki ilmu spiritual yang mumpuni, mampu berkomunikasi dengan entitas yang merasuki. Mereka menggunakan mantra, air yang telah didoakan (tirta), dan terkadang sentuhan fisik yang spesifik untuk menenangkan atau mengeluarkan roh Buto dari tubuh penari. Kegagalan Pawang mengendalikan Buto Gedruk dapat berakibat fatal, baik secara fisik maupun spiritual, bagi sang penari.
Proses pelepasan Buto (ngentas) adalah bagian paling sensitif. Pawang harus memastikan bahwa roh keluar dengan damai, mengembalikan kesadaran penari secara bertahap. Penari yang baru sadar seringkali kelelahan ekstrem dan tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi selama mereka dalam keadaan ndadi.
Musik Gamelan Jaranan, yang mengiringi Buto Gedruk, jauh berbeda dari Gamelan Keraton yang halus. Musik ini keras, cepat, dan fungsinya sangat pragmatis: untuk menciptakan energi ritual, bukan sekadar melodi estetika.
Dalam orkestra Buto Gedruk, dua instrumen memegang kendali penuh atas ritme trance:
1. Kendang Jaranan: Kendang adalah instrumen yang menentukan kecepatan dan intensitas. Dalam Buto Gedruk, ketukan kendang sering kali diisi dengan pola yang berulang-ulang, cepat, dan terkadang 'patah' untuk memecah fokus mental penari, sehingga lebih mudah memasuki kondisi trance. Teknik tabuhan yang spesifik dapat secara langsung memicu reaksi fisik pada penari.
2. Slompret (Terompet Tradisional): Slompret menghasilkan melodi yang melengking dan bernada tinggi. Fungsinya adalah memanggil roh dan memperkuat suasana mistis. Nada-nada Slompret sering kali terdengar seperti ratapan atau teriakan panjang yang menyayat, memberikan lapisan emosi liar pada tarian yang sudah agresif.
Ritme yang digunakan saat Buto Gedruk tampil memiliki nama-nama khas dan berfungsi sebagai kode komunikasi non-verbal. Ritme 'Gedruk' itu sendiri sangat berat, menekankan tempo lambat-cepat-lambat, memungkinkan penari untuk menghentakkan kaki dengan kekuatan maksimum. Irama ini seolah-olah meniru detak jantung raksasa yang berjalan di atas bumi, sebuah representasi sonik dari kekuatan Bhutakala.
Seringkali, terdapat Gamelan yang memiliki fungsi ganda; selain sebagai pengiring, mereka juga bertindak sebagai penjaga irama spiritual. Jika irama Gamelan kacau, transisi spiritual penari bisa terganggu, atau roh yang datang mungkin menjadi marah dan tidak terkendali.
Meskipun Buto Gedruk tampak brutal dan kacau, di dalamnya tersimpan pelajaran filosofis yang mendalam mengenai pengendalian diri, keseimbangan energi, dan penerimaan terhadap sisi gelap kehidupan.
Dalam budaya Jawa, Buto atau raksasa bukanlah murni jahat. Mereka adalah simbol dari energi yang tidak terstruktur, hawa nafsu (Amara), atau sifat kemarahan yang ada dalam setiap manusia. Buto Gedruk adalah representasi teaterikal dari perjuangan batin antara kehalusan (diwakili oleh Jaranan) dan kebrutalan (diwakili oleh Buto).
Tarian ini mengajarkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan spiritual, seseorang harus mengakui dan menghadapi ‘Buto’ dalam dirinya. Proses trance adalah ritual peleburan: membiarkan energi liar itu keluar, membersihkan diri melalui chaos, dan kemudian mengembalikannya ke dalam kendali yang lebih tinggi (Pawang/Spiritualitas).
Konsep ini sangat relevan dengan ajaran Jawa kuno tentang Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan kehidupan), di mana energi kosmis harus dilewati melalui proses penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran. Buto Gedruk fokus pada aspek penghancuran (Gedruk) sebagai langkah awal menuju pembaharuan.
Buto Gedruk bukan pertunjukan individu. Ia membutuhkan kepercayaan total antara penari, Pawang, dan musisi. Kepercayaan ini meluas ke komunitas penonton, yang hadir tidak hanya untuk hiburan tetapi juga untuk menyaksikan manifestasi spiritual. Kekuatan kolektif inilah yang memungkinkan energi trance untuk terbentuk dan dipertahankan. Ketika seorang penari Gedruk melakukan aksi ekstrem, itu adalah bukti visual dari kekuatan spiritual yang dipegang teguh oleh komunitas tersebut.
Meskipun Kediri dan Malang sering disebut sebagai pusat Jaranan yang agresif, Buto Gedruk memiliki variasi gaya dan interpretasi tergantung wilayahnya. Perbedaan ini terletak pada detail kostum, jenis irama Gamelan, dan filosofi spiritual yang mendasarinya.
Buto Gedruk dari Kediri seringkali dikenal karena gaya hentakan yang sangat kuat, disiplin irama yang ketat, dan fokus pada kecepatan gerak Barongan yang dinamis. Di Kediri, tradisi Jaranan seringkali beriringan dengan legenda Gunung Kelud, dan spiritualitas Buto Gedruknya terasa sangat terikat pada energi vulkanik dan kekuatan alam yang tak terduga.
Topeng Kediren cenderung memiliki detail ukiran yang lebih halus namun ekspresi yang lebih beringas, serta penggunaan asesoris yang lebih banyak, termasuk rangkaian bunga yang dikaitkan pada rambut gimbal sebagai simbol sesajen yang dibawa oleh Buto.
Di Malang, Buto Gedruk cenderung lebih dramatis dan memiliki pengaruh tradisi topeng Malangan. Gerakannya mungkin sedikit lebih teatrikal, tidak hanya fokus pada Gedruk tetapi juga pada gestur tangan dan postur tubuh yang menunjukkan kegagahan raksasa. Musik pengiring Malangan kadang-kadang lebih kaya secara melodi, namun tetap mempertahankan elemen ritmis yang agresif untuk memicu trance.
Variasi di Malang sering kali menonjolkan konflik cerita yang lebih jelas antara Buto dan para penari Jathilan, mengubah pertunjukan menjadi sebuah drama tari yang lebih naratif, meskipun esensi trance-nya tetap dipertahankan sebagai puncak konflik.
Tulungagung sering dikenal dengan Jaranan yang lebih menonjolkan interaksi antara penari Jathilan (kuda lumping) yang anggun sebelum Buto masuk. Ketika Buto Gedruk Tulungagungan muncul, transformasinya menjadi lebih liar, dengan penekanan pada ketahanan fisik ekstrem saat trance. Di sini, atraksi kekebalan tubuh, seperti menusuk diri atau memakan barang-barang non-makanan, sering menjadi sorotan utama, menunjukkan kekuatan roh yang merasuk benar-benar superior terhadap fisik manusia.
Mengingat Buto Gedruk adalah kesenian yang berinteraksi langsung dengan dimensi spiritual, persiapan ritual sebelum pertunjukan adalah hal yang mutlak dan tidak boleh diabaikan. Etika ini memastikan keselamatan penari dan kekhusyukan ritual.
Para penari inti, terutama yang akan memerankan Buto dan penari Jathilan yang rentan trance, diwajibkan menjalani ritual puasa dan pantangan beberapa hari sebelum pertunjukan (tirakat). Puasa ini bertujuan untuk membersihkan diri secara fisik dan spiritual (laku prihatin), sehingga tubuh menjadi wadah yang lebih "bersih" dan siap menerima masuknya entitas gaib.
Pembersihan diri juga mencakup mandi kembang (siraman) dan menghindari makanan tertentu yang diyakini dapat mengotori energi spiritual, seperti daging mentah atau makanan yang terlalu manis. Tujuan utamanya adalah mencapai kondisi sepi ing pamrih rame ing gawe (sedikit kepentingan diri, banyak bekerja untuk sesama/komunitas).
Di tempat pertunjukan, Pawang akan menyiapkan sesajen (persembahan) yang spesifik. Sesajen ini bervariasi tetapi biasanya mencakup kopi pahit, kopi manis, teh, rokok klembak menyan, nasi tumpeng, jajanan pasar, dan bunga tujuh rupa. Setiap item dalam sesajen memiliki makna simbolis, berfungsi sebagai "izin masuk" dan "penghormatan" kepada roh-roh penunggu tempat tersebut dan Buto yang diundang.
Mantra yang diucapkan oleh Pawang adalah kunci pembuka ritual. Mantra-mantra ini bersifat rahasia dan biasanya diturunkan secara lisan, berisi permohonan agar pertunjukan berjalan lancar, roh yang merasuk tidak merusak, dan semua yang terlibat dijauhkan dari bahaya. Mantra ini juga berfungsi sebagai ‘pengikat’ yang memastikan roh dapat ditarik keluar dengan mudah saat ritual selesai.
Pada awalnya, Buto Gedruk adalah kesenian yang terkait erat dengan ritual panen, tolak bala, atau perayaan besar komunal. Kini, ia harus bersaing dengan bentuk hiburan modern. Bagaimana Buto Gedruk bertahan?
Saat ini, sebagian besar pertunjukan Buto Gedruk diadakan sebagai hiburan pada acara hajatan (pernikahan, khitanan) atau festival budaya. Komersialisasi ini membawa tantangan: ada tekanan untuk memperpendek durasi trance dan menambahkan elemen visual yang lebih menarik bagi penonton muda, terkadang mengorbankan kedalaman ritualnya.
Beberapa kelompok memilih untuk mengurangi elemen trance yang terlalu berbahaya (memakan kaca, dll.) dan lebih fokus pada aspek koreografi Gedruk yang energik. Namun, kelompok-kelompok purist tetap bersikukuh bahwa tanpa ndadi yang otentik, Buto Gedruk kehilangan rohnya. Perdebatan ini terus mewarnai komunitas Jaranan di Jawa Timur.
Ironisnya, tarian yang begitu kuno ini menemukan tempat baru di media digital. Video-video pertunjukan Buto Gedruk yang menampilkan trance ekstrem sering menjadi viral, menarik perhatian generasi muda yang sebelumnya acuh tak acuh terhadap kesenian tradisional. Platform digital berfungsi ganda: sebagai arsip tak ternilai dan sebagai sarana promosi global.
Penggunaan media sosial membantu melestarikan Barongan Buto Gedruk bukan dengan mengubah bentuknya, tetapi dengan menyebarkan aura mistis dan agresifnya kepada audiens yang lebih luas, menegaskan bahwa kesenian ini masih hidup dan relevan di era informasi.
Di banyak daerah, anak-anak muda kini tertarik bergabung dengan sanggar Jaranan Buto Gedruk, tertarik oleh tantangan spiritual dan kesempatan untuk menjadi bagian dari tradisi yang ‘keren’ dan memiliki kekuatan tersembunyi. Hal ini menjamin regenerasi, meskipun tantangan dalam pewarisan ilmu Pawang yang mendalam tetap menjadi hambatan.
Gerakan Gedruk—hentakan kaki ke tanah—adalah jantung dari tarian ini. Namun, Gedruk bukan sekadar menghentak; ia memiliki tata krama gerakan dan kode estetika yang sangat spesifik yang membedakannya dari tarian tradisional lain.
Penari Buto Gedruk dilatih untuk menghentakkan kaki dengan bagian tumit atau seluruh telapak kaki secara serentak, menciptakan suara ‘DUG’ yang dalam dan stabil. Postur tubuh harus tegap namun sedikit membungkuk ke depan, mencerminkan kekuatan Buto yang menekan bumi. Kepala Barongan harus diayunkan secara ritmis mengikuti ketukan Gamelan yang keras, sementara mata harus melotot (efek dari trance) dan tangan memegang Gada dengan erat.
Pengulangan gerakan Gedruk yang intens tidak hanya membangun irama musikal, tetapi juga meningkatkan kadar adrenalin dan memicu hyper-ventilasi pada penari, kondisi yang secara psikologis memudahkan transisi menuju ndadi. Gedruk adalah teknik fisik dan mental sekaligus.
Dalam satu pertunjukan, terdapat kontras yang dramatis antara gerakan Buto Gedruk dan Jathilan. Penari Jathilan (kuda lumping) biasanya memulai dengan gerakan yang teratur, seperti kuda yang berderap (trotting) dengan langkah-langkah yang terkontrol. Kedatangan Buto Gedruk memicu perubahan. Gerakan Jathilan menjadi semakin tidak karuan, menunjukkan kepanikan atau respons terhadap kekuatan Buto, hingga akhirnya mereka sendiri mungkin ikut ndadi.
Buto Gedruk berperan sebagai katalis chaos. Gerakannya yang serampangan dan penuh kekuatan berfungsi untuk 'memecah' tatanan yang telah dibangun oleh Jathilan, memberikan ruang bagi manifestasi spiritual yang tidak teratur. Estetika chaos ini adalah yang dicari oleh penonton: momen di mana manusia menyerah pada entitas yang lebih besar.
Dari sudut pandang etnografi, Buto Gedruk menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana masyarakat Jawa Timur menangani konsep agresi, pengendalian diri, dan hubungan dengan alam gaib dalam kerangka pertunjukan publik.
Fenomena Buto Gedruk sering kali dianggap sebagai ritual penghormatan kepada arwah penunggu tanah (Dhanyang) di mana pertunjukan berlangsung. Hentakan kaki (Gedruk) adalah cara untuk ‘membangunkan’ Dhanyang dan meminta izin kepada mereka. Ini adalah praktik yang mengakar kuat dalam konsep kosmologi Jawa tentang harmoni dengan alam dan penghuni gaibnya.
Setiap kali Buto Gedruk diundang untuk tampil di tempat baru, sering kali diadakan upacara khusus untuk 'membersihkan' tempat itu dari energi negatif sebelum trance dimulai. Jika Buto merasa tidak dihormati, diyakini bahwa roh yang merasuk akan menyebabkan keributan yang lebih besar dan berbahaya.
Dalam komunitas yang masih kental dengan tradisi, menonton Barongan Buto Gedruk dapat berfungsi sebagai katarsis komunal. Dalam masyarakat yang menuntut kehalusan (alus) dan pengendalian emosi, Buto Gedruk menyediakan ruang yang sah untuk melepaskan ketegangan, menyaksikan agresi yang dilegitimasi secara ritual. Penonton merasakan sensasi yang sama saat irama Gamelan memuncak, sebuah pelepasan energi yang menular.
Ini adalah pengakuan kolektif bahwa sisi 'buto' dalam diri manusia harus diakui, dipanggil keluar, dan ditundukkan, sebelum harmoni sosial dapat dicapai kembali. Pertunjukan berakhir ketika Pawang berhasil menenangkan semua roh, mengembalikan tatanan dan ketenangan.
Sejumlah sanggar Jaranan di Jawa Timur telah mendedikasikan diri untuk melestarikan Buto Gedruk dengan standar ritual yang ketat. Nama-nama kelompok ini menjadi legenda di kalangan pecinta Jaranan, menunjukkan komitmen mereka terhadap tradisi.
Ilmu Pawang Buto Gedruk tidak bisa dipelajari dari buku; ia harus diturunkan melalui garis keturunan atau melalui pengabdian panjang kepada seorang guru (guru ngaji). Pewarisan ini melibatkan ritual inisiasi yang berat dan penguasaan mantra serta spiritualitas yang mendalam. Seorang calon Pawang harus mampu membedakan jenis-jenis Buto yang merasuk (ada Buto yang 'baik' dan ada yang 'jahat'), dan tahu persis cara mengusir yang jahat tanpa melukai penari.
Tantangan terbesar pewarisan ini adalah menemukan generasi penerus yang bersedia menjalani laku prihatin dan memegang teguh pantangan-pantangan yang menyertainya. Di tengah kehidupan modern, komitmen spiritual yang dituntut oleh Buto Gedruk seringkali terasa terlalu berat bagi kaum muda.
Meskipun esensi ritual dipertahankan, elemen fisik seperti Barongan telah mengalami evolusi. Untuk daya tahan dan visual, beberapa sanggar kini menggunakan material komposit yang lebih ringan namun tetap mampu menampilkan detail topeng yang agresif. Penggunaan warna cat yang lebih cerah dan efek pencahayaan panggung modern juga disesuaikan untuk festival besar, membuat Barongan Buto Gedruk terlihat semakin fantastis dan mengerikan.
Evolusi ini adalah strategi adaptasi: memastikan kesenian tetap menarik secara visual bagi audiens baru, tanpa mengorbankan fungsi spiritual inti dari topeng sebagai portal roh.
Barongan Buto Gedruk tidak hanya dipandang sebagai hiburan, melainkan sebagai bagian integral dari sistem kepercayaan lokal. Kehadirannya sering dikaitkan dengan mitos dan cerita rakyat tentang penjaga sungai, hutan, atau gunung di Jawa Timur.
Di banyak desa di Kediri, Blitar, dan Tulungagung, Buto Gedruk adalah elemen wajib dalam ritual Bersih Desa (ritual pembersihan dan syukur desa). Tujuannya adalah untuk "menghidupkan" kembali penjaga spiritual desa. Melalui hentakan Gedruk yang masif, energi negatif diyakini didorong keluar dari batas-batas desa, dan kemakmuran serta keselamatan dipanggil masuk.
Dalam konteks Bersih Desa, Barongan tidak hanya menari untuk hiburan, tetapi sebagai representasi kekuatan primordial yang melindungi komunitas. Pertunjukan ini dilaksanakan pada malam-malam tertentu yang dianggap sakral (malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon), menambah intensitas mistisnya.
Salah satu daya tarik terbesar, dan sering kali paling kontroversial, dari Buto Gedruk adalah atraksi kekebalan atau kesaktian yang ditunjukkan penari saat ndadi. Aksi memakan beling, api, atau tusukan benda tajam adalah demonstrasi nyata bagi penonton bahwa roh yang merasuk memang memiliki kekuatan yang melebihi batas fisik manusia.
Kekebalan ini tidak diartikan sebagai trik, tetapi sebagai bukti kebenaran spiritual dan efektifitas ritual yang dipimpin oleh Pawang. Bagi komunitas, ini adalah validasi bahwa mereka masih terhubung erat dengan dunia spiritual leluhur mereka, meskipun tantangan modern terus datang.
Bagian yang paling misterius dari Buto Gedruk adalah bagaimana pertunjukan yang liar dan kacau itu bisa berhenti. Proses ini dikenal sebagai Ngunduh Buto atau menarik kembali roh.
Saat Pawang memutuskan bahwa ritual telah mencapai puncaknya atau batas waktu telah habis, ia memberi isyarat kepada musisi. Irama Gamelan tiba-tiba berubah dari cepat dan agresif menjadi sangat lambat dan tenang, seringkali kembali ke melodi Jawa yang lembut (Gending alus).
Perubahan drastis irama ini memiliki efek kejut psikologis pada roh yang merasuk. Roh-roh Buto yang ganas diyakini tidak suka dengan kelembutan. Irama yang damai memaksa roh untuk merasa tidak nyaman dan mulai melepaskan cengkeramannya dari tubuh penari.
Pawang akan mendekati penari Barongan yang masih dalam kondisi trance dengan tenang. Ia mungkin menggunakan pusaka tertentu (misalnya keris kecil yang telah didoakan atau benda spiritual lainnya) dan mengoleskan air suci (tirta) pada titik-titik vital tubuh penari, seperti ubun-ubun, punggung, atau dada.
Tindakan ini adalah puncak dari pengendalian Pawang. Pawang harus bernegosiasi secara spiritual dengan Buto, meyakinkan roh tersebut bahwa tujuannya telah tercapai dan sekarang saatnya untuk kembali ke alamnya. Jika penari menolak untuk sadar, Pawang mungkin harus menggunakan tekanan fisik yang kuat atau teknik spiritual yang lebih agresif, menunjukkan betapa berbahayanya proses ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, Buto Gedruk telah menjadi ikon budaya pop lokal. Namun, pengangkatan ke ranah pop sering kali mengaburkan garis antara ritual dan hiburan.
Desain Barongan Buto Gedruk yang garang kini sering diadaptasi menjadi logo, tato, atau ilustrasi musik metal/rock lokal di Jawa Timur. Hal ini memunculkan kekhawatiran di kalangan sesepuh adat. Mereka takut bahwa generasi muda hanya akan melihat Buto Gedruk sebagai simbol visual ‘keren’ dan agresif, tanpa memahami bobot spiritual dan ritual yang mengiringi tarian tersebut.
Tantangannya adalah bagaimana merayakan keindahan artistik Buto tanpa menyepelekan sakralitas trance. Beberapa sanggar mencoba menjembatani ini dengan mengadakan sesi edukasi yang ketat sebelum pertunjukan, menjelaskan sejarah dan etika spiritual yang terlibat.
Di sisi lain, Buto Gedruk telah diinterpretasikan sebagai simbol perlawanan budaya. Di tengah dominasi budaya global, tarian ini—yang menolak kehalusan dan merayakan energi liar Jawa—dianggap sebagai penegasan identitas regional yang kuat dan tak terkalahkan. Hentakan Gedruk menjadi metafora untuk keteguhan hati masyarakat Jawa Timur dalam mempertahankan warisan leluhur mereka, berjuang melawan arus modernisasi yang homogen.
Barongan Buto Gedruk adalah sebuah paradoks. Ia adalah tarian yang kasar, tetapi memerlukan disiplin spiritual yang halus. Ia menampilkan chaos, namun berakar pada tatanan ritual yang ketat. Ia adalah seni yang menakutkan, tetapi ia berfungsi untuk melindungi dan membersihkan komunitas.
Sebagai salah satu warisan paling intens dari tradisi Jaranan Jawa Timur, Buto Gedruk adalah cermin yang menunjukkan bahwa spiritualitas Jawa tidak selalu tenang dan meditatif. Kadang-kadang, ia harus meledak, berteriak, dan menghentakkan kakinya ke bumi untuk menegaskan keberadaannya dan membersihkan energi yang mengancam. Keberlanjutan tradisi ini sangat bergantung pada komitmen para Pawang dan regenerasi penari yang berani untuk membiarkan tubuh mereka menjadi wadah sementara bagi Sang Raksasa.
Setiap hentakan Gedruk yang terdengar di panggung Jaranan adalah pengingat bahwa di balik tirai kehidupan sehari-hari, dimensi spiritual yang liar dan purba masih berdenyut kencang, menanti dipanggil melalui irama kendang dan jerit Slompret yang memilukan.
Untuk memahami sepenuhnya kompleksitas Buto Gedruk, penting untuk mengupas lebih jauh terminologi spesifik Jawa yang mendasari ritual dan kepercayaan yang terkait. Istilah-istilah ini seringkali merangkum seluruh filosofi dalam satu kata.
A. Laku Prihatin: Ini adalah fondasi dari persiapan penari. Laku Prihatin merujuk pada praktik asketisme, seperti puasa (mutih, ngrowot), pantangan, dan meditasi. Tujuannya bukan hanya fisik tetapi spiritual, untuk mencapai kejernihan batin (suci) sehingga Buto yang merasuk adalah entitas yang diundang, bukan yang memaksa masuk. Tanpa laku prihatin, penari dianggap tidak memiliki benteng spiritual yang cukup.
B. Niskala dan Sekala: Buto Gedruk adalah jembatan antara dua dimensi ini. Sekala adalah dunia yang terlihat, fisik, dan nyata. Niskala adalah dunia gaib, roh, dan tak terlihat. Aksi Gedruk secara literal berusaha menjebol Niskala agar Buto bisa bermanifestasi di Sekala. Pawang adalah operator yang menyeimbangkan komunikasi antara kedua alam ini.
C. Suro Diro Joyo Diningrat Lebur Dening Pangastuti: Meskipun Buto Gedruk menampilkan kekuatan agresif (Suro Diro Joyo Diningrat - Keberanian dan kekuatan yang tak tertandingi), ritual selalu diakhiri dengan Pangastuti (doa/kelembutan spiritual) yang menaklukkannya. Filosofi ini menegaskan bahwa pada akhirnya, kekuatan terbesar pun harus takluk pada kehalusan spiritual dan pengendalian diri.
D. Balak dan Tolak Balak: Buto Gedruk sering dipentaskan sebagai ritual tolak balak, yaitu menolak mara bahaya, penyakit, atau sial. Buto, sang raksasa, yang biasanya dihubungkan dengan bahaya, di sini dialihfungsikan menjadi perisai. Ia memakan (mengambil) bahaya di komunitas, lalu dilepaskan saat ritual Ngunduh Buto, menjadikan tarian ini sebagai ritual pembersihan yang bersifat preventif.
Meskipun memiliki nama ‘Barongan’, entitas Buto Gedruk memiliki karakteristik yang sangat khas Jawa Timur, berbeda signifikan dari tradisi Barong di Bali atau Barongan di Kalimantan.
A. Barong Bali (Keseimbangan Dharmik): Barong di Bali mewakili kebaikan (Dharma) dan merupakan lawan abadi Rangda (kejahatan/Adharma). Pertarungan mereka adalah siklus abadi yang tidak pernah berakhir. Tarian Barong Bali berfokus pada keseimbangan kosmik dan dramatisasi mitos. Meskipun penari Barong Bali bisa saja mengalami trance (kerauhan), trance di sana lebih bersifat kolektif dan ditujukan untuk menegaskan kekuatan Dharma.
B. Barongan Buto Gedruk (Manifestasi Agresi Terkendali): Buto Gedruk adalah representasi dari energi Agresi (Bhutakala) yang sementara dilepaskan dan dikendalikan oleh Pawang. Buto bukan murni kejahatan, melainkan energi liar yang harus dikeluarkan. Trance-nya lebih individualistik dan menonjolkan kekuatan fisik ekstrem, dengan fokus pada hentakan Gedruk yang berfungsi sebagai penanda spiritual.
Perbedaan mendasar terletak pada tujuan spiritual: Barong Bali mencari keseimbangan, Buto Gedruk mencari pembersihan melalui pelepasan energi liar.
Rambut gimbal pada Barongan Buto Gedruk, yang seringkali terbuat dari serat ijuk atau bahan kasar lainnya, adalah elemen visual yang tidak dapat dipisahkan dari fungsinya dalam trance.
1. Media Penghubung: Dalam kepercayaan Jawa, rambut yang panjang dan lebat sering dianggap sebagai konduktor energi spiritual. Serat ijuk, yang kasar dan hitam, melambangkan koneksi primitif dengan alam. Ketika penari bergerak, ayunan rambut gimbal ini menciptakan efek visual yang hipnotis, baik bagi penari itu sendiri maupun bagi penonton.
2. Amplifikasi Gerak: Serat ijuk yang berat menambah momentum pada gerakan kepala penari. Saat trance terjadi dan gerakan menjadi liar, ayunan gimbal yang ekstrim memberikan ilusi visual bahwa Buto tersebut bergerak dengan kekuatan supernatural, seolah-olah rambut itu hidup dan bergerak sendiri, lepas dari kontrol penari.
Kesenian Buto Gedruk sangat terikat pada topografi Jawa Timur. Banyak Buto lokal dikaitkan dengan penunggu gunung berapi, hutan jati, atau sumber mata air yang dianggap angker.
A. Semangat Gunung dan Hutan: Wilayah Kediri, Malang, dan Blitar dikelilingi oleh gunung berapi aktif dan hutan lebat. Buto Gedruk sering dianggap mewakili semangat gunung (dewa penjaga), energi yang kuat dan tidak dapat diprediksi, yang kapan saja bisa meledak (seperti letusan gunung). Ini menjelaskan mengapa hentakan Gedruk terasa sangat keras dan mengguncang, meniru kekuatan geologis alam.
B. Konservasi Kultural: Dengan mengaitkan Buto Gedruk pada roh penjaga alam, secara tidak langsung tarian ini juga menjadi alat konservasi. Masyarakat diajarkan untuk menghormati alam sekitar melalui rasa takut dan takzim terhadap entitas Buto yang diyakini menghuni hutan dan gunung tersebut.
Selain Kendang dan Slompret, ada beberapa instrumen pendukung yang krusial dalam orkestra Buto Gedruk yang berkontribusi pada penciptaan suasana trance.
A. Gong dan Kenong: Gong memberikan ketukan dasar yang berat dan berjarak, berfungsi sebagai jangkar spiritual. Suara Gong yang dalam dan resonan diyakini dapat menembus alam Niskala. Kenong, dengan suaranya yang lebih tajam, berfungsi sebagai penanda pola ritmis yang repetitif, membantu penari fokus pada irama hipnotis.
B. Kempul dan Saron: Kempul (gong kecil) sering digunakan untuk memberikan aksen pada irama cepat Buto Gedruk. Saron (bilah logam) dalam Jaranan sering dimainkan dengan irama yang lebih keras dan sederhana dibandingkan Saron Keraton, menekankan kecepatan dan agresivitas, bukan kehalusan melodi. Keseluruhan ansambel ini menciptakan gelombang suara yang intens dan mendesak, memaksa penari dan penonton untuk larut dalam energi ritual.
Terkadang, Buto yang merasuki terlalu kuat, dikenal sebagai 'Ndadi Ganas' atau 'Buto Gembel'. Situasi ini berbahaya dan memerlukan taktik khusus dari Pawang.
1. Peringatan Verbal (Nasihat): Pawang tidak langsung menggunakan kekerasan. Langkah pertama adalah berbicara langsung kepada roh, bukan kepada penari. Pawang akan menggunakan bahasa Jawa Kuno yang bernuansa perintah atau nasihat, mengingatkan Buto tentang perjanjian dan etika ritual yang harus dipatuhi.
2. Penggunaan Pecut dan Api: Jika Buto menolak, Pawang mungkin menggunakan Pecut. Suara cambuk yang keras (dharr!) di dekat telinga penari berfungsi untuk mengejutkan roh. Kadang kala, Pawang juga menggunakan api atau menempelkan benda panas (bukan membakar, tetapi memberikan sensasi panas) untuk membuat roh tidak nyaman dan keluar. Ini adalah demonstrasi kekuatan spiritual Pawang yang lebih tinggi dari Buto yang merasuk.
3. Bantuan Komunal: Dalam kasus yang sangat ekstrem, Pawang mungkin meminta bantuan dari anggota sanggar atau tokoh spiritual lain yang hadir. Proses pengembalian kesadaran ini menjadi ritual komunal yang menunjukkan bahwa pengendalian Buto adalah tanggung jawab kolektif.
Buto Gedruk bukan hanya pertunjukan individu; ia adalah bagian dari memori kolektif masyarakat Jawa Timur. Pertunjukan ini seringkali membangkitkan ingatan akan legenda, leluhur, dan peristiwa historis lokal.
Penonton yang menyaksikan Buto Gedruk sering kali merasa terhubung kembali dengan masa lalu mereka, dengan tradisi yang diwariskan dari kakek-nenek. Kehadiran Buto—sosok yang mewakili ketakutan dan penghormatan—menjadi titik fokus di mana sejarah lisan dan mitos dihidupkan kembali. Dengan cara ini, Barongan Buto Gedruk berfungsi sebagai kapsul waktu budaya, memastikan bahwa cerita-cerita tentang raksasa dan kesaktian lokal tidak pernah hilang dari ingatan komunal.