Donatien Alphonse François: Studi atas Filosofi Transgresi Sang Marquis
Penjara sebagai Laboratorium: Pena di Balik Jeruji Besi.
Nama Donatien Alphonse François, Marquis de Sade, bergaung melintasi sejarah tidak hanya sebagai seorang bangsawan Prancis yang hidup di era Pencerahan dan Revolusi, tetapi sebagai arsitek filosofis dari apa yang kemudian dikenal sebagai 'sadisme'. Kehidupannya adalah rangkaian paradoks yang mengerikan: seorang ahli militer yang dihormati, seorang penulis ulung, dan sekaligus subjek dari skandal-skandal yang begitu memalukan sehingga ia menghabiskan hampir tiga puluh tahun hidupnya di balik jeruji besi di berbagai penjara dan rumah sakit jiwa, dari Vincennes, Bastille, hingga Charenton.
Namun, nilai Sade bagi studi kemanusiaan dan sejarah filsafat tidak terletak pada perbuatan-perbuatannya yang diyakini melanggar hukum dan moral—meskipun hal tersebut krusial dalam membentuk mitosnya—tetapi pada karya-karya sastra dan filosofis yang dihasilkan dalam kurungan. Karyanya, yang melukiskan ekstremitas hasrat manusia, kekejaman yang sistematis, dan penolakan total terhadap moralitas tradisional, memaksa pembaca untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang paling gelap dan paling mendasar mengenai kebebasan, kejahatan, kodrat alam, dan batas-batas rasionalitas.
Artikel yang komprehensif ini akan menggali jauh ke dalam sosok Marquis de Sade, melacak jejak biografinya yang kacau, menganalisis intisari filosofis dari tulisan-tulisannya yang dilarang, dan mengeksplorasi warisan budayanya yang terus memicu perdebatan sengit di antara para kritikus, filsuf, dan psikoanalis. Kami akan melihat bagaimana Sade mengubah penjara pribadinya menjadi panggung literatur untuk menguji batas-batas kekuasaan dan kesenangan, dan mengapa, lebih dari dua abad setelah kematiannya, karyanya tetap menjadi salah satu tantangan paling provokatif terhadap struktur moral peradaban Barat.
I. Latar Belakang dan Pembentukan Mitos (1740–1777)
Kelahiran Bangsawan dan Pendidikan Awal
Donatien Alphonse François de Sade lahir di Paris pada tahun 1740 dari keluarga bangsawan tua yang memiliki ikatan dekat dengan wangsa Bourbon. Ayahnya adalah Comte de Sade, seorang diplomat, dan ibunya adalah seorang wanita bangsawan yang memiliki hubungan darah dengan Pangeran Condé. Lingkungan aristokrat yang mewah dan, pada saat yang sama, penuh intrik di era Louis XV memberikan fondasi bagi pandangan dunia Sade yang sinis terhadap otoritas dan moralitas kelas atas.
Sade menerima pendidikan yang sangat baik, termasuk pelatihan militer di sebuah akademi bergengsi, di mana ia menunjukkan kecerdasan dan keberanian. Ia bertugas dalam Perang Tujuh Tahun, meraih pangkat kolonel. Pengalaman di medan perang ini, yang memperlihatkan kekejaman massal yang disahkan oleh negara, diyakini telah memengaruhi pandangan Sade mengenai kekerasan dan ketiadaan makna hidup. Bagi Sade, perang adalah bentuk sadisme legal yang jauh lebih besar skalanya daripada perbuatan individual, sebuah tema yang kelak ia kembangkan dalam narasinya.
Perkawinan dan Skandal-Skandal Awal
Pada tahun 1763, Sade dipaksa menikah dengan Renée-Pélagie de Montreuil, putri dari seorang hakim kaya. Meskipun pernikahan ini bertujuan untuk memperbaiki keuangan keluarga Sade, ia segera mengembangkan hubungan yang rumit dan penuh ketegangan dengan ibu mertuanya, Madame de Montreuil, yang kelak menjadi musuh bebuyutan dan pihak yang paling gigih mengupayakan penahanannya.
Periode 1763 hingga 1772 ditandai oleh serangkaian skandal seksual yang melibatkan Sade. Kasus-kasus ini bervariasi dari pelanggaran yang melibatkan pelacur (seperti kasus Rose Keller, di mana Sade dituduh menculik dan menyiksa) hingga insiden yang lebih gelap di Marseille (kasus "keracunan" permen yang melibatkan beberapa pekerja seks). Skandal-skandal ini sering kali dilebih-lebihkan oleh otoritas yang ingin menjatuhkan Sade, khususnya karena ia adalah seorang bangsawan yang dianggap telah mencemarkan nama baik kelasnya. Skandal-skandal ini bukan hanya masalah kriminalitas; bagi Madame de Montreuil, ini adalah upaya untuk mengendalikan properti keluarga dan, yang terpenting, menyelamatkan kehormatan sosial.
Pengejaran yang dilakukan oleh otoritas dan keluarga Montreuil memaksa Sade melarikan diri beberapa kali dan akhirnya menghasilkan ‘lettres de cachet’—surat perintah penangkapan rahasia yang dikeluarkan oleh raja—sebuah alat yang sering digunakan oleh kaum bangsawan untuk menyingkirkan kerabat yang memalukan tanpa proses pengadilan formal. Penahanan pertama dan yang terpenting adalah pada tahun 1777, yang membawanya ke Penjara Vincennes, lalu ke Bastille. Masa kurungan inilah yang mengubah seorang bangsawan yang berperilaku buruk menjadi filsuf gelap yang kita kenal.
II. Penjara: Laboratorium Imajinasi dan Filsafat
Vincennes dan Bastille: Kelahiran Penulis
Selama periode penahanan panjangnya di Bastille dan Vincennes (total hampir dua belas tahun hanya di kedua tempat ini), Sade dilarang melakukan kontak sosial dan sering kali tidak memiliki akses ke bahan bacaan. Ironisnya, isolasi total ini justru memberinya lingkungan yang steril dan tak terbatas untuk mengembangkan imajinasi sastranya. Tanpa dunia luar yang mengganggu, Sade mengubah sel penjaranya menjadi studio filosofis. Pena dan kertas menjadi senjata utamanya untuk menyerang masyarakat yang telah menguncinya.
Pada masa ini, Sade mulai menyusun karya-karya besarnya. Di Vincennes, ia menulis esai-esai dan drama. Di Bastille, ia menulis karya mani utamanya, *Les 120 Journées de Sodome* (120 Hari Sodom), pada tahun 1785. Karya ini ditulis dengan huruf kecil di atas gulungan kertas sepanjang 12 meter yang disembunyikan di dinding selnya. Gulungan ini kemudian hilang selama Revolusi Prancis dan ditemukan kembali bertahun-tahun kemudian.
Kondisi di dalam penjara, yang penuh dengan ketidakadilan, kekuasaan sewenang-wenang, dan kehancuran moral, memvalidasi pandangan Sade bahwa dunia di luar jeruji besi pun sama brutalnya, hanya saja dibungkus dengan kepalsuan moral. Dalam isolasinya, ia menyempurnakan filsafatnya: jika Alam Agung bersifat kacau, kejam, dan tidak peduli pada penderitaan, mengapa manusia harus dipaksa mematuhi norma-norma buatan berupa Kebajikan dan Kebaikan?
Karya-Karya Utama yang Tersembunyi
Meskipun berada dalam kurungan, Sade secara diam-diam mampu memublikasikan beberapa karyanya di luar, sering kali tanpa nama. Karyanya yang paling terkenal dari periode ini mencakup:
- Les 120 Journées de Sodome, ou l'École du libertinage (120 Hari Sodom): Ini adalah katalog kejahatan seksual dan psikologis yang terstruktur secara matematis. Karya ini bukan hanya pornografi; ini adalah risalah filosofis yang mengeksplorasi batas-batas kekuasaan absolut dan dehumanisasi total. Empat libertine kaya mengumpulkan korban di sebuah kastil terpencil untuk melaksanakan empat tingkat "nafsu" dalam seratus dua puluh hari. Kejahatan di sini diatur, diklasifikasikan, dan dilaksanakan dengan presisi ilmiah, yang menunjukkan tujuan Sade bukan untuk menggairahkan, tetapi untuk mengatalogkan potensi kejahatan manusia.
- Justine, ou les Malheurs de la Vertu (Justine, atau Kemalangan Kebajikan): Dipublikasikan pertama kali pada tahun 1791. Karya ini adalah antitesis dari novel pencerahan yang menjanjikan hadiah bagi kebajikan. Justine adalah seorang pahlawan wanita yang saleh dan suci yang menjalani serangkaian siksaan yang tiada habisnya karena ia terus-menerus memilih jalan kebajikan. Setiap kali Justine mencoba hidup jujur, ia bertemu dengan libertine yang kejam dan filosofis yang bukan saja menyiksanya secara fisik, tetapi juga secara verbal menghancurkan keyakinan moralnya.
- Histoire de Juliette, ou les Prospérités du Vice (Juliette, atau Kemakmuran Kejahatan): Sering dianggap sebagai karya tandingan dan pelengkap Justine. Juliette adalah saudara perempuan Justine, tetapi ia memilih jalur Kejahatan dan Libertinisme total. Kontras dengan Justine, Juliette menikmati kekuasaan, kekayaan, dan kesenangan, membuktikan tesis Sade bahwa dalam dunia yang dikuasai Alam yang apatis, Kejahatan adalah pilihan paling rasional untuk bertahan hidup dan berkembang.
Analisis yang mendalam terhadap Justine dan Juliette mengungkapkan esensi dialektika Sade. Melalui kedua karakter ini, Sade tidak hanya menyajikan narasi erotis terlarang; ia menciptakan perdebatan filosofis yang sengit. Justine mewakili tradisi moral yang dihancurkan oleh realitas. Para penyiksanya selalu menyertai tindakan mereka dengan monolog panjang yang menyanggah moralitas, hukum, dan Tuhan. Mereka berpendapat bahwa kejahatan mereka adalah tindakan filosofis yang rasional—sebuah cara untuk meniru kekejaman dan ketidakpedulian Alam itu sendiri.
Para penjahat Sade, seperti Duc de Blangis atau Saint-Fond, bukanlah sekadar penjahat biasa; mereka adalah filsuf yang sangat fasih yang menggunakan akal dan logika Pencerahan untuk membenarkan tindakan yang paling tidak berperikemanusiaan. Mereka percaya bahwa dengan melanggar semua tabu sosial, mereka mencapai bentuk kebebasan tertinggi, sebuah pembebasan yang hanya dapat dicapai melalui transgresi total terhadap keteraturan sosial yang dianggap mereka sebagai rantai palsu.
III. Inti Filosofi Sadisme: Alam, Kejahatan, dan Nihilisme
Penyangkalan Moralitas dan Tuhan
Filosofi Sade didasarkan pada ateisme materialis yang agresif dan nihilisme yang merusak. Ia menolak keberadaan Tuhan atau kekuatan ilahi yang baik hati. Sebaliknya, ia memandang Alam (Nature) sebagai satu-satunya dewa, dan dewa ini digambarkan sebagai kekuatan yang kacau, destruktif, dan brutal.
Sade berargumen bahwa jika Alam menciptakan kehidupan hanya untuk menghancurkannya, jika ia merancang gempa bumi, penyakit, dan kematian sebagai bagian dari siklusnya, maka kejahatan dan kekejaman manusia tidaklah bertentangan dengan Alam—justru merupakan peniruan yang setia terhadapnya. Bagi Sadean libertine, Kejahatan bukanlah dosa, melainkan tindakan yang harmonis dengan proses penghancuran universal Alam. Moralitas, hukum, dan kebajikan hanyalah rekayasa sosial yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuatan orang-orang kuat.
“Kebajikan hanyalah hantu yang dihiasi oleh kepengecutan; Kejahatan adalah realitas yang berani yang diilhami oleh kebebasan.”
Konsep ini sangat penting. Sade membalikkan ajaran Pencerahan yang menjunjung tinggi akal untuk mencapai kebaikan moral. Dalam pandangan Sade, akal yang bebas (tanpa dibatasi oleh dogma agama atau sosial) secara logis akan mengarah pada pengakuan bahwa kesenangan pribadi (ego) adalah satu-satunya tujuan yang masuk akal, bahkan jika kesenangan itu harus dicapai melalui penderitaan orang lain. Kesenangan (jouissance) diperoleh secara maksimal hanya ketika ia melanggar tabu terbesar dan menimbulkan rasa sakit ekstrem, karena pelanggaran tersebut menegaskan kebebasan absolut pelaku.
Transgresi dan Kekuasaan
Transgresi—pelanggaran batasan moral atau sosial—adalah jantung dari karya Sade. Ia tidak tertarik pada seksualitas konvensional; ia tertarik pada titik di mana seks, kekuasaan, dan kekerasan berpotongan untuk menciptakan ekstase yang melampaui batas. Dalam karya-karya seperti *La Philosophie dans le boudoir* (Filsafat di Kamar Tidur), Sade menyajikan sebuah traktat politik dan filosofis yang dikemas dalam narasi erotis.
Melalui dialog antara para pendidik libertine—Madame de Saint-Ange, Dolmancé, dan Chevalier de Mirvel—Sade mengajarkan seorang perawan muda bernama Eugénie bahwa semua otoritas (agama, keluarga, negara) harus ditolak, dan bahwa tubuh adalah satu-satunya properti yang mutlak harus dikuasai oleh individu. Namun, penguasaan ini tidak berhenti pada diri sendiri; ia meluas pada penguasaan tubuh orang lain. Kekerasan menjadi alat filosofis untuk menegaskan perbedaan antara si Kuat (yang menikmati) dan si Lemah (yang menderita), sekaligus membuktikan nihilisme dunia.
Lebih jauh, analisis mendalam atas dinamika kekuasaan dalam naskah-naskah Sade menunjukkan bahwa kekejaman tidak pernah acak. Ia selalu merupakan ritual yang disengaja dan didahului oleh pembenaran yang ekstensif. Para filsuf-libertine Sade harus secara verbal dan logis menghancurkan lawan mereka sebelum menghancurkannya secara fisik. Ini menegaskan bahwa tujuan utama Sade bukanlah seksualitas, tetapi demonstrasi filosofis tentang kehendak bebas absolut yang menolak semua hambatan eksternal.
Sade dan Politik Revolusi
Ironisnya, Sade dibebaskan dari Bastille hanya beberapa hari sebelum benteng itu dihancurkan pada tahun 1789. Ia kemudian terlibat secara singkat dalam Revolusi Prancis. Sebagai seorang ateis radikal dan penentang monarki yang telah lama dipenjarakan oleh Raja, ia mendukung semangat awal Revolusi, bahkan menjabat sebagai pejabat elektoral di bagiannya. Pada saat ini, ia menulis pamflet politik yang keras dan radikal.
Namun, dukungannya terhadap Revolusi bersifat unik. Sementara Revolusi bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang rasional dan bermoral baru (berdasarkan Kebajikan Romawi), Sade menggunakan bahasa Revolusi (Kebebasan, Kesetaraan) untuk membenarkan kebebasan ekstrem, termasuk kebebasan untuk melakukan kejahatan. Ia melihat Revolusi sebagai kesempatan untuk menghancurkan moralitas Katolik dan feodal sepenuhnya. Bagi Sade, teror yang dilakukan oleh Robespierre hanyalah contoh lain dari Alam yang bekerja melalui tangan manusia, hanya saja, seperti yang ia tulis, "dengan cara yang terlalu pengecut dan tidak konsisten."
Karya-karya Sade, terutama La Philosophie dans le boudoir, dapat dibaca sebagai manifesto politik yang paling ekstrem: menyerukan anarkisme moral di mana hukum hanya berfungsi untuk melindungi kesenangan individu yang paling kuat, tanpa memperhatikan penderitaan orang lain. Ia berani menyarankan bahwa negara harus melegalkan semua tindakan, termasuk pembunuhan, asalkan dilakukan secara rahasia dan tidak mengganggu ketertiban umum—sebuah usulan yang sangat mengganggu tentang bagaimana masyarakat ideal kaum libertine akan beroperasi.
IV. Analisis Naratif dan Struktur Karya Sadis
Formula Naratif yang Berulang
Karya-karya naratif panjang Sade, terutama 120 Hari Sodom, sering kali dituduh repetitif dan monoton. Namun, bagi para kritikus seperti Maurice Blanchot dan Roland Barthes, repetisi ini adalah bagian integral dari proyek filosofis Sade. Struktur naratif Sade bukanlah tentang perkembangan karakter atau plot yang kompleks; ini adalah tentang katalogisasi yang melelahkan dan sistematis.
Dalam 120 Hari Sodom, ia menggunakan empat narator (madam pelacur) yang menceritakan 150 nafsu (nafsu kecil, nafsu gila, nafsu kriminal, nafsu pembunuh). Struktur ini menyerupai risalah ilmiah atau daftar taksonomi, bukan novel. Tujuannya adalah untuk mencakup setiap kemungkinan penyimpangan dan kekejaman yang dapat dibayangkan oleh pikiran manusia, sehingga mencapai totalitas yang merangkum potensi gelap manusia. Repetisi kehancuran moral ini menumpulkan indra pembaca, memaksa mereka untuk melepaskan diri dari emosi dan memasuki wilayah analisis filosofis yang dingin.
Peran Dialog Filosofis
Perbedaan mendasar antara Sade dan penulis erotika lainnya adalah bahwa tindakan fisik selalu didahului atau diselingi oleh dialog filosofis yang panjang, seringkali berpuluh-puluh halaman. Dalam Juliette dan Justine, penderitaan tidak pernah tanpa komentar. Para libertine tidak hanya melakukan kekejaman; mereka mendedikasikan waktu yang sama banyaknya untuk merasionalisasikan kekejaman tersebut.
Monolog ini membahas tema-tema besar: sifat kekekalan energi, mengapa Kejahatan membantu sirkulasi energi universal, mengapa Kebajikan adalah pemborosan yang statis, dan mengapa rasa sakit adalah stimulus yang lebih berharga bagi jiwa daripada kesenangan. Dialog-dialog ini berfungsi sebagai jantung naskah-naskah Sade, mengubah pornografi menjadi metafisika. Pembaca dipaksa untuk tidak hanya menyaksikan kekejaman tetapi juga untuk mendengarkan—dan mungkin bahkan terpengaruh oleh—argumen logis yang mendukung kekejaman itu.
Sade sebagai Avant-Garde
Banyak kritikus modern melihat Sade sebagai pelopor gerakan sastra yang jauh melampaui masanya. Dengan menggunakan kekerasan dan seksualitas untuk menyerang fondasi bahasa, struktur sosial, dan nalar, ia menciptakan apa yang kemudian akan kita kenal sebagai sastra "anti-novel." Karya-karyanya memecah ilusi realitas, memaksa pembaca untuk menyadari bahwa norma-norma yang mereka yakini sebagai "alami" hanyalah konstruksi yang rapuh.
Filsuf seperti Michel Foucault berpendapat bahwa Sade adalah salah satu penulis pertama yang sepenuhnya memahami dan mengeksplorasi hubungan inheren antara bahasa, hasrat, dan kekuasaan. Bagi Foucault, Sade membuka era di mana seksualitas menjadi bukan hanya objek hasrat, tetapi juga lokasi diskursif, tempat di mana kekuasaan diartikulasikan dan dilanggar. Bahasa yang eksplisit dan blak-blakan Sade menghancurkan eufemisme sosial, menciptakan ruang sastra yang kejam dan jujur.
V. Warisan dan Interpretasi Kritis
Dialektika Sade: Kebajikan (Justine) dan Kejahatan (Juliette).
Sade dalam Psikoanalisis: Krafft-Ebing dan Sadisme
Pengaruh Sade yang paling langsung dan abadi di luar sastra adalah dalam psikologi. Istilah "sadisme" dicetuskan oleh psikiater Austria Richard von Krafft-Ebing dalam karyanya *Psychopathia Sexualis* (1886). Krafft-Ebing mengidentifikasi sadisme sebagai kondisi klinis di mana kenikmatan seksual dicapai melalui perlakuan kejam atau menimbulkan rasa sakit pada orang lain. Ironisnya, Krafft-Ebing, yang sangat mengutuk karya Sade, secara tidak sengaja mengabadikan nama penulis tersebut dalam leksikon psikologis. Sadisme, yang awalnya merujuk pada filosofi dan kebebasan ekstrem, kini menjadi label klinis yang terpisah dari konteks politik dan sastra aslinya.
Psikoanalis kemudian, terutama Jacques Lacan, melihat Sade sebagai pra-Freudian yang brilian. Lacan berpendapat bahwa Sade memahami hukum-hukum hasrat dan batasan lebih baik daripada siapa pun sebelumnya. Dalam filsafat Sade, hasrat bukanlah sekadar dorongan biologis; itu adalah dorongan yang terstruktur oleh bahasa dan larangan. Kesenangan hanya bisa maksimal ketika batasan (Hukum, Moralitas) dilanggar—sebuah pemahaman yang beresonansi kuat dengan teori Lacan tentang Objek a dan kesenangan yang mustahil (jouissance).
Apresiasi Abad Ke-20: Surealisme dan Eksistensialisme
Pada abad ke-20, Sade diselamatkan dari label sekadar penulis pornografi dan diangkat sebagai pahlawan pemberontakan filosofis oleh gerakan-gerakan radikal. Kaum Surealis Prancis, dipimpin oleh Guillaume Apollinaire dan André Breton, memuja Sade sebagai "manusia bebas" pertama. Mereka melihat Sade bukan hanya sebagai pencemooh masyarakat, tetapi sebagai perwujudan hasrat murni yang menolak represi borjuis. Surealis menganggap karya-karyanya sebagai tindakan pembebasan imajinasi yang paling ekstrem.
Filsuf Eksistensialis juga tertarik pada Sade. Simone de Beauvoir, dalam esainya yang berpengaruh, *Faut-il brûler Sade?* (Haruskah Kita Membakar Sade?), berpendapat bahwa Sade adalah seorang moralis. Menurut Beauvoir, Sade, melalui penolakan totalnya terhadap moralitas masyarakat, memaksa pembaca untuk bertanggung jawab atas kebebasan mereka sendiri dan untuk mendefinisikan batas-batas etika mereka tanpa bantuan dogma yang nyaman. Sade memang jahat, tetapi ia jujur tentang kejahatannya, tidak seperti masyarakat yang jahat di balik topeng kebajikan.
Sade dan Bahasa Transgresi
Kritikus sastra dari mazhab Strukturalisme dan Pasca-Strukturalisme, seperti Barthes dan Klossowski, menganalisis bahasa Sade. Pierre Klossowski menganggap Sade sebagai teolog yang terbalik; Sade tidak menyangkal Tuhan tetapi menciptakan sistem tandingan di mana Kejahatan adalah bentuk ibadah, dan penderitaan adalah kurban yang diperlukan untuk membuktikan ketiadaan Tuhan. Bahasa Sade, yang dingin, metodis, dan non-emosional, menjadi alat untuk membedah hasrat tanpa sensualitas, menciptakan teks yang, menurut Barthes, "melelahkan hasrat" dengan menyajikan semua kemungkinan secara berlebihan.
Melalui analisis ini, Sade diakui sebagai penulis yang menggunakan pornografi bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai bahasa filosofis, sebuah kode untuk menyampaikan ide-ide yang tidak dapat diungkapkan dalam diskursus Pencerahan yang santun. Ia menggunakan tubuh dan kekerasan untuk menulis kembali aturan permainan kosmos.
VI. Babak Akhir dan Warisan yang Tak Terpadamkan
Kematian di Charenton
Setelah Revolusi, Sade sempat hidup bebas, tetapi setelah publikasi karya-karyanya yang paling radikal, ia dianggap sebagai bahaya bagi ketertiban moral oleh rezim Napoleon. Pada tahun 1801, ia ditangkap lagi dan, tanpa pengadilan, dinyatakan gila dan dikirim ke Charenton, sebuah rumah sakit jiwa. Ia menghabiskan sisa hidupnya di sana, meskipun sering kali ia diizinkan menyutradarai drama dan berinteraksi dengan dunia luar dalam batas tertentu. Ia meninggal di Charenton pada tahun 1814. Instruksi terakhirnya adalah agar jenazahnya dikubur tanpa tanda di bawah pohon, dan agar semua jejak makamnya hilang, sesuai dengan filosofinya tentang ketiadaan dan penghapusan diri setelah kematian.
Kontroversi dan Sensor Abadi
Warisan Sade tidak pernah lepas dari kontroversi. Selama lebih dari seratus lima puluh tahun setelah kematiannya, karya-karyanya dicetak secara rahasia, diperlakukan sebagai barang selundupan. Baru pada pertengahan abad ke-20, di Prancis, teks-teksnya secara perlahan mulai diakui sebagai karya sastra dan filosofis. Penerbitan karya lengkapnya di Pléiade (koleksi klasik Prancis yang dihormati) pada tahun 1990-an secara efektif mengesahkan Sade sebagai figur kanonik sastra, meskipun debat tentang apakah karyanya harus dibaca atau tidak tetap berlanjut.
Penting untuk memahami bahwa perlawanan terhadap Sade tidak hanya datang dari konservatif agama. Kritikus feminis, seperti Andrea Dworkin, telah menuduh Sade sebagai bapak ideologis dari kekerasan terhadap perempuan. Mereka berpendapat bahwa tidak peduli betapa cemerlangnya filsafatnya, teks-teksnya secara eksplisit mempromosikan penindasan dan penyiksaan yang tidak dapat dipisahkan dari konteks misoginisnya.
Namun, di sisi lain, beberapa kritikus feminis (misalnya Angela Carter) menggunakan Sade untuk tujuan yang berbeda: mereka melihat Sade sebagai penulis yang mengungkap struktur kekuasaan dan kekerasan yang tersembunyi di balik fasad sosial. Bagi mereka, Sade adalah cermin yang terlalu jujur tentang kekejaman patriarki, memaksa pembaca untuk mengakui bahwa kekerasan yang ia tulis sudah ada di masyarakat, hanya saja terselubung.
Sade dalam Budaya Populer
Pengaruh Sade meluas ke dunia seni dan film. Dari film *Marat/Sade* karya Peter Weiss (yang menggambarkan Sade menyutradarai drama di Charenton) hingga film-film kontroversial yang secara langsung mengadaptasi naskahnya (*Salò, or the 120 Days of Sodom* karya Pier Paolo Pasolini), Sade terus menjadi inspirasi—atau provokasi. Adaptasi sinematik ini sering berfokus pada kritik sosial yang mendasarinya: bagaimana kekuasaan absolut (fasisme, kapitalisme) mengarah pada dehumanisasi dan kekejaman yang sistematis, sangat mirip dengan yang digambarkan dalam kastil Silling.
Sade berfungsi sebagai titik fokus bagi siapa pun yang tertarik pada batas-batas ekstrem. Ia adalah bayangan gelap dari Pencerahan—bukti bahwa akal yang dilepaskan dari moralitas tradisional tidak harus mengarah pada kebaikan, tetapi dapat mengarah pada pembenaran yang paling mengerikan.
Pada akhirnya, Sade adalah monumen bagi kebebasan mutlak yang mengerikan. Ia memaksa kita untuk merenungkan: jika manusia benar-benar bebas, dan jika Alam tidak menyediakan panduan moral apa pun, seberapa jauh egoisme rasional kita akan membawa kita? Jawaban Sade sangat mengganggu: ia akan membawa kita ke 120 Hari Sodom, ke dunia di mana kesenangan terbesar adalah kehancuran orang lain, dan di mana kejahatan adalah satu-satunya bentuk kebenaran yang konsisten.
Penelitian dan pembacaan atas karya-karya Marquis de Sade adalah perjalanan yang tidak nyaman, sebuah eksplorasi ke dalam jurang terdalam dari potensi manusia. Ia tetap relevan karena masyarakat, terlepas dari kemajuan, terus-menerus menghadapi pertanyaan tentang kekuasaan, penyalahgunaan, dan transgresi. Selama masyarakat masih memiliki tabu, tulisan Sade akan terus berfungsi sebagai provokasi filosofis yang paling kuat, mendesak kita untuk menghadapi apa yang kita takuti tentang kebebasan kita sendiri.
Lebih jauh lagi, pemahaman atas konteks historis Sade sangat penting. Ia hidup di persimpangan era—antara kemewahan aristokrasi yang dekaden dan kekerasan rasional Revolusi. Ia mengartikulasikan rasa jenuh dan kemuakan yang dirasakan oleh kelasnya, yang tahu bahwa otoritas tradisional mereka akan segera runtuh. Karya-karyanya dapat dilihat sebagai teriakan terakhir dari seorang aristokrat yang menggunakan sisa-sisa kekuasaan sosialnya untuk memproklamasikan kebebasan diri yang begitu ekstrem sehingga ia menghancurkan dirinya sendiri dan moralitas publik secara simultan.
Dalam karya-karya akhir Sade, seperti novel Aline et Valcour, ia menunjukkan kapasitas untuk menulis secara konvensional, bahkan moralistik, yang menunjukkan bahwa kekerasan eksplisit dalam karya-karya lain adalah pilihan sadar dan metodis, bukan sekadar ketidakmampuan untuk menulis dengan cara lain. Ini memperkuat pandangan bahwa proyek Sade adalah sebuah eksperimen filosofis yang disajikan dalam bentuk narasi—ia menguji hipotesis tergelapnya tentang sifat manusia dan Alam, menggunakan tubuh dan penderitaan sebagai parameter penelitiannya.
Setiap era telah mencoba 'membakar' atau mengabaikan Sade, namun setiap kali, ia muncul kembali, lebih relevan dan lebih menantang. Hal ini karena pertanyaannya adalah abadi: apakah ada dasar absolut untuk moralitas? Dan jika tidak, apa yang mencegah kita untuk menjadi libertine Sadean yang sepenuhnya rasional dan sepenuhnya kejam? Sade tidak memberikan solusi, ia hanya memaparkan konsekuensi dari keruntuhan metafisika, meninggalkan pembaca sendirian untuk menanggapi kebebasan yang menakutkan itu.
Meskipun istilah ‘Baron de Sade’ sering disalahgunakan dalam konteks populer, fokus harus selalu kembali kepada ‘Marquis’ Donatien Alphonse François de Sade—pria yang, dari penjara dingin di Prancis, meluncurkan serangan filosofis terlama dan paling brutal terhadap fondasi peradaban Barat. Warisannya adalah cetak biru bagi setiap revolusioner budaya dan setiap nihilist yang datang setelahnya.
Analisis karya Justine yang lebih mendalam mengungkapkan bahwa Sade tidak hanya menyajikan penderitaan sebagai nasib pahlawan wanita yang saleh; ia menggunakan Justine sebagai kambing hitam filosofis. Setiap kali Justine menderita, para libertine yang menyiksanya mendapatkan amunisi baru untuk argumen mereka: jika Kebajikan benar-benar dilindungi oleh Tuhan atau Alam, mengapa Justine terus-menerus dihukum? Kegagalan Kebajikan untuk bertahan hidup adalah bukti nyata bagi para libertine bahwa Kebajikan adalah ilusi yang tidak memiliki tempat di dunia nyata. Ini adalah studi tentang teodisi yang terbalik—bukan membenarkan Tuhan di hadapan kejahatan, tetapi membenarkan Kejahatan di hadapan ketiadaan Tuhan.
Sebaliknya, karakter Juliette, yang menikmati kemakmuran Kejahatan, berfungsi sebagai model pragmatis bagi filsafat Sade. Juliette tidak hanya melakukan kejahatan, ia berkolaborasi dengan kekuatan kekaisaran dan gerejawi, membuktikan bahwa institusi yang berpura-pura bermoral adalah yang paling korup dan kejam. Kesenangan Juliette datang dari pengakuan bahwa ia adalah agen yang lebih efektif di dunia nyata daripada Justine. Ia menguasai hukum kekuasaan, dan dengan demikian, ia memenangkan permainan sosial dan biologis.
Kepadatan filosofis yang ditemukan dalam monolog-monolog Sade juga menuntut pembacaan yang cermat. Ketika Duc de Blangis dalam 120 Hari Sodom merenungkan cara terbaik untuk mencapai kenikmatan dari kekejaman, ia tidak hanya berbicara tentang sensasi; ia berbicara tentang transendensi. Kenikmatan ekstrem adalah upaya untuk melampaui batas-batas tubuh dan kesadaran, untuk mencapai semacam kesatuan nihilistik dengan Alam yang destruktif. Kekejaman adalah ritual metafisik yang dirancang untuk menguji batas-batas diri dan orang lain, sebuah tindakan keberanian filosofis di hadapan kekosongan.
Pengaruh Sade pada penulisan modern sangat besar, meskipun sering tidak diakui secara langsung. Penulis yang mengeksplorasi batas-batas narasi, kekerasan, dan seksualitas, dari Bataille hingga Burroughs, berutang budi pada Sade karena ia pertama kali membuka pintu bagi kemungkinan bahwa teks dapat menjadi medan perang bagi ide-ide yang paling tidak bermoral. Ia menunjukkan bahwa sastra tidak harus menghibur atau mendidik, tetapi dapat berfungsi sebagai katalog kejahatan yang dingin dan tidak menghakimi, memaksa pembaca untuk menghadapi hasrat mereka sendiri yang tertekan. Eksplorasi mendalam atas kehidupan dan karya Baron de Sade, atau lebih tepatnya Marquis de Sade, adalah sebuah keharusan bagi siapa pun yang ingin memahami dialektika kebebasan dan kekejaman dalam sejarah pemikiran Barat.
Sade bukanlah sekadar anomali; ia adalah cerminan yang dibengkokkan namun akurat dari zamannya sendiri—sebuah era yang memuja Akal tetapi menghasilkan Teror, yang mendambakan Kebebasan tetapi memaksakan moralitas yang kaku. Pria yang menghabiskan sepertiga hidupnya di balik jeruji besi ini berhasil melepaskan ide-ide yang terus-menerus menghantui masyarakat, membuktikan bahwa bahkan dalam isolasi total, kekuatan tulisan dan filosofi transgresif dapat melampaui tembok Bastille dan terus mengguncang dunia.
Kontribusi Sade yang paling mengganggu terletak pada kemampuannya untuk menggunakan logika Pencerahan—alat yang seharusnya digunakan untuk membebaskan dan mencerahkan—untuk mencapai kesimpulan yang paling gelap: pembenaran total atas egoisme, kekejaman, dan penolakan terhadap empati. Ini adalah alasan mengapa karyanya akan selalu sulit untuk diakomodasi oleh budaya yang mengklaim diri beradab: Sade adalah filsuf yang, dengan kejam, menunjukkan harga penuh kebebasan tanpa batasan ilahi.
Kita harus menutup dengan pengakuan bahwa, meskipun nama Sade sering digunakan secara longgar, sadisme dalam konteks klinis jauh lebih sempit daripada filosofi Sade. Filosofi Sadean adalah tantangan total terhadap moralitas, sementara sadisme klinis adalah deviasi seksual. Memisahkan keduanya—sambil mengakui bahwa Sade adalah inspirasi untuk istilah tersebut—memungkinkan kita untuk menghargai kedalaman kritik sosial dan metafisik yang tertanam dalam naskah-naskahnya yang penuh kekejaman dan detail, menjadikannya salah satu penulis yang paling mengerikan dan paling penting dalam sejarah sastra dunia.