Musim tersebut dibuka dengan optimisme yang membara di kalangan suporter Laskar Antasari. Sejarah klub yang kaya, dipadukan dengan ambisi manajemen untuk menembus papan atas, menempatkan klub asal Kalimantan ini di bawah sorotan tajam. Pendekatan manajemen dalam memperkuat skuad dilakukan secara masif, menggabungkan talenta lokal yang sudah teruji dengan rekrutan asing berkualitas tinggi. Harapannya jelas: klub tidak lagi hanya menjadi kuda hitam, melainkan kontender sejati.
Namun, sepak bola seringkali menyajikan drama yang tak terduga. Masa pramusim yang relatif menjanjikan tidak serta merta diterjemahkan menjadi performa konsisten di liga. Beberapa pertandingan awal justru menghasilkan hasil minor yang mengejutkan, memunculkan kekhawatiran di benak pendukung setia. Kekalahan tipis, hasil imbang yang seharusnya bisa dimenangkan, dan terutama kesulitan mencetak gol di kandang sendiri, menjadi narasi utama di putaran awal kompetisi.
Analisis mendalam menunjukkan bahwa permasalahan utama pada fase ini bukanlah ketiadaan kualitas individu, melainkan ketidakseimbangan struktural dan transisi taktis yang belum sepenuhnya matang. Pelatih kepala saat itu, menghadapi tantangan besar untuk menyatukan filosofi permainannya dengan karakter alami para pemain kunci. Kehadiran sejumlah pemain bintang dengan profil serangan yang kuat seringkali meninggalkan lubang di lini tengah dan pertahanan, terutama saat transisi dari menyerang ke bertahan dilakukan dengan lambat.
Tekanan semakin meningkat seiring berjalannya pekan. Bursa transfer paruh musim mulai menjadi topik hangat jauh sebelum jendela dibuka, menandakan adanya indikasi kuat bahwa manajemen tengah mencari solusi cepat untuk mengatasi performa yang jauh di bawah standar. Loyalitas suporter, yang dikenal fanatik, mulai diuji. Mereka tetap memadati stadion, namun desakan untuk perubahan radikal, baik di komposisi pemain maupun staf kepelatihan, semakin lantang terdengar.
Krisis performa ini memaksa tim untuk melakukan introspeksi mendalam. Bukan hanya soal teknik, tetapi juga aspek mental dan kekompakan tim. Keputusan-keputusan sulit mulai diambil, yang pada akhirnya akan mengubah wajah tim secara drastis di pertengahan kompetisi. Periode ini menjadi titik balik, sebuah katalis yang menentukan arah perjalanan klub hingga akhir musim yang penuh gejolak tersebut.
Semangat Laskar Antasari. Fondasi yang kokoh diperlukan untuk menghadapi setiap tantangan kompetisi.
Kekuatan klub pada musim yang dinamis tersebut sangat bergantung pada harmonisasi antara pemain-pemain senior yang telah lama mengabdi dan para pemain yang baru didatangkan dengan reputasi besar. Di antara nama-nama yang menjadi sorotan, beberapa memiliki peran sentral yang tak tergantikan, baik sebagai pengatur ritme permainan maupun sebagai sumber utama gol.
Keberadaan Rizky Pora adalah jantung emosional tim. Sebagai kapten, pengaruhnya melampaui statistik. Perannya di sisi sayap kiri sangat eksplosif. Kecepatan, kemampuan menggiring bola, dan umpan silang yang akurat menjadikannya mimpi buruk bagi bek sayap lawan. Di masa-masa sulit, Pora seringkali menjadi penyuntik semangat dan inspirator, menunjukkan etos kerja tanpa lelah di setiap pertandingan, baik saat tim berada di atas maupun ketika terpuruk di dasar klasemen. Fleksibilitasnya juga krusial; ia dapat berfungsi sebagai bek sayap yang agresif dalam formasi lima bek, atau sebagai sayap murni dalam skema empat penyerang.
Kedatangan Evan Dimas menjadi salah satu transfer paling signifikan. Ia diharapkan menjadi 'otak' permainan, mengatur tempo, dan mendistribusikan bola dari lini kedua. Awalnya, ia kesulitan menemukan ritme terbaik di tengah perubahan taktis yang sering terjadi. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah terjadi perubahan pelatih, peran Evan mulai menemukan bentuknya yang ideal. Ia menjadi jangkar yang tenang, mampu memecah tekanan lawan dengan umpan-umpan vertikal yang mematikan. Kontribusinya sangat vital dalam memenangkan duel di lini tengah, sebuah aspek yang seringkali luput dari perhatian, namun menjadi fondasi keberhasilan transisi tim.
Ketika tim mengalami kesulitan mencetak gol, manajemen bergerak cepat di bursa transfer. Kedatangan penyerang asal Brasil, Rafael Silva, terbukti menjadi titik balik. Silva bukanlah tipe striker target man konvensional; ia memiliki pergerakan cerdas, penyelesaian akhir yang klinis, dan kemampuan menahan bola yang mumpuni. Dampaknya terasa instan. Kehadirannya tidak hanya menambah daya gedor, tetapi juga membuka ruang bagi pemain sayap seperti Pora dan pemain pelapis lainnya. Gol-gol krusialnya seringkali menjadi penentu kemenangan tipis, mengangkat moral tim dan menjauhkan mereka dari zona berbahaya.
Di samping trio kunci tersebut, Bayu Pradana memberikan stabilitas yang dibutuhkan di lini tengah pertahanan, berperan sebagai gelandang perusak yang gigih. Sementara itu, Francisco Torres, yang datang dengan ekspektasi besar, melalui periode yang penuh tantangan. Meskipun sempat kesulitan beradaptasi, kualitas teknisnya tetap tak terbantahkan, dan ia beberapa kali mencetak gol penting, membuktikan bahwa kedalaman skuad memang berkualitas tinggi. Kombinasi veteran lokal dan legiun asing ini menjadi pondasi utama yang memungkinkan tim untuk bangkit dari keterpurukan.
Salah satu ciri paling menonjol dari musim tersebut adalah dinamika yang terjadi di kursi pelatih. Tekanan hasil yang buruk di putaran awal memaksa manajemen untuk mengambil keputusan cepat. Stabilitas pelatih, yang seringkali menjadi kunci sukses sebuah tim, terganggu oleh serangkaian pergantian. Setiap pergantian ini tidak hanya membawa wajah baru di pinggir lapangan, tetapi juga perubahan filosofi dan sistem permainan, yang tentu saja memerlukan adaptasi dari para pemain.
Pelatih yang mengawali musim, meskipun memiliki reputasi mentereng dan pengalaman panjang di sepak bola nasional, gagal menemukan formula yang pas. Transisi dari masa pramusim ke kompetisi resmi terasa berat. Gaya bermain yang diterapkan dinilai terlalu kaku dan mudah diantisipasi oleh lawan. Kekalahan beruntun, terutama di kandang, membuat posisi pelatih tersebut tidak dapat dipertahankan. Manajemen harus bertindak cepat demi menyelamatkan posisi tim di klasemen. Keputusan ini, walau menyakitkan, dianggap perlu untuk memberikan suntikan motivasi baru.
Setelah perpisahan dengan pelatih awal, klub menunjuk pelatih internal untuk mengisi kekosongan sementara (caretaker). Periode transisi ini, yang dipimpin oleh staf lokal, seringkali menjadi periode krusial. Tugas caretaker bukan hanya memimpin tim di lapangan, tetapi juga menenangkan ruang ganti dan mengembalikan kepercayaan diri pemain yang sempat hilang. Meskipun hasilnya tidak selalu sempurna, periode ini berhasil menstabilkan performa tim, memberikan sedikit waktu bagi manajemen untuk mencari pengganti permanen yang paling ideal.
Kedatangan Jacksen F. Tiago menjadi salah satu momen paling menentukan. Jacksen, yang dikenal karena kemampuannya dalam memotivasi pemain dan membangun kembali mentalitas juara, langsung menerapkan sistem yang lebih fleksibel dan berorientasi menyerang. Ia mengubah formasi dasar, memberikan kebebasan lebih kepada pemain kunci di lini serang, dan yang terpenting, ia berhasil menanamkan kembali kepercayaan diri. Di bawah kepemimpinannya, Barito mulai menunjukkan permainan yang lebih cair, efektif dalam memanfaatkan lebar lapangan, dan lebih solid dalam bertahan.
Filosofi Jacksen yang menekankan pada kekuatan fisik, disiplin taktis, dan semangat pantang menyerah, secara perlahan mengubah Barito dari tim yang mudah menyerah menjadi tim yang sulit dikalahkan. Transformasi ini tidak terjadi dalam semalam. Diperlukan kerja keras yang luar biasa dalam sesi latihan, penekanan pada detail-detail kecil, dan analisis mendalam terhadap kelemahan lawan. Kehadirannya bukan hanya perubahan pelatih, melainkan sebuah revolusi mental yang mendefinisikan paruh kedua musim.
Perbedaan signifikan terlihat antara pendekatan pelatih awal dan Jacksen. Pelatih awal cenderung bermain hati-hati dan berbasis penguasaan bola yang steril, sementara Jacksen lebih pragmatis, fokus pada kecepatan transisi dan efisiensi serangan. Transisi ini menunjukkan bahwa pada akhirnya, Barito menemukan identitas mereka dalam bermain sepak bola yang cepat, memanfaatkan kecepatan Pora dan naluri gol striker baru mereka. Revolusi pelatih ini membuktikan bahwa faktor non-teknis seperti motivasi dan psikologi sangat menentukan dalam kompetisi dengan tingkat tekanan tinggi.
Paruh pertama kompetisi berakhir dengan Barito berada di posisi yang sangat mengkhawatirkan. Ancaman degradasi terasa nyata, dan setiap pertandingan terasa seperti final. Namun, dengan masuknya pelatih baru dan beberapa wajah baru yang segar di bursa transfer, cerita Laskar Antasari berubah total. Periode ini adalah demonstrasi luar biasa tentang ketahanan, adaptasi, dan kekuatan mental kolektif sebuah tim.
Manajemen belajar dari kesalahan di awal musim. Transfer putaran kedua difokuskan untuk menambal lubang yang paling terasa: lini depan dan kedalaman lini tengah. Kedatangan Rafael Silva adalah masterstroke. Dengan segera, beban mencetak gol yang sebelumnya terbagi rata namun tidak efektif, kini terfokus pada striker Brasil tersebut. Ini memungkinkan pemain lain, seperti Rizky Pora, kembali ke peran alaminya sebagai kreator dan penyedia umpan silang mematikan.
Jacksen F. Tiago seringkali bereksperimen dengan formasi, namun ia menemukan stabilitas terbaiknya dalam skema yang menekankan pada keseimbangan antara pertahanan solid dan serangan balik cepat, seringkali menggunakan formasi 4-3-3 atau varian 4-2-3-1. Kunci dari formasi ini adalah peran ganda para gelandang bertahan, yang harus mampu melindungi empat bek sekaligus menjadi inisiator serangan cepat. Bayu Pradana dan Evan Dimas menjadi poros vital dalam menjalankan peran taktis yang menuntut intensitas tinggi ini.
Transformasi taktis menjadi kunci kebangkitan tim di putaran kedua kompetisi. Fokus pada keseimbangan lini.
Momen kebangkitan ini ditandai dengan serangkaian kemenangan dramatis, beberapa di antaranya diraih di kandang lawan yang sangat sulit. Kemenangan-kemenangan ini tidak hanya menambah tiga poin, tetapi juga mengikis kepercayaan diri tim-tim pesaing di zona degradasi. Mentalitas bertanding tim berubah 180 derajat. Di bawah asuhan Jacksen, Barito tampil lebih garang, lebih percaya diri dalam melakukan tekanan tinggi, dan jauh lebih efisien dalam memaksimalkan peluang.
Pertandingan yang paling menonjol adalah saat mereka berhasil membalikkan keadaan setelah tertinggal dua gol. Kemenangan tersebut menjadi simbol bahwa tim telah menemukan kembali karakter Laskar Antasari yang dikenal gigih. Rafael Silva, yang sering mencetak gol di menit-menit akhir, menjadi pahlawan tak terduga yang secara konsisten memberikan hasil positif. Setiap poin yang diraih terasa monumental, memastikan jarak aman dari jurang degradasi terus terjaga.
Kebangkitan ini terjadi di tengah jadwal yang sangat padat dan melelahkan, menguji kedalaman skuad. Pemain-pemain yang sebelumnya jarang mendapat kesempatan, seperti beberapa pemain muda lokal, mulai menunjukkan kontribusi signifikan, membuktikan bahwa Jacksen berhasil merotasi skuad tanpa mengorbankan kualitas. Stabilitas pertahanan, yang dipimpin oleh pemain asing tangguh di jantung pertahanan, juga menjadi faktor penentu, mengurangi jumlah kebobolan secara drastis dibandingkan dengan paruh pertama musim.
Kebangkitan dramatis ini mengubah total narasi musim tersebut. Dari tim yang dianggap akan berjuang hingga detik terakhir untuk bertahan, Barito bertransformasi menjadi tim yang memainkan peran sebagai penentu nasib tim-tim lain, mengakhiri musim dengan martabat dan menegaskan bahwa kekuatan sejati mereka terletak pada kemampuan bangkit dari kesulitan.
Analisis taktis terhadap Laskar Antasari pada periode kebangkitan menunjukkan pergeseran filosofi yang signifikan, dari dominasi bola yang lambat menjadi fokus pada efisiensi vertikal. Filosofi Jacksen Tiago menekankan pada pragmatisme: bermain aman di lini belakang, mendominasi di area vital (bukan hanya penguasaan bola total), dan memanfaatkan kecepatan tinggi saat transisi menyerang.
Dalam skema 4-3-3 atau 4-2-3-1, peran bek sayap sangat krusial. Mereka tidak hanya bertugas bertahan, tetapi juga diinstruksikan untuk naik tinggi, berfungsi hampir sebagai sayap tambahan saat menyerang. Hal ini menciptakan superioritas jumlah di sisi lapangan, memungkinkan Rizky Pora untuk lebih sering bergerak ke tengah atau menukik masuk ke kotak penalti. Namun, peran agresif ini memerlukan dukungan disiplin dari gelandang bertahan. Bayu Pradana, misalnya, harus sering mundur ke posisi bek tengah saat salah satu bek sayap maju, menciptakan pertahanan sementara dengan skema tiga bek.
Salah satu perubahan mendasar yang dibawa adalah peningkatan intensitas pressing. Tim mulai menekan lawan lebih tinggi di lapangan, khususnya ketika lawan mencoba membangun serangan dari belakang. Tujuannya adalah memenangkan bola di sepertiga tengah dan langsung melancarkan serangan cepat. Evan Dimas, meskipun bukan tipikal gelandang perusak, sangat efektif dalam memotong jalur umpan, sedangkan gelandang lain bertugas melakukan tekel keras dan memenangkan duel fisik. Strategi ini mengurangi tekanan pada lini pertahanan dan menciptakan banyak peluang gol dari situasi transisi.
Kehadiran striker yang efektif sangat mengubah dimensi serangan. Sebelum kedatangan Silva, serangan seringkali mandek karena ketiadaan pemain yang mampu menahan bola di lini depan atau membuat pergerakan vertikal yang cerdas di antara bek lawan. Silva mengisi kekosongan ini. Ia sering kali turun sedikit ke bawah untuk menerima bola, menarik bek lawan, dan menciptakan ruang lari bagi pemain sayap yang cepat seperti Pora atau pemain pengganti lainnya. Perannya sebagai ‘Poacher’ (pemangsa) sangat jelas; ia tidak memerlukan banyak sentuhan, hanya peluang yang klinis.
Di awal musim, Barito dikenal rentan terhadap gol dari situasi bola mati. Ini adalah masalah struktural yang seringkali diabaikan. Di putaran kedua, Jacksen dan stafnya fokus memperbaiki organisasi pertahanan set-piece. Pemain ditugaskan untuk menjaga zona dan man-to-man secara lebih ketat, didukung oleh komunikasi yang lebih baik dari penjaga gawang senior. Peningkatan signifikan dalam hal ini memastikan bahwa poin-poin krusial tidak hilang karena kesalahan elementer di menit-menit penting.
Keseluruhan analisis taktis menunjukkan bahwa keberhasilan Barito Putera pada periode kritis ini bukan sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari adaptasi cerdas, keberanian pelatih untuk membuat perubahan radikal, dan disiplin pemain dalam menjalankan instruksi yang menuntut fisik dan konsentrasi tinggi. Filosofi bermain yang lebih pragmatis dan efisien adalah kunci utama keberhasilan mereka menjauh dari zona degradasi.
Sejak awal berdirinya kembali, Laskar Antasari memiliki komitmen kuat terhadap pengembangan bakat lokal, khususnya dari wilayah Kalimantan Selatan. Musim tersebut menjadi bukti nyata betapa pentingnya peran pemain-pemain muda yang berasal dari akademi klub atau yang memiliki ikatan emosional kuat dengan daerah tersebut. Mereka tidak hanya mengisi kuota pemain, tetapi juga memberikan kontribusi substansial di saat-saat paling genting.
Regulasi yang mendorong penggunaan pemain muda menjadi berkah bagi Barito. Beberapa pemain belia yang dipromosikan mampu memanfaatkan peluang tersebut. Mereka membawa energi baru, kecepatan tanpa batas, dan semangat yang belum terbebani tekanan. Dalam pertandingan-pertandingan yang menguras fisik, kontribusi mereka sebagai pemain pengganti seringkali menjadi pembeda. Kehadiran mereka memaksa pemain senior untuk terus berada pada level tertinggi, menciptakan persaingan sehat di setiap posisi.
Pemain lokal, terutama yang berasal dari Banjarmasin atau sekitarnya, membawa identitas yang tak ternilai harganya bagi tim. Ikatan emosional mereka dengan suporter sangat kuat. Ketika tim sedang terpuruk, suara-suara lokal inilah yang seringkali menjadi penyeimbang, mengingatkan rekan satu tim mereka tentang arti lambang di dada dan harapan masyarakat yang mereka wakili. Dalam pertandingan kandang, performa mereka seringkali meningkat drastis, didorong oleh dukungan Bartman yang militan.
Komitmen pada pengembangan bakat muda lokal adalah investasi jangka panjang klub.
Fokus pada pemain lokal juga menunjukkan keberhasilan sistem pembinaan usia muda. Meskipun hasilnya mungkin tidak terlihat instan, kehadiran talenta-talenta ini memberikan optimisme tentang masa depan klub. Mereka belajar dari senior-senior yang berpengalaman internasional, menyerap ilmu taktis, dan terbiasa dengan tekanan kompetisi profesional sejak usia dini. Investasi ini menjamin bahwa Barito akan selalu memiliki fondasi yang kuat, tidak bergantung sepenuhnya pada fluktuasi pasar transfer. Ini adalah model yang patut dicontoh dalam membangun klub sepak bola yang tidak hanya sukses di lapangan, tetapi juga mengakar kuat pada komunitasnya.
Dalam sepak bola modern, suporter adalah bagian integral dari identitas dan performa sebuah klub. Bagi Laskar Antasari, Bartman—julukan untuk kelompok suporter utama—bukan sekadar penonton, melainkan kekuatan pendorong yang seringkali menjadi penentu hasil pertandingan, terutama di stadion kebanggaan mereka.
Di paruh pertama musim, ketika tim terus menerus gagal meraih hasil maksimal, dukungan Bartman diuji secara ekstrem. Wajar jika muncul rasa frustrasi, namun yang luar biasa adalah kesetiaan mereka. Meskipun hasil buruk beruntun, stadion tetap dipenuhi, nyanyian dan koreografi tetap disajikan. Dukungan yang konsisten ini sangat penting bagi pemain, membuktikan bahwa meskipun ada kritik, dukungan terhadap lambang klub tidak pernah pudar.
Tekanan yang mereka berikan ke manajemen dan tim pelatih memang nyata, namun setelah perubahan terjadi, energi tersebut disalurkan menjadi dukungan positif yang masif. Transisi dari frustrasi menjadi harapan adalah kunci yang membantu mengangkat mental pemain saat mereka sangat membutuhkan dukungan.
Ketika Barito mulai menemukan ritme dan meraih kemenangan, atmosfer di stadion menjadi salah satu yang paling intimidatif di liga. Suara gemuruh Bartman, yang berpadu dengan teriakan dukungan, menciptakan lingkungan yang sulit bagi tim tamu mana pun untuk meraih poin. Ini adalah keuntungan taktis yang sering kali tidak tercatat dalam statistik, namun sangat dirasakan oleh para pemain di lapangan.
Dukungan di laga tandang juga tak kalah penting. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak di kandang, kehadiran Bartman di stadion-stadion luar Kalimantan memberikan motivasi ekstra. Para pemain merasa bahwa mereka tidak pernah sendirian dalam perjuangan, sebuah sentimen yang sangat berharga ketika tekanan kompetisi mencapai puncaknya.
Klub ini adalah simbol kebanggaan bagi Kalimantan Selatan. Bartman mewakili komunitas tersebut, dan melalui dedikasi mereka, mereka menegaskan bahwa klub adalah milik rakyat. Ini menciptakan ikatan yang lebih dalam antara pemain (terutama yang lokal) dan para pendukung. Di akhir musim, ketika tim berhasil mengamankan posisi aman, perayaan yang dilakukan oleh Bartman bukan hanya sekadar merayakan hasil, tetapi juga merayakan ketahanan dan kesabaran yang mereka tunjukkan sepanjang perjalanan yang penuh drama tersebut.
Periode kompetisi tersebut, meskipun dipenuhi kesulitan dan perubahan yang drastis, meninggalkan warisan penting bagi struktur klub Laskar Antasari. Ini adalah musim yang mengajarkan nilai adaptasi, pentingnya pengambilan keputusan yang tegas, dan kekuatan intrinsik yang dimiliki tim ketika semua elemen—pemain, pelatih, dan manajemen—bekerja dalam satu kesatuan visi.
Musim tersebut mengajarkan bahwa nama besar dan skuad bertabur bintang tidak menjamin kesuksesan jika filosofi tim tidak selaras dengan karakter pemain. Kesulitan di awal musim membuktikan bahwa harmonisasi taktis membutuhkan waktu, dan jika waktu tidak tersedia, perlu ada keberanian untuk melakukan koreksi cepat. Manajemen belajar bahwa pragmatisme seringkali lebih penting daripada idealismenya dalam kompetisi yang sangat ketat.
Keberhasilan di putaran kedua, yang dipimpin oleh Jacksen F. Tiago, memberikan dasar yang kuat untuk musim-musim berikutnya. Jacksen membuktikan dirinya sebagai arsitek yang mampu membangun mentalitas pemenang dari puing-puing kekecewaan. Pondasi ini bukan hanya tentang taktik 4-3-3, tetapi tentang budaya kerja keras, disiplin, dan kepercayaan diri yang ditanamkan secara mendalam pada setiap individu di tim.
Periode ini juga menyoroti pentingnya kebijakan transfer yang efisien. Kegagalan beberapa pemain asing di awal musim diimbangi dengan kesuksesan rekrutan paruh musim. Ini menegaskan bahwa klub harus lebih cerdas dalam memetakan kebutuhan tim, tidak hanya bergantung pada reputasi, melainkan pada kecocokan pemain dengan sistem yang akan diterapkan. Kemandirian finansial klub yang stabil memungkinkan mereka untuk membuat keputusan cepat di bursa transfer, yang merupakan aset besar dalam kompetisi liga yang panjang.
Meskipun musim tersebut diakhiri dengan posisi yang aman di papan tengah, pencapaian sesungguhnya adalah kebangkitan mental dan struktural. Barito Putera keluar dari periode tersebut sebagai tim yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap untuk menghadapi tantangan di masa depan. Warisan terbesar dari periode penuh drama ini adalah penemuan kembali karakter sejati Laskar Antasari: pantang menyerah, gigih, dan selalu didukung oleh semangat membara dari Banjarmasin.
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana Laskar Antasari berhasil bangkit, kita harus membedah kontribusi individu yang melampaui statistik gol dan assist. Dalam masa krisis, beberapa pemain menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa, memikul beban tim di pundak mereka, dan menjadi contoh bagi rekan-rekan muda.
Selain peran Rizky Pora sebagai kapten resmi, ada beberapa figur lain yang memimpin dari lini mereka masing-masing. Di pertahanan, pemain asing senior yang solid menjadi pilar komunikasi, mengorganisir empat bek di bawah tekanan konstan. Kepemimpinannya seringkali bersifat verbal dan gestural, memastikan tidak ada celah konsentrasi, sebuah hal yang krusial mengingat banyak gol di awal musim terjadi karena miskomunikasi.
Di lini tengah, Evan Dimas, dengan ketenangan khasnya, bertindak sebagai pemimpin taktis. Saat tim panik, bola selalu diarahkan kepadanya. Kemampuannya untuk menahan bola, mencari opsi umpan terbaik, dan meredam tempo permainan selama beberapa detik sangat vital untuk mengembalikan kontrol. Ini adalah jenis kepemimpinan yang tenang, namun sangat efektif dalam menetralkan tekanan lawan. Perannya sebagai 'Deep-Lying Playmaker' menjadi lebih menonjol di bawah Jacksen, di mana ia diberikan kebebasan untuk mengatur orkestrasi serangan dari kedalaman.
Peran Bayu Pradana juga tak bisa diabaikan. Sebagai gelandang bertahan, ia adalah 'penghancur' lini tengah lawan. Dengan statistik tekel dan intersepsi yang tinggi, ia menyediakan perisai yang sangat dibutuhkan di depan bek tengah. Kehadirannya memastikan bahwa skema serangan balik cepat lawan seringkali terhenti di kakinya. Kerja kerasnya, meskipun sering tidak mendapatkan sorotan utama, adalah fondasi kebangkitan tim.
Data menunjukkan adanya perubahan drastis dalam metrik performa setelah pergantian pelatih dan kedatangan striker baru. Rata-rata tembakan per pertandingan tim meningkat, namun yang lebih penting adalah peningkatan persentase tembakan tepat sasaran (Shots on Target Ratio). Ini menunjukkan efisiensi yang lebih baik, bukan hanya kuantitas. Rafael Silva, misalnya, memiliki rasio konversi peluang yang jauh lebih tinggi dibandingkan striker sebelumnya, membuktikan bahwa fokus pada kualitas peluang, bukan hanya jumlahnya, adalah kunci.
Selain itu, terjadi peningkatan signifikan dalam jarak tempuh (distance covered) per pertandingan. Ini mengindikasikan bahwa pemain menerapkan intensitas fisik yang lebih tinggi, sejalan dengan permintaan taktis dari pelatih baru. Peningkatan fisik ini memungkinkan mereka untuk mempertahankan tekanan tinggi selama 90 menit penuh, memenangkan duel-duel fisik di menit akhir, yang mana seringkali menjadi penentu kemenangan tipis.
Keseimbangan antara sayap kiri dan kanan juga diperbaiki. Jika di awal musim serangan terlalu terpusat di sisi Rizky Pora, putaran kedua menunjukkan pemerataan serangan yang lebih baik. Adanya bek sayap kanan yang lebih berani naik dan pemain sayap kanan yang mampu menusuk ke dalam (cut inside) memberikan variasi serangan yang membuat pertahanan lawan kesulitan. Variasi ini membuat Pora tidak lagi menjadi satu-satunya titik fokus pertahanan lawan, memberikan kebebasan dan ruang lebih baginya untuk berkreasi.
Pembelajaran dari periode sulit ini adalah bahwa Barito Putera adalah tim yang berhasil ketika mereka menemukan harmoni antara kreativitas individu dan disiplin kolektif. Krisis yang melanda di awal musim justru menjadi proses eliminasi alami yang memaksa tim untuk mempertahankan hanya elemen-elemen yang paling efektif dan adaptif.
Salah satu tantangan terbesar Barito Putera pada periode kompetisi yang penuh gejolak adalah menghadapi tim-tim papan atas yang memiliki konsistensi tinggi. Strategi yang diterapkan Jacksen F. Tiago dalam laga-laga besar ini seringkali berbeda dari taktik yang digunakan melawan tim-tim di sekitar zona degradasi. Ini menunjukkan kedalaman pemikiran taktis dan kemampuan adaptasi yang tinggi.
Melawan tim-tim yang dominan dalam penguasaan bola, Jacksen menerapkan 'Medium Block' atau blok pertahanan menengah. Tim akan bertahan dengan garis pertahanan yang sedikit lebih rendah, namun sangat kompak. Tujuannya bukan untuk merebut bola di garis tertinggi, melainkan untuk memblok jalur umpan kunci lawan dan memaksa mereka melakukan umpan ke sayap atau umpan silang yang mudah diantisipasi. Kepatuhan defensif dari para gelandang dan penyerang sangat diperlukan; mereka harus cepat turun membantu pertahanan, memadatkan ruang di lini tengah, dan membiarkan lawan menguasai bola di area yang tidak berbahaya.
Dalam skema ini, peran dua gelandang bertahan (seperti Bayu dan Evan dalam peran defensif) sangat vital. Mereka harus menjaga jarak antar lini (antara bek dan gelandang) agar tidak tercipta ruang tembak dari luar kotak penalti. Fokus utamanya adalah menghilangkan ancaman penyerang lawan dan membuat frustrasi para kreator lawan.
Kunci untuk meraih poin dari tim papan atas terletak pada serangan balik. Begitu bola berhasil direbut, transisi harus dilakukan secepat mungkin, biasanya melalui umpan vertikal panjang langsung ke Rafael Silva atau melalui kecepatan Rizky Pora di sayap. Transisi ini memanfaatkan momen ketika pertahanan lawan sedang naik atau belum sempat kembali ke posisinya. Silva, dengan naluri posisionalnya, menjadi titik fokus penerima umpan cepat ini.
Terkadang, transisi ini hanya melibatkan tiga hingga empat sentuhan. Kuncinya adalah akurasi umpan pertama setelah merebut bola. Jika umpan pertama gagal, momentum serangan balik akan hilang. Oleh karena itu, sesi latihan seringkali difokuskan pada skenario transisi cepat, memastikan pemain secara otomatis tahu ke mana harus bergerak setelah bola direbut.
Laga besar seringkali diwarnai intensitas emosional yang tinggi. Jacksen sangat menekankan disiplin. Di awal musim, tim sering kehilangan pemain kunci karena kartu merah atau akumulasi kartu kuning yang tidak perlu. Di putaran kedua, terjadi perbaikan signifikan dalam pengelolaan emosi. Meskipun bermain keras dan agresif, pemain lebih cerdas dalam melakukan tekel, menghindari protes berlebihan, dan memastikan mereka tetap berada di lapangan selama 90 menit. Disiplin ini adalah fondasi yang memungkinkan strategi bertahan dan menyerang balik berjalan efektif tanpa kekurangan personel di lapangan.
Analisis pertarungan melawan tim-tim terbaik menunjukkan bahwa Barito Putera mampu mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Mereka memeluk peran sebagai tim yang 'tidak diunggulkan' dan menggunakan taktik bertahan yang cerdas untuk mengejutkan lawan melalui serangan balik yang mematikan. Ini adalah bukti nyata bahwa strategi yang tepat dapat menjembatani kesenjangan kualitas individu.
Perjalanan Laskar Antasari dalam kompetisi tersebut adalah sebuah studi kasus tentang ketahanan di tengah tekanan ekstrem. Musim ini adalah rollercoaster emosi: dimulai dengan kekecewaan mendalam, dilanjutkan dengan pergantian radikal di tubuh tim, dan diakhiri dengan kebangkitan yang mengesankan. Drama ini menunjukkan bahwa di tengah kesulitan, karakter sejati sebuah klub akan muncul.
Kesuksesan untuk menjauh dari zona degradasi dan mengamankan posisi yang terhormat di klasemen bukanlah hanya tentang akumulasi poin di putaran kedua. Ini adalah hasil dari keputusan manajemen yang berani dalam melakukan perubahan kepelatihan, rekrutmen pemain yang tepat sasaran di momen krusial, dan yang paling penting, kepemimpinan taktis yang diimplementasikan oleh pelatih baru yang mampu memaksimalkan potensi pemain yang ada.
Kombinasi antara dedikasi pemain senior seperti Rizky Pora, intelegensi taktis Evan Dimas, dan ketajaman klinis Rafael Silva, didukung oleh semangat pantang menyerah dari Bartman, menciptakan sinergi yang diperlukan untuk mengubah nasib klub. Musim tersebut akan dikenang bukan karena kemewahan di awal, melainkan karena kemampuan luar biasa mereka untuk bangkit, menegaskan kembali identitas Barito Putera sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan di kancah sepak bola nasional.
Warisan terpenting dari periode ini adalah pelajaran tentang adaptasi cepat dan kepercayaan pada proses, sebuah fondasi yang sangat berharga bagi masa depan Laskar Antasari.