Visualisasi Topeng Barongan yang menjadi pusat perhatian dalam setiap pertunjukan, namun rohnya terletak pada irama pengiring.
Seni pertunjukan Barongan, yang tersebar luas dari Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga beberapa wilayah di luar Jawa, seringkali hanya dinilai dari aspek visual dan gerak tariannya yang ekstatik. Penonton terkesima oleh liukan topeng singa yang besar, jubah berbulu, dan adegan kesurupan (trans) yang dramatis. Namun, di balik gemuruh visual tersebut, terdapat sebuah pilar tak terlihat yang sesungguhnya menjadi inti dari kesenian ini: lagu dan musik pengiring.
Barongan bukanlah sekadar tarian; ia adalah ritual, sebuah kisah yang disampaikan melalui gabungan harmonis antara gerak, dialog (meskipun seringkali improvisatif), dan yang paling fundamental, aransemen bunyi Gamelan yang kompleks. Tanpa irama yang tepat, Barongan hanya akan menjadi kostum mati. Musik adalah napas yang memberikan roh, mengatur tempo naratif, memanggil energi spiritual, dan mengantar para pemain menuju kondisi puncaknya, terutama pada fase janturan atau trans.
Irama dalam Barongan memiliki peran ganda. Pertama, sebagai penyedia latar belakang kultural, menegaskan identitas Javanese. Kedua, sebagai katalisator psikologis dan spiritual. Lagu-lagu yang dimainkan bukanlah sekadar melodi populer; ia adalah gending-gending kuno yang diturunkan, yang struktur nadanya dirancang khusus untuk menciptakan atmosfer mistis, riang, hingga mencekam. Artikel ini akan menyelami lebih jauh arsitektur suara di balik topeng Barongan, mengurai instrumen, lagu khas, dan filosofi irama yang membuat pertunjukan ini begitu memukau dan abadi.
Dalam konteks pertunjukan Barongan, musik bukan hanya ornamen, melainkan struktur penentu. Keberhasilan sebuah penampilan, terutama dalam mencapai klimaks trans, sangat bergantung pada ketepatan dan kekuatan ansambel pengiring. Ada beberapa fungsi krusial yang dipegang oleh lagu dan Gamelan Barongan:
Pertunjukan Barongan memiliki alur yang jelas, mulai dari pembukaan yang sopan, masuknya tokoh utama, pertempuran, hingga penutup. Setiap fase membutuhkan suasana musik yang berbeda. Gending-gending lambat dan agung seperti Ketawang atau Ladrang digunakan untuk pembukaan ritual, menciptakan rasa hormat dan keseriusan. Sementara itu, saat tokoh Barongan atau Jathilan (kuda lumping) beraksi, irama dipercepat menjadi Srepegan atau Ayak-ayakan yang energik dan dinamis.
Penari Barongan dan Jathilan sangat bergantung pada Kendang (drum) sebagai komandan utama. Setiap ketukan, pukulan, dan sinkopasi kendang adalah isyarat bagi penari untuk mengubah langkah, meloncat, atau menghentakkan kaki. Pengendang yang mahir adalah seorang narator non-verbal yang mampu membaca energi penari dan menyesuaikan tempo, memastikan tidak ada jeda yang mematikan suasana. Keselarasan antara kendang dan gerak ini adalah esensi dari daya tarik Barongan.
Ini adalah fungsi paling magis dari lagu Barongan. Ketika pertunjukan memasuki fase puncak, lagu-lagu tertentu yang dikenal sebagai Gending Eling-Eling atau Gending Jaranan dimainkan. Musik pada fase ini seringkali monoton namun intens, dengan repetisi ritmis yang bertujuan untuk menginduksi keadaan meditasi atau trans. Vibrasi dari Gong dan Kenong yang berulang, dipadukan dengan ritme Kendang yang cepat dan berputar-putar, merangsang pusat saraf penari, membantu mereka "melepaskan" kesadaran dan membiarkan roh memasuki raga.
Kendang, sang Komandan Ritme. Perannya sangat vital, bertindak sebagai jantung yang memompa semangat pertunjukan.
Ketika dialog minim, musiklah yang mengisi kekosongan narasi. Perubahan lagu sering menandakan pergantian adegan, munculnya tokoh baru, atau kemenangan/kekalahan dalam pertempuran. Misalnya, Gending yang tiba-tiba melambat bisa menandakan masa refleksi atau jeda sebelum masuknya adegan kekacauan yang lebih besar.
Gamelan yang mengiringi Barongan memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dari Gamelan Keraton klasik (Yogyakarta atau Surakarta). Gamelan Barongan, terutama yang berasal dari Jawa Timur dan pesisir Jawa Tengah (seperti Blora, Kudus, atau Rembang), cenderung memiliki karakter suara yang lebih keras, dinamis, dan fokus pada ritme perkusi yang eksplosif. Skala nada (laras) yang dominan digunakan adalah Slendro, yang menghasilkan bunyi riang dan terkadang misterius.
Kendang dalam Barongan, khususnya Kendang Gendhing dan Kendang Ciblon, adalah instrumen terpenting. Pengendang harus memiliki stamina tinggi dan kepekaan ritmik yang luar biasa. Pukulan dhung, tak, dan dhlung-nya tidak hanya menjaga tempo, tetapi juga memberikan aba-aba kompleks kepada seluruh ansambel Gamelan dan penari. Teknik memukulnya sangat spesifik untuk menyesuaikan dengan gerak lincah Barongan. Dalam fase trans, Kendang seringkali berimprovisasi dengan ritme yang sangat cepat, berulang, dan menantang, memaksa penari untuk bergerak di luar batas kesadaran normal.
Gong berfungsi sebagai penanda siklus musikal (gongan) yang besar, memberikan rasa stabilitas dan penutup pada setiap frase melodi yang panjang. Pukulan Gong selalu berat dan menggetarkan, seringkali diyakini memiliki nilai sakral. Sementara Kempul (gong berukuran sedang) berfungsi sebagai penanda frase yang lebih kecil. Ketepatan Gong sangat penting; ia menandakan dimulainya siklus baru dan menjadi jangkar yang menahan seluruh irama agar tidak pecah dalam kecepatan tinggi.
Kenong (set instrumen mirip pot besar) dan Kethuk (pot kecil, berbunyi 'thuk') mengisi celah antara Kempul dan Gong. Kethuk memberikan ritme yang konstan dan mendasar, seperti detak jantung yang tak pernah berhenti, memberikan fondasi ritmik yang padat. Kenong, dengan bunyinya yang lebih berat, membagi siklus gongan menjadi empat atau delapan bagian, memastikan struktur musikal tetap teratur meskipun melodi yang dimainkan di atasnya sangat kompleks.
Saron (terdiri dari Saron Demung, Saron Barung, dan Saron Peking) adalah instrumen balungan (kerangka melodi) utama. Mereka memainkan melodi dasar dari lagu (gending) yang sedang dibawakan. Dalam Barongan, melodi Saron cenderung dimainkan dengan kuat dan cepat, mengikuti tempo agresif yang diatur oleh Kendang. Saron Peking, yang beroktaf paling tinggi, seringkali memberikan aksen yang cepat dan menyemarakkan irama.
Bonang (Bonang Barung dan Bonang Penerus) menambahkan variasi ritmis dan hiasan pada melodi dasar. Mereka memainkan pola-pola rumit yang disebut imbal atau sekaran, yang saling mengisi dan berlari kencang. Dalam Barongan, Bonang menjadi salah satu elemen yang paling menarik didengar, menciptakan kesan keramaian dan energi yang meluap-luap, sangat cocok untuk menggambarkan karakter Barongan yang liar.
Meskipun tidak selalu dominan seperti Saron dan Kendang, Gender (instrumen bilah logam dengan resonator tabung) dan Gambang (instrumen bilah kayu) memberikan kedalaman harmonik dan melodi yang lebih halus. Mereka berperan penting dalam lagu-lagu pembuka yang lebih tenang, memberikan sentuhan keindahan sebelum kegaduhan dimulai. Dalam fase trans, Gender dan Gambang mungkin dikurangi perannya atau bermain dengan pola yang sangat repetitif untuk mempertahankan resonansi suara.
Sinden (penyanyi wanita) dan Gerong (paduan suara pria) menambahkan dimensi emosional dan lirik pada pertunjukan. Lirik yang mereka bawakan seringkali berisi pujian, nasihat, atau deskripsi puitis tentang kisah yang sedang dimainkan. Dalam lagu Barongan, vokal seringkali digunakan untuk menguatkan suasana sakral atau, sebaliknya, menambahkan nuansa humor dan kemeriahan dalam adegan interaksi dengan penonton. Kualitas vokal Sinden yang meliuk-liuk di atas irama yang cepat menciptakan kontras yang indah.
Setiap pertunjukan Barongan memiliki struktur lagu yang wajib dimainkan, karena setiap gending memiliki peran fungsionalnya sendiri, dirancang untuk memandu alur drama dan energi spiritual.
Seringkali digunakan sebagai lagu pembuka utama (Talu). Ladrang Pangkur adalah gending klasik yang tenang, berirama dua belas ketukan Kenong per gongan, memberikan kesan agung dan hormat. Fungsinya adalah mempersiapkan penonton secara mental dan spiritual. Melodi yang lembut pada awalnya memberikan waktu bagi para penari dan penabuh untuk bersiap, sambil Gamelan memamerkan keindahan laras Slendro yang khas.
Digunakan saat penampilan tokoh-tokoh pembuka atau saat Barongan pertama kali muncul secara anggun. Ketawang memiliki siklus yang panjang, memberikan suasana meditasi dan keindahan. Dalam konteks Barongan, ia menunjukkan bahwa meskipun raga Barong tampak ganas, ia masih memegang kehormatan dan keagungan spiritual tertentu sebelum pertarungan atau kekacauan dimulai.
Ini adalah gending yang paling sering dimainkan saat adegan pertarungan atau aksi cepat. Srepegan bercirikan ritme yang sangat cepat, seringkali didominasi oleh pukulan Kendang dan Saron yang bertubi-tubi. Gending ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan adrenalin, baik bagi penari maupun penonton. Srepegan tidak memiliki melodi yang panjang dan terstruktur seperti Ladrang; fokusnya adalah pada ritme yang agresif dan repetitif, menciptakan sensasi kejar-kejaran dan pertempuran sengit.
Sedikit lebih lambat dari Srepegan namun tetap cepat dan hidup. Ayak-ayakaan digunakan untuk adegan transisi cepat, lari, atau ketika kelompok Jathilan (kuda lumping) memasuki arena. Irama ini sangat cocok untuk gerakan kuda yang lincah dan bersemangat. Penggunaan Kenong dan Kethuk sangat menonjol di sini untuk menjaga konsistensi irama meskipun kecepatan Kendang meningkat drastis.
Ini adalah lagu yang secara spesifik dirancang untuk mengantar penari Jathilan menuju trans. Meskipun namanya merujuk pada kuda lumping, iramanya seringkali menjadi fondasi ketika semua pemain—termasuk Barongan—mencapai puncak energik. Gending ini bersifat hipnotis, memanfaatkan pengulangan melodi yang minimalis tetapi dipadukan dengan aksen ritmik yang keras dari perkusi. Intensitas ini memisahkan pemain dari realitas.
Nama 'Eling-Eling' berarti 'ingatlah' atau 'waspadalah'. Lagu ini sering digunakan sebagai puncak dari fase kerasukan. Musiknya sering diiringi teriakan dan pukulan Kendang yang sangat liar, hampir tidak teratur, namun tetap dalam satu siklus. Gending ini memaksimalkan vibrasi rendah dari Gong dan Kendang besar untuk menciptakan getaran yang dirasakan hingga ke dalam tubuh penari, membantu mereka mencapai kondisi kesurupan yang dalam. Kekuatan magis lagu ini diyakini mampu memanggil roh atau energi tertentu ke dalam raga penari.
Aspek paling unik dari lagu Barongan adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan kondisi di lapangan. Jika penari mulai kesulitan mencapai trans, pengendang akan mengubah pola pukulan secara improvisasi, menyesuaikan dengan napas dan energi penari. Musik adalah komunikasi dua arah yang intens.
Lagu Barongan bukanlah sekumpulan bunyi acak; ia adalah representasi kosmik dan spiritual masyarakat Jawa. Setiap instrumen membawa makna filosofis mendalam yang berkontribusi pada narasi keseluruhan.
Meskipun Gamelan Barongan dominan menggunakan laras Slendro (lima nada yang terdengar riang, maskulin, dan liar), beberapa kelompok di Jawa Tengah mungkin menyertakan elemen Pelog (tujuh nada yang terdengar halus, feminin, dan melankolis) untuk gending pembuka yang lebih hikmat. Dualitas ini melambangkan keseimbangan alam: Barongan (liar, Slendro) harus tunduk pada norma dan spiritualitas yang lebih tinggi (tertata, Pelog). Namun, dalam mayoritas pertunjukan rakyat, kecepatan dan kekuatan Slendro yang menjadi ciri khas.
Gong, dengan bunyinya yang dalam dan resonansi panjang, sering dilambangkan sebagai penanda akhir siklus kehidupan (kematian) sekaligus awal dari siklus baru (reinkarnasi atau kelahiran). Dalam musik Barongan, setiap pukulan Gong menjadi titik istirahat dan konklusi sementara. Ia memberikan kepastian struktural di tengah kekacauan ritmis yang diciptakan oleh Kendang dan Saron. Gong adalah waktu yang abadi, selalu kembali ke titik nol.
Kendang, yang merupakan satu-satunya instrumen berbahan kulit, secara filosofis dianggap sebagai jantung dan pusat emosi. Pukulan cepat Kendang menyerupai detak jantung yang berdebar kencang saat ketakutan, gembira, atau dalam kondisi trans. Pengendang, oleh karena itu, dianggap sebagai ‘dalang’ non-verbal yang mengendalikan emosi massa dan mengarahkan perjalanan spiritual para penari.
Gending-gending trans dalam Barongan memanfaatkan repetisi irama yang ekstrem. Dalam tradisi mistik Jawa, pengulangan (seperti dalam zikir atau mantra) adalah metode untuk mengosongkan pikiran dan mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Irama yang sama, dimainkan semakin cepat dan intens, membuat pikiran logis penari lelah, sehingga membuka gerbang bagi masuknya energi luar atau roh yang diundang.
Kesenian Barongan memerlukan sinergi yang hampir telepati antara musisi (pengrawit) dan penari. Tidak seperti orkestra Barat yang memainkan partitur secara kaku, Gamelan Barongan menuntut fleksibilitas dan improvisasi.
Pengendang Barongan harus memiliki kemampuan yang disebut ‘membaca rasa’ atau sasmita. Ia harus mengamati setiap detail gerakan penari. Jika penari Barongan mulai bergerak liar di luar kendali, Kendang harus menanggapi dengan irama yang lebih keras dan menantang. Jika penari menunjukkan tanda-tanda kelelahan atau perlambatan, Kendang dapat melonggarkan sedikit tempo sebelum kembali mendorong intensitas.
Fase Talu adalah komposisi instrumental pembuka yang dimainkan sebelum pertunjukan inti dimulai. Talu berfungsi sebagai pemanasan bagi para pengrawit dan sebagai pengumuman kepada khalayak bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Talu yang kuat dan terorganisir memberi kepercayaan diri bagi para penari dan menunjukkan profesionalitas kelompok Gamelan tersebut. Lagu Talu sering dimainkan dalam tempo yang cepat dan menampilkan keterampilan teknis para Bonang dan Saron.
Pertunjukan Barongan sering diadakan di lapangan terbuka atau di jalanan, bukan di gedung konser. Oleh karena itu, aransemen lagu harus memperhitungkan akustik ruang yang luas. Instrumen keras seperti Gong dan Kendang sengaja dimainkan dengan volume maksimal, sementara Bonang dan Saron memainkan pola yang padat agar suara tidak hilang tertelan udara. Lagu Barongan dirancang untuk “mengisi” ruang, menarik perhatian, dan mengatasi kebisingan keramaian.
Ketika fase trans dianggap cukup atau harus diakhiri, peran Sinden dan Gerong menjadi sangat penting. Pengrawit akan berpindah dari Gending keras ke lagu yang lebih lembut, seringkali disertai dengan lirik yang menenangkan atau ajakan untuk sadar kembali. Suara manusia, terutama Sinden, sering dianggap memiliki kekuatan untuk “menarik” kembali kesadaran penari dari alam trans.
Meskipun inti Gamelan Barongan sama, lagu dan komposisi yang digunakan dapat berbeda secara signifikan tergantung wilayah asalnya, mencerminkan dialek musikal setempat.
Musik di wilayah Blora (Jawa Tengah bagian timur) dan Jawa Timur cenderung lebih agresif dan sederhana secara harmonis. Mereka sering menggunakan instrumen yang lebih ‘keras’ seperti Klinting atau Terompet Reog. Irama lagu yang digunakan sangat kental dengan elemen perkusif yang eksplosif, fokus pada kecepatan dan kekacauan yang disengaja. Penggunaan vokal mungkin lebih minim, digantikan oleh teriakan atau auman yang berirama.
Di daerah seperti Kudus atau Pati, Barongan mungkin sedikit lebih terpengaruh oleh gaya Gamelan Keraton. Mereka cenderung lebih terstruktur dalam pemilihan Gending dan mungkin menyertakan lebih banyak instrumen melodis seperti Gender dan Celempung. Lagu trans tetap cepat, tetapi transisi antara lagu pembuka dan lagu inti diatur lebih halus, mencerminkan estetika Jawa yang lebih teratur.
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak grup Barongan rakyat yang mengadaptasi musik mereka agar lebih menarik bagi generasi muda. Fenomena ini melahirkan apa yang dikenal sebagai “Barongan Koplo” atau “Campursari Barongan.” Dalam versi ini, Gamelan tradisional digabungkan dengan drum set, keyboard, dan bass elektrik. Lagu-lagu klasik Gamelan seperti Srepegan tetap dimainkan, tetapi diimbuhi irama dangdut atau disko. Meskipun dikritik oleh kaum puritan, adaptasi ini memastikan seni Barongan tetap relevan dan “ada lagunya” yang mudah diterima oleh telinga kontemporer, sambil tetap mempertahankan struktur ritmik inti yang memicu trans.
Gong, penentu siklus dan simbol keabadian yang mengikat keseluruhan lagu.
Untuk memahami mengapa lagu Barongan begitu efektif dalam memicu trans, kita harus memahami struktur musiknya yang unik. Musik Gamelan, termasuk Barongan, bekerja secara siklus (kolotomik), bukan linier seperti musik Barat. Ini berarti lagu tersebut terus berputar dalam putaran ritmik yang ditentukan oleh Gong.
Setiap lagu Barongan memiliki Balungan, yaitu kerangka melodi pokok yang sederhana. Para pemain Saron bertanggung jawab untuk memainkan Balungan ini. Namun, yang membuat musik ini kaya adalah Garapan, yaitu ornamen dan improvisasi yang dimainkan di atas Balungan. Bonang, Gender, dan Kendang memainkan Garapan yang jauh lebih cepat dan rumit daripada melodi pokok. Dalam Gending Jaranan, Garapan ini dimainkan secara bertubi-tubi, menciptakan lapisan suara yang bergetar dan membingungkan secara harmonis, tetapi ritmisnya sangat solid.
Lagu-lagu trans Barongan jarang dimainkan dalam irama yang lembut. Mereka secara spesifik menggunakan irama cepat (Irama Loro atau Irama Telu). Kecepatan ini bukan hanya untuk memeriahkan suasana, tetapi untuk memicu respons fisik. Ketika musik mencapai kecepatan tertentu, getaran suara frekuensi tinggi yang dihasilkan oleh Saron dan Bonang, dikombinasikan dengan hentakan keras Kendang, menciptakan suasana histeris yang mendorong tubuh untuk bergerak di luar kesadaran biasa. Lagu Barongan dirancang sebagai instrumen fisik yang memicu pelepasan energi.
Salah satu trik musikal Barongan adalah penggunaan kontras ritmis. Saat melodi utama (Balungan) dimainkan dengan tenang, tiba-tiba Kendang dan Kethuk meledak dengan pola yang jauh lebih cepat dan mendesak. Kontras ini menciptakan ketegangan dan energi yang luar biasa. Ketidakpastian harmonis ini membuat pendengar, termasuk penari, berada dalam kondisi kewaspadaan yang tinggi, yang menjadi prasyarat untuk masuknya trans.
Di era modern, pelestarian lagu Barongan menghadapi tantangan besar. Meskipun kesenian ini tetap populer, kualitas musisi Gamelan (pengrawit) seringkali menurun karena kurangnya regenerasi dan ketertarikan kaum muda terhadap alat musik tradisional.
Perdebatan antara mempertahankan otentisitas lagu tradisional Gamelan vs. mengadopsi instrumen modern seperti keyboard dan drum elektrik (seperti dalam Barongan Koplo) masih berlangsung. Meskipun adaptasi modern membantu menjaga popularitas, ada kekhawatiran bahwa nuansa spiritual dan filosofi yang terkandung dalam laras Slendro murni akan hilang. Lagu Barongan yang otentik, dimainkan dengan Gamelan lengkap, memiliki getaran yang tidak bisa digantikan oleh suara digital.
Upaya pelestarian kini berpusat pada sanggar-sanggar seni lokal yang secara ketat mengajarkan komposisi gending klasik Barongan, menanamkan pentingnya peran Kendang dan Gong, serta melatih kemampuan improvisasi (Garapan) pada instrumen melodis. Pengajaran ini tidak hanya fokus pada teknik, tetapi juga pada pemahaman makna spiritual di balik setiap irama.
Banyak lagu Barongan, terutama gending trans yang merupakan warisan lisan, belum terdokumentasi dengan baik dalam bentuk notasi (kepatihan). Ada gerakan di kalangan akademisi dan seniman lokal untuk mencatat semua repertoar lagu klasik Barongan, memastikan bahwa aransemen rumit dan pola ritmik khas daerah tertentu tidak hilang seiring berjalannya waktu.
Secara keseluruhan, lagu dan irama adalah esensi yang memungkinkan Barongan untuk hidup, bernapas, dan memanggil energi. Musik Barongan membuktikan bahwa seni pertunjukan tradisional adalah sebuah sistem yang utuh, di mana visual yang garang (topeng) hanya bisa menjadi hidup melalui suara yang magis. Tanpa arsitektur suara Gamelan yang kompleks—dari ketukan ritmis Kendang hingga resonansi agung Gong—pertunjukan Barongan hanyalah raga tanpa nyawa, kisah tanpa narasi, dan ritual tanpa puncak spiritual.
Peran lagu dalam Barongan adalah mutlak, tidak tergantikan. Ia adalah komandan, narator, dan sekaligus gerbang menuju dimensi lain. Pengrawit Gamelan Barongan, dengan keahlian mereka dalam memainkan berbagai gending dari Ladrang Pangkur yang tenang hingga Gending Jaranan yang histeris, adalah penjaga lisan dari warisan budaya yang tak ternilai ini. Mereka memastikan bahwa ketika Barongan menari, seluruh alam semesta ikut bergetar dalam irama yang sama.
Gending yang mengiringi Barongan menyimpan memori kolektif, semangat leluhur, dan kearifan lokal. Ketika lagu dimainkan, ia bukan hanya menghibur, tetapi juga memanggil kembali sejarah dan identitas komunitas tersebut. Keindahan Barongan terletak pada kesatuan mistis antara penari, topeng, dan irama yang tak pernah berhenti memukau, sebuah perayaan abadi atas kekuatan suara tradisional yang mampu menembus batas realitas.
Seluruh detail yang terkandung dalam setiap pukulan Saron, setiap getaran Bonang, dan setiap hentakan Kendang adalah sebuah bahasa yang universal namun sangat mendalam. Bahasa ini berbicara tentang keberanian, spiritualitas, dan kegembiraan, sebuah simfoni desa yang mengalahkan suara kota modern. Barongan akan selalu "ada lagunya," karena lagu itulah yang menjaganya tetap hidup dan relevan dari generasi ke generasi.
Melalui eksplorasi mendalam ini, kita menyadari bahwa Gamelan Barongan adalah sebuah mahakarya orkestrasi rakyat. Musiknya adalah perpaduan antara keramaian pasar dan keheningan ritual. Ia memuat teknik musikal yang canggih (Garapan) di atas fondasi ritmis yang sederhana (Balungan), menciptakan efek sonik yang mampu menggerakkan massa dan mengantar individu pada pengalaman transendental. Kesetiaan pada Gending-gending klasik inilah yang akan terus menjamin bahwa Barongan, sang singa mistis, akan terus meraung di atas panggung budaya Indonesia, dipandu oleh denyutan Gamelan yang sakral.