Pendahuluan: Membaca Spirit di Balik Topeng Berbulu
Seni pertunjukan Barongan, yang kaya akan mitologi, spiritualitas, dan gerakan dinamis, telah lama menjadi jantung kebudayaan di banyak wilayah di Indonesia, terutama Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Namun, di balik topeng yang mengerikan dan tarian yang memukau, tersembunyi sebuah fenomena kultural yang sering luput dari perhatian: peran krusial yang dimainkan oleh para bapak-bapak—para lelaki dewasa, matang, dan penuh tanggung jawab—dalam menjaga, melestarikan, dan meneruskan warisan sakral ini. Kehadiran mereka bukan sekadar partisipasi; itu adalah sebuah dedikasi mendalam yang melampaui hiburan semata, menembus lapisan spiritualitas, komitmen komunitas, dan pewarisan nilai. Barongan yang mereka bawakan membawa bobot historis dan filosofis yang berbeda dibandingkan saat dibawakan oleh generasi muda yang berorientasi pada pertunjukan semata.
Topeng Barongan yang berat, baik secara fisik maupun metafisik, membutuhkan bahu yang kuat dan jiwa yang mantap untuk menanggungnya. Para bapak-bapak inilah yang seringkali menjadi tulang punggung kelompok, bukan hanya sebagai penari utama yang memimpin ritual, tetapi juga sebagai penentu arah spiritual, pengumpul dana, guru tari, dan yang terpenting, penyambung lidah tradisi. Mereka adalah penjaga *pakem* (aturan baku) yang memastikan bahwa Barongan tidak hanya sekadar tontonan, melainkan sebuah ritual komunal yang terikat pada akar sejarah dan kepercayaan setempat. Artikel ini akan menyelami lebih jauh mengapa peran bapak-bapak dalam Barongan menjadi begitu vital, bagaimana mereka menyeimbangkan kewajiban keluarga dan pekerjaan sehari-hari dengan tugas sakral mereka, serta tantangan modernisasi yang mereka hadapi saat berusaha memastikan bahwa raungan Barongan tidak pernah padam di tengah hiruk pikuk perubahan zaman.
Ketika kita berbicara tentang Barongan, yang terbayang adalah sosok mitologis yang mencakup perwujudan singa, macan, atau makhluk mistis lainnya. Namun, ketika Barongan itu ditarikan oleh seorang bapak, energi yang terpancar adalah energi kematangan—energi yang membawa serta pengalaman hidup, kedalaman spiritual yang diperoleh dari berbagai ujian, dan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara manusia, alam, dan roh. Ini adalah cerita tentang pengorbanan sunyi, tentang malam-malam latihan yang panjang setelah bekerja keras di ladang atau kantor, tentang menjaga keseimbangan antara dunia profan dan dunia sakral. Dedikasi mereka adalah cerminan dari kecintaan yang tak terbatas terhadap identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun, sebuah identitas yang kini mereka emban sebagai beban sekaligus kehormatan tertinggi.
Representasi Visual: Kekuatan dan tanggung jawab yang dipanggul oleh Bapak-Bapak dalam Barongan.
Akar Filosofis dan Tanggung Jawab Generasi Matang
Untuk memahami kedalaman peran bapak-bapak dalam Barongan, kita harus kembali ke akar mitologi dan filosofi yang melingkupinya. Barongan seringkali diyakini sebagai perwujudan kekuatan baik, penjaga desa, atau simbol dari alam bawah sadar kolektif yang berhadapan dengan kekuatan jahat (seperti Rangda atau unsur destruktif lainnya). Dalam konteks ini, Barongan bukan hanya representasi fisik, melainkan wadah bagi energi spiritual yang harus dikendalikan dan dihormati. Kontrol terhadap energi inilah yang membutuhkan kematangan emosional dan spiritual, kualitas yang melekat pada peran bapak-bapak di masyarakat.
Tradisi Barongan menuntut disiplin spiritual yang ketat, atau yang dikenal sebagai *tirakat*. Tirakat ini bisa berupa puasa, pantangan, atau ritual khusus sebelum dan sesudah pertunjukan. Pelaksanaan *tirakat* yang konsisten membutuhkan kedewasaan, fokus, dan pemahaman yang mendalam tentang tujuan ritual tersebut—bukan hanya untuk penampilan yang memukau, tetapi untuk keselamatan spiritual kelompok dan komunitas yang menyaksikan. Hanya para bapak-bapak, yang secara tradisional telah membuktikan diri mereka sebagai pemimpin keluarga dan masyarakat, yang dianggap memiliki kapasitas spiritual untuk mengemban tugas seberat ini. Mereka adalah pilar yang menopang dimensi metafisik pertunjukan, memastikan bahwa setiap gerakan dan setiap raungan Barong adalah murni dan berenergi positif.
Perbedaan Kualitas Pertunjukan: Energetika dan Kedalaman
Perbedaan mencolok terlihat ketika Barongan dibawakan oleh pemuda versus bapak-bapak. Pemuda mungkin membawa energi, kelincahan, dan gairah yang eksplosif. Namun, bapak-bapak membawa *bobot* dan *kedalaman*. Gerakan mereka mungkin tidak secepat atau seakrobatik pemuda, tetapi setiap langkah, ayunan topeng, dan hentakan kaki mengandung narasi sejarah, kebijaksanaan yang terakumulasi, dan ketenangan yang datang dari pengalaman hidup. Pertunjukan yang dibawakan oleh generasi matang cenderung lebih terfokus pada ritual, ritme yang mantap, dan ekspresi karakter yang lebih terkontrol, mencerminkan pemahaman yang matang tentang siklus hidup, kematian, dan regenerasi yang seringkali menjadi tema inti dalam Barongan.
Selain penari utama, bapak-bapak juga mendominasi peran penting dalam karawitan atau gamelan pengiring Barongan. Mereka adalah penjaga ritme *pakem* yang sulit dan kompleks. Mereka yang bertanggung jawab atas penalaan instrumen, pemilihan lagu yang sesuai dengan konteks ritual (misalnya, lagu untuk pemanggilan roh atau lagu untuk persembahan), dan menjaga tempo agar sesuai dengan alur dramatis pertunjukan. Dalam beberapa kelompok, pemain gamelan tertua (seringkali seorang bapak atau kakek) memiliki wewenang penuh untuk menghentikan atau mengubah pertunjukan jika dirasa ada elemen spiritual yang tidak seimbang atau jika penari Barong berada dalam kondisi *trance* yang membahayakan. Ini menunjukkan bahwa peran mereka melampaui musik; mereka adalah dirigen spiritual yang menjaga harmoni antara yang terlihat dan yang tidak terlihat.
Tanggung jawab ini seringkali berujung pada peran sebagai *sesepuh* atau penasihat spiritual dalam kelompok. Ketika terjadi sengketa, masalah keuangan, atau bahkan insiden spiritual yang melibatkan penari yang kesurupan, bapak-bapak inilah yang menjadi mediator dan penentu solusi. Mereka harus menavigasi kompleksitas internal kelompok sambil tetap menjaga citra dan kehormatan Barongan di mata masyarakat luas. Beban ini memerlukan kebijaksanaan yang tidak dapat diajarkan di sekolah formal, melainkan diwariskan melalui interaksi langsung, pengamatan bertahun-tahun, dan praktik spiritual yang konsisten. Mereka adalah kurator hidup dari warisan yang berharga, yang harus disaring dan diteruskan tanpa kehilangan esensi aslinya. Kedalaman filosofis ini menuntut pengabdian seumur hidup, bukan sekadar hobi sesaat.
Dedikasi, Pengorbanan, dan Manajemen Waktu yang Ekstrem
Salah satu aspek paling heroik dari peran bapak-bapak dalam Barongan adalah manajemen waktu dan pengorbanan finansial yang mereka lakukan. Kebanyakan dari mereka memiliki profesi utama sebagai petani, buruh, pegawai negeri, atau pedagang kecil. Mereka harus bekerja keras sepanjang hari untuk menafkahi keluarga, dan ketika matahari terbenam, alih-alih beristirahat, mereka beralih peran menjadi pelestari budaya yang tak kenal lelah. Latihan seringkali dimulai larut malam, setelah semua kewajiban keluarga selesai, dan berlangsung hingga dini hari. Jadwal padat ini menunjukkan komitmen luar biasa yang seringkali tidak dihargai secara materi.
Pengorbanan Finansial untuk Pelestarian
Seni Barongan bukanlah seni yang murah. Kostum, topeng, perangkat Gamelan, dan perawatan ritual semuanya membutuhkan biaya besar. Meskipun kelompok Barongan mendapatkan undangan pentas (terutama saat acara hajatan atau bersih desa), pendapatan ini seringkali tidak mencukupi untuk menutupi biaya operasional dan perawatan peralatan yang sudah tua. Dalam banyak kasus, para bapak-bapak anggota kelompok lah yang menalangi kekurangan dana dari kantong pribadi mereka, yang sebenarnya dialokasikan untuk kebutuhan keluarga. Pengorbanan finansial ini, yang dilakukan tanpa pamrih, menunjukkan bahwa bagi mereka, Barongan adalah investasi spiritual dan sosial yang jauh lebih penting daripada perhitungan ekonomi sempit.
Perawatan topeng Barong, khususnya, menuntut perhatian khusus. Topeng Barong yang berusia ratusan tahun atau yang memiliki nilai spiritual tinggi dianggap sebagai benda pusaka atau bahkan memiliki penghuni spiritual. Perawatannya melibatkan ritual pembersihan (seperti memandikan topeng pada waktu-waktu tertentu, seringkali malam Jumat Kliwon), penggantian rambut atau bulu secara berkala, dan memastikan tempat penyimpanan yang layak dan terhormat. Tugas-tugas ini hampir selalu diemban oleh bapak-bapak tertua yang dipercaya memiliki hubungan spiritual yang paling kuat dengan benda pusaka tersebut. Mereka yang mengetahui mantra atau doa khusus untuk menjaga kesakralan Barong, dan mereka yang bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang dianggap kurang baik atau tidak menghormati tradisi. Beban ini adalah beban spiritual yang membutuhkan kejujuran, ketulusan, dan keberanian moral.
Selain itu, peran bapak-bapak juga mencakup logistik dan organisasi. Mereka adalah negosiator ketika berhadapan dengan kepala desa atau pihak penyelenggara acara, memastikan bahwa kelompok mendapatkan fasilitas dan penghormatan yang layak. Mereka mengelola transportasi perangkat Gamelan yang berat dan mengatur jadwal latihan yang kompleks agar tidak bentrok dengan jadwal kerja anggota. Ini adalah tugas manajerial yang seringkali dilakukan di luar jam kerja utama mereka, mengikis waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga. Dedikasi ini adalah gambaran nyata bagaimana budaya dipertahankan di tingkat akar rumput: melalui kerja keras yang tak terlihat dan cinta yang tak terukur terhadap warisan leluhur.
Kita perlu memahami bahwa pengorbanan ini tidak hanya diukur dari uang atau waktu. Pengorbanan terbesar mungkin adalah menjaga warisan kearifan lokal di tengah arus globalisasi yang serba cepat. Barongan menawarkan jeda, sebuah koneksi ke masa lalu, dan pengingat akan nilai-nilai komunal. Bagi para bapak-bapak ini, Barongan adalah jangkar yang menahan komunitas mereka dari terombang-ambing oleh pengaruh luar yang merusak. Mereka sadar betul bahwa jika mereka berhenti, maka rantai tradisi ini mungkin akan putus, dan kearifan lokal yang telah dijaga berabad-abad akan hilang ditelan zaman. Oleh karena itu, pengorbanan mereka adalah pengorbanan demi identitas kolektif.
Intensitas pengabdian ini juga termanifestasi dalam kemampuan mereka menanggapi permintaan pertunjukan yang mendadak atau di lokasi yang jauh. Kadang kala, permintaan pertunjukan datang bersamaan dengan musim panen atau masa sibuk kerja lainnya. Namun, komitmen terhadap Barongan seringkali didahulukan. Mereka akan mengatur pekerjaan ganda, meminta izin khusus, atau bahkan mengorbankan pendapatan harian demi memenuhi kewajiban budaya ini. Kesediaan untuk terus tampil, meskipun usia sudah menua dan tenaga tidak lagi sekuat dulu, adalah testimoni nyata dari semangat Barongan yang telah mendarah daging. Mereka tidak hanya tampil di panggung besar, tetapi juga di upacara-upacara kecil desa, di perempatan jalan, atau bahkan di pekarangan rumah saat ada ritual khusus, menunjukkan fleksibilitas dan ketulusan dalam pengabdian.
Proses transfer pengetahuan dari bapak-bapak kepada generasi penerus juga merupakan pengorbanan waktu yang besar. Mengajar *pakem* tarian, ritme Gamelan yang rumit, dan filosofi di balik setiap gerakan membutuhkan kesabaran yang tak terbatas. Generasi muda seringkali ingin memodifikasi atau mempercepat proses belajar, sementara para bapak-bapak harus memastikan bahwa dasar-dasar spiritual dan teknik tidak dikompromikan. Mereka harus menjadi mentor yang keras namun penuh kasih, menyeimbangkan antara tuntutan tradisi dan kebutuhan untuk menjaga semangat generasi muda tetap menyala. Proses mentoring ini berlangsung bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, hingga sang murid dianggap layak dan matang untuk membawa topeng Barong dengan segala konsekuensinya.
Barongan sebagai Media Pendidikan Karakter dan Jati Diri Komunal
Di mata para bapak-bapak, Barongan berfungsi sebagai institusi pendidikan informal yang membentuk karakter dan memperkuat jati diri komunal. Partisipasi aktif dalam kelompok Barongan mengajarkan nilai-nilai yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari: disiplin, kerja sama tim, rasa tanggung jawab, dan yang terpenting, kerendahan hati dalam menghadapi kekuatan yang lebih besar (spiritualitas).
Disiplin Ritual dan Ketahanan Mental
Disiplin ritual yang diajarkan oleh bapak-bapak kepada anggota muda sangat ketat. Sebelum pentas, semua anggota diwajibkan melakukan ritual pembersihan diri, baik fisik maupun batin. Hal ini menanamkan kesadaran bahwa seni pertunjukan ini bukanlah kegiatan main-main, melainkan perwujudan energi sakral. Bagi para bapak-bapak, kedisiplinan ini sudah menjadi bagian dari hidup, sebuah cara untuk menjaga ketenangan batin di tengah kesulitan hidup. Ketika mereka menari, mereka tidak hanya menampilkan cerita, tetapi mereka juga menyalurkan ketahanan mental yang mereka peroleh dari pengalaman hidup mereka.
Kerja sama tim dalam Barongan juga sangat intensif. Barongan raksasa seringkali membutuhkan dua penari (satu di bagian kepala dan satu di bagian ekor), dan sinkronisasi gerakan mereka harus sempurna. Lebih dari itu, sinkronisasi antara penari dengan penabuh Gamelan harus harmonis. Para bapak-bapak memastikan bahwa setiap anggota, terlepas dari peran mereka (apakah sebagai Barong, Rangda, kera, atau penabuh), merasa dihargai dan memiliki peran vital dalam keseluruhan narasi. Mereka mengajarkan bahwa keberhasilan pertunjukan tidak terletak pada individu yang paling menonjol, tetapi pada harmoni kolektif. Konsep ini adalah cerminan dari filosofi hidup masyarakat komunal di mana kepentingan bersama harus diutamakan di atas ego individu.
Melalui proses ini, para bapak-bapak secara efektif menanamkan rasa memiliki yang kuat terhadap desa atau wilayah mereka. Ketika mereka tampil di tempat lain, mereka membawa nama baik komunitas mereka. Barongan menjadi simbol identitas mereka. Rasa tanggung jawab untuk membawa simbol ini dengan kehormatan mengajarkan generasi muda tentang pentingnya representasi dan integritas. Bagi bapak-bapak sendiri, ini adalah penguatan jati diri mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah dan masa depan komunitas mereka.
Selain pendidikan teknis dan spiritual, bapak-bapak juga menjadi sumber cerita rakyat dan sejarah lokal yang terintegrasi dalam pertunjukan. Setiap gerakan Barongan, setiap pola tabuhan Gamelan, seringkali memiliki kaitan dengan legenda setempat, pertempuran masa lalu, atau mitos pembentukan desa. Para bapak-bapak inilah yang menyimpan bank data sejarah lisan ini. Mereka tidak hanya mengajarkan cara menari, tetapi juga mengapa tarian itu harus dilakukan dengan cara tertentu di lokasi tertentu. Misalnya, mengapa dalam pentas Barongan di desa A, gerakan Barong harus menghadap ke arah gunung, sementara di desa B harus menghadap ke laut. Penjelasan kontekstual ini sangat penting untuk mencegah Barongan menjadi sekadar atraksi tanpa ruh.
Pengajaran mengenai etika interaksi antar anggota juga menjadi domain bapak-bapak. Mereka mengajarkan bagaimana menghormati sesama penari, menghargai sesepuh yang sudah pensiun, dan memperlakukan peralatan seni—terutama topeng Barong—dengan penuh *adab* dan kesopanan. Pelajaran tentang adab ini meluas ke interaksi dengan penonton dan komunitas. Mereka mengajarkan bahwa seorang penari Barong harus menjaga sikap dan perkataan di luar panggung, karena mereka adalah duta dari seni yang dihormati. Pendidikan karakter ini memastikan bahwa Barongan tidak hanya menghasilkan seniman yang terampil, tetapi juga individu yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab secara sosial.
Aspek penting lainnya adalah penanganan fenomena *trance* (kesurupan). Dalam beberapa tradisi Barongan, kesurupan (yang seringkali melibatkan penari Kuda Lumping, Celeng, atau bahkan Barong itu sendiri) adalah bagian integral dari pertunjukan. Mengendalikan dan memulihkan anggota yang mengalami *trance* membutuhkan keterampilan spiritual dan mental yang luar biasa. Tugas ini hampir selalu menjadi tanggung jawab bapak-bapak, khususnya *pawang* atau *dukun* kelompok. Mereka harus memastikan bahwa kesurupan terjadi dalam batas yang aman dan bahwa roh yang masuk adalah roh yang baik atau dapat dikendalikan. Kemampuan mereka untuk memimpin ritual penyembuhan dan penenangan adalah puncak dari kematangan spiritual yang mereka peroleh dari dedikasi seumur hidup. Tanpa kehadiran bapak-bapak dengan kematangan spiritual ini, aspek ritual Barongan akan menjadi berbahaya dan tidak terkendali.
Tantangan Modernisasi dan Konservasi Kreatif Bapak-Bapak
Di era digital dan globalisasi ini, Barongan menghadapi tantangan besar. Tontonan modern, media sosial, dan migrasi kaum muda ke kota besar mengancam kelangsungan hidup tradisi lokal. Di sinilah peran para bapak-bapak berubah dari sekadar pelestari menjadi inovator konservatif.
Menjembatani Tradisi dan Tuntutan Pasar
Para bapak-bapak menyadari bahwa untuk bertahan, Barongan harus menarik perhatian generasi baru. Namun, inovasi harus dilakukan tanpa mengorbankan *pakem* spiritual. Mereka harus menemukan keseimbangan yang tipis: bagaimana membuat Barongan tampil relevan tanpa menjadi sekadar komoditas hiburan murahan. Strategi yang sering mereka ambil adalah melalui konservasi kreatif.
Konservasi kreatif yang dipimpin oleh generasi matang ini meliputi: pertama, pengintegrasian Barongan dalam kurikulum lokal atau acara sekolah. Mereka bekerja sama dengan guru dan pemerintah desa untuk memastikan anak-anak usia sekolah terpapar pada filosofi Barongan, bukan hanya tariannya. Kedua, penggunaan teknologi sederhana untuk dokumentasi. Meskipun mereka mungkin tidak mahir dalam media sosial, mereka seringkali mendukung penuh upaya kaum muda untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan pertunjukan Barongan secara daring, asalkan unsur sakralnya dihormati. Ketiga, pengembangan alur cerita (lakon) baru yang menggabungkan isu-isu kontemporer tanpa menghilangkan tokoh utama mitologis. Misalnya, Barong yang berhadapan dengan masalah lingkungan atau korupsi, dibawakan dengan spirit tradisi.
Tantangan terbesar yang mereka hadapi adalah mempertahankan penabuh Gamelan. Gamelan modern seringkali dianggap terlalu rumit dan kuno oleh kaum muda yang lebih tertarik pada musik digital. Bapak-bapak ini harus bekerja keras meyakinkan generasi penerus bahwa keindahan dan kedalaman musik Gamelan Barongan adalah fondasi emosional yang tak tergantikan. Mereka bahkan mungkin harus membeli Gamelan baru atau memperbaiki yang lama dengan biaya sendiri agar alat musik tersebut tetap menarik bagi para pelajar musik.
Keterbatasan fisik juga menjadi tantangan. Seiring bertambahnya usia, menari Barongan yang berat dan intensif menjadi semakin sulit. Namun, alih-alih pensiun sepenuhnya, bapak-bapak ini beralih peran. Mereka menjadi dalang, pencerita narasi, atau ahli spiritual yang mendampingi pertunjukan, memastikan bahwa meskipun badan mereka tidak lagi di panggung utama, kehadiran spiritual dan arahan mereka tetap menjadi inti dari setiap penampilan. Transisi peran ini adalah bukti fleksibilitas dan dedikasi seumur hidup.
Strategi adaptasi yang lain yang sering diterapkan oleh bapak-bapak adalah upaya kolaborasi inter-etnis. Meskipun Barongan memiliki ciri khas regionalnya masing-masing (seperti Reog di Ponorogo atau Barong di Bali), para bapak-bapak pelestari sering melakukan kunjungan atau pertukaran budaya dengan kelompok dari daerah lain. Tujuannya bukan untuk mencampuradukkan *pakem*, melainkan untuk memperkuat jaringan pelestarian dan saling berbagi tantangan yang dihadapi. Melalui kolaborasi ini, mereka dapat melihat bagaimana tradisi lain beradaptasi dengan modernitas, mengambil pelajaran yang relevan, dan kembali memperkaya Barongan lokal mereka dengan semangat baru tanpa melanggar prinsip dasar.
Dalam konteks ekonomi kreatif, beberapa bapak-bapak bahkan mulai mengorganisir kelompok mereka menjadi unit usaha sosial yang lebih terstruktur, meskipun fokus utamanya tetap pada ritual. Mereka belajar tentang pengajuan proposal ke pemerintah daerah atau lembaga kebudayaan untuk mendapatkan dana hibah pelestarian. Proses ini memerlukan keterampilan administrasi yang seringkali jauh dari latar belakang mereka, namun mereka gigih mempelajari demi kelangsungan hidup Barongan. Mereka menganggap diri mereka tidak hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai manajer warisan budaya, mengurus hak cipta tradisional, dan memastikan bahwa tidak ada pihak luar yang mengeksploitasi Barongan tanpa memberikan imbalan yang layak kepada komunitas.
Peran sebagai jembatan spiritual juga semakin penting di tengah meningkatnya skeptisisme kaum muda terhadap hal-hal mistis. Bapak-bapak harus mampu menjelaskan filosofi dan spiritualitas Barongan dengan cara yang dapat diterima oleh pikiran modern. Mereka harus melepaskan citra Barongan hanya sebagai sihir atau tahayul, dan menggantinya dengan konsep energi budaya, hubungan dengan leluhur, dan psikologi kolektif. Kemampuan mereka untuk menerjemahkan bahasa ritual ke dalam bahasa yang lebih rasional adalah kunci untuk menjaga agar Barongan tetap relevan dan dihormati oleh semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang terdidik secara Barat.
Studi Kasus Karakter: Sosok Bapak Penjaga Barongan
Untuk menggambarkan secara nyata dedikasi yang tak terucapkan ini, mari kita bayangkan profil hipotetis dari beberapa bapak-bapak yang menjadi penjaga Barongan di tingkat desa. Meskipun fiksi, profil ini merangkum pengalaman kolektif dari ribuan pelestari budaya di seluruh Nusantara.
1. Ki Wiro: Sang Pengrajin Topeng dan Pawang
Ki Wiro (65 tahun) adalah seorang pensiunan tukang kayu. Setelah pensiun, ia mencurahkan seluruh waktunya untuk Barongan. Ki Wiro bukan lagi penari, tetapi ia adalah ahli waris teknik pembuatan dan perawatan Topeng Barong. Ia tahu bagaimana memilih kayu yang tepat (seringkali kayu dari pohon yang dianggap keramat), bagaimana memahat Barong agar auranya kuat, dan bagaimana melaksanakan upacara *selamatan* ketika Barong baru selesai dibuat. Baginya, setiap serpihan kayu adalah doa. Ia tidak mengenakan biaya mahal untuk pekerjaannya; imbalan terbesarnya adalah melihat Barong buatannya diangkat dan menari, membawa kebanggaan bagi desa. Ia menghabiskan sebagian besar waktu luangnya untuk membersihkan Barong-Barong tua dengan kain dan minyak khusus, menjaga agar energinya tetap hidup. Dedikasi Ki Wiro adalah pengorbanan keahlian dan waktu untuk menjaga kualitas fisik dan spiritual pusaka Barongan.
2. Pak Karta: Koordinator Logistik dan Keuangan
Pak Karta (52 tahun) adalah seorang wiraswasta yang sukses secara sederhana. Di kelompok Barongan, ia menjabat sebagai bendahara dan koordinator logistik. Ia mungkin tidak memiliki kemampuan menari atau spiritual seperti yang lain, tetapi ia adalah otak di balik organisasi yang rapi. Pak Karta menggunakan keterampilan bisnisnya untuk menegosiasikan harga pertunjukan, mencari sponsor lokal (meski kecil), dan memastikan bahwa setiap anggota menerima sedikit honorarium (walaupun tidak sebanding dengan usaha mereka). Ia bertanggung jawab atas penyimpanan Gamelan yang aman, pengadaan transportasi yang layak untuk Barong yang besar, dan menjaga transparansi keuangan. Peran ini menuntut kejujuran dan ketekunan yang luar biasa, memastikan bahwa kelompok Barongan dapat beroperasi secara profesional tanpa kehilangan sentuhan komunal dan ritualnya. Tanpa Pak Karta, kelompok tersebut akan terjerumus ke dalam kekacauan administrasi dan finansial, yang berujung pada keruntuhan organisasi.
3. Mas Suro: Guru Tari dan Pewaris Gerakan Inti
Mas Suro (48 tahun) adalah generasi matang yang masih aktif menari sebagai Barong inti, namun kini fokus utamanya adalah mengajar. Ia mewarisi serangkaian gerakan yang sangat spesifik dan kuno dari kakeknya, yang harus diturunkan dengan presisi mutlak. Mas Suro terkenal karena kesabarannya dalam mengajar, tetapi juga kekakuannya dalam menjaga *pakem*. Ia akan memaksa murid-muridnya mengulang gerakan Barong berjam-jam, menekankan bahwa Barong harus menari dengan ‘rasa’—perasaan yang berasal dari hati, bukan hanya dari otot. Ia tidak mentolerir modifikasi yang dibuat semata-mata untuk viral atau kepuasan penonton modern. Baginya, tarian adalah dialog antara penari dan kekuatan yang diwakilinya. Mas Suro adalah penjaga teknis dan artistik, memastikan bahwa keindahan Barongan yang asli tidak pernah terkontaminasi oleh tren sesaat.
Kisah-kisah fiksi ini, yang berakar pada realitas komunitas Barongan, menunjukkan bahwa peran bapak-bapak dalam Barongan adalah multifaset dan holistik. Mereka adalah seniman, manajer, spiritualis, dan pendidik, semuanya terbungkus dalam satu sosok yang berkomitmen. Mereka menyadari bahwa warisan budaya adalah sebuah ekosistem; jika salah satu elemen (seni, ritual, manajemen, atau spiritualitas) ambruk, maka keseluruhan tradisi akan terancam. Oleh karena itu, mereka mengisi setiap celah, menggunakan keahlian dan pengalaman hidup mereka yang beragam untuk memperkuat benteng Barongan.
Lebih dari sekadar gelar atau jabatan resmi dalam struktur organisasi kelompok, bapak-bapak ini juga berperan sebagai ‘bank memori’ berjalan. Mereka adalah orang-orang yang mengingat detail terkecil dari pertunjukan yang pernah dilakukan puluhan tahun lalu, siapa yang menari, mengapa lagu tertentu dimainkan, dan peristiwa supranatural apa yang terjadi saat itu. Pengetahuan ini sangat berharga, terutama ketika kelompok dihadapkan pada situasi unik atau ketika mereka harus melakukan pertunjukan di lokasi yang secara tradisional dianggap sakral atau angker. Pengetahuan mereka menjadi panduan keselamatan dan keberhasilan pertunjukan, memastikan bahwa interaksi dengan dunia spiritual dilakukan dengan penuh hormat dan sesuai adat.
Pertemuan rutin para bapak-bapak ini, seringkali diadakan di pos ronda atau rumah salah satu sesepuh, adalah forum penting untuk pengambilan keputusan, pembinaan moral, dan transfer nilai. Dalam pertemuan inilah mereka membahas bukan hanya jadwal pentas, tetapi juga masalah-masalah sosial yang dihadapi anggota kelompok atau desa. Barongan, bagi mereka, adalah alat untuk memperkuat kohesi sosial. Mereka menggunakan pengaruh dan posisi mereka sebagai tokoh yang dihormati untuk menyelesaikan konflik kecil di desa, seringkali menggunakan prinsip-prinsip harmonis dan spiritualitas yang mereka pelajari melalui praktik Barongan. Dengan demikian, Barongan Bapak-Bapak menjadi lebih dari sekadar seni; ia adalah mekanisme sosial dan moral yang menjaga ketertiban komunitas.
Beban spiritual yang diemban oleh para bapak-bapak ini juga tidak bisa diabaikan. Mereka seringkali menjadi titik fokus bagi masyarakat yang mencari perlindungan atau nasihat spiritual, terutama yang berkaitan dengan *nazar* (janji) yang melibatkan Barongan. Jika seseorang membuat janji untuk menggelar Barongan sebagai bentuk syukur atau permohonan, bapak-bapak ini yang akan memimpin ritual *syi’ar* (penyampaian nazar) dan memastikan bahwa ritual tersebut dilakukan dengan benar. Beban ini menuntut mereka untuk selalu menjaga integritas moral dan spiritual mereka, karena kesalahan sekecil apapun dalam ritual dapat dianggap membawa dampak buruk bagi kelompok atau komunitas. Inilah mengapa komitmen mereka terhadap kejujuran dan kesucian hati sangat ditekankan, baik di dalam maupun di luar pertunjukan. Ini adalah tanggung jawab seumur hidup yang tidak pernah mereka lepaskan, bahkan saat mereka sudah terlalu tua untuk menari.
Pewarisan dan Masa Depan Barongan: Harapan dari Bapak-Bapak
Masa depan Barongan sangat bergantung pada keberhasilan generasi matang dalam menanamkan kecintaan yang mendalam pada generasi penerus. Tantangannya adalah membuat anak-anak muda melihat Barongan bukan hanya sebagai warisan yang berat dan penuh larangan, tetapi sebagai identitas yang keren, kuat, dan penuh makna. Bapak-bapak ini kini berfokus pada strategi pewarisan yang lebih inklusif dan menarik.
Strategi Pengkaderan yang Berkelanjutan
Pengkaderan dalam Barongan Bapak-Bapak berprinsip pada tiga pilar utama: *Pakem*, *Praktek*, dan *Personal*.
Pilar pertama, *Pakem*, menekankan bahwa dasar-dasar spiritual dan ritual tidak boleh diganggu gugat. Generasi muda boleh berkreasi, tetapi harus memahami akar mitologisnya. Bapak-bapak memastikan bahwa setiap anggota muda menghafal mantra pembuka dan penutup, dan memahami kapan harus menjaga keseriusan ritual dan kapan bisa sedikit lebih luwes dalam pementasan.
Pilar kedua, *Praktek*, melibatkan intensifikasi latihan. Para bapak-bapak sadar bahwa konsistensi adalah kunci. Mereka mencoba membuat jadwal latihan yang lebih terstruktur dan menarik, kadang-kadang mengundang kelompok lain untuk latihan bersama, sehingga ada motivasi kompetitif yang sehat bagi para pemuda. Mereka juga memastikan bahwa setiap anggota muda diberikan kesempatan untuk mencoba peran yang berbeda, mulai dari penabuh instrumen paling sederhana hingga menjadi ekor Barong, sebelum akhirnya mencoba memimpin kepala Barong.
Pilar ketiga, *Personal*, adalah yang paling penting. Bapak-bapak berfungsi sebagai figur ayah atau paman bagi anggota muda. Mereka mendengarkan masalah pribadi dan sekolah para pemuda, memberikan nasihat, dan membantu mereka memahami bahwa dedikasi pada Barongan akan tercermin dalam disiplin di sekolah atau pekerjaan mereka. Hubungan personal inilah yang menciptakan ikatan emosional, membuat para pemuda merasa memiliki kewajiban moral untuk melanjutkan tradisi yang telah diperjuangkan oleh para sesepuh ini dengan darah dan keringat mereka.
Para bapak-bapak juga mulai secara aktif melibatkan perempuan dan anak-anak dalam peran-peran yang dulunya didominasi laki-laki, seperti penari pembuka atau penabuh alat musik tertentu, asalkan tidak melanggar *pakem* inti. Inklusi ini penting untuk memastikan bahwa Barongan tetap menjadi seni komunal yang relevan bagi seluruh anggota desa, dan bukan hanya domain eksklusif kaum pria. Dengan demikian, mereka menunjukkan bahwa pelestarian tidak berarti stagnasi, melainkan adaptasi yang bijaksana.
Meskipun masa depan penuh ketidakpastian, semangat para bapak-bapak ini adalah sumber optimisme. Mereka tidak hanya berharap Barongan bertahan; mereka bekerja keras setiap hari untuk memastikan bahwa ia berkembang, beradaptasi, dan terus menjadi cerminan identitas spiritual dan budaya Indonesia. Raungan Barong yang diangkat oleh tangan-tangan matang adalah janji bahwa warisan ini akan terus diteruskan, dari satu generasi bapak-bapak ke generasi berikutnya, membawa serta bobot sejarah, spiritualitas, dan cinta yang tak terhingga.
Komitmen para bapak-bapak ini juga mencakup upaya formalisasi dan pengakuan. Mereka seringkali menjadi pihak yang paling gigih dalam mendaftarkan kelompok Barongan mereka ke Dinas Kebudayaan setempat, mencari pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Proses ini seringkali birokratis dan memakan waktu, membutuhkan pengumpulan dokumen sejarah, silsilah kelompok, dan deskripsi detail ritual. Bagi banyak dari mereka, yang latar belakang pendidikannya mungkin sederhana, ini adalah tantangan yang memerlukan bantuan dari akademisi atau anggota kelompok yang lebih muda. Namun, mereka bersikeras melakukannya karena mereka memahami bahwa pengakuan formal adalah lapisan pelindung tambahan terhadap kepunahan atau klaim pihak luar. Mereka ingin memastikan bahwa jerih payah leluhur dan pengorbanan mereka sendiri tidak sia-sia, dan diakui secara resmi sebagai bagian integral dari kekayaan bangsa.
Upaya pelestarian ini juga mencakup hubungan lintas generasi yang bersifat simbiosis. Bapak-bapak menyediakan fondasi spiritual, teknik, dan finansial awal; sementara generasi muda menyediakan energi, ide-ide segar dalam pemasaran digital, dan kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia modern. Ini adalah kemitraan yang seimbang: warisan tanpa inovasi akan stagnan, dan inovasi tanpa warisan akan kehilangan ruh. Para bapak-bapak ini telah belajar untuk melepaskan sedikit kendali artistik, percaya bahwa selama dasar ritual dijaga, modifikasi dalam pementasan dapat diterima. Misalnya, mereka mengizinkan penambahan pencahayaan modern atau penggunaan *sound system* yang lebih baik, asalkan volume Gamelan tidak dikalahkan dan suasana sakral tetap terjaga. Kemauan untuk beradaptasi ini adalah kunci keberlanjutan mereka.
Sebagai penutup dari pembahasan mengenai pewarisan, penting untuk ditekankan bahwa Barongan Bapak-Bapak adalah manifestasi dari filosofi Jawa kuno tentang *mikul dhuwur mendhem jero*—mengangkat tinggi martabat leluhur dan mengubur dalam-dalam aib mereka. Dengan terus mementaskan Barongan dengan penuh hormat dan dedikasi, para bapak-bapak ini tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga menjamin bahwa setiap kali Barongan menari, ia membawa pesan abadi tentang keseimbangan, keberanian, dan identitas budaya. Mereka adalah arsitek masa depan budaya lokal, yang membangun jembatan kokoh antara tradisi kuno dan dunia yang terus berubah, memastikan bahwa raungan Barong akan terus bergema melintasi waktu.