Ilustrasi visual yang menunjukkan elemen 'Actus Reus' dengan ikon tindakan fisik dan kelalaian.
Dalam dunia hukum pidana, sebuah perbuatan baru dapat dinyatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Salah satu unsur fundamental yang selalu hadir dalam setiap delik adalah actus reus. Konsep ini berasal dari bahasa Latin yang secara harfiah berarti "perbuatan yang bersalah" atau "tindakan yang melanggar hukum". Actus reus merujuk pada elemen fisik dari suatu kejahatan, yaitu tindakan, kelalaian, atau keadaan tertentu yang dilarang oleh hukum pidana dan menimbulkan akibat yang diatur dalam rumusan delik.
Penting untuk dicatat bahwa actus reus tidak hanya mencakup tindakan fisik yang aktif, seperti memukul seseorang atau mencuri barang. Dalam banyak kasus, actus reus juga bisa berupa kelalaian (omission). Kelalaian ini terjadi ketika seseorang memiliki kewajiban hukum untuk bertindak, namun ia gagal melakukan tindakan tersebut, sehingga menimbulkan kerugian atau akibat yang diatur oleh hukum. Contoh klasik dari actus reus berupa kelalaian adalah kegagalan orang tua untuk memberikan perawatan yang memadai kepada anaknya, yang kemudian berakibat pada kematian anak tersebut.
Dalam proses peradilan pidana, pembuktian actus reus merupakan langkah awal yang krusial. Jaksa penuntut umum harus mampu membuktikan di persidangan bahwa terdakwa benar-benar melakukan perbuatan atau kelalaian yang dituduhkan. Tanpa adanya pembuktian actus reus, maka tidak ada tindak pidana yang dapat dibuktikan, dan terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar hukum pidana, yaitu nullum delictum sine actus (tidak ada tindak pidana tanpa perbuatan).
Unsur fisik ini haruslah merupakan perbuatan yang menimbulkan suatu akibat hukum (result). Artinya, perbuatan tersebut harus memiliki kaitan sebab-akibat dengan konsekuensi yang diatur dalam pasal undang-undang pidana. Sebagai contoh, dalam tindak pidana pembunuhan, actus reus-nya adalah tindakan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Perbuatan lain yang tidak menimbulkan akibat tersebut, meskipun mungkin bersifat tercela atau melanggar norma sosial, belum tentu memenuhi unsur actus reus dalam konteks pidana.
Actus reus dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis, antara lain:
Actus reus tidak berdiri sendiri dalam pembentukan suatu tindak pidana. Ia harus selalu dibarengi dengan unsur mental, yang dikenal sebagai mens rea (niat yang bersalah). Mens rea merujuk pada keadaan pikiran pelaku pada saat melakukan perbuatan, seperti kesengajaan, kealpaan, atau ketidaktahuan. Dalam teori dualistik, kedua unsur ini harus terbukti secara bersamaan untuk dapat menyatakan seseorang bersalah atas suatu tindak pidana. Namun, dalam beberapa sistem hukum atau jenis tindak pidana tertentu, seperti pidana objektif (strict liability offences), pembuktian mens rea terkadang tidak diperlukan.
Memahami actus reus sangat penting tidak hanya bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi masyarakat luas. Ini memberikan gambaran yang jelas mengenai batasan perilaku yang dapat dikenakan sanksi pidana, serta bagaimana sistem hukum membedakan antara perbuatan yang salah secara moral dan perbuatan yang secara hukum dapat dihukum. Actus reus adalah fondasi dari sistem keadilan pidana, memastikan bahwa orang hanya dihukum atas tindakan nyata yang mereka lakukan atau kelalaian yang mereka perbuat.