Bali, pulau dewata yang kaya akan tradisi, menyimpan segudang manifestasi spiritual yang terwujud dalam seni dan ritual. Salah satu entitas paling menarik dan penting dalam kancah kebudayaan ritual adalah Barong Bajang. Berbeda dengan Barong Ket yang agung dan besar, Barong Bajang tampil dalam wujud yang lebih kecil, lincah, dan seringkali dianggap sebagai representasi spirit anak muda atau entitas pelindung wilayah yang bergerak cepat. Kehadirannya bukan sekadar hiburan semata, melainkan inti dari ritual penyucian desa, khususnya saat perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Memahami Barong Bajang berarti menyelami lapisan terdalam dari kosmologi Bali, di mana estetika, spiritualitas, dan mitologi menyatu dalam sebuah tarian sakral yang disebut Ngelawang.
Istilah 'Barong Bajang' sendiri terdiri dari dua kata: Barong, yang merujuk pada makhluk mitologis berwujud singa, babi hutan, atau binatang lain yang memiliki kekuatan gaib dan berfungsi sebagai pelindung (penjaga). Sementara itu, kata 'Bajang' dalam bahasa Bali memiliki makna ganda, yang bisa berarti 'muda' atau 'kecil'. Oleh karena itu, Barong Bajang sering diinterpretasikan sebagai Barong muda, atau Barong yang memiliki postur lebih kecil dan gesit dibandingkan Barong Gede (besar) atau Barong Ket standar.
Secara fungsional, Barong Bajang terikat erat dengan tradisi Ngelawang. Ngelawang adalah ritual berkeliling desa dari pintu ke pintu (lawang) untuk membersihkan wilayah dari pengaruh buruk atau energi negatif (bhuta kala). Ritual ini secara khusus dilaksanakan menjelang atau pada hari-hari suci tertentu, menjadikannya sebuah pementasan yang memiliki dimensi sakral yang sangat mendalam. Kehadiran Barong Bajang adalah esensial dalam ritual ini, sebagai media penolak bala yang bergerak dinamis melintasi batas-batas desa.
Meski sama-sama Barong, Barong Bajang memiliki kekhasan yang membedakannya dari jenis Barong lain seperti Barong Landung, Barong Macan, atau Barong Ket. Perbedaan utamanya terletak pada dimensi dan penggunaan. Barong Bajang umumnya diperankan oleh dua orang anak muda atau remaja karena ukurannya yang lebih ramping. Topengnya (tapel) juga seringkali menunjukkan ekspresi yang lebih ekspresif, kadang lugu, namun tetap membawa aura kekuatan spiritual.
Barong Ket, misalnya, adalah simbol Rwa Bhineda (dua kutub yang berlawanan) yang permanen, seringkali disimpan di pura dan hanya keluar pada hari-hari besar tertentu. Barong Bajang, sebaliknya, adalah manifestasi yang lebih mobil, yang ditugaskan secara spesifik untuk melakukan pembersihan fisik dan spiritual di ruang publik desa. Ini menunjukkan peran aktif Barong Bajang sebagai entitas penjaga teritorial, bukan hanya simbol diam di tempat suci.
Dalam konteks Bajang (muda), entitas ini juga melambangkan regenerasi dan kelincahan. Spirit muda ini diharapkan mampu menghadapi dan mengalahkan energi-energi negatif yang juga bergerak cepat. Filosofi di baliknya adalah bahwa perlindungan desa harus dilakukan dengan semangat dan energi baru, memastikan bahwa tradisi penjagaan teritorial terus dihidupkan oleh generasi penerus. Keikutsertaan remaja dalam memerankan Barong Bajang juga merupakan proses transmisi pengetahuan spiritual dan seni pementasan.
Asal-usul Barong Bajang seringkali dikaitkan dengan legenda Rwa Bhineda, konsep dualitas abadi antara kebaikan (Dharma) dan kejahatan (Adharma). Meskipun Barong secara umum adalah perwujudan kebaikan, manifestasi Barong Bajang memiliki kisah turunannya sendiri yang unik, seringkali tercatat dalam lontar-lontar lokal atau babad desa tertentu yang menjadikannya sebagai pelindung utama.
Secara mitologis, semua Barong dianggap sebagai keturunan atau manifestasi dari Sang Hyang Barong, entitas pelindung kosmik. Barong Bajang, dalam beberapa interpretasi, adalah perwujudan pratima (arca suci) yang lebih ringan, memungkinkan mobilitas tinggi untuk tugas-tugas Ngelawang. Kisah rakyat sering menceritakan bagaimana Barong Bajang muncul dari hutan atau gua, diutus oleh dewa penjaga desa (Dewi Sri atau Bhatara-Bhatari lokal) untuk menstabilkan energi setelah terjadinya kekacauan atau wabah (grubug).
Ada pula pandangan yang melihat Barong Bajang sebagai roh-roh halus yang telah dijinakkan atau disucikan (di-ruwat) dan kini bertugas sebagai pelindung. Wujudnya yang kadang menyerupai hewan buas atau ekspresif secara berlebihan adalah sisa dari energi bhuta kala, namun kini diarahkan untuk tujuan Dharma. Proses ritual penyucian tapel Barong adalah kunci dalam mengubah energi liar menjadi energi pelindung. Tapel ini tidak bisa dibuat sembarangan, memerlukan hari baik, bahan khusus, dan upacara penyucian yang ketat.
Sebagaimana Barong pada umumnya, eksistensi Barong Bajang tidak lepas dari narasi Calonarang, mitos utama yang membentuk dasar pemahaman Bali tentang dualitas. Jika Rangda mewakili sisi Adharma yang merusak, Barong (termasuk Barong Bajang) adalah penyeimbang yang menjaga keseimbangan alam. Dalam ritual Ngelawang, Barong Bajang secara simbolis 'mengejar' atau 'membersihkan' sisa-sisa kekuatan jahat yang ditebarkan oleh pengikut Rangda atau entitas sejenis yang masih berkeliaran di lingkungan desa.
Simbolisme pembersihan ini sangat penting. Ketika Barong Bajang menari dari rumah ke rumah, masyarakat memberikan persembahan (canang, banten), yang diterima oleh Barong sebagai 'pajegan' atau bentuk upah spiritual untuk tugas penyucian tersebut. Ini adalah pertukaran energi positif yang mengikat komunitas dengan pelindung mereka.
Barong Bajang adalah ensiklopedia visual filosofi Bali. Setiap detail, mulai dari warna rambut, bentuk taring, hingga gerakan tarian, mengandung makna spiritual yang mendalam, terikat pada konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan: hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam).
Tapel Barong Bajang adalah bagian paling sakral. Pembuatannya melibatkan spiritualitas tinggi (dikenal sebagai Undagi Tapel). Umumnya, kayu yang digunakan adalah kayu Pule, yang dianggap memiliki vibrasi spiritual tinggi dan sering ditanam di kawasan pura atau kuburan (tempat yang dianggap sakral dan berenergi kuat).
Wajah Barong Bajang seringkali memiliki taring yang tajam, mata melotot, dan rambut lebat, menunjukkan kekuatan dan kegarangan. Namun, di balik kegarangan itu tersimpan ekspresi perlindungan. Keindahan yang menakutkan ini dikenal sebagai Rudra-Murti, manifestasi dewa dalam wujud yang menakutkan namun bertujuan baik (penghancur kejahatan).
Warna pada tapel dan bulu Barong (baju) juga merujuk pada arah mata angin atau manifestasi dewa (Nawa Sanga). Dominasi warna merah, hitam, dan putih seringkali hadir, merepresentasikan Tridatu (Brahma, Wisnu, Siwa). Bulu Barong Bajang sering terbuat dari ijuk, serat daun lontar, atau kain rumbai yang dihias dengan pecahan cermin (kaca benggala), melambangkan kemampuan untuk memantulkan atau menetralisir energi negatif.
Gerakan Barong Bajang sangat lincah, dinamis, dan terkadang terlihat lucu (komedi) di beberapa bagian pementasan. Kelincahan ini bukan tanpa makna. Gerakan cepat melambangkan kecepatan Barong dalam menyapu energi kotor dari suatu tempat. Tarian ini juga mencerminkan perjuangan abadi, dengan gerakan menghentak, memutar, dan mengibas-ngibaskan ekor.
Barong Bajang tidak pernah menari sendiri. Ia selalu ditemani oleh sekelompok pengiring atau Pengecek (penari lain yang sering mengenakan topeng lucu atau menyerupai monyet) dan penabuh gamelan. Kelompok pengiring ini berfungsi sebagai humor (lawak) yang bertugas menyeimbangkan suasana, mengurangi ketegangan spiritual, dan menunjukkan bahwa perlindungan juga bisa datang dari hal yang ringan dan gembira. Mereka juga bertugas mengumpulkan persembahan dari warga.
Pembuatan Barong Bajang adalah sebuah proses seni yang sakral (Ngerajut). Setiap komponennya harus memenuhi standar ritual dan estetika yang ketat, menjadikannya benda pusaka yang dihormati di setiap desa. Proses ini mencerminkan tradisi ukir Bali yang mendalam dan pemahaman terhadap material alam.
Kayu Pule (Alstonia scholaris) adalah material utama untuk tapel. Dipilih karena dianggap sebagai kayu yang paling 'dingin' (netral dari energi negatif) dan mudah menyerap vibrasi spiritual. Pengambilan kayu Pule memerlukan upacara khusus (Nunas Izin) kepada dewa hutan. Setelah tapel diukir, ia belum memiliki daya magis. Tapel harus melalui upacara Pasupati, yakni penyucian dan pengisian roh, yang biasanya dilakukan oleh Sulinggih (pendeta) atau Pemangku (pemimpin upacara pura).
Proses Pasupati ini melibatkan ritual pemanggilan roh pelindung untuk bersemayam dalam tapel, mengubahnya dari benda seni biasa menjadi pratima (media perwujudan dewa). Tanpa Pasupati, Barong Bajang hanyalah topeng kayu. Dengan Pasupati, ia menjadi penjaga desa yang hidup secara spiritual.
Rambut Barong Bajang, yang seringkali tebal dan keriting, bukan sekadar hiasan. Ia melambangkan energi kosmik yang tak terbatas. Rambut ini biasanya terbuat dari serat tanaman tertentu atau ijuk, yang dipercaya mampu menahan dan menyerap energi negatif. Dedaunan kering, atau kadang kulit pohon, digunakan untuk menambah kesan alami dan liar pada wujud Barong.
Pola ukiran pada tapel mencakup motif khas Bali seperti Patra Ulanda (ukiran sulur-suluran) atau Karang Boma (kepala raksasa penjaga) yang disederhanakan. Ornamen emas atau prada pada ukiran menandakan kemuliaan dan status keilahian Barong sebagai pelindung Dharma.
Ilustrasi simbolis Tapel Barong Bajang yang sakral dan ekspresif.
Ngelawang adalah panggung utama Barong Bajang. Ritual ini bukan sekadar tarian jalanan, melainkan sebuah siklus ritual tahunan yang berfungsi sebagai mekanisme sosial dan spiritual untuk menjaga harmonisasi desa. Ngelawang biasanya terjadi di sekitar Galungan (kemenangan Dharma atas Adharma) dan Kuningan, yaitu periode di mana roh leluhur turun ke bumi, dan pada saat yang sama, energi jahat juga meningkat.
Ngelawang dilakukan secara sistematis. Sebelum Barong Bajang mulai berkeliling, Barong harus melalui upacara persembahan di pura desa atau pura puseh. Ini adalah ritual 'ngiyas' atau persiapan spiritual. Tim penari Barong harus dalam keadaan suci, seringkali melakukan puasa atau pantangan tertentu sebelum pementasan.
Rute Ngelawang ditentukan berdasarkan batas-batas spiritual desa (kaja-kelod, kangin-kauh). Barong Bajang harus mengunjungi setiap persimpangan (catus pata), karena persimpangan dianggap sebagai titik pertemuan energi baik dan buruk. Di setiap persimpangan dan di depan rumah warga yang mengundang, Barong akan melakukan tarian singkat dan dramatis, diiringi gamelan Balebeng atau Bebarongan.
Warga yang rumahnya didatangi wajib memberikan persembahan, biasanya berupa canang sari, dupa, dan sedikit uang (sesari). Uang ini bukan sekadar bayaran, melainkan bagian dari upakara (persembahan suci) yang melambangkan pengakuan dan penghormatan warga terhadap tugas Barong sebagai pembersih desa. Dengan memberikan sesari, warga secara simbolis ikut berpartisipasi dalam upaya penyucian desa.
Fungsi utama Ngelawang adalah panyupatan (penyucian). Ketika Barong menari, ia dipercaya menyerap dan menetralisir energi negatif yang mungkin tersisa setelah perayaan Galungan, memastikan bahwa desa tetap harmonis. Kehadiran Barong Bajang dianggap memberikan aura kedamaian dan perlindungan, mengusir roh-roh jahat yang mungkin mengganggu kesejahteraan desa dan keluarga.
Aspek penting lainnya adalah penghubung. Barong adalah perantara antara dunia manusia (sekala) dan dunia spiritual (niskala). Melalui Ngelawang, hubungan antara warga dengan pelindung mereka diperkuat, dan keseimbangan kosmos desa dipertahankan.
Di tengah modernisasi dan gempuran pariwisata, Barong Bajang menghadapi tantangan dan adaptasi. Meskipun fungsi ritualnya tetap tak tergantikan, cara pementasan dan transmisi pengetahuan Barong Bajang menunjukkan perubahan signifikan.
Salah satu tantangan terbesar adalah garis tipis antara ritual sakral dan pementasan seni. Beberapa kelompok Ngelawang Barong Bajang kini tampil di area wisata, mengubah konteks sakral menjadi pertunjukan budaya. Meskipun ini membantu pelestarian visual Barong Bajang, ada kekhawatiran bahwa makna spiritual esensialnya (Pasupati dan panyupatan) dapat terkikis, menjadikannya hanya tarian tanpa roh.
Namun, di sebagian besar desa adat, khususnya di luar daerah turis utama, Barong Bajang tetap dipertahankan murni sebagai pusaka desa. Di desa-desa ini, sanksi adat (awig-awig) diterapkan untuk memastikan bahwa Barong tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar ritual penyucian.
Pelestarian Barong Bajang sangat bergantung pada generasi muda. Sekolah-sekolah seni tradisional dan sanggar-sanggar di desa memainkan peran penting dalam mengajarkan tata cara Ngelawang yang benar, termasuk etika spiritual, teknik menari (wirama), dan tabuh gamelan (wirasa). Karena Barong Bajang sering diperankan oleh remaja, tradisi ini berfungsi sebagai media inisiasi bagi pemuda desa untuk memahami tanggung jawab adat dan spiritual mereka.
Setiap Barong Bajang memiliki Juru Pelihara (atau sering disebut Pemangku Barong) yang bertanggung jawab atas penyimpanan, perawatan, dan ritual penyucian rutin. Pemangku ini harus memahami sejarah dan filosofi Barong Bajang di desa mereka, memastikan bahwa pusaka tersebut tetap bertuah dan sakral. Peran Pemangku ini adalah kunci dalam memerangi erosi makna tradisi di era modern.
Untuk memahami kedalaman Barong Bajang, perlu diuraikan secara rinci persiapan ritual yang harus dilalui, jauh sebelum pementasan di mulai. Ini adalah rangkaian prosesi yang memastikan bahwa Barong yang menari adalah manifestasi kekuatan suci, bukan sekadar kostum.
Jika Barong baru dibuat, upacara Ngenteg Linggih (penetapan kedudukan) harus dilakukan. Ini adalah upacara besar yang secara resmi mendudukkan Barong Bajang sebagai pratima yang memiliki stana (tempat bersemayam) di pura atau balai desa. Dalam upacara ini, persembahan seperti banten caru besar (persembahan untuk Bhuta Kala) hingga banten piodalan (persembahan dewa) disajikan untuk memastikan harmonisasi Barong dengan lingkungan spiritual sekitar.
Baju Barong, yang terbuat dari bahan alami dan dihiasi manik-manik, kaca, atau bulu, juga melalui penyucian. Kain-kain (wasna) yang digunakan harus memenuhi standar tertentu dan seringkali berwarna cerah (merah, kuning, hijau) yang melambangkan kemakmuran dan kesuburan. Busana Barong Bajang harus dijaga kebersihannya, tidak boleh disentuh oleh orang yang tidak suci, dan disimpan di tempat khusus.
Tabuh yang mengiringi Barong Bajang dikenal sebagai gamelan Bebarongan atau Bale Ganjur yang diperkecil. Musik ini memiliki tempo yang sangat dinamis, seringkali keras dan cepat, yang berfungsi untuk membangkitkan semangat Barong dan energi penyucian. Ritme yang cepat juga menstimulasi penari (juru barong) untuk menampilkan gerakan lincah yang menjadi ciri khas Bajang. Instrumen kunci meliputi kendang, cengceng, dan kempur.
Para penabuh gamelan harus mampu mengikuti improvisasi tarian, karena Ngelawang bersifat responsif terhadap interaksi dengan warga atau kondisi jalanan. Harmoni antara Barong, penari, dan gamelan adalah inti dari keberhasilan ritual Ngelawang.
Di banyak desa adat Bali, Barong Bajang memiliki status yang sangat spesifik, terikat pada fungsi geografis dan spiritual tertentu. Pemahaman ini memerlukan tinjauan mendalam tentang bagaimana desa-desa mengatur wilayah spiritual mereka.
Barong Bajang seringkali dianggap sebagai penjaga kalingkuh (wilayah pinggiran atau perbatasan desa). Berbeda dengan Barong Gede yang menjaga pura inti desa (pusat spiritual), Barong Bajang fokus pada area transisi antara desa dan alam liar (hutan, sungai, kuburan). Area ini dianggap rawan dimasuki energi negatif, dan mobilitas Barong Bajang adalah aset utama dalam melakukan patroli spiritual.
Ritual Ngelawang ke kalingkuh ini memastikan bahwa segala bentuk energi liar (butha) yang datang dari luar desa dapat dinetralisir sebelum mengganggu kedamaian di area pemukiman (madya).
Wujud Barong Bajang tidaklah tunggal. Terdapat variasi signifikan antar desa, mencerminkan interpretasi lokal atas legenda dan kebutuhan spiritual mereka. Di beberapa daerah, Barong Bajang mungkin lebih menyerupai monyet (Barong Kedingkling), sementara di daerah lain ia menyerupai anjing (Barong Asu) atau bahkan babi hutan (Barong Celeng), namun tetap dalam dimensi yang lebih kecil dan lincah untuk Ngelawang.
Barong Kedingkling, yang juga termasuk dalam kategori Barong Bajang, adalah kelompok Barong kecil yang sering muncul saat Ngelawang. Kelompok ini terdiri dari beberapa jenis topeng karakter seperti Rangda, Gajah, dan Raksasa, yang semuanya kecil dan diperankan oleh anak-anak. Kehadiran Kedingkling menekankan bahwa bahkan di level anak-anak, tradisi pembersihan desa harus dimulai dan dipraktikkan, memastikan kesinambungan adat.
Diagram Alir Pergerakan Barong Bajang dalam Ritual Ngelawang.
Di luar aspek seni dan ritualnya yang terlihat (sekala), Barong Bajang mengandung dimensi esoteris (niskala) yang sangat kuat. Kekuatan spiritual yang dimiliki oleh Barong dikenal sebagai Taksu.
Taksu adalah pancaran aura spiritual, karisma, atau energi ilahi yang membuat sebuah pementasan menjadi 'hidup' dan memiliki daya magis. Bagi Barong Bajang, taksu ini bukan hanya berasal dari topengnya yang telah di-Pasupati, tetapi juga dari Juru Barong (penari yang memerankannya).
Juru Barong, yang biasanya adalah pemuda desa, harus memiliki kemurnian hati dan menjalani proses penyucian diri (ngeruwatan) sebelum memerankan Barong. Ketika Juru Barong menari dan Taksu turun kepadanya, gerakannya menjadi tidak terduga, intens, dan terkadang mencapai tahap kerauhan (trance). Kondisi kerauhan ini dianggap sebagai momen di mana roh Barong benar-benar merasuki dan mengendalikan penari untuk melakukan tugas penyucian.
Kerauhan saat Ngelawang sering dipicu oleh intensitas tabuh gamelan dan kehadiran spiritual di lokasi-lokasi keramat (misalnya, di depan pura atau kuburan). Jika kerauhan terjadi, Barong Bajang akan melakukan gerakan pembersihan yang lebih agresif, seperti mengibas-ngibaskan kepala ke tanah atau mengejar bayangan di udara, yang dipercaya sebagai upaya mengusir roh jahat secara langsung.
Dalam beberapa tradisi desa, air suci (tirta) yang dipercikkan oleh Barong Bajang, atau bahkan rambut Barong yang jatuh saat menari, dipercaya memiliki khasiat penyembuhan atau penolak bala. Warga seringkali sengaja meminta Barong untuk menyentuh kepala mereka atau anak-anak mereka sebagai bentuk perlindungan dan berkat. Ini menunjukkan fungsi Barong Bajang yang meluas dari penjaga wilayah menjadi penyembuh komunitas.
Kekuatan pengobatan ini berasal dari Taksu. Kehadiran Barong diyakini mampu menyeimbangkan energi tubuh manusia yang mungkin terganggu oleh pengaruh spiritual negatif.
Estetika Barong Bajang sangat ditentukan oleh bagaimana kostum dan tarian menyatu. Detail pada kostum adalah kode visual yang harus dipahami oleh penonton.
Kostum Barong Bajang dirancang untuk menonjolkan kesan makhluk dari alam liar (wana). Selain kayu Pule untuk tapel, bahan-bahan lain meliputi:
Terdapat pola tarian yang terus diulang dalam Ngelawang, yang menjamin konsistensi ritual. Pola tersebut meliputi:
Pengulangan gerakan ini, yang terjadi puluhan kali di sepanjang rute Ngelawang, memastikan bahwa setiap sudut desa telah disucikan secara menyeluruh. Inilah yang membuat Ngelawang Barong Bajang menjadi ritual dengan durasi yang sangat panjang, mencakup seluruh wilayah desa adat.
Barong Bajang adalah warisan budaya yang hidup. Keberadaannya menjamin bahwa meskipun zaman berubah, filosofi perlindungan dan harmonisasi Bali tetap terjaga. Ia adalah cermin dari identitas desa adat yang menolak untuk dilupakan.
Kepemilikan Barong Bajang di suatu desa sering menjadi sumber kebanggaan komunal. Kelompok Ngelawang yang terorganisir dengan baik dan memiliki Taksu yang kuat akan dihormati oleh desa tetangga. Barong Bajang berfungsi sebagai penanda identitas spiritual, menunjukkan keseriusan desa tersebut dalam memelihara keseimbangan Dharma.
Tanggung jawab terhadap perawatan Barong Bajang seringkali diatur oleh sekehe truna truni (organisasi pemuda desa). Hal ini memastikan bahwa pengetahuan tentang tarian, gamelan, dan ritual tidak terputus, dan bahwa Barong Bajang akan terus menari membersihkan desa di setiap perayaan Galungan dan Kuningan yang akan datang.
Kehadiran Barong Bajang merupakan penegasan kembali ketaatan pada nilai-nilai leluhur. Dengan setiap hentakan kaki dan kibasan bulu, ia mengukir janji bahwa perlindungan spiritual terhadap pulau Bali akan terus berlangsung, diwujudkan dalam wujud kecil, lincah, namun perkasa.
Tidak mungkin membahas Barong Bajang tanpa kembali ke akar filosofisnya: konsep keseimbangan kosmik. Barong Bajang adalah operator keseimbangan di tingkat mikro (desa) yang menjaga harmoni antara sekala dan niskala.
Ngelawang adalah jembatan antara dua dimensi. Aspek sekala (nyata) terlihat dari kerumunan warga, musik, dan tarian. Aspek niskala (gaib) adalah tujuan utama: membersihkan roh-roh liar, mengundang dewa, dan menetralisir energi negatif.
Barong Bajang, sebagai perwujudan niskala yang tampil di sekala, menyajikan sebuah teater realitas spiritual. Reaksi emosional warga—rasa takut, hormat, atau gembira—saat melihat Barong menari membuktikan bahwa entitas tersebut membawa bobot spiritual yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
Setiap Barong Bajang, setelah di-Pasupati, harus dimandikan dengan Tirta (air suci) secara berkala. Tirta ini berasal dari berbagai sumber suci dan telah didoakan oleh Sulinggih. Proses pemandian ini bukan sekadar membersihkan fisik, tetapi juga mengisi kembali daya magis Barong.
Mantra (doa) yang dibacakan oleh Pemangku selama persiapan dan pementasan adalah rahasia spiritual utama. Mantra inilah yang memanggil Taksu dan roh pelindung untuk bersemayam dalam tapel Barong. Tanpa ritual mantra yang benar, Barong Bajang hanyalah benda mati. Dengan ritual mantra, ia menjadi kekuatan yang hidup dan bergerak, siap melindungi komunitasnya dari segala ancaman yang tak terlihat.
Dengan demikian, Barong Bajang berdiri sebagai monumen bergerak atas keyakinan Bali yang mendalam. Ia adalah manifestasi seni, mitologi, dan filosofi yang terus hidup, menari dari pintu ke pintu, memastikan bahwa Dharma selalu menang, dan keseimbangan jagat raya terus terjaga di pulau dewata.