Representasi Visual Leopold von Sacher-Masoch, Penulis dan Pemikir Kontroversial.
Leopold von Sacher-Masoch, seorang bangsawan Austria-Galicia, seorang sejarawan, dan seorang novelis, menduduki posisi yang unik dan tragis dalam sejarah sastra dan psikologi. Namanya, yang diabadikan oleh ahli saraf Richard von Krafft-Ebing, menjadi istilah medis yang menunjuk pada hasrat untuk mendapatkan kepuasan seksual atau emosional melalui penderitaan yang ditimbulkan oleh orang lain, sebuah fenomena yang kemudian dikenal sebagai Masochisme. Namun, mereduksi sosok Sacher-Masoch hanya sebagai penemu istilah klinis adalah sebuah ketidakadilan historis dan literer yang besar. Karya-karyanya jauh lebih kaya, kompleks, dan berakar kuat pada kritik sosial, filosofi romantis yang gelap, serta eksplorasi mendalam terhadap dinamika kekuasaan, kebebasan, dan ketaatan yang bersifat sukarela.
Karya-karya Sacher-Masoch, terutama mahakaryanya, Venus in Pakaian Bulu (Venus in Furs), tidak hanya menawarkan fantasi erotis, tetapi juga sebuah perjanjian filosofis tentang bagaimana seorang individu dapat menemukan pembebasan atau kepuasan diri justru melalui penyerahan total. Artikel ini akan menelusuri kehidupan Baron yang penuh gejolak, konteks sastranya di Kekaisaran Austro-Hungaria, motif-motif utama yang menjiwai tulisannya, dan bagaimana warisannya disalahpahami, dicerca, namun pada akhirnya dihidupkan kembali sebagai kontribusi penting dalam kajian hubungan antarmanusia dan seni naratif.
Leopold Ritter von Sacher-Masoch lahir di Lemberg, Galicia (sekarang Lviv, Ukraina), sebuah wilayah yang pada masa itu merupakan bagian timur laut dari Kekaisaran Habsburg. Latar belakang geografis ini sangat krusial. Galicia adalah sebuah wilayah perbatasan yang dihuni oleh berbagai etnis—Polandia, Ukraina, Yahudi, dan Austria—yang menciptakan sebuah lingkungan budaya yang kaya namun penuh ketegangan politik. Pengalaman masa kecilnya di lingkungan multikultural ini memberinya perspektif yang unik tentang perbedaan sosial, kekuasaan, dan kebangsaan, tema-tema yang sering muncul dalam novel-novel sejarah awalnya.
Ayahnya adalah seorang kepala polisi yang terpandang, sedangkan ibunya, seorang keturunan Slavia. Kombinasi latar belakang ini membentuk jiwa Sacher-Masoch. Ia menerima pendidikan formal yang ketat, belajar hukum di Graz dan kemudian sejarah, sebelum akhirnya mengabdikan diri pada dunia akademik, menjadi dosen sejarah di Universitas Graz. Karier awalnya sebagai sejarawan menunjukkan ketertarikannya yang serius terhadap struktur masyarakat dan bagaimana peristiwa sejarah membentuk psikologi kolektif. Namun, tuntutan disiplin akademik tidak mampu menahan dorongan kreativitasnya yang lebih gelap dan lebih personal.
Minatnya terhadap cerita rakyat dan legenda lokal Galicia sangat mempengaruhi gaya bercerita dan pemilihan tokohnya. Ia sering menempatkan karakter-karakternya dalam lanskap yang suram, dingin, dan eksotis, jauh dari salon-salon Wina yang mewah. Ia melihat di antara masyarakat pedalaman Galicia sebuah energi primal dan hubungan yang lebih jujur dengan alam, sebuah keaslian yang ia anggap hilang dari masyarakat borjuis modern. Aspek etnis dan regionalisme ini adalah fondasi dari serangkaian karya yang ia rencanakan, yang dikenal sebagai 'Warisan Kain Sutra' atau siklus 'Galician Stories'.
Sejak usia muda, Masoch menunjukkan kecenderungan untuk memuja sosok perempuan yang kuat, berkuasa, dan dominan. Beberapa analisis biografis menyebutkan bahwa pengalaman formatif masa kecil, di mana ia menyaksikan atau berinteraksi dengan figur wanita yang memegang kendali absolut, mungkin telah menanamkan benih bagi obsesi seumur hidupnya terhadap konsep pengabdian yang sukarela. Kecenderungan ini tidak hanya menjadi inti fiksi, tetapi juga motif penggerak dalam kehidupan pribadinya, mencari pasangan yang mampu mewujudkan ideal penguasaan tersebut.
Meskipun ia menulis banyak karya, dari esai sejarah hingga drama, reputasi abadi Sacher-Masoch terletak pada eksplorasi psikologisnya terhadap erotisme dan kekuasaan, yang puncaknya dicapai melalui novel Venus in Pakaian Bulu (1870). Karya ini bukan sekadar cerita cabul; ia adalah sebuah meditasi yang suram dan puitis tentang kondisi manusia yang mencari kebebasan melalui ikatan yang paling ketat.
Novel ini menceritakan kisah Severin von Kusiemski, seorang pria aristokrat yang terobsesi untuk menjadi budak bagi seorang wanita yang kejam, yang ia namai "Venus". Wanita ini adalah Wanda von Dunajew, seorang janda muda yang bersemangat namun awalnya enggan memainkan peran dominan tersebut. Inti naratifnya adalah Kontrak Masochian—sebuah perjanjian tertulis yang dirinci secara hukum dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Kontrak ini adalah elemen paling revolusioner dalam Masochisme literer. Kontrak tersebut mengubah hubungan mereka dari sekadar permainan peran menjadi sebuah sistem filosofis. Severin menyerahkan semua haknya, termasuk hak atas harga dirinya dan bahkan hak hidup, kepada Wanda. Dengan demikian, hubungan ini diatur bukan oleh nafsu buta, melainkan oleh rasionalitas yang dingin dan legalitas yang disepakati bersama. Sacher-Masoch menekankan bahwa penderitaan yang dicari Severin harus bersifat *sukarela* dan diatur oleh *hukum* yang mereka ciptakan sendiri.
Tujuan Severin bukanlah sekadar kesenangan fisik, melainkan sebuah transformator psikologis—ia ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi objek, bukan subjek, dan mengalami rasa malu dan degradasi untuk "memurnikan" jiwanya. Kontrak tersebut memberikan Wanda kekuasaan mutlak, tetapi pada saat yang sama, membebaskan Severin dari tanggung jawab moral dan sosialnya. Paradoks inilah yang membuat karya Masoch begitu menarik dan rumit: ia mencari pembebasan total dari kebebasan dengan merangkul perbudakan total.
Melalui tokoh Wanda, Sacher-Masoch menampilkan jenis femininitas yang jauh berbeda dari citra wanita domestik Victoria pada zamannya. Wanda adalah seorang tiran yang bersemangat, yang sering digambarkan mengenakan pakaian bulu (simbol kemewahan yang dingin dan predatoris), membawa cambuk, dan memerintahkan Severin untuk tunduk padanya di depan umum, menciptakan ketegangan dramatis antara keinginan pribadi dan norma sosial.
Pakaian bulu (furs) dalam karya Masoch bukanlah aksesori semata; itu adalah metafora sentral. Bulu melambangkan keindahan yang eksotis, tetapi juga sifat alam yang dingin dan kejam. Bulu merujuk pada Venus Anadyomene yang muncul dari laut yang berbusa; dalam konteks Masoch, bulu adalah lapisan yang menutupi kebrutalan. Sacher-Masoch memiliki obsesi yang terdokumentasi dengan bulu, melihatnya sebagai lambang kekuasaan dingin yang tak tertembus, mengasosiasikannya dengan musim dingin Slavia dan dominasi yang bersifat predatoris. Ia sering menggambarkan adegan di mana Severin harus berlutut di salju atau di kamar dingin di hadapan Wanda yang dibungkus bulu, memperkuat dualitas antara panasnya nafsu dan dinginnya kontrol yang kejam.
Pemanfaatan bulu, es, dan lanskap dingin mencerminkan kekaguman Masoch terhadap kekuatan Alam yang tak terkendali. Ia percaya bahwa wanita yang dominan harus meniru kekuatan alam ini: tak terduga, indah, dan mematikan. Kontras ini, antara gairah yang membara di dalam diri Severin dan kekejaman Wanda yang sedingin es, adalah mesin pendorong utama narasi Masochian.
Tidak seperti kebanyakan penulis, kehidupan pribadi Sacher-Masoch secara langsung mencerminkan fantasi yang ia tulis. Ia tidak hanya menulis tentang kontrak perbudakan, ia berusaha keras untuk menghidupkannya.
Sebelum Venus in Furs dipublikasikan, Masoch menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Anna von Kotzsch, yang ia berikan nama samaran fiksi Baroness Bogdanoff. Hubungan ini merupakan prototipe hidup dari cerita Severin dan Wanda. Masoch menyusun serangkaian dokumen yang secara rinci mengatur bagaimana Anna harus memperlakukannya: dengan kekejaman, cemoohan, dan penguasaan total. Perjanjian ini bahkan mencakup klausul yang mengizinkan Anna memiliki kekasih lain, selama Masoch harus menyaksikan penderitaan dan penghinaannya.
Hubungan ini berakhir dengan buruk, sering kali diwarnai oleh konflik antara kebutuhan Masoch akan fantasi dan keengganan pasangannya untuk sepenuhnya menjalani peran yang ia paksakan. Namun, pengalaman ini membuktikan bahwa bagi Masoch, Masochisme bukanlah sekadar genre sastra; itu adalah cara hidup yang ia percayai sebagai satu-satunya jalan menuju kepuasan batin.
Setelah kesuksesan Venus in Furs, Masoch bertemu Aurora Rümelin, seorang wanita muda yang bersemangat yang mengagumi karyanya. Masoch meyakinkannya untuk menikah dengannya dan, yang lebih penting, untuk mengadopsi nama tokoh fiksi utamanya: Wanda von Dunajew. Pernikahan mereka didasarkan pada perjanjian yang sangat Masochian, di mana Aurora/Wanda berjanji untuk menjadi 'tuan'nya dan memperlakukannya dengan cara yang paling kejam. Ia bahkan mengenakan bulu sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Namun, realitas dan fiksi sering kali bertabrakan. Aurora Rümelin, meskipun awalnya bersedia, segera menemukan bahwa menjalani peran sebagai tiran mutlak adalah hal yang melelahkan dan sering kali tidak menyenangkan. Sacher-Masoch menuntut tingkat penyiksaan psikologis dan fisik yang konstan yang sulit dipertahankan dalam pernikahan sehari-hari. Konflik antara kebutuhan Masoch akan degradasi dan keinginan Aurora untuk menjalani kehidupan normal akhirnya menyebabkan kehancuran pernikahan mereka, sebuah pengulangan tragis dari pesan novelnya sendiri: dominasi mutlak sulit dipertahankan di luar batas fantasi literer.
Titik balik dalam warisan Sacher-Masoch terjadi pada tahun 1886, ketika ahli saraf dan seksolog Jerman, Richard von Krafft-Ebing, menerbitkan mahakaryanya, Psychopathia Sexualis. Dalam buku ini, Krafft-Ebing mengatalogkan berbagai "penyimpangan" seksual yang ia amati di zamannya.
Krafft-Ebing membaca karya-karya Sacher-Masoch dan, tanpa izin atau konsultasi dengan penulisnya, mengambil namanya untuk menamai kondisi psikologis yang ia definisikan sebagai "hasrat untuk mengalami penderitaan dan penghinaan di bawah kekuasaan absolut seseorang dari lawan jenis, yang seringkali melibatkan penggunaan cambuk dan ikatan." Ia menamai kondisi ini **Masochisme**.
Tindakan Krafft-Ebing memiliki dua konsekuensi besar:
Krafft-Ebing juga secara eksplisit memisahkan Masochisme dari Sadisme (yang dinamai dari Marquis de Sade), dengan mendefinisikannya sebagai dua kutub ekstrem dari perilaku seksual. Masochisme adalah penderitaan yang disengaja untuk kepuasan, sedangkan Sadisme adalah tindakan menimbulkan penderitaan. Meskipun kemudian Freud akan menggabungkannya dalam konsep Sadomasochisme, bagi Krafft-Ebing dan Masoch sendiri, kedua konsep tersebut harusnya dipahami secara terpisah dan kontras.
Salah satu kontribusi penting dalam kajian modern terhadap karya Sacher-Masoch adalah pembedaan tajam yang diajukan oleh filsuf Gilles Deleuze dalam esainya yang berpengaruh, Masochism: Coldness and Cruelty (1967). Deleuze berargumen bahwa Sacher-Masoch secara fundamental disalahpahami oleh Krafft-Ebing dan Freud, karena Masochisme bukanlah Sadisme yang terbalik, melainkan sebuah fenomena yang sepenuhnya berbeda.
Deleuze menekankan bahwa Masochisme Sacher-Masoch didasarkan pada **kontrak**; itu adalah negosiasi dan persetujuan yang disengaja. Tujuannya adalah menunda pemenuhan gairah, membangun ritual yang panjang, dan secara paradoks, mendidik sang dominatrix. Severin tidak ingin dihukum secara brutal oleh kekuatan yang tak terduga; ia ingin dihukum sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Kontrak ini menghilangkan unsur kebetulan dan kekerasan acak, menggantikannya dengan tatanan yang ketat dan ritualistik.
Sebaliknya, Sadisme De Sade didasarkan pada **institusi** dan **kekerasan alamiah**. Karakter Sadean, seperti Juliette, bertindak tanpa perlu kontrak atau persetujuan; kekuasaan mereka bersifat mutlak dan seringkali diarahkan untuk menghancurkan institusi sosial dan moral. Dalam Sadisme, hukum alam adalah satu-satunya hukum, dan kebebasan dicapai melalui penghancuran orang lain. Dalam Masochisme, pembebasan dicapai melalui penyerahan diri yang disepakati.
Deleuze menggarisbawahi tiga aspek penting dari Masochisme literer:
Oleh karena itu, bagi Deleuze dan para kritikus modern, Masochisme adalah sebuah mekanisme yang bertujuan untuk menyingkirkan 'Ayah' (otoritas patriarkal dan sosial) dan menggantinya dengan otoritas 'Ibu' (figure wanita yang dingin dan ideal, seringkali digambarkan tanpa hasrat seksual yang jelas, hanya sebagai pelaksanaan tugas otoritas), yang disepakati melalui kontrak. Ini adalah revolusi etis dan psikologis, bukan sekadar kelainan seksual.
Seringkali terabaikan di tengah analisis erotis adalah bobot kritik sosial dan politik dalam karya Sacher-Masoch. Ia hidup pada masa pergeseran besar di Eropa, dengan runtuhnya feodalisme dan munculnya nasionalisme serta borjuasi. Sacher-Masoch menggunakan fiksi untuk mengomentari kondisi masyarakat di sekitarnya.
Kontrak Masochian dapat dilihat sebagai satir brutal terhadap pernikahan borjuis abad ke-19. Pada saat itu, pernikahan adalah kontrak legal, seringkali tanpa cinta, yang mendefinisikan kepemilikan. Masoch membalikkan model ini. Jika pernikahan tradisional menjadikan wanita sebagai properti, Masochisme menjadikan pria sebagai properti. Kontrak Severin dan Wanda adalah hiperbola yang menunjukkan betapa tidak alaminya dan seringkali kejamnya institusi pernikahan yang didasarkan pada kesepakatan harta benda.
Dengan secara eksplisit memasukkan elemen hukum dan notaris ke dalam perjanjian mereka, Masoch menyoroti absurditas dan kekakuan hukum dalam mendefinisikan hubungan emosional dan seksual, sekaligus menantang moralitas publik yang menekan keinginan terpendam.
Dalam tokoh Wanda, Masoch secara prematur memperkenalkan konsep 'Wanita Baru' Eropa, yang akan menjadi lebih menonjol di akhir abad ke-19. Wanda adalah wanita yang secara finansial independen, cerdas, dan yang paling penting, tidak tunduk pada pria. Ia mewujudkan otonomi penuh. Kekuatan Wanda berasal dari fakta bahwa ia tidak termotivasi oleh cinta atau uang, tetapi oleh kekuasaan itu sendiri.
Meskipun fantasi Sacher-Masoch tentang wanita kuat dapat dilihat sebagai bentuk misantropi, di mata beberapa kritikus, ia juga merupakan salah satu penulis pria pertama yang secara serius mengeksplorasi potensi wanita sebagai agen kekuasaan yang mandiri dan menakutkan, jauh sebelum gerakan hak-hak wanita mendapatkan momentumnya.
Di luar tema kekuasaan seksual, Sacher-Masoch menghabiskan sebagian besar kariernya menulis tentang masalah Galicia dan Slavia. Ia menulis tentang penderitaan kelompok-kelompok etnis yang terpinggirkan di bawah Kekaisaran Habsburg. Beberapa ahli berpendapat bahwa kecenderungan Masochian untuk tunduk kepada sosok penguasa yang kejam mungkin merupakan refleksi dari kesadaran politiknya tentang subordinasi masyarakat Slavia di bawah kekuasaan Kekaisaran Austro-Jermanik.
Dalam pandangan ini, hasrat Severin untuk dihukum oleh Wanda, yang sedingin es dan mengenakan bulu, melambangkan keinginan bawah sadar untuk tunduk kepada kekuatan Imperial yang elegan namun menindas, sambil pada saat yang sama, mencari kepuasan dan pemurnian melalui penghinaan yang diberikan oleh kekuatan tersebut.
Tahun-tahun terakhir kehidupan Sacher-Masoch sangat diselimuti kesulitan dan kekecewaan. Ia tidak pernah bisa sepenuhnya pulih dari stigmatisasi yang diberikan oleh Krafft-Ebing. Setelah perceraiannya dengan Aurora/Wanda, ia menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih muda, Hulda Meister, seorang penulis yang membantunya dalam administrasi dan mengurus kesehatannya yang memburuk. Namun, selama masa ini, reputasi sastranya merosot drastis. Publik dan kritikus tidak lagi bisa memisahkan karya fiksi Masoch dari label klinis yang melekat pada namanya.
Ia mencoba menulis di bawah nama samaran, berharap menjauhi nama keluarganya yang kini identik dengan 'penyimpangan'. Karya-karya terakhirnya cenderung lebih melankolis dan kurang fokus pada tema dominasi. Ia meninggal dalam relatif kemiskinan dan keterlupaan di Jerman, dengan banyak catatan biografis yang salah menempatkan tanggal dan lokasi kematiannya, mencerminkan bagaimana sosoknya telah terdistorsi oleh narasi medis.
Tragisnya, ironi terbesar dalam hidupnya adalah bahwa seorang pria yang begitu terobsesi dengan kontrak dan legalitas akhirnya kehilangan kendali atas narasi hidupnya sendiri, yang secara permanen dibajak oleh dunia medis.
Namun, meskipun ia disalahpahami, karya-karya Sacher-Masoch terus bertahan. Mereka menyediakan lensa yang tak tertandingi untuk memahami sisi gelap hasrat manusia dan kompleksitas hubungan kekuasaan. Kontribusinya terhadap sastra fin de siècle Eropa, dengan eksplorasinya terhadap erotisme, kemerosotan (decadence), dan kebangkitan kembali sosok wanita predator, tidak dapat disangkal. Ia menjadi jembatan antara Romantisme gelap abad ke-19 dan kajian psikologis yang mulai berkembang pesat di awal abad ke-20.
Dalam karyanya, Masoch menunjukkan bahwa penyerahan diri, ketika dilakukan secara sadar dan sukarela, dapat menjadi tindakan kekuasaan yang paling subversif. Untuk menyerahkan seluruh diri kepada orang lain, diperlukan kepercayaan dan keberanian yang luar biasa, sehingga menjadikan pelaku Masochian bukan korban pasif, melainkan arsitek dari penderitaan dan kenikmatannya sendiri. Inilah esensi filosofi yang tersembunyi di balik bulu-bulu dan cambuk: mencari kebebasan di dalam belenggu yang dipilih sendiri.
Setelah kematiannya, Sacher-Masoch menghilang dari kanon sastra utama selama beberapa dekade, hanya dikenang dalam catatan kaki psikologi. Kebangkitannya baru terjadi pada pertengahan abad ke-20, ketika filsuf, psikoanalis, dan kritikus sastra mulai membedah ulang teks-teksnya, melepaskannya dari belenggu Krafft-Ebing.
Meskipun Freud menggunakan istilah Masochisme, interpretasinya cenderung berfokus pada dorongan kematian dan hasrat regresi ke masa kanak-kanak. Namun, para pemikir pasca-Freudian, terutama yang tertarik pada dinamika objek dan kekuasaan, mulai melihat bahwa Masochisme yang digambarkan dalam Venus in Furs lebih tentang negosiasi dan simbolisme daripada patologi bawaan.
Di dunia seni dan budaya populer, dampaknya tak terhindarkan. Kisah-kisah Masochian telah diadaptasi berulang kali, mulai dari film-film eksperimental hingga drama panggung. Kerapian visualnya—wanita dengan bulu dan cambuk—telah menjadi arketipe budaya yang melambangkan kekuasaan erotis dan estetika dekadensi. Film-film yang secara langsung atau tidak langsung mengambil inspirasi dari Masoch, sering kali berfokus pada perjanjian yang mengatur kekuasaan, bukan sekadar kekerasan fisik.
Relevansi Sacher-Masoch saat ini terletak pada kemampuannya untuk memprovokasi pertanyaan tentang batasan identitas, persetujuan (consent), dan peran tawar-menawar dalam hubungan intim. Di era di mana diskusi tentang persetujuan sangat penting, karya Masoch yang berfokus pada kontrak tertulis yang rinci, meskipun ekstrim, secara mengejutkan resonan sebagai eksplorasi radikal tentang bagaimana batas-batas dipasang dan dihormati dalam skenario kekuasaan yang tidak konvensional.
Sacher-Masoch, bersama dengan penulis seperti Baudelaire dan Huysmans, adalah bagian dari gerakan yang berusaha menyubversi moralitas Victoria dengan merayakan yang dilarang dan yang terpendam. Ia berani mengangkat hubungan non-tradisional ke panggung sastra, memberikan suara pada dorongan yang dianggap memalukan oleh masyarakat. Melalui Severin, ia menyampaikan penderitaan eksistensial seorang pria yang tidak dapat memenuhi tuntutan maskulinitas konvensional, dan menemukan pelipur lara dalam penyerahan kepada kekuatan feminin yang superior dan dingin.
Karyanya tetap menjadi tantangan: apakah seorang penulis yang mengeksplorasi hasrat gelap dapat terlepas dari patologi pribadi? Jawaban dari kritik modern adalah bahwa bahkan jika karya tersebut berakar pada pengalaman pribadi, nilai sastranya terletak pada seberapa efektif ia berfungsi sebagai cermin untuk fantasi kolektif, terutama fantasi tentang pelepasan tanggung jawab dan kekuatan yang berasal dari ketidakberdayaan.
Pengalaman hidup Sacher-Masoch, yang dihabiskan untuk mencoba menyesuaikan dunia nyata dengan fantasi literernya yang ekstrem, adalah kisah tragis tentang batas-batas seni dan kehidupan. Ia adalah seorang pria yang, melalui pena dan hasratnya, berusaha mengubah norma-norma, hanya untuk dihukum oleh masyarakat yang memilih untuk mengabaikan filosofinya dan hanya melihat label penyakit. Namun, dengan pembacaan yang cermat, kita menyadari bahwa Sacher-Masoch adalah lebih dari sekadar nama dalam buku teks psikiatri. Ia adalah pionir yang membuka jalan bagi pemahaman yang lebih jujur, meskipun menyakitkan, tentang spektrum hasrat dan permainan kekuasaan yang menentukan interaksi manusia.
***
Untuk memahami kedalaman teks Sacher-Masoch, terutama Venus in Furs, kita harus memperluas analisis mengenai elemen ritual dan simbolisme yang ia terapkan. Kisah Severin dan Wanda adalah serangkaian ritual yang ketat, dirancang untuk memaksimalkan sensasi degradasi dan ketaatan, menjadikannya sebuah teater psikologis yang rumit.
Degradasi dalam Masochisme bukan tentang kehancuran total, melainkan tentang penempatan kembali identitas. Severin secara aktif mencari peran sebagai ‘budak rumah’ atau ‘pelayan anjing’ Wanda. Hal ini selalu disertai dengan penekanan pada penampilan publik. Masoch secara obsesif mencatat bagaimana Severin harus diperlakukan di depan orang lain—di hotel, di kereta, atau di salon. Tujuannya adalah untuk mengorbankan harga diri sosial, bukan hanya fisik. Keindahan adegan ini, bagi Masoch, terletak pada kontras antara status sosial tinggi Severin yang sebenarnya (seorang bangsawan terpelajar) dan peran yang ia mainkan (seorang hamba yang rendah). Pengorbanan kehormatan inilah yang memberikan kepuasan tertinggi.
Pakaian menjadi simbol kekuasaan yang kuat. Severin, yang seringkali harus mengenakan pakaian seragam sederhana atau bahkan pakaian wanita (sebagai bagian dari penghinaan gender), secara visual berlawanan dengan Wanda yang selalu mengenakan pakaian mewah, terutama mantel bulu yang berat, yang memberikan kesan armor dan kemewahan yang tidak terjangkau. Pakaian bulu tersebut berfungsi sebagai lapisan pemisah, menjaga Wanda tetap dingin dan terpisah dari hasrat Severin. Bulu adalah kulit kedua kekuasaannya.
Meskipun Masochisme sering didefinisikan sebagai hubungan dua pihak (dominator dan subjek), Masoch sering memasukkan figur ketiga: publik, atau dalam beberapa karyanya, kehadiran seorang kekasih saingan. Kehadiran pihak ketiga ini adalah penting. Hal ini membuat penghinaan Severin menjadi sah secara sosial, atau setidaknya diakui. Ketika Wanda mengambil kekasih, Masoch/Severin menderita tidak hanya karena pengabaian, tetapi karena penghinaan bahwa ia telah gagal mempertahankan ketaatannya sebagai yang paling ekstrem. Hasratnya bukanlah untuk memiliki Wanda secara eksklusif, melainkan untuk menjadi budaknya secara eksklusif. Kekalahan di hadapan saingan hanya memperkuat rasa pengabdiannya kepada tiran yang 'tak layak' ia layani.
Dalam konteks yang lebih luas, ini mencerminkan struktur sosial Galicia yang kompleks, di mana peran etnis dan kelas selalu diamati oleh pihak lain. Rasa malu dan kehormatan selalu dipertaruhkan dalam tontonan publik.
Masoch sering menyajikan Masochisme sebagai jalan menuju pembebasan spiritual, bukan sekadar rangsangan fisik. Severin sering berbicara tentang bagaimana penderitaan yang ia terima membersihkan jiwanya dari nafsu duniawi dan keangkuhan. Ini adalah twist yang sangat Romantis. Alih-alih mencari kesenangan surgawi melalui pengorbanan asketik, Severin mencari pemurnian melalui ritual erotis yang paling terlarang.
Konsep ini sangat bertentangan dengan hedonisme Sadisme yang hanya mencari pemenuhan dorongan. Bagi Sacher-Masoch, penderitaan yang disepakati adalah sebuah jalan pencerahan. Ia memandang dirinya sebagai seorang 'hedonis spiritual' yang mencapai kesadaran diri melalui pengabaian diri total. Ritual ketaatan ini, yang sering meniru ritus keagamaan atau pengadilan, menegaskan kembali sifat serius dan non-seksual (atau setidaknya trans-seksual) dari pencariannya.
Penting untuk diingat bahwa Masoch bermaksud agar Venus in Furs menjadi hanya satu bagian dari siklus karya yang lebih besar yang ia sebut Das Vermächtnis Kains (Warisan Kain). Siklus ini direncanakan menjadi enam volume tematik, yang masing-masing berfokus pada salah satu 'prinsip dosa' yang diyakininya mendominasi peradaban modern: Kepemilikan (Property), Uang, Negara, Kerja, Perang, dan Wanita. Venus in Furs adalah bagian dari volume 'Wanita'.
Karya-karya lain dalam siklus yang berhasil diselesaikan, seperti Die Ideale der Zeit (Idealisme Zaman) dan Die geschiedene Frau (Wanita yang Bercerai), mengeksplorasi isu-isu sosial yang sangat serius, termasuk antisemitisme, masalah petani, dan krisis moral kelas menengah Austria. Masoch bukanlah hanya seorang novelis erotis; ia adalah seorang komentator sosial yang pesimis terhadap modernitas.
Fokusnya pada Galicia dalam banyak karyanya menegaskan ambisinya untuk menjadi juru bicara bagi wilayah timur Kekaisaran yang terabaikan. Ia menulis dengan nuansa etnografi, mendokumentasikan kebiasaan, legenda, dan kesulitan hidup di perbatasan. Sayangnya, perhatian yang berlebihan terhadap satu novel erotisnya telah mengubur tujuan besarnya ini, yaitu menciptakan sebuah epik sosial dan filosofis tentang kondisi manusia di bawah bayang-bayang Kekaisaran yang sedang merosot.
Jika kita membaca Venus in Furs dalam konteks 'Warisan Kain' yang lebih luas, kita melihat bahwa dominasi seksual adalah metafora untuk semua bentuk dominasi—politik, ekonomi, dan sosial. Severin, dengan penyerahan dirinya, mungkin adalah alegori untuk intelektual liberal yang merasa tidak berdaya menghadapi mesin birokrasi dan kekuasaan absolut yang tak terhindarkan dari Kekaisaran Habsburg, memilih untuk tunduk secara estetis daripada melawan secara politik.
***
Leopold von Sacher-Masoch adalah seorang tokoh yang hidup dalam kontradiksi. Ia adalah bangsawan yang mengkritik borjuasi, seorang sejarawan yang dicerca oleh ilmuwan, dan seorang suami yang berusaha memaksa fiksi gelapnya menjadi realitas. Warisannya, yang terkunci dalam istilah Masochisme, telah lama menyembunyikan kontribusi sejati seorang penulis yang berani menantang gagasan tentang apa artinya menjadi subjek yang bebas dan bermoral.
Melalui narasi yang dingin, gelap, dan sangat ritmis, ia mengajukan pertanyaan abadi: Seberapa jauh kita bersedia pergi untuk merasakan sesuatu yang nyata? Apakah kebebasan sejati ditemukan dalam otonomi penuh, atau dalam penyerahan yang disepakati? Sacher-Masoch, sang Barone yang terobsesi dengan bulu dan kontrak, meninggalkan kita dengan sebuah karya yang merupakan perjanjian paling radikal tentang kekuasaan dan hasrat, sebuah cermin yang menunjukkan bahwa terkadang, satu-satunya cara untuk mengendalikan kekacauan batin adalah dengan menyerahkannya kepada seorang tiran yang kita ciptakan dan kita cintai.
Karya-karya Masochian akan terus dibaca bukan sebagai panduan patologi, melainkan sebagai teks subversif yang mengeksplorasi wilayah hasrat manusia yang paling kabur dan tersembunyi, menegaskan kembali statusnya sebagai salah satu penulis paling berani, paling disalahpahami, dan paling berpengaruh dari Eropa abad ke-19.
***
Kontrak tertulis, atau Kontrakt, dalam karya Sacher-Masoch adalah kunci untuk membedah psikologi karakternya. Ini bukan sekadar formalitas. Kontrak ini adalah mekanisme pertahanan psikologis yang kompleks dan sekaligus sebuah manifestasi keinginan yang sangat terstruktur. Dalam analisis mendalam, kontrak ini memiliki beberapa fungsi penting bagi Severin von Kusiemski, yang mencerminkan kebutuhan fundamental Masoch sendiri.
Di bawah moralitas Victoria yang ketat, hasrat yang ekstrem dianggap sebagai perversi atau dosa. Dengan merumuskan hasratnya ke dalam sebuah dokumen legal, Severin secara efektif menghilangkan tanggung jawab moral dan rasa bersalahnya. Jika tindakannya diatur oleh kontrak yang ditandatangani dan disaksikan, maka tindakannya adalah 'hukum' di dalam dunia kecil mereka. Rasa bersalah diubah menjadi ketaatan pada perjanjian. Ini memungkinkan Masoch untuk mengejar fantasi yang paling terlarang sambil tetap mempertahankan aura rasionalitas, seolah-olah dia hanya mengikuti prosedur yang disepakati, bukan dorongan yang menyimpang.
Kontrak ini juga berfungsi untuk membekukan hubungan pada momen ketundukan total yang ideal. Severin tahu bahwa hasrat normal bersifat fana; gairah akan memudar. Kontrak adalah upaya untuk melawan kefanaan ini dengan mengabadikan peran Wanda sebagai Dewi yang kejam, dan perannya sebagai budak yang rendah. Dokumen ini adalah jaminan abadi bahwa Wanda akan terus menyiksa dan menghinanya sesuai permintaan. Dengan demikian, kontrak adalah sebuah upaya keputusasaan untuk mengontrol ketidakpastian dalam hubungan antarmanusia, sebuah permintaan agar fantasi yang indah tidak pernah berakhir atau berubah menjadi hubungan yang membosankan dan biasa-biasa saja.
Aspek lain dari psikologi Masochian adalah kebutuhan akan hukuman yang sah. Severin tidak mencari kekerasan acak; dia mencari pembalasan atas dosa atau kekurangan yang ia rasakan dalam dirinya. Kontrak memastikan bahwa penderitaan yang ia terima adalah 'pantas' dan 'dibenarkan' oleh perjanjian yang ia buat. Penderitaan ini menjadi sah secara etis karena merupakan hasil dari pilihannya sendiri. Hal ini sangat penting: tanpa persetujuan eksplisit, penderitaan hanya akan menjadi kekerasan, yang mana tidak menarik bagi Masoch. Penderitaan harus merupakan konsekuensi yang disepakati dari keinginan pribadinya.
Paradoks terbesar adalah bahwa dalam penyerahan diri, Severin memegang kendali tertinggi. Dengan mendikte syarat-syarat kontrak, Severin adalah penulis utama dari penderitaannya sendiri. Dialah yang menciptakan Tiran, dan dialah yang memberi Tiran kekuasaan. Kekuatan Wanda berasal dari kebutuhan Severin. Ini adalah bentuk kekuasaan yang tersembunyi. Severin, sang budak, pada dasarnya adalah dalang di balik layar. Selama Wanda mematuhi kontrak untuk menjadi kejam, ia sebenarnya menuruti kehendak Severin. Filsuf modern melihat ini sebagai permainan kekuasaan intelektual yang luar biasa, di mana subjek yang tunduk adalah subjek yang paling berkuasa.
***
Menjelajahi alam semesta Sacher-Masoch adalah melakukan perjalanan ke inti dari paradoks manusia—keinginan untuk ketaatan di samping keinginan untuk kebebasan. Leopold von Sacher-Masoch, dengan segala keanehan, obsesi, dan kepedihan hidupnya, berhasil menyalurkan kontradiksi-kontradiksi ini ke dalam bentuk sastra yang mendalam. Ia mengabadikan krisis maskulinitas Eropa yang kehilangan pijakan dalam masyarakat industri yang bergerak cepat, dan ia mencari pelarian dalam figur wanita yang mampu menawarkan ketertiban melalui kekejaman.
Karyanya adalah undangan abadi untuk mempertanyakan batas antara hasrat dan patologi, antara seni dan kehidupan pribadi. Ia mendesak kita untuk melihat lebih jauh dari permukaan kulit bulu dan cambuk, dan melihat struktur logis dan filosofis yang mendasari perjanjian ketaatan. Sacher-Masoch mengajarkan kita bahwa penderitaan, ketika diorganisir dan diresmikan, dapat menjadi bentuk komunikasi paling intim dan brutal antara dua jiwa yang mencari makna, melampaui batas-batas moralitas konvensional. Dia adalah sang barone, sang budak, sang pencipta, dan sang penderita, yang warisannya terus menantang dan memprovokasi pemikiran kita tentang kebebasan sejati.
Maka, kita harus menyimpulkan bahwa Sacher-Masoch bukanlah sekadar anomali sejarah atau nama yang dipakai dokter untuk menamai sindrom, tetapi adalah seorang visioner yang meramalkan kerumitan psikologis modern, di mana keintiman sering kali dikendalikan oleh permainan kekuasaan yang disepakati, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam penyerahannya, ia menemukan sebuah kebenaran yang kejam tentang keinginan manusia yang terus bergema hingga hari ini.